Beberapa jam telah berlalu. Kami bertiga sudah diperbolehkan masuk ke ruang ICU satu-persatu. Aku sadar Khaila dan Bu Anjani lebih berhak duluan. Aku menunggu antrian terakhir.Belum apa-apa, aku merasa sedih saat melihat wajah Bu Anjani dan Khaila keluar dari ruang ICU. Mereka tampak sedih sambil menghapus air mata.Sekarang giliranku. Gegas aku masuk dengan memekai pakaian steril terlebih dahulu. Ini adalah kali kedua aku masuk ruang ICU setelah dahulu jantung Mas Yusuf sempat kambuh.Namun kali ini rasanya lebih menyakitkan dari itu. Kepala Mas Yusuf nampak dililit perban berwarna putih sementara tubuhnya terdapat banyak sekali goresan luka. Kantung matanya pucat. Dia masih tertidur dalam komanya.Aku berjalan lebih mendekat. Mengusap punggung tangan Mas Yusuf dengan lembut. Sekuat tenaga aku menahan tangisan, namun sulit. Bulir bening ini tetap saja tumpah di pipi. Rasa sakit ini kembali terasa saat melihat Mas Yusuf tak berdaya. Wajahnya nampak bengkak, begitu pun dengan bagian k
Mas Yusuf masih diam saja dengan tatapan datarnya. Dia tak bicara apa-apa. Bibirnya hendak bergerak tapi terlihat sulit untuk bicara."Mas." Bola mata ini terasa berkaca-kaca. Ada sesuatu yang terbendung di dalam dada."Si-siapa?" Dengan suara terbata-bata Mas Yusuf mengeluarkan pertanyaan. Tatapannya juga tanpa ekspresi.Aku tercengang tak paham dengan pertanyaannya. "Siapa, apanya, Mas?"Kuraih telapak tangan suamiku namun langsung dihempaskannya. Aku terkesiap melihatnya."Kamu siapa?" suara lesunya bertanya lagi namun membuatku semakin dipaksa menelan saliva kecewa."Mas, ini saya. Saya istri kamu, Mas," jawabku segera. Kulihat wajah Mas Yusuf memang nampak kaku dan dingin. Seperti bukan Mas Yusuf yang telah kukenal.Suamiku menggelengkan kepala. Dia menolak jawabanku. Dia bahkan menghempaskan tangan ini saat mencoba meraihnya."Mas, ini saya. Kamu tidak ingat, Mas?" Lirihku berusaha menjelaskan lagi. Yusuf nampak ketakutan padaku. Dia terus menggeleng-gelengkan kepala. Seakan jaw
Khaila menyodorkan kembali ponsel Bu Anjani pada Mas Yusuf yang tatapannya datar."Ini poto kita bertiga, Mas. Aku Khaila dan Mba Anjani adalah adik Mas Yusuf." Khaila menunjukan poto yang bisa ditebak gambar mereka bertiga tanpa kehadiranku.Wajah Mas Yusuf nampak bingung. Mungkin dia masih proses mengingat-ingat pada memory di kepalanya."Saya tidak ingat," ucap Mas Yusuf sambil menggelengkan kepala. Tatapannya masih sama."Mas, aku dan Mba Anjani adik kandung, Mas Yusuf. Kita sudah bersama-sama sejak puluhan tahun." Khaila masih berusaha membangkitkan memory Mas Yusuf.Sementara aku, tak dapat bicara apa-apa. Aku hanya diam seraya menatap sumiku yang terlihat sudah linglung karena amnesia."Sudah, Khai. Biarkan Mas Yusuf mencerna ingatannya terlebih dahulu. Biarkan Mas Yusuf pelan-pelan mengingat kembali memorynya." Bu Anjani melerai. Khaila diam, raut wajahnya nampak emosi menahan kecewa.Mas Yusuf tak menanggapi apa-apa. Responnya datar-datar saja. Sepertinya Mas Yusuf masih kesu
Aku menunjuk diri sendiri. Bisa-bisanya Khaila menyalahkan aku. Padahal jelas dirinya sendiri yang sedari dari menekan Mas Yusuf."Kenapa saya yang disalahkan?" Setengah berbisik aku bertanya. Mas Yusuf sudah kembali tidur dan istirahat. Aku tak mau mengganggunya."Karena kamu salah! Kamu masih saja berada di sini. Sudah saya bilang kamu segera pergi, tapi memaksa untuk tetap di sini!" Khaila dengan sinisnya.Aku mengusap dada. Khaila benar-benar tak paham kondisi. Dalam kondisi Mas Yusuf seperti ini dia masih saja dengan egonya yang tinggi.Kulirik kembali suamiku. Aku semakin yakin kalau aku harus tetap berada di dekatnya. Meninggalkan Mas Yusuf sama saja membuat keadaan semakin buruk.Aku tak mau menimpali ucapan Khaila yang pedas. "Saya tak akan kemana-mana."Aku membalikan badan lalu duduk di sofa yang berada di ruangan yang sama. Aku pura-pura tidur dengan memejamkan mata yang tak mengantuk. Entahlah, Khaila benar-benar sudah memancing emosiku. Beruntung aku bukan tipe manusia p
Sedikit terkejut namun aku masih berusaha tenang. "Makan dulu ya, Mas," pintaku lagi dengan nada yang sangat dilembut-lembutkan."Saya bisa makan sendiri," ketusnya. Mas Yusuf duduk kemudian meraih piring dalam pangkuanku. Wajahnya datar kemudian makan dengan tangan sendiri karena tak mau disuapi olehku.Aku berusaha tetap tenang dan mengukir senyum. Walau pun Mas Yusuf cuek dan tak membalas tatapanku, aku tetap merasa lega karena suamiku sudah mau makan.Saat Mas Yusuf batuk karena tersendat makanan, aku pun segera menyodorkan air minum kepadanya."Siapa wanita yang bernama, Mia?" Di sela-sela makan siangnya Mas Yusuf mengajukan pertanyaan."Kamu mengingatnya, Mas?" Aku menyeringai senang."Entahlah. Nama itu seperti nama yang sering saya sebut sebelum saya terdampar di tengah hutan." Mas Yusuf menjelaskan.Hening sesaat karena aku merasa bingung. "Mia adalah istri kamu, Mas," balasku.Mas Yusuf kembali diam. "Saya tidak mengingat apa-apa lagi selain nama itu saja," jelasnya lagi."P
Satu minggu setelah pemulihan usai koma. Hari ini Mas Yusuf sudah diperbolehkan pulang. Kami menyambut kabar baik ini dengan wajah semringah. Aku segera mengemasi barang-barang Mas Yusuf yang sempat dibawa Bu Anjani ke rumah sakit. Kepulangan kali ini juga dijemput oleh Bu Anjani dan suaminya.Aku segera mendorong kursi roda yang diduduki Mas Yusuf dengan semangat menuju kendaraan roda empat milik Bu Anjani."Apa Mas Yusuf sudah bisa mengingat, Mba Mia?" tanya Bu Anjani berbisik kepadaku di tengah-tengah langkah.Aku menggelengkan kepala. "Belum, Bu," jawabku."Mba Mia, sabar ya. Saya yakin ingatan Mas Yusuf akan kembali normal." Bu Anjani nampak menguatkanku.Aku mengangguk. Berusaha mengukir senyuman walau sulit.Kami masuk secara bersamaan ke dalam mobil Bu Anjani yang berukuran besar. Rasa bahagia bercampur haru sendu. Bahagia karena akhirnya Mas Yusuf bisa pulang dan berkumpul bersama. Sedihnya karena memory suamiku sedikit tergores sehingga belum mampu mengingatku.Tapi meski pu
Aku kini sudah berada diantara Khaila dan Mas Yusuf."Mas, kalau Mia ini wanita yang baik, mengapa dia lancang menguping pembicaraan kita dan mecampuri dengan tidak sopannya. Dia lancang, Mas," tuduh Khaila lagi."Tidak, Khaila. Mengapa kamu jahat sekali sama saya. Kamu tega. Salah saya apa sama kamu? Harusnya sebagai adik kandung, kamu berusaha memulihkan ingatan suami saya," kesalku pada sang adik ipar yang tak punya hati."Cukup, cukup! Kalian jangan bertengkar di sini. Saya mau istirahat." Mas Yusuf tak membela siapa-siapa diantara kami. Mungkin dia masih ragu dengan ucapan Khaila.Aku menghela napas kesal. Hanya bisa berharap semoga Mas Yusuf tak termakan ucapan adiknya yang pendusta itu."Saya akan keluar, Mas. Ingat selalu hati kecil terdalam. Saya ada di bagian terdalam itu, Mas. Jangan sampai Khaila merusak cinta kita," tuturku pada Mas Yusuf yang masih terlihat kebingungan"Tutup mulut kamu!" Khaila geram."Sudah, Khaila. Keluar dari kamar ini. Kalian berdua keluar. Saya mau
Puluhan menit aku menunggu di dalam kamar. Seseorang dari luar tengah berusaha mendobrak kunci pintu kamarku. Entah siapa. Aku pikir sepertinya security dan Ijah. Semua pembantu di rumah Mas Yusuf memang menghormatiku sebagai suami majikannya. Setidaknya, mereka tidak pro kepada Khaila.Setengah jam berlalu, akhirnya pintu kamar bisa dibuka. Aku menyeringai kemudian melangkah cepat keluar kamar. Dua security dan Ijah nampak tersenyum di depanku."Terima kasih ya," ucapku pada mereka."Sama-sama, Bu. Tapi mohon maaf kunci kamar Ibu jadi rusak. Saya akan segera menggantinya," balas salah satu security."Tidak apa-apa. Karena kalau bukan dengan cara itu, tentu saya bisa benar-benar terjebak di dalam sampai waktu yang tak bisa dipastikan." Aku tersenyum lega."Iya, Bu. Kami berdua permisi ke depan ya." Kedua security langsung pergi dari hadapanku usai kujawab dengan anggukan kepala.Tapi, Ijah masih berada di dekatku. "Mengapa bisa terkunci, Bu? Biasanya kan kuncinya ada di dalam kamar. S