Aku dan RT setempat langsung berjalan dengan langkah yang cepat menuju kembali ke rumahku usai laporan selesai.Kami tak hanya berdua, ada beberapa orang di belakangku termasuk Reyno yang kebetulan lewat mungkin hendak berangkat ke kantor.Kami berberondong-bondongan. Semua menyisir area rumahku untuk menemukan bukti, namun nihil. Kami tak menemukan apa pun. Yang ada hanya deretan sampah kotor yang tercium bau busuknya.Bukan hanya aku, beberapa warga juga menyangka kalau kajadian itu seperti disengaja oleh pihak yang tak bertanggung jawab."Apa Mba Mia punya musuh? Atau sedang bertikai dengan seseorang?" Reyno bertanya dengan perhatiannya. Dia masih saja berdiri di depan rumahku bersamaan dengan RT dan yang lainnya."Saya tidak punya musuh, kecuali yang membenci saya. Saya kan tidak tahu siapa saja orang yang benci terhadap saya. Saya tidak bisa membaca pikiran seseorang," jawabku.Pikiranku memang tertuju pada Jenifer, karena hanya dia yang saat ini terus saja membuat masalah dengan
Aku menghela napas kesal. Tega sekali mereka mencap aku sebagai janda gatal. Padahal aku belum pernah menggoda satu laki-laki beristri mana pun di dunia ini, termasuk suami mereka.Mereka kemudian pulang dengan membawa emosi yang bisa diredam dengan satu amplop yang berisi uang kertas."Mba Mia, mohon maaf. Jangan dengarkan ucapan istri saya." Salah satu pria yang merasa suami si ibu tadi nampak merasa tak enak kepadaku."Tidak apa-apa kok, Pak." Aku berusaha tersenyum walau terpaksa."Saya ucapkan terima kasih ya pada Bapak-bapak semuanya," sambungku yang dibalas anggukan kepala oleh mereka.Wajah kelima laki-laki yang membantuku membersih rumah tampak ditekuk. Sepertinya mereka tidak enak karena kelakuan istrinya tadi. Mereka pergi dengan langkah lesu meninggalkan rumahku. Padahal aku tidak apa-apa. Meski pun ucapan ibu-ibu tadi cukup menusuk jantung karena menyebutku dengan panggilan janda gatal. Seperti apa sih janda gatal yang mereka maksud?Tak mau ambil pusing. Teras rumah suda
Di sebelahku, Jenifer tampak memiringkan bibirnya. Dia tersenyum sinis seperti penuh kemenangan."Mia, kamu lihat ini." Yusuf menyodorkan layar ponsel yang tengah memutar suatu video hasil kamera jahanam ke hadapanku.Mataku terbelalak. Tak ada suara percakapan dalam vidio itu. Vidio yang memutarkan suasana di super market tadi saat aku tengah membantu pria bernama Bastian. Bagaimana bisa paparazi mengambil adegan demi adegan yang menonjolnya saja sementara suara yang bisa memperjelas, nyaris hening tak terdengar sama sekali."Jelaskan sama saya, Mia. Siapa pria itu?" Yusuf meluruskan jari telunjuknya pada layar ponsel yang menampilkan wajah Bastian.Aku mengulum senyum emosi. "Saya tidak mengenal dia," jawabku segera."Kenapa kalian terlihat dekat, Mia? Kalian terlihat akrab. Belanja bersama-sama, salam-salaman beradu pandang. Kalian sedang jatuh cinta?" Yusuf yang nampak terbawa emosi.Aku menggelengkan kepala. "Saya tidak kenal, Mas. Dia hanya-""Mungkin hanya temannya, Yusuf. Atau
"Ada apa?" tanyaku ketus membuang pandangan ke arah yang lain.Yusuf meraih tanganku seketika pula kuhempaskan."Saya mau minta maaf, Mia," ucapnya tanpa berpaling dari menatapku."Minta maaf untuk apa?" Aku pura-pura tak paham."Saya minta maaf karena sempat curiga dengan kamu," tutur Yusuf memelas."Tidak perlu." Aku segera meraih pintu dan bersiap akan menutupnya kembali. Sayangnya, pintu tak bisa ditutup karena terganjal sepatu Yusuf yang langsung menahan niatku."Mia, saya belum selesai bicara." Yusuf memasang nada suara paling lembut seantero negeri.Aku memasang senyum tipis sangat kesal. "Bicara soal apa, Mas? Mau nuduh lagi? Saya cape, Mas. Sudah saya katakan jangan datang ke rumah saya lagi. Apa kurang jelas?!" Nada suaraku naik satu oktav. Tak biasanya seperti ini."Iya saya tahu saya salah. Semuanya telah terbukti kalau kamu tidak bersalah, Mia. Seseorang telah memanipulasi keadaan," jelas Yusuf segera."Siapa?" tanyaku segera karena penasaran."Jenifer," jawabnya dengan
"Apa lagi?!" Aku menghela napas pendek saat berhenti melangkah."Maafkan saya, Mia. Sungguh saya berjanji tak akan mengulangi hal itu lagi." Yusuf berusaha kembali meraih tanganku. Ingin kuhempaskan lagi tapi lagi-lagu dia mempererat genggamannya."Maaf, Mas-" Ucapanku tercekat seiringan dengan air mata yang terus saja mengalir. Aku benar-benar cengeng."Tolong jangan bicara seperti itu lagi, Mia." Yusuf menatapku kian dalam."Saya kecewa, Mas. Tidak dipercaya oleh pasangan itu rasanya sakit, Mas. Sakit sekali." Aku mengusap pipi yang basah agar segera mengering.Sementara Yusuf, dia tak mau melepaskan genggaman tangannya. Tatapannya begitu dalam mengiba maaf dariku. Kesalahan besarnya adalah karena tidak percaya denganku, dan rasanya lebih menyakitkan dari pada belati yang menancap hati."Saya janji, saya tak akan mengulangi hal itu lagi. Saya tak akan mengulangi kebodohan yang ke dua kalinya. Catat janji saya, Mia," tekannya begitu berusaha meyakinkanku. Aku membalas tatapan Yusuf.
Pria itu bukan Yusuf. Dia melangkah mendekatiku saat aku mundur menjauhinya."Harusnya saya yang bertanya, kamu siapa? Apa kamu perempuan yang dikirim seseorang untuk menemani saya siang ini?" Pria itu mengulum senyum jahat. Dia terus saja mendekatiku aku pun segera menjauh menuju pintu."Buka pintunya. Saya harus pulang!" Aku menarik handle pintu yang sudah terkunci."Saya bahkan tidak tahu siapa yang mengunci pintunya." Pria itu mulai membuka kancing jasnya."Hentikan, jangan mendekat!" Aku mengangkat sebelah tangan kanan. Namun dia tetap mendekat."Kamu itu perempuan aneh! Kamu datang sendiri dan sekarang malah hendak pergi," celotehnya sambil melemparkan jas hitamnya ke sembarang arah."Ayolah cantik. Kita main bersama siang ini. Saya sudah tidak sabar," sambungnya kali ini sambil membuka kancing kemejanya.Aku berusaha membuka pintu tapi sulit. Sepertinya seseorang telah mengunci pintunya dari luar. Ah sial! Aku bahkan tak membawa ponsel atau pun benda lainnya untuk sekedar minta
Jenifer berani mengangkat wajahnya. "Kamu yang jahat! Kamu telah berani mengambil Yusuf dari saya," sergahnya dengan rahang yang nampak mengeras. Dia nampak marah kepadaku, padahal seharusnya aku yang marah padanya."Saya tidak pernah mengambil Mas Yusuf dari siapa pun!" bantahku dengan tegas. Jenifer langsung membulatkan mata. Menatapku penuh emosi."Sudah, Mia. Dia akan segera membusuk di penjara. Tak usah membuang tenaga lagi." Yusuf mempererat dekapannya dari samping, lalu kami melanjutkan langkah masuk ke dalam lift meninggalkan Jenifer dan pria brengsek tadi."Mereka akan dibawa kemana, Mas?" tanyaku yang masih belum membahas kedatangan Yusuf siang ini. Sejujurnya dalam hati bertanya-tanya, dari mana Yusuf bisa tahu keberadaanku? Dia bahkan datang tepat pada waktunya. Dia juga membawa Jenifer."Ke kantor polisi. Di sanalah tempat yang paling pantas untuk perempuan licik seperti Jenifer," jawab Yusuf dengan raut wajah penuh kebencian."Beruntung saya datang pada waktu yang tepat
Yusuf menarik napas kesal. Dia tampak geram dengan dua ocehan ibu-ibu tadi."Apa tetangga di sini memang tak bisa menjaga ucapannya, Mia?" Yusuf kembali duduk di dekatku."Entahlah, Mas." Aku tak memperdulikan mereka. Perasaan masih saja cemas dengan diri sendiri."Jangan banyak pikiran. Saya tidak mau kamu kenapa-kenapa," ucapnya.Bulir bening lagi-lagi menganak sungai di pelupuk mata. Kemudian luruh di pipi tanpa bisa dikendalikan."Kenapa menangis lagi? Kamu sudah aman. Saya akan selalu menjaga kamu." Yusuf mengusap bahuku lembut."Saya takut, Mas." Lagi-lagi kejadian tadi mempengaruhi bayang-bayangku. Aku kembali merasa takut. Wajah pria tadi membuat perasaan ini hancur berkeping-keping bak pecahan kaca.Yusuf kembali mendekapku dari samping. "Tenang, Mia. Tak akan ada lagi yang bisa menyakiti kamu. Saya akan pastikan, Jenifer dan pria brengsek itu akan menjadi penghuni sel jeruji besi selamanya." "Bagaimana kalau Jenifer bermain dibelakang, Mas. Bagaimana kalau dia menyuruh sese
Siang ini 40 hari sudah setelah kelahiran Yusra dan Yumna. Kediaman Yusuf nampak dipenuhi bunga serba putih. Semua dekorasi serba putih. Ini bukan sedang berpesta, melainkam sedang ada acara aqiqah si kembar Yusra dan Yumna.Dua bayi kembar yang lucu yang memakai pakaian muslim ala-ala bayi, sudah dibawa pengasuhnya masing-masing ke tengah-tengah pengajian. Sebagai rasa syukur yang luar biasa pada Tuhan, Yusuf dan Mia menggelar acara pengajian sekaligus aqiqahan untuk bayi kembarnya. Bukan hanya itu, Yusuf dan Mia juga mengadakan santunan anak yatim yang diundang dari salah satu panti asuhan yatim piatu di kota Jakarta. Yusuf berharap, anak-anak yang kurang beruntung itu bisa merasakan kebahagiaan yang kini tengah dia rasakan.Kediaman Zubair dipenuhi banyak jamaah pengajian dan anak yatim piatu yang hadir. Mereka membacakaan dzikir dan puji-pujian. Menggunting rambut si kembar Yusra dan Yumna secara bergantian.Seperti ada cahaya yang terpancar pada bayi kembar Yusra dan Yumna kali i
Benar saja dengan apa yang sudah ditebak sebelumnya. Kediaman Zubair nampak ramai oleh suara tangisan bayi yang silih berganti. Sudah menjadi kebiasaan bayi yang pusarnya belum copot memang agak rewel. Akan tetapi Mia nampak piawai menghandle. Mungkin karena bukan yang pertama kalinya, jadi Mia sudah paham.Bayi kembar yang mungil nampak anteng apabila dalam gendongan Mia. Mungkin karena bayi kembar itu merasakan kenyamanan saat berada di dekat orang tuanya."Kenapa kalian tidak bisa menghandle? Bukankah kalian sudah pengalaman sebagai baby sitter! Dimana keahlian kalian?!" Suara Yusuf terdengar mengeras di kamar anaknya. Dia bicara pada dua pengasuh anaknya."Sstt! Mas, jangan begitu dong." Mia meluruskan jari telunjuknya di depan bibir.Rupanya Yusuf tengah memarahi dua baby sitter anaknya yang tampak tak bisa menghandle tugas. Dua anak kembar Mia dan Yusuf hanya bisa anteng dan tak menangis saat berada dalam dekapan mamanya."Habisnya mereka salah, Sayang. Kamu kan belum benar-bena
Banyak sekali yang harus dipelajari Mia setelah operasi. Mulai dari belajar tidur miring kiri miring kanan, belajar bangun sendiri kemudian sampai berjalan.Yusuf mendukung Mia yang belajar dengan antusias. Saat ini bahkan Mia sudah berada di ruangan rawat inap. Banyak sekali perjuangan yang telah dia lakukan untuk anak kembarnya.Mia juga mulai memberikan asi pertamanya untuk kedua anak kembar, meski pun belum ada asi putih yang keluar. Anak kembar itu juga akan dibantu susu formula karena asi Mia belum keluar dan mungkin tak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan dua anak kembar."Sayang, anak kita cantik dan tampan ya. Mirip sekali dengan wajah mamanya. Mamanya cantik sih, jadi anaknya juga cantik dan tampan," kata Yusuf tanpa bisa berhenti menatap wajah anak kembarnya. Rasa syukur pada Tuhan pun ia ungkapkan berkali-kali atas rasa bahagia yang sangat luar biasa."Papanya juga tampan, Mas. Makanya saya jatuh cinta," balas Mia pada suaminya. Dia kini sudah bisa berbicara."Masa sih?" Y
Saat ini Mia masih berada di ruang rawat inap. Operasi akan dilakukan besok siang pukul sepuluh pagi. Mia tengah beristirahat membaringkan tubuhnya di atas bed pasien."Sayang, perutnya masih sakit?" Yusuf mengusap kening istrinya. Ia duduk di kursi yang ada di dekat ranjang. Dalam benaknya berkecamuk rasa. Khawatir cemas bercampur jadi satu. Apalagi saat melihat wajah Mia yang terlihat layu."Tak terlalu sakit, Mas. Semoga besok pagi operasinya lancar ya." Suara Mia terdengar lemas. Yusuf mengecup kembali kening Mia. "Sayang, tentu saja saya do'akan semoga operasinya lancar. Kamu dan bayi kita selamat. Kamu harus semangat dan kuat, karena ini adalah impian kita berdua," ia menyemangati."Iya, Mas. Saya akan berjuang. Saya akan semangat," balas Mia.Sejujurnya Yusuf tidak tega melihat Mia yang tiba-tiba meringgis kesakitan. Namun, jadwal caesar memang sudah ditentukan dan surat perjanjian sudah ditanda tangani. Ia tak tega melihat istrinya kesakitan. Andai tak malu dengan diri sendir
Yusuf dan Mia telah sampai di depan rumah sakit. Mereka langsung duduk di kursi tunggu karena nomor antrian telah diambilkan oleh anak buahnya.Yusuf mengusap perut Mia. Walau di depan banyak orang, Yusuf tak mau perduli. Rasa sayangnya pada Mia menutup matanya dari orang-orang yang ada di sekelilingnya."Nyonya Mia Lestari!"Saat namanya dipanggil, Mia dan Yusuf langsung berdiri. Dia segera masuk ke ruang Dokter kandungan.Setelah ditanya-tanya sebentar, Dokter langsung menyuruh Mia berbaring di atas bed pasien. Perut buncitnya dioleskan cairan dan alat USG langsung ditempelkan pada perut Mia.Bola mata Yusuf seketika berkaca-kaca melihat calon anaknya pada layar monitor."Selamat ya, Pak. Tuhan memberikan bayi kembar. Sepertinya jenis kelaminnya sepasang ni," kata Dokter sambil terus menempelkan alat USG di perut Mia. Sementara layar monitir menampilkan hasilnya."Apa! Kembar, Dok?" Yusuf terbelalak. Pun dengan Mia yang terkejut."Serius, Dok?" Timpal Mia. Mulutnya sedikit terbuka k
Pagi hari di cappadocia.Sinar matahari telah masuk menerobos jendela kamar. Keduanya masih asik dalam mimpi indah usai bergelut dalam permainan panas semalam.Mata Mia menyipit saat mulai membuka kelopak matanya. Ia sadar dari mimpi indah semalaman tadi. Ia terkejut saat sadar telah bangun keiangan."Ya ampun! Kesiangan!" Mia bangkit dari tempat tidur. Dia bahkan masih memakai lingerie berwarna silver sisa semalam. Ia menuju kamar mandi dan akan segera membersihkan tubuhnya.Perut mulusnya mulai terlihat membuncit. Mia keluar dari kamar mandi dengan rambut yang terlihat basah. Sepertinya harus segera dikeringkan. Melihat ke atas ranjang, Yusuf tampak masih terlelap dalam tidurnya. Cuaca dingin membuat suami Mia tampak nyaman di balik selimut tebal yang menutupi tubuhnya yang hanya memakai bokser saja."Sayang, jam berapa?" Suara serak pria yang masih terbaring di atas ranjang, tampak membuka sedikit kelopak matanya. Terlihat kelelahan."Sudah siang, Mas. Cepetan mandi. Katanya mau ng
Satu bulan kemudian."Mas, koper punya saya mana?" Mia mencari koper miliknya. Mereka kini dalam perjalanan menuju bandara. Perut Mia kali ini sudah terlihat menonjol ke depan. Semakin nampak kalau dia tengah hamil.Sejak satu minggu yang lalu semua telah dipersiapkan. Mulai dari tiket, paspor dan perlengkapan yang lainnya. Yusuf juga telah konsultasi ke Dokter kandungan Mia. Beruntung janin yang ada dalam perut Mia dalam keadaan sehat dan bisa diajak jalan-jalan ke luar negri."Sepertinya sudah dimasukan Ijah ke dalam bagasi," jawab Yusuf menerka saja. Padahal dia tak terlalu yakin. Ia mengusap kening mengiyakan saja dari pada salah. Maklum semenjak hamil, Mia jadi sering baperan dan Yusuf paham akan hal itu."Baguslah, Mas. Soalnya saya tak melihatnya tadi. Mungkin karena Ijah telah merapihkannya." Mia bergelayut manja di dada bidang milik suaminya. Sementara supir yang mengemudikan mobil tetap fokus ke jalan raya.Bersamaan dengan itu ponsel Mia nampak berdering ada panggilan masuk
Hampir satu jam Yusuf mengantri di cafe martabak itu. Dia memijat pelipis karena baru kali ini dia rasakan rasanya menunggu sungguh membosankan."Mas, apa masih lama?" Akhirnya memberanikan diri bertanya karena sudah merasa kesal."Sebentar lagi kok, Pak. Hanya tinggal satu orang lagi," jawab pelayan cafe dengan ramahnya."Oke baik." Yusuf memutuskan untuk menunggu lagi. Semua itu semata-mata demi sang istri tercinta yang tengah mengandung buah hatinya.Dengan tambahan waktu lima belas menit akhirnya dua dus martabak pesanan Mia telah selesai dibuat dan kini sudah berada dalam genggaman. Yusuf segera kembali ke rumah. Dia sudah tidak sabar ingin melihat senyuman istrinya malam ini. Apalagi imbalannya yang akan menengok dede bayi dalam kandungan, tentu saja semakin membuat dia semangat.Perjalanan malam ini sangat cepat karena suasana jalanan yang sepi Yusuf tiba di rumah lebih cepat. Ia segera masuk ke kamar menenteng dus martabak pesanan istrinya."Sayang, ini pesanan kamu." Yusuf me
Sampai satu hari berganti, keadaan Mia masih saja tetap sama. Tubuhnya lemas ia tak berdaya. Mual muntah. Setiap kali ada makanan yang masuk maka kembali ia muntahkan.Yusuf yang siaga, segera membawa istrinya ke Dokter. Ia tak akan membiarkan Mia kesakitan.Yusuf kini tengah memunggu di depan ruang pemeriksaan. Salah satu perawat memanggilnya atas perintah Dokter. Dia segera menghadap dan duduk di kursi yang berseberangan dengan Dokter."Selamat, Pak!" Dokter wanita berlesung pipit itu menyodorkan tangannya ke hadapan Yusuf. Yusuf mengernyitkan dahi saat Dokter yang telah memeriksa istrinya itu malah mengajak berjabat tangan."Selamat untuk apa, Dok?" Yusuf kemudian bertanya karena tak paham."Selamat karena Bu Mia positif hamil. Sebentar lagi Pak Yusuf akan jadi seorang Ayah," jelas wanita berjas putih itu.Tentu saja Yusuf menyeringai senang mendengar berita yang baru saja di dengarnya."Apa!" Yusuf langsung beranjak menghampiri Mia yang duduk di atas ranjang rumah sakit usai dipe