"Kok merah, Mia?" Suara Yusuf terdengar kaget saat dia telah membuka kedua pahaku dan melihat bagian mis v.Aku membuka mata karena sedari dari memejamkan mata kegelian. "Merah?" Aku malah berbalik tanya.Bergegas aku memeriksanya. Aku menepuk kening. "Kok bisa datang tamu ya. Padahal tadi pagi bersih kok, Mas." Aku menggaruk kening yang tak gatal. Aduh malu sekali rasanya sampai sadar ada bercak darah haid yang datang pada waktu yang tak diharapkan.Kulihat Yusuf menghela napas kecewa, tapi dia berusaha tetap mengukir senyum. Dia langsung menutup barang paling berharga dalam tubuh ini dengan beberapa lembar tissue tanpa merasa jijik."Maaf, Mas. Sungguh saya tidak tahu kalau tamu bulanan akan datang," ucapku merasa bersalah tentu karena merasa tak enak pada suamiku."Tidak apa-apa, Sayang. Ini kan sudah kodratnya seorang wanita. Lagian saya juga paham tamu bulanan memang harus tetap datang jika sudah waktunya." Yusuf tetap mengukir senyum paling manis.Dia meluruhkan tubuhnya di samp
Setelah malam pertama yang gagal itu, aku dan Yusuf memutuskan untuk keluar dari hotel.Suamiku akan memboyongku ke rumahnya. Aku bahkan tak sempat pulang ke rumah karena Yusuf memenuhi semua kebutuhanku lewat barang-barang baru.Sepintas rencana, sepertinya rumah sederhanaku akan dikontrakan saja. Lagi pula aku sudah tak nyaman tinggal di sana. Bukan perkara sederhana penyebabnya, melainkan karena gosip-gosip panas terus saja berhembus kencang di area lingkuhan dekat rumahku."Mia, apakah kamu tidak keberatan kalau Khaila akan tetap tinggal bersama kita?" Yusuf bertanya tatkala kami tengah berada dalam perjalanan menuju rumah Yusuf."Tentu saja tidak, Mas. Khaila itu adik kamu. Lagi pula Khaila masih menjadi tanggung jawab kamu kan," balasku segera tanpa merasa keberatan."Terima kasih ya, Sayang." Yusuf mengusap kepalaku dengan lembut. Dia melebarkan senyuman tampak bernapas dengan lega.Aku membalas senyuman suamiku. Menyenderkan kepala ini pada bahu sampingnya. Nyaman sekali rasan
Aku tak langsung meninggalkan bandara. Aku memastikan pesawat yang ditumpangi suamiku terbang. Setelah itu aku kembali ke rumah.Aku menaiki mobil mewah suamiku dengan duduk di kursi belakang karena ada supir yang mengantarkan.Aku mampir terlebih dahulu ke rumah lamaku, memastikan kesepakatan dengan orang yang hendak mengontrak."Hebat ya, Mba Mia. Menikah dengan konglomerat. Ajian macam apa yang membuat seorang konglomerat terpincut?" Seorang ibu muda yang tak asing dalam pandanganku menyambut kedatanganku di area rumah sederhanaku dengan sebuah pertanyaan yang bernada cibiran.Aku membeliak sambil menutup pintu mobil karena baru saja keluar."Maaf ya, apa maksud anda bicara seperti itu?" Aku berbalik tanya dengan ketus. Dia wanita muda yang selalu saja mencibirku dengan gosip-gosip tidak enak didengar."Ya tidak ada maksud apa-apa. Hanya ingin tahu saja trik menggaet sugar dady. Mba Mia, sepertinya sudah mahir dengan itu," lanjutnya dengan pertanyaan yang sama. Muak sekali aku mend
Dalam perjalanan menuju maskapai penerbangan internasional, aku dan Khaila kini saling diam merasakan kecemasan di dalam dada. Sementara nomor ponsel suamiku memang tidak bisa dihubungi."Semua ini gara-gara kamu, Mba!" Tiba-tiba Khaila mengucapkan kalimat yang membuatku terkejut dan menoleh kepadanya."Khaila, apa maksud kamu bicara seperti itu?" Aku bertanya sambil mengusap air mata yang tak terasa jatuh di pipi."Dari awal, aku sudah meragukan pernikahan, Mas Yusuf dan Mba Mia. Aku merasakan Mba Mia tidak akan membawa keberuntungan. Dan lihat yang terjadi sekarang, Mas Yusuf tak bisa dihuhungi, pesawat yang ditumpanginga hilang kontak. Kamu pembawa sial, Mba!" Khaila menampakan wajah geram kepadaku. Sementara di sudut matanya masih saja meneteskan air mata kesedihannya.Seketika aku mengusap dada. Tega sekali, Khaila bicara seperti itu kepadaku."Tidak, Khaila. Saya tidak pernah membawa sial untuk siapa pun apalagi suami saya sendiri," bantahku segera. Aku tak habis pikir dengan ad
"Mas Yusuf!" Seketika bola mataku terbuka. Kulihat ke atas langit-langit kamar. Suasana yang sangat berbeda. Bukankah tadi ada Mas Yusuf di dekatku. Tapi kini dia tak nampak dalam pandanganku."Mia." Suara sopran berdesis memanggil namaku. Sepertinya aku kenal dengan suara itu. Gegas kualihkan pandangan ke sumber suara. "Siska." Aku sedikit terkejut dengan keberadaan Siska duduk di sampingku. "Mia, sabar ya. Kamu harus kuat." Kalimat yang keluar dari mulut Siska seolah meruntuhkan jiwa dan perasaan kamu."Kenapa denganku, Sis? Dimana ini?" Aku bertanya seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling sudut ruangan. Seperti tengah berada di ruang medis."Kamu di klinik dekat bandara. Tadi kamu pingsan. Driver menghuhungiku saat Khaila pun terkulai lemas tak berdaya. Beruntung driver sempat menyimpan nomorku," jelas Siska. Ia mengusap punggung tanganku seperti berusaha menenangkanku.Genangan air mata kembali membasahi bola mataku. Berusaha kubendung tapi bulir bening ini kembali menetes d
"Apa-apaan ini, Khaila?" Aku terkejut. Belum sirna rasanya kepedihan di dalam dada, kini ditambah lagi dengan sambutan adik ipar yang tak mengenakan."Biar saya bersihkan, Bu." Ijah langsung gerak cepat membersihkan percahan beling di belakangku agar tak melukai siapa pun.Kulihat kembali wajah Khaila yang nampak berantakan dengan ramut yang juga acak-acakan. Dia manatapku begitu nyalang.Aku berusaha mendekat ke arah Khaila. "Kenapa harus menyambut saya dengan lemparan gelas, Khai. Apa yang salah dengan saya?" Pelan-pelan bertanya."Kamu masih berani pulang ke rumah ini ya! Berani kamu! Setelah apa yang terjadi pada kakakku." Nada suara Khaila terdengar naik satu oktav. Sorotan matanya begitu tajam seperti singa yang hendak menerkam mangsa.Aku tetap berusaha tenang. "Khai, memangnya harus kemana saya pulang kalau bukan ke rumah suami saya. Mengertilah, Khai. Saya pun sangat berduka dengan kejadian yang menimpa suami saya," lirihku berbicara apa adanya. Tak tahukah dia betapa kehancu
Sebelum berangkat, terlebih dahulu aku menghubungi Siska. Aku meminta sahabatku itu untuk menemaniku. Sebenarnya aku merasa tidak enak pada Siska karena selalu saja merepotkannya. Tapi, tubuh lemah ini butuh sekali bantuan."Mau kemana kamu?" Dengan tidak sopan Khaila langsung melayangkan pertanyaan saat aku baru saja keluar dari kamar."Saya akan ke bandara," jawabku singkat. Tatapan Khaila masih saja sinis. Aku jadi enggan ramah kepadanya."Sarapan dulu saja," ajak Khaila. Seperti terdengar janggal.Aku mengernyitkan dahi. Kutatap wajah Khaila seperti bertentangan dengan kalimat yang baru saja dia keluarkan."Tidak, terima kasih. Saya belum merasa lapar," tolakku dengan sopan."Kamu harus temani saya sarapan, Mia. Tidak sudikah kamu untuk sekedar menemani saya sarapan padahal kamu telah membuat Mas Yusuf hilang." Lagi, kalimat yang keluar dari mulut Khaila kembali terdengar menyakitkan. Dia bahkan seperti tak sudi memanggilku kakak ipar, padahal usiaku jauh lebih tua darinyaAku men
Aku dan Siska dalam perjalanan menuju bandara. Aku akan mengajukan diri untuk menjadi relawan dalam pencarian korban pesawat yang jatuh.Namun, niatku hanyalah tinggal niat saja tanpa ada dukungan. Pihak maskapai tak mengijinkan aku untuk turut serta dalam pencarian Mas Yusuf. Aku menelan kecewa. Masih tak ada kabar apa pun mengenai suamiku. Aku kembali dirundung nestapa. Duduk di kursi besi dengan perasaan duka didampingi Siska di sampingku."Bagaimana ini, Sis?" keluhku seraya menutup wajah senduku dengan kedua telapak tangan.Bahuku diusap Siska. Dia pasti turut sendu dengan kisahku. "Sabar ya. Kamu harus kuat. Semoga Yusuf selamat ya. Meski pun kenyataannya begitu terasa sulit," tuturnya.Deraian air mata seakan menjadi temanku saat ini. Kesedihan lagi-lagi menguasai diri saat kenyataan pahit terus saja menyelimuti.Aku memutuskan pulang tanpa ada jawaban. Satu minggu bahkan telah berlalu namun Mas Yusuf belum juga ditemukan di saat kobran-korban lain mulai diidentifikasi.Aku men