"Mas Yusuf!" Seketika bola mataku terbuka. Kulihat ke atas langit-langit kamar. Suasana yang sangat berbeda. Bukankah tadi ada Mas Yusuf di dekatku. Tapi kini dia tak nampak dalam pandanganku."Mia." Suara sopran berdesis memanggil namaku. Sepertinya aku kenal dengan suara itu. Gegas kualihkan pandangan ke sumber suara. "Siska." Aku sedikit terkejut dengan keberadaan Siska duduk di sampingku. "Mia, sabar ya. Kamu harus kuat." Kalimat yang keluar dari mulut Siska seolah meruntuhkan jiwa dan perasaan kamu."Kenapa denganku, Sis? Dimana ini?" Aku bertanya seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling sudut ruangan. Seperti tengah berada di ruang medis."Kamu di klinik dekat bandara. Tadi kamu pingsan. Driver menghuhungiku saat Khaila pun terkulai lemas tak berdaya. Beruntung driver sempat menyimpan nomorku," jelas Siska. Ia mengusap punggung tanganku seperti berusaha menenangkanku.Genangan air mata kembali membasahi bola mataku. Berusaha kubendung tapi bulir bening ini kembali menetes d
"Apa-apaan ini, Khaila?" Aku terkejut. Belum sirna rasanya kepedihan di dalam dada, kini ditambah lagi dengan sambutan adik ipar yang tak mengenakan."Biar saya bersihkan, Bu." Ijah langsung gerak cepat membersihkan percahan beling di belakangku agar tak melukai siapa pun.Kulihat kembali wajah Khaila yang nampak berantakan dengan ramut yang juga acak-acakan. Dia manatapku begitu nyalang.Aku berusaha mendekat ke arah Khaila. "Kenapa harus menyambut saya dengan lemparan gelas, Khai. Apa yang salah dengan saya?" Pelan-pelan bertanya."Kamu masih berani pulang ke rumah ini ya! Berani kamu! Setelah apa yang terjadi pada kakakku." Nada suara Khaila terdengar naik satu oktav. Sorotan matanya begitu tajam seperti singa yang hendak menerkam mangsa.Aku tetap berusaha tenang. "Khai, memangnya harus kemana saya pulang kalau bukan ke rumah suami saya. Mengertilah, Khai. Saya pun sangat berduka dengan kejadian yang menimpa suami saya," lirihku berbicara apa adanya. Tak tahukah dia betapa kehancu
Sebelum berangkat, terlebih dahulu aku menghubungi Siska. Aku meminta sahabatku itu untuk menemaniku. Sebenarnya aku merasa tidak enak pada Siska karena selalu saja merepotkannya. Tapi, tubuh lemah ini butuh sekali bantuan."Mau kemana kamu?" Dengan tidak sopan Khaila langsung melayangkan pertanyaan saat aku baru saja keluar dari kamar."Saya akan ke bandara," jawabku singkat. Tatapan Khaila masih saja sinis. Aku jadi enggan ramah kepadanya."Sarapan dulu saja," ajak Khaila. Seperti terdengar janggal.Aku mengernyitkan dahi. Kutatap wajah Khaila seperti bertentangan dengan kalimat yang baru saja dia keluarkan."Tidak, terima kasih. Saya belum merasa lapar," tolakku dengan sopan."Kamu harus temani saya sarapan, Mia. Tidak sudikah kamu untuk sekedar menemani saya sarapan padahal kamu telah membuat Mas Yusuf hilang." Lagi, kalimat yang keluar dari mulut Khaila kembali terdengar menyakitkan. Dia bahkan seperti tak sudi memanggilku kakak ipar, padahal usiaku jauh lebih tua darinyaAku men
Aku dan Siska dalam perjalanan menuju bandara. Aku akan mengajukan diri untuk menjadi relawan dalam pencarian korban pesawat yang jatuh.Namun, niatku hanyalah tinggal niat saja tanpa ada dukungan. Pihak maskapai tak mengijinkan aku untuk turut serta dalam pencarian Mas Yusuf. Aku menelan kecewa. Masih tak ada kabar apa pun mengenai suamiku. Aku kembali dirundung nestapa. Duduk di kursi besi dengan perasaan duka didampingi Siska di sampingku."Bagaimana ini, Sis?" keluhku seraya menutup wajah senduku dengan kedua telapak tangan.Bahuku diusap Siska. Dia pasti turut sendu dengan kisahku. "Sabar ya. Kamu harus kuat. Semoga Yusuf selamat ya. Meski pun kenyataannya begitu terasa sulit," tuturnya.Deraian air mata seakan menjadi temanku saat ini. Kesedihan lagi-lagi menguasai diri saat kenyataan pahit terus saja menyelimuti.Aku memutuskan pulang tanpa ada jawaban. Satu minggu bahkan telah berlalu namun Mas Yusuf belum juga ditemukan di saat kobran-korban lain mulai diidentifikasi.Aku men
"Apa!" Aku menghela napas lega. Customer service dari maskapai penerbangan mengabarkan kalau suamiku telah ditemukan di suatu gunung namun masih dalam perjalanan pulang.Aku meletakan kembali gagang telepon pada tempatnya setelah petugas maskapai mengakhiri sambungan telepon dan laporannya. Aku langsung menghubungi Bu Anjani untuk memberitahukan berita baik ini. Meski pun aku belum tahu dalam kondisi apa Mas Yusuf saat ditemukan.Setelah memberitahukan Bu Anjani, gegas aku berlari ke kamar Khaila. Adik Mas Yusuf itu harus tahu. Biar bagaimana pun dia harus segera tahu. Meski pun selalu saja jutek kepadaku."Khaila!" Aku mengetuk pintu kamar Khaila yang tertutup rapat."Apa! Ganggu saja!" Suara Khaila berteriak dari dalam kamarnya."Buka, Khaila. Saya ada informasi penting," panggilku lagi yang masih berusaha mengetuk pintu kamar Khaila.Tak lama, pintu dibuka. Khaila menatapku sinis. "Apa?!" "Mas Yusuf ditemukan." Ada air mata yang hendak keluar di sudut mataku. Air mata ini sebagai
Beberapa jam telah berlalu. Kami bertiga sudah diperbolehkan masuk ke ruang ICU satu-persatu. Aku sadar Khaila dan Bu Anjani lebih berhak duluan. Aku menunggu antrian terakhir.Belum apa-apa, aku merasa sedih saat melihat wajah Bu Anjani dan Khaila keluar dari ruang ICU. Mereka tampak sedih sambil menghapus air mata.Sekarang giliranku. Gegas aku masuk dengan memekai pakaian steril terlebih dahulu. Ini adalah kali kedua aku masuk ruang ICU setelah dahulu jantung Mas Yusuf sempat kambuh.Namun kali ini rasanya lebih menyakitkan dari itu. Kepala Mas Yusuf nampak dililit perban berwarna putih sementara tubuhnya terdapat banyak sekali goresan luka. Kantung matanya pucat. Dia masih tertidur dalam komanya.Aku berjalan lebih mendekat. Mengusap punggung tangan Mas Yusuf dengan lembut. Sekuat tenaga aku menahan tangisan, namun sulit. Bulir bening ini tetap saja tumpah di pipi. Rasa sakit ini kembali terasa saat melihat Mas Yusuf tak berdaya. Wajahnya nampak bengkak, begitu pun dengan bagian k
Mas Yusuf masih diam saja dengan tatapan datarnya. Dia tak bicara apa-apa. Bibirnya hendak bergerak tapi terlihat sulit untuk bicara."Mas." Bola mata ini terasa berkaca-kaca. Ada sesuatu yang terbendung di dalam dada."Si-siapa?" Dengan suara terbata-bata Mas Yusuf mengeluarkan pertanyaan. Tatapannya juga tanpa ekspresi.Aku tercengang tak paham dengan pertanyaannya. "Siapa, apanya, Mas?"Kuraih telapak tangan suamiku namun langsung dihempaskannya. Aku terkesiap melihatnya."Kamu siapa?" suara lesunya bertanya lagi namun membuatku semakin dipaksa menelan saliva kecewa."Mas, ini saya. Saya istri kamu, Mas," jawabku segera. Kulihat wajah Mas Yusuf memang nampak kaku dan dingin. Seperti bukan Mas Yusuf yang telah kukenal.Suamiku menggelengkan kepala. Dia menolak jawabanku. Dia bahkan menghempaskan tangan ini saat mencoba meraihnya."Mas, ini saya. Kamu tidak ingat, Mas?" Lirihku berusaha menjelaskan lagi. Yusuf nampak ketakutan padaku. Dia terus menggeleng-gelengkan kepala. Seakan jaw
Khaila menyodorkan kembali ponsel Bu Anjani pada Mas Yusuf yang tatapannya datar."Ini poto kita bertiga, Mas. Aku Khaila dan Mba Anjani adalah adik Mas Yusuf." Khaila menunjukan poto yang bisa ditebak gambar mereka bertiga tanpa kehadiranku.Wajah Mas Yusuf nampak bingung. Mungkin dia masih proses mengingat-ingat pada memory di kepalanya."Saya tidak ingat," ucap Mas Yusuf sambil menggelengkan kepala. Tatapannya masih sama."Mas, aku dan Mba Anjani adik kandung, Mas Yusuf. Kita sudah bersama-sama sejak puluhan tahun." Khaila masih berusaha membangkitkan memory Mas Yusuf.Sementara aku, tak dapat bicara apa-apa. Aku hanya diam seraya menatap sumiku yang terlihat sudah linglung karena amnesia."Sudah, Khai. Biarkan Mas Yusuf mencerna ingatannya terlebih dahulu. Biarkan Mas Yusuf pelan-pelan mengingat kembali memorynya." Bu Anjani melerai. Khaila diam, raut wajahnya nampak emosi menahan kecewa.Mas Yusuf tak menanggapi apa-apa. Responnya datar-datar saja. Sepertinya Mas Yusuf masih kesu