Aku langsung menyiapkan makanan untuk Mas Yusuf. Namun, belum sempat Mas Yusuf menyendok makanan di hadapannya, suara Khaila terdengar mengagetkan."Mas, apakah Mba Mia tak mengatakan kalau di depan sedang ada tamu yang menunggu?" Khaila nampak kesal.Mas Yusuf menjawab tanpa menoleh. "Saya lapar dan harus sarapan dahulu.""Tapi, Mba Jenifer sudah menunggu. Hari ini kita ada jadwal, Mas," rengek Khaila.Apa! Jadwal? Akan kemana lagi mereka membawa Mas Yusuf."Saya tak bisa pergi dalam keadaan perut kosong," jawab Mas Yusuf lagi."Tapi kan bisa sarapan di luar," rengek Khaila lagi."Saya sudah masak kok, Khaila. Kita sarapan bersama saja. Tak usah makan di luar," ajakku berusaha tetap tenang."Tak sudi!" desis Khaila menolak."Khaila, apa kamu lupa. Mas Yusuf memiliki riwayat asam lambung. Pola makan Mas Yusuf harus dijaga. Tidak boleh telat makan," terangku hanya mengingatkan.Mendengar penerangan dariku, seketika Mas Yusuf mendongak. "Asam lambung. Sepertinya saya ingat," celetuknya.
Khaila masih mematung sambil memperlihatkan wajah sendunya. Bibirnya bergetar seperti kesulitan untuk membela diri."Mas, saya hanya ingin kamu tidak dibohongi lagi oleh, Mia," lirih Khaila. Aku dibuat tercengang."Saya tidak membohongi Mas Yusuf, Khaila," sanggahku segera membela diri. Aku tak terima."Khaila, cukup. Saya sudah dewasa, melebihi kamu. saya tahu mana yang bohong dan mana yang jujur," tekan Mas Yusuf menimpali lagi."Kamu hanya sedang terbuai, Mas. Aku ini adik kamu. Aku menginginkan yang terbaik untuk kamu, Mas." Khaila membela diri. Dia bahkan mampu meneteskan air mata di hadapan Mas Yusuf. Entah itu tangisan dusta atau malah yang sebenarnya."Sudahlah, Khaila. Saya tidak ingin berdebat dengan siapa pun. Saya pun merasa kalau saya menyayangi kamu." Mas Yusuf beranjak dan hendak meninggalkan ruang makan.Tapi, seketika Khaila menahan langkah Mas Yusuf. "Tunggu, Mas.""Apa lagi?" Mas Yusuf menghentikan langkah dengan berat."Kita akan pergi sekarang, Mas. Tapi aku mohon
Mas Yusuf tak menjawab pertanyaanku. Dia berlalu begitu saja. Aku tak bisa menebak alasan apa yang membuat wajah Mas Yusuf ditekuk."Apa yang terjadi dengan Mas Yusuf, Khaila?" Aku mengalihkan pertanyaanku pada Khaila. Wajah dia tak jauh berbeda seperti Mas Yusuf."Hukum karma memang nyata, Mia. Kamu siap-siap saja dengan hukuman yang akan diberikan Tuhan kepadamu," jawab Khaila dengan ketusnya."Apa maksud kamu?" Aku masih tak paham."Nanti kamu akan tahu sendiri. Selamat menikmati buah dari kelicikan kamu selama ini." Dengan acuh Khaila berlalu begitu meninggalakanku.Aku masih tak paham dengan jawaban Khaila. Aku langsung menemui orang suruhanku, bodyguard yang hari ini membuntuti perjalanan Mas Yusuf."Apa yang telah terjadi selama Mas Yusuf pergi?" tanyaku langsung tanpa basa-basi. Kulihat tak ada yang aneh pada wajah pria sangar di hadapanku."Tak ada yang aneh, Bu. Mereka hanta ke makam Pak Reynaldi, setelah itu ke rumah sakit," jelas bodyguard kepercayaan Mas Yusuf."Ada yang
Aku menggelengkan kepala. Remuk jantungku seketika tak mampu memompa napas yang kian terasa sesak."Tidak mungkin, Mas. Saya tahu siapa kamu, Mas. Sebelum kecelakaan itu menggores ingatan kamu, kamu sangat meyakinkan saya kalau hati kamu hanya untuk saya," bantahku lagi. Tak terasa air mata seketika tumpah ruah di pipi seiring dengan rasa sakit di bagian dada yang terdalam."Saya tidak tahu, Mia. Saya tak dapat mengingat kejadian sebelumnya. Tapi bukti USG telah nyata. Jenifer meminta tanggung jawab saya, karena semakin hari perutnya akan semakin membesar," terang Mas Yusuf. Dia tampak memijat pelipisnya. Aku yakin dalam hati kecilnya ia merasakan keyakinan yang sama seperti yang aku rasakan."Bukti USG memang mampu menyatakan kehamilan, Jenifer. Tapi bukan berarti janin yang ada dalam kandungannya itu adalah hasil perbuatan kamu, Mas. Saya yakin semua ini hanyalah dusta." Aku berusaha meyakinkan Mas Yusuf atas bantahan ini."Jenifer bahkan menantang saya untuk tes DNA setelah anaknya
"Hei, kenapa?" Siska terkejut dengan permintaanku kali ini. Dia menatapku nanar."Bu, kenapa harus pergi? Jangan kemana-mana." Ijah menimpali. Tatapan asisten rumah tangga itu bukan lagi nanar, melainkan sendu melihat tangisanku."Mia, jangan memutuskan sesuatu saat sedang emosi. Kita akan bicara terlebih dahulu. Tenangkan pikiran kamu," tutur Siska menenangkanku. Ia kemudian menoleh pada Ijah."Mba, minta tolong buatkan teh hangat untuk Mia ya," pintanya pada Ijah yang dibalas anggukan kepala oleh asisten rumah tangga itu.Ijah pergi memenuhi perintah Siska. Sementara aku dibawanya masuk kembali ke dalam kamar untuk bicada berdua.Kebetulan di dalam kamarku tersedia sofa yang sedikit panjang, Siska mendudukanku di sana. Dia duduk di sampingku. "Apa yang membuat kamu tampak putus asa? Ini seperti bukan Mia yang aku kenal," tanya Siska mulai menelaah."Bagaimanana aku tak putus asa, Sis. Mas Yusuf meminta izin untuk menikah lagi," jawabku berat."Apa!" Siska terkejut. Bersamaan dengan
"Mia, tetap bertahan. Ikuti akurnya. Perjuangkan suami kamu yang belum tentu bersalah." Siska kembali memberis saran."Iya, Mba Mia. Jangan pergi kemana-mana sampai Mas Yusuf benar-benar pulih ingatannya," timpal Bu Anjani."Lalu, saya harus membiarkan Mas Yusuf menikah dengan orang lain?" Aku kembali bertanya."Saya tak akan tinggal diam kok, Mba Mia. Kalau Mas Yusuf harus bertanggung jawab atas kehamilan jenifer, maka kita akan melakukan surat perjanjian di atas materai," ucap Bu Anjani."Surat perjanjian apa?" Aku mengernyitkan dahi."Surat perjanjian pra nikah. Mas Yusuf tak boleh menyentuh Jenifer sebelum anak itu lahir dan tes DNA dilakukan. Kita tunggu sampai anak itu lahir dan semuanya kita buktikan dengan jelas," tutur Bu Anjani dengan yakinnya."Jadi, saya harus tetap mengijinkan pernikahan antara Mas Yusuf dan Jenifer?" Suaraku berat."Saya juga sebenarnya berat, Mba. Tapi mau bagaimana lagi, Jenifer menekan. Dia berkali-kali menyodorkan bukti. Saya bingung harus memutuskan
Mendengar jawaban Jenifer, sungguh isi dadaku terasa dicabik-cabik. Entah mulutnya terbuat dari apa, sehingga pandai sekali membolak-balikan fakta."Sudahlah, kalau kamu menginginkan tanggung jawab dari Mas Yusuf, segera tanda tangani surat itu. Karena kalau kamu tidak setuju, silahkan kamu angkat kaki dan jangan pernah meminta pertanggung jawaban dari suami saya." Aku masih berusaha tetap tenang."Tak kusangka kamu benar-benar licik," cibir Jenifer berdesis."Jaga mulut kamu, karena saya tidak seperti itu," bantahku segera. Entah kekuatan dari mana, aku cukup tegas hari ini tanpa ada air mata yang sebelumnya terus saja mengaliri pipi.Jenifer kembali diam. Kulihat dadanya kembang kempis mungkin tengah menahan emosi.Hening sejenak. Bahkan Mas Yusuf menyerahkan semua keputusan kepadaku saat ia belum mampu mengingat apa-apa."Oke, saya akan menyetujui surat perjanjian ini." Jenifer mulai mengambil pulpen yang telah kusodorkan."Tunggu, Jenifer. Kamu belum membaca lembar ketiga sebagai
Hasil therapi hari ini masih sama, belum ada perubahan apa-apa. Aku tak akan menyerah."Semangat ya, Mas. Saya yakin perlahan ingatan kamu akal pulih," ucapku pada Mas Yusuf yang duduk di sampingku. Kami dalam perjalanan pulang."Iya saya juga yakin." Mas Yusuf tersenyum semangat."Mia, apa kamu akan baik-baik saja saat pernikahan dengan Jenifer benar-benar terjadi?" Dia bertanya kepadaku sambil malayangkan tatapan seperti merasa bersalah."Bagaimana dengan perasaan kamu, Mas? Apa kamu memang memiliki perasaan lebih pada, Jenifer?" Aku malah berbalik tanya sementara kedua tangan tetap fokus di atas setir mobil."Tidak tahu, Mia. Tidak ada perasaan yang lebih saat berdekatan dengan, Jenifer. Sungguh berbeda saat berdekatan dengan kamu. Ada getaran di dalam dada saat kamu berada di dekat saya. Entah itu apa." Mas Yusuf menatapku."Karena kita saling mencintai, Mas. Kamu selalu meyakinkan saya atas perasaan kamu. Tapi entah kenapa aku merasa tak yakin kalau kamu dan Jenifer telah melakuk