Dada ini kembang kempis dengan napas yang memburu."Kamu serius, Sis?" Bukan tak yakin dengan Siska, aku hanya memastikan sekali lagi."Serius lah, Mia. Mana bisa aku bergurau dengan kondisi sekacau ini." Siska terdengar sangat yakin."Aku tidak membebaskan Jenifer, Sis. Sepertinya ini perbuatan Khaila," terkaanku."Sepemikiran." Siska mengiyakan."Baik, Siska. Terima kasih atas pemberitahuan ini," ucapku sebelum sambungan telepon ini diakhiri."Sama-sama, Mia. Tapi tunggu, bolehkan aku bertanya satu hal?"Aku mengernyitkan dahi. "Tanya soal apa, Sis?" Berbalik tanya."Ada apa dengan, Khaila? Apa dia jahat sama kamu?" Siska terdengar mengkhawatirkanku.Aku diam beberapa detik. Aku memang belum menceritakan mengenai kelakukan Khaila selama ini. Aku hanya bercerita mengenai keadaan Mas Yusuf yang hilang ingatan."Tidak jahat, Sis. Hanya saja Khaila masih belum benar-benar legowo menerimaku sebagai kakak iparnya," jelasku menyanggah pikiran buruk Siska."Baiklah. Aku merasa lega kalau m
Saat tengah sendiri, aku kembali menangis. Aku yang lemah memang hanya mampu meluruhkan air mata saat mengeluarkan emosi.Aku berdiri di depan jendela kamar yang pintunya belum sempat aku tutup. Menatap keluar kamar dengan taman yang indah di samping rumah Mas Yusuf, namun tak begitu mampu mengobati hati yang kembali sendu.Berkali-kali aku mengusap air mata, namun berkali-kali juga bulir bening ini luruh membanjiri pipi tanpa bisa dikendalikan."Kenapa kamu menangis?" Suara bariton bertanya di belakangnya. Gegas aku menoleh. Aku terkejut lalu segera mengusap pipi yang basa dengan jemari tangan."Mas!" Bibir ini masih tertarik ke bawah. Kedatangan Mas Yusuf di kamarku seperti menambah tangisan."Kamu kenapa menangis? Bukankah kamu sudah mendapatkan apa yang kamu inginkan." Mas Yusuf berbicara dengan wajah datar. Dia bahkan terlihat enggan menatapku."Apa maksud kamu, Mas?" Aku tak mengerti dengan penuturan Mas Yusuf kepadaku. Kening ini sampai mengerut."Kamu sudah mendapatkan saya de
Segera kulajukan kendaraan roda empat milik Mas Yusuf. Tak akan kubiarkan Khaila menghalangi langkahku kali ini. Biarkan dia kelabakan sendiri saat menyadari Mas Yusuf sudah tak ada di kamar tamu."Kita akan pergi kemana?" Dalam perjalanan, Mas Yusuf bertanya.Aku yang fokus dengan setir mobil langsung mengukir senyum. Bahagia rasanya mendengar pertanyaan dari suamiku."Kita akan ke sebuah tempat yang sejuk dan indah. Tempat pertama kali kamu menyatakan cinta sama saya, Mas," jawabku.Mas Yusuf kembali diam. Mungkin dia tengah mengingat-ingat tempat yang aku maksud."Khaila berkata, kamu wanita jahat. Kamu licik telah merebut saya dari tangan Jenifer," kata Mas Yusuf. Sudah kuduga, mulut Khaila memang berbisa. Dia telah berhasil meracuni pikiran Mas Yusuf."Apa kamu percaya dengan cerita, Khaila?" Aku malah bertanya. Hanya ingin tahu saja."Entah kenapa, perasaan saya menolak itu. Saya merasa kalau kamu bukan wanita yang dituduhkan Khaila dan Jenifer," jawab Mas Yusuf.Aku sedikit me
Mas Yusuf menoleh ke arahku. Dia manatapku. Ini adalah tatapan kedua setelah kemarin. Sungguh hati terasa senang."Mas, apa kamu mengingat sesuatu?" gegas kubertanya.Mas Yusuf meluruskan kembali tatapannya. Dia menggeleng pelan."Mas, Mba Mia adalah wanita yang telah mengobati luka di hati Mas Yusuf, akibat masa lalu." Bu Anjani kembali menjelaskan."Saya masih tak ingat apa-apa. Yang terlintas dalam bayangan hanyalah seorang wanita tertangkap basah tengah berselingkuh dengan laki-laki lain. Tapi wajahnya bukan Mia atau pun Jenifer," ungkap Mas Yusuf. Cukup mengejutkan jantungku."Itu adalah wanita di masa lalu, Mas Yusuf. Wanita itu telah meninggal usai tertangkap basah. Dia kecelakaan. Wanita masa lalu itu yang telah membuat Mas Yusuf sulit move on, sampai akhirnya Mba Mia datang dan secara langsung menyembuhkan luka di hati, Mas Yusuf yang telah berkarat." Bu Anjani kembali menjelaskan. Adik Mas Yusuf yang satu ini memang sangat mendukungku. Dia berusaha yang terbaik untuk kakakny
Kutelan dengan tenang rasa kecewa ini. Nampaknya aku harus benar-benar bersabar. "Tidak apa-apa, Mas. Suatu hari nanti ingatan tentang kita pasti akan kembali lagi," tuturku dengan yakin.Mas Yusuf kembali meluruskan pandangannya ke ujung taman. "Tapi sepertinya saya pernah ke ujung sana." Dia meluruskan jari telunjuk pada ujung taman. Tempat saat pertama dia mengecup bibir ini beberapa bulan lalu."Tentu saja pernah, Mas." Aku langsung menyeringai."Kita pernah berdiri di sana," imbuhku."Tapi saya tidak ingat dengan wajah wanita di dekat saya kala itu. Saya hanya merasa pernah berada di sana. Berdiri." Mas Yusuf kembali menerangkan.Aku mengukir senyum. "Setidaknya kamu bisa merasakan kehadiran kita berdua di kala itu."Kali ini Mas Yusuf membalas senyumanku. Gegas aku menceritakan semua cerita-cerita konyol yang sempat kami lewati. Semuanya. Mas Yusuf sesekali menahan tawa. Mungkin dia merasa geli dengan dirinya sendiri kala itu.Di hadapan kami bahkan sudah tersedia makanan dan mi
"Tidak ada yang akan mengusir Mia dari rumah ini!" Tiba-tiba suara bariton menimpali pembicaraan Khaila tadi. "Mas!" Khaila terkejut dia tidak sadar kalau ternyata Mas Yusuf belum meninggalkan kami berdua."Kenapa Mas Yusuf membela wanita ini? Dia bukan siapa-siapa di rumah ini!" khaila meluruskan jari telunjuknya pada wajahku."Saya tidak membela siapa-siapa." Mas Yusuf kembali melangkah mendekati aku dan Khaila. "Saya sedang mengumpulkan cerita-cerita dari memory saya yang hilang. Sebelum ingatan saya kembali pulih, tak akan ada siapa pun yang keluar dari rumah ini," lanjut Mas Yusuf dengan tegasnya.Khaila dia langsung diam dengan raut wajah emosi. Kemudian pergi meninggalkan kami, usai melemparkan tatapan sinisnya padaku."Masuk, Mia. Kamu tidak akan kemana-mana sebelum saya pulih," titah Mas Yusuf. Meski dia hilang ingatan, ketegasannya masih sama. Wataknya juga masih sama.Aku segera masuk ke dalam. Tak ada makan malam, aku dan Mas Yusuf sudah makan di luar.Tiba-tiba ponselk
Wanita itu telah duduk di kursi tamu. Dia menyambutku dengan senyuman tipis. Penuh kemenangan."Ada keperluan apa kamu datang ke sini?" Aku yang masih berdiri langsung saja bertanya kepadanya."Saya ingin bertemu dengan, Yusuf. Bisakah kamu panggilkan dia. Katakan padanya kalau saya menunggunya di ruang tamu." Jenifer memerintah dengan tak tahu malunya."Kamu pikir kamu siapa? Yusuf adalah suami saya. Saya berhak melarang kamu bertemu dengan suami saya." Aku menyilangkan kedua tangan di depan dada. "Kamu jangan merasa berkuasa gitu dong, Mia. Kasihan sekali kamu. Kalau memang Yusuf mencintai kamu, mengapa dia tak ingat dengan bayangan kamu. Dia bahka dengan suka rela membebaskan saya." Jenifer mencibir. Dia masih duduk dengan santai. Sebelah kaki dia tumpangi di atas sebelah kaki yang satunya lagi."Kamu adalah salah satu perempuan yang saya pikir tak tahu malu ya. Datang ke rumah ini untuk bertemu suami orang." Aku menggelengkan kepala tak habis pikir."Sudahlah, Mia. Jangan banyak
Aku langsung menyiapkan makanan untuk Mas Yusuf. Namun, belum sempat Mas Yusuf menyendok makanan di hadapannya, suara Khaila terdengar mengagetkan."Mas, apakah Mba Mia tak mengatakan kalau di depan sedang ada tamu yang menunggu?" Khaila nampak kesal.Mas Yusuf menjawab tanpa menoleh. "Saya lapar dan harus sarapan dahulu.""Tapi, Mba Jenifer sudah menunggu. Hari ini kita ada jadwal, Mas," rengek Khaila.Apa! Jadwal? Akan kemana lagi mereka membawa Mas Yusuf."Saya tak bisa pergi dalam keadaan perut kosong," jawab Mas Yusuf lagi."Tapi kan bisa sarapan di luar," rengek Khaila lagi."Saya sudah masak kok, Khaila. Kita sarapan bersama saja. Tak usah makan di luar," ajakku berusaha tetap tenang."Tak sudi!" desis Khaila menolak."Khaila, apa kamu lupa. Mas Yusuf memiliki riwayat asam lambung. Pola makan Mas Yusuf harus dijaga. Tidak boleh telat makan," terangku hanya mengingatkan.Mendengar penerangan dariku, seketika Mas Yusuf mendongak. "Asam lambung. Sepertinya saya ingat," celetuknya.
Siang ini 40 hari sudah setelah kelahiran Yusra dan Yumna. Kediaman Yusuf nampak dipenuhi bunga serba putih. Semua dekorasi serba putih. Ini bukan sedang berpesta, melainkam sedang ada acara aqiqah si kembar Yusra dan Yumna.Dua bayi kembar yang lucu yang memakai pakaian muslim ala-ala bayi, sudah dibawa pengasuhnya masing-masing ke tengah-tengah pengajian. Sebagai rasa syukur yang luar biasa pada Tuhan, Yusuf dan Mia menggelar acara pengajian sekaligus aqiqahan untuk bayi kembarnya. Bukan hanya itu, Yusuf dan Mia juga mengadakan santunan anak yatim yang diundang dari salah satu panti asuhan yatim piatu di kota Jakarta. Yusuf berharap, anak-anak yang kurang beruntung itu bisa merasakan kebahagiaan yang kini tengah dia rasakan.Kediaman Zubair dipenuhi banyak jamaah pengajian dan anak yatim piatu yang hadir. Mereka membacakaan dzikir dan puji-pujian. Menggunting rambut si kembar Yusra dan Yumna secara bergantian.Seperti ada cahaya yang terpancar pada bayi kembar Yusra dan Yumna kali i
Benar saja dengan apa yang sudah ditebak sebelumnya. Kediaman Zubair nampak ramai oleh suara tangisan bayi yang silih berganti. Sudah menjadi kebiasaan bayi yang pusarnya belum copot memang agak rewel. Akan tetapi Mia nampak piawai menghandle. Mungkin karena bukan yang pertama kalinya, jadi Mia sudah paham.Bayi kembar yang mungil nampak anteng apabila dalam gendongan Mia. Mungkin karena bayi kembar itu merasakan kenyamanan saat berada di dekat orang tuanya."Kenapa kalian tidak bisa menghandle? Bukankah kalian sudah pengalaman sebagai baby sitter! Dimana keahlian kalian?!" Suara Yusuf terdengar mengeras di kamar anaknya. Dia bicara pada dua pengasuh anaknya."Sstt! Mas, jangan begitu dong." Mia meluruskan jari telunjuknya di depan bibir.Rupanya Yusuf tengah memarahi dua baby sitter anaknya yang tampak tak bisa menghandle tugas. Dua anak kembar Mia dan Yusuf hanya bisa anteng dan tak menangis saat berada dalam dekapan mamanya."Habisnya mereka salah, Sayang. Kamu kan belum benar-bena
Banyak sekali yang harus dipelajari Mia setelah operasi. Mulai dari belajar tidur miring kiri miring kanan, belajar bangun sendiri kemudian sampai berjalan.Yusuf mendukung Mia yang belajar dengan antusias. Saat ini bahkan Mia sudah berada di ruangan rawat inap. Banyak sekali perjuangan yang telah dia lakukan untuk anak kembarnya.Mia juga mulai memberikan asi pertamanya untuk kedua anak kembar, meski pun belum ada asi putih yang keluar. Anak kembar itu juga akan dibantu susu formula karena asi Mia belum keluar dan mungkin tak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan dua anak kembar."Sayang, anak kita cantik dan tampan ya. Mirip sekali dengan wajah mamanya. Mamanya cantik sih, jadi anaknya juga cantik dan tampan," kata Yusuf tanpa bisa berhenti menatap wajah anak kembarnya. Rasa syukur pada Tuhan pun ia ungkapkan berkali-kali atas rasa bahagia yang sangat luar biasa."Papanya juga tampan, Mas. Makanya saya jatuh cinta," balas Mia pada suaminya. Dia kini sudah bisa berbicara."Masa sih?" Y
Saat ini Mia masih berada di ruang rawat inap. Operasi akan dilakukan besok siang pukul sepuluh pagi. Mia tengah beristirahat membaringkan tubuhnya di atas bed pasien."Sayang, perutnya masih sakit?" Yusuf mengusap kening istrinya. Ia duduk di kursi yang ada di dekat ranjang. Dalam benaknya berkecamuk rasa. Khawatir cemas bercampur jadi satu. Apalagi saat melihat wajah Mia yang terlihat layu."Tak terlalu sakit, Mas. Semoga besok pagi operasinya lancar ya." Suara Mia terdengar lemas. Yusuf mengecup kembali kening Mia. "Sayang, tentu saja saya do'akan semoga operasinya lancar. Kamu dan bayi kita selamat. Kamu harus semangat dan kuat, karena ini adalah impian kita berdua," ia menyemangati."Iya, Mas. Saya akan berjuang. Saya akan semangat," balas Mia.Sejujurnya Yusuf tidak tega melihat Mia yang tiba-tiba meringgis kesakitan. Namun, jadwal caesar memang sudah ditentukan dan surat perjanjian sudah ditanda tangani. Ia tak tega melihat istrinya kesakitan. Andai tak malu dengan diri sendir
Yusuf dan Mia telah sampai di depan rumah sakit. Mereka langsung duduk di kursi tunggu karena nomor antrian telah diambilkan oleh anak buahnya.Yusuf mengusap perut Mia. Walau di depan banyak orang, Yusuf tak mau perduli. Rasa sayangnya pada Mia menutup matanya dari orang-orang yang ada di sekelilingnya."Nyonya Mia Lestari!"Saat namanya dipanggil, Mia dan Yusuf langsung berdiri. Dia segera masuk ke ruang Dokter kandungan.Setelah ditanya-tanya sebentar, Dokter langsung menyuruh Mia berbaring di atas bed pasien. Perut buncitnya dioleskan cairan dan alat USG langsung ditempelkan pada perut Mia.Bola mata Yusuf seketika berkaca-kaca melihat calon anaknya pada layar monitor."Selamat ya, Pak. Tuhan memberikan bayi kembar. Sepertinya jenis kelaminnya sepasang ni," kata Dokter sambil terus menempelkan alat USG di perut Mia. Sementara layar monitir menampilkan hasilnya."Apa! Kembar, Dok?" Yusuf terbelalak. Pun dengan Mia yang terkejut."Serius, Dok?" Timpal Mia. Mulutnya sedikit terbuka k
Pagi hari di cappadocia.Sinar matahari telah masuk menerobos jendela kamar. Keduanya masih asik dalam mimpi indah usai bergelut dalam permainan panas semalam.Mata Mia menyipit saat mulai membuka kelopak matanya. Ia sadar dari mimpi indah semalaman tadi. Ia terkejut saat sadar telah bangun keiangan."Ya ampun! Kesiangan!" Mia bangkit dari tempat tidur. Dia bahkan masih memakai lingerie berwarna silver sisa semalam. Ia menuju kamar mandi dan akan segera membersihkan tubuhnya.Perut mulusnya mulai terlihat membuncit. Mia keluar dari kamar mandi dengan rambut yang terlihat basah. Sepertinya harus segera dikeringkan. Melihat ke atas ranjang, Yusuf tampak masih terlelap dalam tidurnya. Cuaca dingin membuat suami Mia tampak nyaman di balik selimut tebal yang menutupi tubuhnya yang hanya memakai bokser saja."Sayang, jam berapa?" Suara serak pria yang masih terbaring di atas ranjang, tampak membuka sedikit kelopak matanya. Terlihat kelelahan."Sudah siang, Mas. Cepetan mandi. Katanya mau ng
Satu bulan kemudian."Mas, koper punya saya mana?" Mia mencari koper miliknya. Mereka kini dalam perjalanan menuju bandara. Perut Mia kali ini sudah terlihat menonjol ke depan. Semakin nampak kalau dia tengah hamil.Sejak satu minggu yang lalu semua telah dipersiapkan. Mulai dari tiket, paspor dan perlengkapan yang lainnya. Yusuf juga telah konsultasi ke Dokter kandungan Mia. Beruntung janin yang ada dalam perut Mia dalam keadaan sehat dan bisa diajak jalan-jalan ke luar negri."Sepertinya sudah dimasukan Ijah ke dalam bagasi," jawab Yusuf menerka saja. Padahal dia tak terlalu yakin. Ia mengusap kening mengiyakan saja dari pada salah. Maklum semenjak hamil, Mia jadi sering baperan dan Yusuf paham akan hal itu."Baguslah, Mas. Soalnya saya tak melihatnya tadi. Mungkin karena Ijah telah merapihkannya." Mia bergelayut manja di dada bidang milik suaminya. Sementara supir yang mengemudikan mobil tetap fokus ke jalan raya.Bersamaan dengan itu ponsel Mia nampak berdering ada panggilan masuk
Hampir satu jam Yusuf mengantri di cafe martabak itu. Dia memijat pelipis karena baru kali ini dia rasakan rasanya menunggu sungguh membosankan."Mas, apa masih lama?" Akhirnya memberanikan diri bertanya karena sudah merasa kesal."Sebentar lagi kok, Pak. Hanya tinggal satu orang lagi," jawab pelayan cafe dengan ramahnya."Oke baik." Yusuf memutuskan untuk menunggu lagi. Semua itu semata-mata demi sang istri tercinta yang tengah mengandung buah hatinya.Dengan tambahan waktu lima belas menit akhirnya dua dus martabak pesanan Mia telah selesai dibuat dan kini sudah berada dalam genggaman. Yusuf segera kembali ke rumah. Dia sudah tidak sabar ingin melihat senyuman istrinya malam ini. Apalagi imbalannya yang akan menengok dede bayi dalam kandungan, tentu saja semakin membuat dia semangat.Perjalanan malam ini sangat cepat karena suasana jalanan yang sepi Yusuf tiba di rumah lebih cepat. Ia segera masuk ke kamar menenteng dus martabak pesanan istrinya."Sayang, ini pesanan kamu." Yusuf me
Sampai satu hari berganti, keadaan Mia masih saja tetap sama. Tubuhnya lemas ia tak berdaya. Mual muntah. Setiap kali ada makanan yang masuk maka kembali ia muntahkan.Yusuf yang siaga, segera membawa istrinya ke Dokter. Ia tak akan membiarkan Mia kesakitan.Yusuf kini tengah memunggu di depan ruang pemeriksaan. Salah satu perawat memanggilnya atas perintah Dokter. Dia segera menghadap dan duduk di kursi yang berseberangan dengan Dokter."Selamat, Pak!" Dokter wanita berlesung pipit itu menyodorkan tangannya ke hadapan Yusuf. Yusuf mengernyitkan dahi saat Dokter yang telah memeriksa istrinya itu malah mengajak berjabat tangan."Selamat untuk apa, Dok?" Yusuf kemudian bertanya karena tak paham."Selamat karena Bu Mia positif hamil. Sebentar lagi Pak Yusuf akan jadi seorang Ayah," jelas wanita berjas putih itu.Tentu saja Yusuf menyeringai senang mendengar berita yang baru saja di dengarnya."Apa!" Yusuf langsung beranjak menghampiri Mia yang duduk di atas ranjang rumah sakit usai dipe