"Apa lagi?!" Aku menghela napas pendek saat berhenti melangkah."Maafkan saya, Mia. Sungguh saya berjanji tak akan mengulangi hal itu lagi." Yusuf berusaha kembali meraih tanganku. Ingin kuhempaskan lagi tapi lagi-lagu dia mempererat genggamannya."Maaf, Mas-" Ucapanku tercekat seiringan dengan air mata yang terus saja mengalir. Aku benar-benar cengeng."Tolong jangan bicara seperti itu lagi, Mia." Yusuf menatapku kian dalam."Saya kecewa, Mas. Tidak dipercaya oleh pasangan itu rasanya sakit, Mas. Sakit sekali." Aku mengusap pipi yang basah agar segera mengering.Sementara Yusuf, dia tak mau melepaskan genggaman tangannya. Tatapannya begitu dalam mengiba maaf dariku. Kesalahan besarnya adalah karena tidak percaya denganku, dan rasanya lebih menyakitkan dari pada belati yang menancap hati."Saya janji, saya tak akan mengulangi hal itu lagi. Saya tak akan mengulangi kebodohan yang ke dua kalinya. Catat janji saya, Mia," tekannya begitu berusaha meyakinkanku. Aku membalas tatapan Yusuf.
Pria itu bukan Yusuf. Dia melangkah mendekatiku saat aku mundur menjauhinya."Harusnya saya yang bertanya, kamu siapa? Apa kamu perempuan yang dikirim seseorang untuk menemani saya siang ini?" Pria itu mengulum senyum jahat. Dia terus saja mendekatiku aku pun segera menjauh menuju pintu."Buka pintunya. Saya harus pulang!" Aku menarik handle pintu yang sudah terkunci."Saya bahkan tidak tahu siapa yang mengunci pintunya." Pria itu mulai membuka kancing jasnya."Hentikan, jangan mendekat!" Aku mengangkat sebelah tangan kanan. Namun dia tetap mendekat."Kamu itu perempuan aneh! Kamu datang sendiri dan sekarang malah hendak pergi," celotehnya sambil melemparkan jas hitamnya ke sembarang arah."Ayolah cantik. Kita main bersama siang ini. Saya sudah tidak sabar," sambungnya kali ini sambil membuka kancing kemejanya.Aku berusaha membuka pintu tapi sulit. Sepertinya seseorang telah mengunci pintunya dari luar. Ah sial! Aku bahkan tak membawa ponsel atau pun benda lainnya untuk sekedar minta
Jenifer berani mengangkat wajahnya. "Kamu yang jahat! Kamu telah berani mengambil Yusuf dari saya," sergahnya dengan rahang yang nampak mengeras. Dia nampak marah kepadaku, padahal seharusnya aku yang marah padanya."Saya tidak pernah mengambil Mas Yusuf dari siapa pun!" bantahku dengan tegas. Jenifer langsung membulatkan mata. Menatapku penuh emosi."Sudah, Mia. Dia akan segera membusuk di penjara. Tak usah membuang tenaga lagi." Yusuf mempererat dekapannya dari samping, lalu kami melanjutkan langkah masuk ke dalam lift meninggalkan Jenifer dan pria brengsek tadi."Mereka akan dibawa kemana, Mas?" tanyaku yang masih belum membahas kedatangan Yusuf siang ini. Sejujurnya dalam hati bertanya-tanya, dari mana Yusuf bisa tahu keberadaanku? Dia bahkan datang tepat pada waktunya. Dia juga membawa Jenifer."Ke kantor polisi. Di sanalah tempat yang paling pantas untuk perempuan licik seperti Jenifer," jawab Yusuf dengan raut wajah penuh kebencian."Beruntung saya datang pada waktu yang tepat
Yusuf menarik napas kesal. Dia tampak geram dengan dua ocehan ibu-ibu tadi."Apa tetangga di sini memang tak bisa menjaga ucapannya, Mia?" Yusuf kembali duduk di dekatku."Entahlah, Mas." Aku tak memperdulikan mereka. Perasaan masih saja cemas dengan diri sendiri."Jangan banyak pikiran. Saya tidak mau kamu kenapa-kenapa," ucapnya.Bulir bening lagi-lagi menganak sungai di pelupuk mata. Kemudian luruh di pipi tanpa bisa dikendalikan."Kenapa menangis lagi? Kamu sudah aman. Saya akan selalu menjaga kamu." Yusuf mengusap bahuku lembut."Saya takut, Mas." Lagi-lagi kejadian tadi mempengaruhi bayang-bayangku. Aku kembali merasa takut. Wajah pria tadi membuat perasaan ini hancur berkeping-keping bak pecahan kaca.Yusuf kembali mendekapku dari samping. "Tenang, Mia. Tak akan ada lagi yang bisa menyakiti kamu. Saya akan pastikan, Jenifer dan pria brengsek itu akan menjadi penghuni sel jeruji besi selamanya." "Bagaimana kalau Jenifer bermain dibelakang, Mas. Bagaimana kalau dia menyuruh sese
Malam ini tak ada rembulan yang menampakan sinarnya. Sepertinya tertutup awan hitam. Sekeliling langit bahkan tak ada gemerlap bintang yang harusnya menghias di angkasa.Aku tengah dalam perjalanan di atas sepeda motor. Aku memeluk erat Yusuf yang ada di depan tengah fokus dengan setang motor. Ini adalah pemandangan yang pertama kalinya melihat Yusuf mengendarai Motor. Karena biasanya aku melihat dia hanya mondar-mandir dengan mobil mewahnya.Entah apa yang terjadi dengan diriku. Bayang-bayang menyeramkan tentang kejadian tadi siang masih berputar-putar di kepalaku."Kenapa berhenti di sini?" Aku tercengang saat menyadari perjalananku sudah terhenti di depan rertaurant mewah. "Turun, Mia," titah Yusuf. Ia menghentikan mesin motorku lalu mencabut kuncinya."Untuk apa, Mas?" Aku bertanya seakan linglung. Tubuh ini masih berada di atas motor."Saya yakin kalau kamu belum makan. Kita akan makan dulu sebelum ke rumah saya." Yusuf memperjelas perintahnya."Tapi saya sudah makan." Aku menol
Tiba-tiba kepalaku mengangguk begitu saja tanpa meminta persetujuan. Entah kenapa apa yang terjadi denganku. Kulihat Yusuf nampak menyeringai."Apa itu artinya, kamu manerima lamaran saya?" Dia bertanya penuh harap.Ada senyuman yang melebar dengan sendirinya. Aku pun kembali mengangguk tanpa sepatah kata.Yusuf langsung memelukku di depan Khaila. Dia nampak bahagia dengan jawabanku tapi sepertinya tidak begitu terlihat dengan Khaila.Adik kandung Yusuf hanya tersenyum tipis tanpa menimpali dengan kalimat apa pun. "Lalu, bagaimana dengan, Khaila?" Gegas kubertanya karena merasa ragu."Bagaimana, Khaila. Apa kamu merestui?" Yusuf menimpali pertanyaanku pada Khaila.Bahu dan telapak tangan Khaila bersamaan terangkat. "Terserah kalian saja," jawabnya sesingkat itu. Seperti dipaksakan. Dia kemudian pergi ke ruangan yang lain.Yusuf mempererat genggaman tangannya. Dia menatapku haru. "Terima kasih, Mia. Terima kasih atas kesempatan dan kepercayaan kamu. Percayalah, saya tak akan menyia-ny
"Kenapa?" tanya Yusuf berbisik di telingaku. Tangannya masih melingkari perutku. Dia juga masih menaruh dagunya di bahuku."Kita belum mandi, Mas. Masa udah peluk aja," ucapku yang sejujurnya masih merasa malu. Bahkan saat tangan Yusuf melingkari parut, serasa bagai ada getaran listrik yang rendah di dalam perut ini. Apalagi dengan bulu halus di pundak, serasa geli."Kan cuma peluk doang, Mia. Masa harus nunggu mandi dulu sih." Yusuf masih dengan pelukannya yang erat."Bagaimana kalau kita mandi bareng," lanjutnya konyol.Aku bahkan dibuatnya semakin tersipu malu. Pipi ini begitu terlihat merah dari pantulan cermin."Jangan, Mas," tolakku lembut."Kenapa lagi coba?" Yusuf kembali menggigit bahuku dengan lembut."Saya malu, Mas. Kita mandi masing-masing saja ya," pintaku sambil menggigit bibir bawah. Aku harap Yusuf paham kalau hari pertama pernikahan, aku masih merasa malu dan tidak enak."Iya deh, kamu mandi duluan aja ya. Saya akan keluar sebentar untuk menghubungi seseorang," pamit
"Kok merah, Mia?" Suara Yusuf terdengar kaget saat dia telah membuka kedua pahaku dan melihat bagian mis v.Aku membuka mata karena sedari dari memejamkan mata kegelian. "Merah?" Aku malah berbalik tanya.Bergegas aku memeriksanya. Aku menepuk kening. "Kok bisa datang tamu ya. Padahal tadi pagi bersih kok, Mas." Aku menggaruk kening yang tak gatal. Aduh malu sekali rasanya sampai sadar ada bercak darah haid yang datang pada waktu yang tak diharapkan.Kulihat Yusuf menghela napas kecewa, tapi dia berusaha tetap mengukir senyum. Dia langsung menutup barang paling berharga dalam tubuh ini dengan beberapa lembar tissue tanpa merasa jijik."Maaf, Mas. Sungguh saya tidak tahu kalau tamu bulanan akan datang," ucapku merasa bersalah tentu karena merasa tak enak pada suamiku."Tidak apa-apa, Sayang. Ini kan sudah kodratnya seorang wanita. Lagian saya juga paham tamu bulanan memang harus tetap datang jika sudah waktunya." Yusuf tetap mengukir senyum paling manis.Dia meluruhkan tubuhnya di samp