Satu minggu setelah pemulihan usai koma. Hari ini Mas Yusuf sudah diperbolehkan pulang. Kami menyambut kabar baik ini dengan wajah semringah. Aku segera mengemasi barang-barang Mas Yusuf yang sempat dibawa Bu Anjani ke rumah sakit. Kepulangan kali ini juga dijemput oleh Bu Anjani dan suaminya.Aku segera mendorong kursi roda yang diduduki Mas Yusuf dengan semangat menuju kendaraan roda empat milik Bu Anjani."Apa Mas Yusuf sudah bisa mengingat, Mba Mia?" tanya Bu Anjani berbisik kepadaku di tengah-tengah langkah.Aku menggelengkan kepala. "Belum, Bu," jawabku."Mba Mia, sabar ya. Saya yakin ingatan Mas Yusuf akan kembali normal." Bu Anjani nampak menguatkanku.Aku mengangguk. Berusaha mengukir senyuman walau sulit.Kami masuk secara bersamaan ke dalam mobil Bu Anjani yang berukuran besar. Rasa bahagia bercampur haru sendu. Bahagia karena akhirnya Mas Yusuf bisa pulang dan berkumpul bersama. Sedihnya karena memory suamiku sedikit tergores sehingga belum mampu mengingatku.Tapi meski pu
Aku kini sudah berada diantara Khaila dan Mas Yusuf."Mas, kalau Mia ini wanita yang baik, mengapa dia lancang menguping pembicaraan kita dan mecampuri dengan tidak sopannya. Dia lancang, Mas," tuduh Khaila lagi."Tidak, Khaila. Mengapa kamu jahat sekali sama saya. Kamu tega. Salah saya apa sama kamu? Harusnya sebagai adik kandung, kamu berusaha memulihkan ingatan suami saya," kesalku pada sang adik ipar yang tak punya hati."Cukup, cukup! Kalian jangan bertengkar di sini. Saya mau istirahat." Mas Yusuf tak membela siapa-siapa diantara kami. Mungkin dia masih ragu dengan ucapan Khaila.Aku menghela napas kesal. Hanya bisa berharap semoga Mas Yusuf tak termakan ucapan adiknya yang pendusta itu."Saya akan keluar, Mas. Ingat selalu hati kecil terdalam. Saya ada di bagian terdalam itu, Mas. Jangan sampai Khaila merusak cinta kita," tuturku pada Mas Yusuf yang masih terlihat kebingungan"Tutup mulut kamu!" Khaila geram."Sudah, Khaila. Keluar dari kamar ini. Kalian berdua keluar. Saya mau
Puluhan menit aku menunggu di dalam kamar. Seseorang dari luar tengah berusaha mendobrak kunci pintu kamarku. Entah siapa. Aku pikir sepertinya security dan Ijah. Semua pembantu di rumah Mas Yusuf memang menghormatiku sebagai suami majikannya. Setidaknya, mereka tidak pro kepada Khaila.Setengah jam berlalu, akhirnya pintu kamar bisa dibuka. Aku menyeringai kemudian melangkah cepat keluar kamar. Dua security dan Ijah nampak tersenyum di depanku."Terima kasih ya," ucapku pada mereka."Sama-sama, Bu. Tapi mohon maaf kunci kamar Ibu jadi rusak. Saya akan segera menggantinya," balas salah satu security."Tidak apa-apa. Karena kalau bukan dengan cara itu, tentu saya bisa benar-benar terjebak di dalam sampai waktu yang tak bisa dipastikan." Aku tersenyum lega."Iya, Bu. Kami berdua permisi ke depan ya." Kedua security langsung pergi dari hadapanku usai kujawab dengan anggukan kepala.Tapi, Ijah masih berada di dekatku. "Mengapa bisa terkunci, Bu? Biasanya kan kuncinya ada di dalam kamar. S
Dada ini kembang kempis dengan napas yang memburu."Kamu serius, Sis?" Bukan tak yakin dengan Siska, aku hanya memastikan sekali lagi."Serius lah, Mia. Mana bisa aku bergurau dengan kondisi sekacau ini." Siska terdengar sangat yakin."Aku tidak membebaskan Jenifer, Sis. Sepertinya ini perbuatan Khaila," terkaanku."Sepemikiran." Siska mengiyakan."Baik, Siska. Terima kasih atas pemberitahuan ini," ucapku sebelum sambungan telepon ini diakhiri."Sama-sama, Mia. Tapi tunggu, bolehkan aku bertanya satu hal?"Aku mengernyitkan dahi. "Tanya soal apa, Sis?" Berbalik tanya."Ada apa dengan, Khaila? Apa dia jahat sama kamu?" Siska terdengar mengkhawatirkanku.Aku diam beberapa detik. Aku memang belum menceritakan mengenai kelakukan Khaila selama ini. Aku hanya bercerita mengenai keadaan Mas Yusuf yang hilang ingatan."Tidak jahat, Sis. Hanya saja Khaila masih belum benar-benar legowo menerimaku sebagai kakak iparnya," jelasku menyanggah pikiran buruk Siska."Baiklah. Aku merasa lega kalau m
Saat tengah sendiri, aku kembali menangis. Aku yang lemah memang hanya mampu meluruhkan air mata saat mengeluarkan emosi.Aku berdiri di depan jendela kamar yang pintunya belum sempat aku tutup. Menatap keluar kamar dengan taman yang indah di samping rumah Mas Yusuf, namun tak begitu mampu mengobati hati yang kembali sendu.Berkali-kali aku mengusap air mata, namun berkali-kali juga bulir bening ini luruh membanjiri pipi tanpa bisa dikendalikan."Kenapa kamu menangis?" Suara bariton bertanya di belakangnya. Gegas aku menoleh. Aku terkejut lalu segera mengusap pipi yang basa dengan jemari tangan."Mas!" Bibir ini masih tertarik ke bawah. Kedatangan Mas Yusuf di kamarku seperti menambah tangisan."Kamu kenapa menangis? Bukankah kamu sudah mendapatkan apa yang kamu inginkan." Mas Yusuf berbicara dengan wajah datar. Dia bahkan terlihat enggan menatapku."Apa maksud kamu, Mas?" Aku tak mengerti dengan penuturan Mas Yusuf kepadaku. Kening ini sampai mengerut."Kamu sudah mendapatkan saya de
Segera kulajukan kendaraan roda empat milik Mas Yusuf. Tak akan kubiarkan Khaila menghalangi langkahku kali ini. Biarkan dia kelabakan sendiri saat menyadari Mas Yusuf sudah tak ada di kamar tamu."Kita akan pergi kemana?" Dalam perjalanan, Mas Yusuf bertanya.Aku yang fokus dengan setir mobil langsung mengukir senyum. Bahagia rasanya mendengar pertanyaan dari suamiku."Kita akan ke sebuah tempat yang sejuk dan indah. Tempat pertama kali kamu menyatakan cinta sama saya, Mas," jawabku.Mas Yusuf kembali diam. Mungkin dia tengah mengingat-ingat tempat yang aku maksud."Khaila berkata, kamu wanita jahat. Kamu licik telah merebut saya dari tangan Jenifer," kata Mas Yusuf. Sudah kuduga, mulut Khaila memang berbisa. Dia telah berhasil meracuni pikiran Mas Yusuf."Apa kamu percaya dengan cerita, Khaila?" Aku malah bertanya. Hanya ingin tahu saja."Entah kenapa, perasaan saya menolak itu. Saya merasa kalau kamu bukan wanita yang dituduhkan Khaila dan Jenifer," jawab Mas Yusuf.Aku sedikit me
Mas Yusuf menoleh ke arahku. Dia manatapku. Ini adalah tatapan kedua setelah kemarin. Sungguh hati terasa senang."Mas, apa kamu mengingat sesuatu?" gegas kubertanya.Mas Yusuf meluruskan kembali tatapannya. Dia menggeleng pelan."Mas, Mba Mia adalah wanita yang telah mengobati luka di hati Mas Yusuf, akibat masa lalu." Bu Anjani kembali menjelaskan."Saya masih tak ingat apa-apa. Yang terlintas dalam bayangan hanyalah seorang wanita tertangkap basah tengah berselingkuh dengan laki-laki lain. Tapi wajahnya bukan Mia atau pun Jenifer," ungkap Mas Yusuf. Cukup mengejutkan jantungku."Itu adalah wanita di masa lalu, Mas Yusuf. Wanita itu telah meninggal usai tertangkap basah. Dia kecelakaan. Wanita masa lalu itu yang telah membuat Mas Yusuf sulit move on, sampai akhirnya Mba Mia datang dan secara langsung menyembuhkan luka di hati, Mas Yusuf yang telah berkarat." Bu Anjani kembali menjelaskan. Adik Mas Yusuf yang satu ini memang sangat mendukungku. Dia berusaha yang terbaik untuk kakakny
Kutelan dengan tenang rasa kecewa ini. Nampaknya aku harus benar-benar bersabar. "Tidak apa-apa, Mas. Suatu hari nanti ingatan tentang kita pasti akan kembali lagi," tuturku dengan yakin.Mas Yusuf kembali meluruskan pandangannya ke ujung taman. "Tapi sepertinya saya pernah ke ujung sana." Dia meluruskan jari telunjuk pada ujung taman. Tempat saat pertama dia mengecup bibir ini beberapa bulan lalu."Tentu saja pernah, Mas." Aku langsung menyeringai."Kita pernah berdiri di sana," imbuhku."Tapi saya tidak ingat dengan wajah wanita di dekat saya kala itu. Saya hanya merasa pernah berada di sana. Berdiri." Mas Yusuf kembali menerangkan.Aku mengukir senyum. "Setidaknya kamu bisa merasakan kehadiran kita berdua di kala itu."Kali ini Mas Yusuf membalas senyumanku. Gegas aku menceritakan semua cerita-cerita konyol yang sempat kami lewati. Semuanya. Mas Yusuf sesekali menahan tawa. Mungkin dia merasa geli dengan dirinya sendiri kala itu.Di hadapan kami bahkan sudah tersedia makanan dan mi