Khaila masih mematung sambil memperlihatkan wajah sendunya. Bibirnya bergetar seperti kesulitan untuk membela diri."Mas, saya hanya ingin kamu tidak dibohongi lagi oleh, Mia," lirih Khaila. Aku dibuat tercengang."Saya tidak membohongi Mas Yusuf, Khaila," sanggahku segera membela diri. Aku tak terima."Khaila, cukup. Saya sudah dewasa, melebihi kamu. saya tahu mana yang bohong dan mana yang jujur," tekan Mas Yusuf menimpali lagi."Kamu hanya sedang terbuai, Mas. Aku ini adik kamu. Aku menginginkan yang terbaik untuk kamu, Mas." Khaila membela diri. Dia bahkan mampu meneteskan air mata di hadapan Mas Yusuf. Entah itu tangisan dusta atau malah yang sebenarnya."Sudahlah, Khaila. Saya tidak ingin berdebat dengan siapa pun. Saya pun merasa kalau saya menyayangi kamu." Mas Yusuf beranjak dan hendak meninggalkan ruang makan.Tapi, seketika Khaila menahan langkah Mas Yusuf. "Tunggu, Mas.""Apa lagi?" Mas Yusuf menghentikan langkah dengan berat."Kita akan pergi sekarang, Mas. Tapi aku mohon
Mas Yusuf tak menjawab pertanyaanku. Dia berlalu begitu saja. Aku tak bisa menebak alasan apa yang membuat wajah Mas Yusuf ditekuk."Apa yang terjadi dengan Mas Yusuf, Khaila?" Aku mengalihkan pertanyaanku pada Khaila. Wajah dia tak jauh berbeda seperti Mas Yusuf."Hukum karma memang nyata, Mia. Kamu siap-siap saja dengan hukuman yang akan diberikan Tuhan kepadamu," jawab Khaila dengan ketusnya."Apa maksud kamu?" Aku masih tak paham."Nanti kamu akan tahu sendiri. Selamat menikmati buah dari kelicikan kamu selama ini." Dengan acuh Khaila berlalu begitu meninggalakanku.Aku masih tak paham dengan jawaban Khaila. Aku langsung menemui orang suruhanku, bodyguard yang hari ini membuntuti perjalanan Mas Yusuf."Apa yang telah terjadi selama Mas Yusuf pergi?" tanyaku langsung tanpa basa-basi. Kulihat tak ada yang aneh pada wajah pria sangar di hadapanku."Tak ada yang aneh, Bu. Mereka hanta ke makam Pak Reynaldi, setelah itu ke rumah sakit," jelas bodyguard kepercayaan Mas Yusuf."Ada yang
Aku menggelengkan kepala. Remuk jantungku seketika tak mampu memompa napas yang kian terasa sesak."Tidak mungkin, Mas. Saya tahu siapa kamu, Mas. Sebelum kecelakaan itu menggores ingatan kamu, kamu sangat meyakinkan saya kalau hati kamu hanya untuk saya," bantahku lagi. Tak terasa air mata seketika tumpah ruah di pipi seiring dengan rasa sakit di bagian dada yang terdalam."Saya tidak tahu, Mia. Saya tak dapat mengingat kejadian sebelumnya. Tapi bukti USG telah nyata. Jenifer meminta tanggung jawab saya, karena semakin hari perutnya akan semakin membesar," terang Mas Yusuf. Dia tampak memijat pelipisnya. Aku yakin dalam hati kecilnya ia merasakan keyakinan yang sama seperti yang aku rasakan."Bukti USG memang mampu menyatakan kehamilan, Jenifer. Tapi bukan berarti janin yang ada dalam kandungannya itu adalah hasil perbuatan kamu, Mas. Saya yakin semua ini hanyalah dusta." Aku berusaha meyakinkan Mas Yusuf atas bantahan ini."Jenifer bahkan menantang saya untuk tes DNA setelah anaknya
"Hei, kenapa?" Siska terkejut dengan permintaanku kali ini. Dia menatapku nanar."Bu, kenapa harus pergi? Jangan kemana-mana." Ijah menimpali. Tatapan asisten rumah tangga itu bukan lagi nanar, melainkan sendu melihat tangisanku."Mia, jangan memutuskan sesuatu saat sedang emosi. Kita akan bicara terlebih dahulu. Tenangkan pikiran kamu," tutur Siska menenangkanku. Ia kemudian menoleh pada Ijah."Mba, minta tolong buatkan teh hangat untuk Mia ya," pintanya pada Ijah yang dibalas anggukan kepala oleh asisten rumah tangga itu.Ijah pergi memenuhi perintah Siska. Sementara aku dibawanya masuk kembali ke dalam kamar untuk bicada berdua.Kebetulan di dalam kamarku tersedia sofa yang sedikit panjang, Siska mendudukanku di sana. Dia duduk di sampingku. "Apa yang membuat kamu tampak putus asa? Ini seperti bukan Mia yang aku kenal," tanya Siska mulai menelaah."Bagaimanana aku tak putus asa, Sis. Mas Yusuf meminta izin untuk menikah lagi," jawabku berat."Apa!" Siska terkejut. Bersamaan dengan
"Mia, tetap bertahan. Ikuti akurnya. Perjuangkan suami kamu yang belum tentu bersalah." Siska kembali memberis saran."Iya, Mba Mia. Jangan pergi kemana-mana sampai Mas Yusuf benar-benar pulih ingatannya," timpal Bu Anjani."Lalu, saya harus membiarkan Mas Yusuf menikah dengan orang lain?" Aku kembali bertanya."Saya tak akan tinggal diam kok, Mba Mia. Kalau Mas Yusuf harus bertanggung jawab atas kehamilan jenifer, maka kita akan melakukan surat perjanjian di atas materai," ucap Bu Anjani."Surat perjanjian apa?" Aku mengernyitkan dahi."Surat perjanjian pra nikah. Mas Yusuf tak boleh menyentuh Jenifer sebelum anak itu lahir dan tes DNA dilakukan. Kita tunggu sampai anak itu lahir dan semuanya kita buktikan dengan jelas," tutur Bu Anjani dengan yakinnya."Jadi, saya harus tetap mengijinkan pernikahan antara Mas Yusuf dan Jenifer?" Suaraku berat."Saya juga sebenarnya berat, Mba. Tapi mau bagaimana lagi, Jenifer menekan. Dia berkali-kali menyodorkan bukti. Saya bingung harus memutuskan
Mendengar jawaban Jenifer, sungguh isi dadaku terasa dicabik-cabik. Entah mulutnya terbuat dari apa, sehingga pandai sekali membolak-balikan fakta."Sudahlah, kalau kamu menginginkan tanggung jawab dari Mas Yusuf, segera tanda tangani surat itu. Karena kalau kamu tidak setuju, silahkan kamu angkat kaki dan jangan pernah meminta pertanggung jawaban dari suami saya." Aku masih berusaha tetap tenang."Tak kusangka kamu benar-benar licik," cibir Jenifer berdesis."Jaga mulut kamu, karena saya tidak seperti itu," bantahku segera. Entah kekuatan dari mana, aku cukup tegas hari ini tanpa ada air mata yang sebelumnya terus saja mengaliri pipi.Jenifer kembali diam. Kulihat dadanya kembang kempis mungkin tengah menahan emosi.Hening sejenak. Bahkan Mas Yusuf menyerahkan semua keputusan kepadaku saat ia belum mampu mengingat apa-apa."Oke, saya akan menyetujui surat perjanjian ini." Jenifer mulai mengambil pulpen yang telah kusodorkan."Tunggu, Jenifer. Kamu belum membaca lembar ketiga sebagai
Hasil therapi hari ini masih sama, belum ada perubahan apa-apa. Aku tak akan menyerah."Semangat ya, Mas. Saya yakin perlahan ingatan kamu akal pulih," ucapku pada Mas Yusuf yang duduk di sampingku. Kami dalam perjalanan pulang."Iya saya juga yakin." Mas Yusuf tersenyum semangat."Mia, apa kamu akan baik-baik saja saat pernikahan dengan Jenifer benar-benar terjadi?" Dia bertanya kepadaku sambil malayangkan tatapan seperti merasa bersalah."Bagaimana dengan perasaan kamu, Mas? Apa kamu memang memiliki perasaan lebih pada, Jenifer?" Aku malah berbalik tanya sementara kedua tangan tetap fokus di atas setir mobil."Tidak tahu, Mia. Tidak ada perasaan yang lebih saat berdekatan dengan, Jenifer. Sungguh berbeda saat berdekatan dengan kamu. Ada getaran di dalam dada saat kamu berada di dekat saya. Entah itu apa." Mas Yusuf menatapku."Karena kita saling mencintai, Mas. Kamu selalu meyakinkan saya atas perasaan kamu. Tapi entah kenapa aku merasa tak yakin kalau kamu dan Jenifer telah melakuk
Aku berjalan menuju kamar bayi. Sementara Khaila berlenggang masuk ke kamarnya tanpa merasa risih saat suara tangisan bayi terdengar ke luar."Ya Tuhan, kamu sendirian ternyata." Gegas aku menyodok bayi Khaila dari dalam tempat tidurnya. Aku menggendong sambil di ayun-ayun. Rupanya bayi ini kehausan.Sudah tersedia perlengkapan susu di kamar bayi termasuk air panasnya di sana. Entah ini sengaja atau tidak, yang pasti bayi ini tetap harus dijaga.Malam ini aku tidur di kamar bayi berduaan. Mengesampingkan sejenak keresahan di dalam dada. Aku menyayangi anak Khaila seperti anakku sendiri. Mengusap kepalanya, mengecup keningnya, sampai bayi itu kembali tidur usai meneguk satu botol air susu yang telah kubuat."Nak, malam ini Tante akan tidur di sini. Kita memang sudah lama tak tidur bersama. Tante kangen sama kamu." Aku berbicara sendiri sambil mengusap-usap bayi cantik dan mungil ini.Entah kenapa dengan Khaila, dia sama sekali tak mau mengurus bayinya. Padahal anak adalah anugerah yang
Siang ini 40 hari sudah setelah kelahiran Yusra dan Yumna. Kediaman Yusuf nampak dipenuhi bunga serba putih. Semua dekorasi serba putih. Ini bukan sedang berpesta, melainkam sedang ada acara aqiqah si kembar Yusra dan Yumna.Dua bayi kembar yang lucu yang memakai pakaian muslim ala-ala bayi, sudah dibawa pengasuhnya masing-masing ke tengah-tengah pengajian. Sebagai rasa syukur yang luar biasa pada Tuhan, Yusuf dan Mia menggelar acara pengajian sekaligus aqiqahan untuk bayi kembarnya. Bukan hanya itu, Yusuf dan Mia juga mengadakan santunan anak yatim yang diundang dari salah satu panti asuhan yatim piatu di kota Jakarta. Yusuf berharap, anak-anak yang kurang beruntung itu bisa merasakan kebahagiaan yang kini tengah dia rasakan.Kediaman Zubair dipenuhi banyak jamaah pengajian dan anak yatim piatu yang hadir. Mereka membacakaan dzikir dan puji-pujian. Menggunting rambut si kembar Yusra dan Yumna secara bergantian.Seperti ada cahaya yang terpancar pada bayi kembar Yusra dan Yumna kali i
Benar saja dengan apa yang sudah ditebak sebelumnya. Kediaman Zubair nampak ramai oleh suara tangisan bayi yang silih berganti. Sudah menjadi kebiasaan bayi yang pusarnya belum copot memang agak rewel. Akan tetapi Mia nampak piawai menghandle. Mungkin karena bukan yang pertama kalinya, jadi Mia sudah paham.Bayi kembar yang mungil nampak anteng apabila dalam gendongan Mia. Mungkin karena bayi kembar itu merasakan kenyamanan saat berada di dekat orang tuanya."Kenapa kalian tidak bisa menghandle? Bukankah kalian sudah pengalaman sebagai baby sitter! Dimana keahlian kalian?!" Suara Yusuf terdengar mengeras di kamar anaknya. Dia bicara pada dua pengasuh anaknya."Sstt! Mas, jangan begitu dong." Mia meluruskan jari telunjuknya di depan bibir.Rupanya Yusuf tengah memarahi dua baby sitter anaknya yang tampak tak bisa menghandle tugas. Dua anak kembar Mia dan Yusuf hanya bisa anteng dan tak menangis saat berada dalam dekapan mamanya."Habisnya mereka salah, Sayang. Kamu kan belum benar-bena
Banyak sekali yang harus dipelajari Mia setelah operasi. Mulai dari belajar tidur miring kiri miring kanan, belajar bangun sendiri kemudian sampai berjalan.Yusuf mendukung Mia yang belajar dengan antusias. Saat ini bahkan Mia sudah berada di ruangan rawat inap. Banyak sekali perjuangan yang telah dia lakukan untuk anak kembarnya.Mia juga mulai memberikan asi pertamanya untuk kedua anak kembar, meski pun belum ada asi putih yang keluar. Anak kembar itu juga akan dibantu susu formula karena asi Mia belum keluar dan mungkin tak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan dua anak kembar."Sayang, anak kita cantik dan tampan ya. Mirip sekali dengan wajah mamanya. Mamanya cantik sih, jadi anaknya juga cantik dan tampan," kata Yusuf tanpa bisa berhenti menatap wajah anak kembarnya. Rasa syukur pada Tuhan pun ia ungkapkan berkali-kali atas rasa bahagia yang sangat luar biasa."Papanya juga tampan, Mas. Makanya saya jatuh cinta," balas Mia pada suaminya. Dia kini sudah bisa berbicara."Masa sih?" Y
Saat ini Mia masih berada di ruang rawat inap. Operasi akan dilakukan besok siang pukul sepuluh pagi. Mia tengah beristirahat membaringkan tubuhnya di atas bed pasien."Sayang, perutnya masih sakit?" Yusuf mengusap kening istrinya. Ia duduk di kursi yang ada di dekat ranjang. Dalam benaknya berkecamuk rasa. Khawatir cemas bercampur jadi satu. Apalagi saat melihat wajah Mia yang terlihat layu."Tak terlalu sakit, Mas. Semoga besok pagi operasinya lancar ya." Suara Mia terdengar lemas. Yusuf mengecup kembali kening Mia. "Sayang, tentu saja saya do'akan semoga operasinya lancar. Kamu dan bayi kita selamat. Kamu harus semangat dan kuat, karena ini adalah impian kita berdua," ia menyemangati."Iya, Mas. Saya akan berjuang. Saya akan semangat," balas Mia.Sejujurnya Yusuf tidak tega melihat Mia yang tiba-tiba meringgis kesakitan. Namun, jadwal caesar memang sudah ditentukan dan surat perjanjian sudah ditanda tangani. Ia tak tega melihat istrinya kesakitan. Andai tak malu dengan diri sendir
Yusuf dan Mia telah sampai di depan rumah sakit. Mereka langsung duduk di kursi tunggu karena nomor antrian telah diambilkan oleh anak buahnya.Yusuf mengusap perut Mia. Walau di depan banyak orang, Yusuf tak mau perduli. Rasa sayangnya pada Mia menutup matanya dari orang-orang yang ada di sekelilingnya."Nyonya Mia Lestari!"Saat namanya dipanggil, Mia dan Yusuf langsung berdiri. Dia segera masuk ke ruang Dokter kandungan.Setelah ditanya-tanya sebentar, Dokter langsung menyuruh Mia berbaring di atas bed pasien. Perut buncitnya dioleskan cairan dan alat USG langsung ditempelkan pada perut Mia.Bola mata Yusuf seketika berkaca-kaca melihat calon anaknya pada layar monitor."Selamat ya, Pak. Tuhan memberikan bayi kembar. Sepertinya jenis kelaminnya sepasang ni," kata Dokter sambil terus menempelkan alat USG di perut Mia. Sementara layar monitir menampilkan hasilnya."Apa! Kembar, Dok?" Yusuf terbelalak. Pun dengan Mia yang terkejut."Serius, Dok?" Timpal Mia. Mulutnya sedikit terbuka k
Pagi hari di cappadocia.Sinar matahari telah masuk menerobos jendela kamar. Keduanya masih asik dalam mimpi indah usai bergelut dalam permainan panas semalam.Mata Mia menyipit saat mulai membuka kelopak matanya. Ia sadar dari mimpi indah semalaman tadi. Ia terkejut saat sadar telah bangun keiangan."Ya ampun! Kesiangan!" Mia bangkit dari tempat tidur. Dia bahkan masih memakai lingerie berwarna silver sisa semalam. Ia menuju kamar mandi dan akan segera membersihkan tubuhnya.Perut mulusnya mulai terlihat membuncit. Mia keluar dari kamar mandi dengan rambut yang terlihat basah. Sepertinya harus segera dikeringkan. Melihat ke atas ranjang, Yusuf tampak masih terlelap dalam tidurnya. Cuaca dingin membuat suami Mia tampak nyaman di balik selimut tebal yang menutupi tubuhnya yang hanya memakai bokser saja."Sayang, jam berapa?" Suara serak pria yang masih terbaring di atas ranjang, tampak membuka sedikit kelopak matanya. Terlihat kelelahan."Sudah siang, Mas. Cepetan mandi. Katanya mau ng
Satu bulan kemudian."Mas, koper punya saya mana?" Mia mencari koper miliknya. Mereka kini dalam perjalanan menuju bandara. Perut Mia kali ini sudah terlihat menonjol ke depan. Semakin nampak kalau dia tengah hamil.Sejak satu minggu yang lalu semua telah dipersiapkan. Mulai dari tiket, paspor dan perlengkapan yang lainnya. Yusuf juga telah konsultasi ke Dokter kandungan Mia. Beruntung janin yang ada dalam perut Mia dalam keadaan sehat dan bisa diajak jalan-jalan ke luar negri."Sepertinya sudah dimasukan Ijah ke dalam bagasi," jawab Yusuf menerka saja. Padahal dia tak terlalu yakin. Ia mengusap kening mengiyakan saja dari pada salah. Maklum semenjak hamil, Mia jadi sering baperan dan Yusuf paham akan hal itu."Baguslah, Mas. Soalnya saya tak melihatnya tadi. Mungkin karena Ijah telah merapihkannya." Mia bergelayut manja di dada bidang milik suaminya. Sementara supir yang mengemudikan mobil tetap fokus ke jalan raya.Bersamaan dengan itu ponsel Mia nampak berdering ada panggilan masuk
Hampir satu jam Yusuf mengantri di cafe martabak itu. Dia memijat pelipis karena baru kali ini dia rasakan rasanya menunggu sungguh membosankan."Mas, apa masih lama?" Akhirnya memberanikan diri bertanya karena sudah merasa kesal."Sebentar lagi kok, Pak. Hanya tinggal satu orang lagi," jawab pelayan cafe dengan ramahnya."Oke baik." Yusuf memutuskan untuk menunggu lagi. Semua itu semata-mata demi sang istri tercinta yang tengah mengandung buah hatinya.Dengan tambahan waktu lima belas menit akhirnya dua dus martabak pesanan Mia telah selesai dibuat dan kini sudah berada dalam genggaman. Yusuf segera kembali ke rumah. Dia sudah tidak sabar ingin melihat senyuman istrinya malam ini. Apalagi imbalannya yang akan menengok dede bayi dalam kandungan, tentu saja semakin membuat dia semangat.Perjalanan malam ini sangat cepat karena suasana jalanan yang sepi Yusuf tiba di rumah lebih cepat. Ia segera masuk ke kamar menenteng dus martabak pesanan istrinya."Sayang, ini pesanan kamu." Yusuf me
Sampai satu hari berganti, keadaan Mia masih saja tetap sama. Tubuhnya lemas ia tak berdaya. Mual muntah. Setiap kali ada makanan yang masuk maka kembali ia muntahkan.Yusuf yang siaga, segera membawa istrinya ke Dokter. Ia tak akan membiarkan Mia kesakitan.Yusuf kini tengah memunggu di depan ruang pemeriksaan. Salah satu perawat memanggilnya atas perintah Dokter. Dia segera menghadap dan duduk di kursi yang berseberangan dengan Dokter."Selamat, Pak!" Dokter wanita berlesung pipit itu menyodorkan tangannya ke hadapan Yusuf. Yusuf mengernyitkan dahi saat Dokter yang telah memeriksa istrinya itu malah mengajak berjabat tangan."Selamat untuk apa, Dok?" Yusuf kemudian bertanya karena tak paham."Selamat karena Bu Mia positif hamil. Sebentar lagi Pak Yusuf akan jadi seorang Ayah," jelas wanita berjas putih itu.Tentu saja Yusuf menyeringai senang mendengar berita yang baru saja di dengarnya."Apa!" Yusuf langsung beranjak menghampiri Mia yang duduk di atas ranjang rumah sakit usai dipe