Segera kulajukan kendaraan roda empat milik Mas Yusuf. Tak akan kubiarkan Khaila menghalangi langkahku kali ini. Biarkan dia kelabakan sendiri saat menyadari Mas Yusuf sudah tak ada di kamar tamu."Kita akan pergi kemana?" Dalam perjalanan, Mas Yusuf bertanya.Aku yang fokus dengan setir mobil langsung mengukir senyum. Bahagia rasanya mendengar pertanyaan dari suamiku."Kita akan ke sebuah tempat yang sejuk dan indah. Tempat pertama kali kamu menyatakan cinta sama saya, Mas," jawabku.Mas Yusuf kembali diam. Mungkin dia tengah mengingat-ingat tempat yang aku maksud."Khaila berkata, kamu wanita jahat. Kamu licik telah merebut saya dari tangan Jenifer," kata Mas Yusuf. Sudah kuduga, mulut Khaila memang berbisa. Dia telah berhasil meracuni pikiran Mas Yusuf."Apa kamu percaya dengan cerita, Khaila?" Aku malah bertanya. Hanya ingin tahu saja."Entah kenapa, perasaan saya menolak itu. Saya merasa kalau kamu bukan wanita yang dituduhkan Khaila dan Jenifer," jawab Mas Yusuf.Aku sedikit me
Mas Yusuf menoleh ke arahku. Dia manatapku. Ini adalah tatapan kedua setelah kemarin. Sungguh hati terasa senang."Mas, apa kamu mengingat sesuatu?" gegas kubertanya.Mas Yusuf meluruskan kembali tatapannya. Dia menggeleng pelan."Mas, Mba Mia adalah wanita yang telah mengobati luka di hati Mas Yusuf, akibat masa lalu." Bu Anjani kembali menjelaskan."Saya masih tak ingat apa-apa. Yang terlintas dalam bayangan hanyalah seorang wanita tertangkap basah tengah berselingkuh dengan laki-laki lain. Tapi wajahnya bukan Mia atau pun Jenifer," ungkap Mas Yusuf. Cukup mengejutkan jantungku."Itu adalah wanita di masa lalu, Mas Yusuf. Wanita itu telah meninggal usai tertangkap basah. Dia kecelakaan. Wanita masa lalu itu yang telah membuat Mas Yusuf sulit move on, sampai akhirnya Mba Mia datang dan secara langsung menyembuhkan luka di hati, Mas Yusuf yang telah berkarat." Bu Anjani kembali menjelaskan. Adik Mas Yusuf yang satu ini memang sangat mendukungku. Dia berusaha yang terbaik untuk kakakny
Kutelan dengan tenang rasa kecewa ini. Nampaknya aku harus benar-benar bersabar. "Tidak apa-apa, Mas. Suatu hari nanti ingatan tentang kita pasti akan kembali lagi," tuturku dengan yakin.Mas Yusuf kembali meluruskan pandangannya ke ujung taman. "Tapi sepertinya saya pernah ke ujung sana." Dia meluruskan jari telunjuk pada ujung taman. Tempat saat pertama dia mengecup bibir ini beberapa bulan lalu."Tentu saja pernah, Mas." Aku langsung menyeringai."Kita pernah berdiri di sana," imbuhku."Tapi saya tidak ingat dengan wajah wanita di dekat saya kala itu. Saya hanya merasa pernah berada di sana. Berdiri." Mas Yusuf kembali menerangkan.Aku mengukir senyum. "Setidaknya kamu bisa merasakan kehadiran kita berdua di kala itu."Kali ini Mas Yusuf membalas senyumanku. Gegas aku menceritakan semua cerita-cerita konyol yang sempat kami lewati. Semuanya. Mas Yusuf sesekali menahan tawa. Mungkin dia merasa geli dengan dirinya sendiri kala itu.Di hadapan kami bahkan sudah tersedia makanan dan mi
"Tidak ada yang akan mengusir Mia dari rumah ini!" Tiba-tiba suara bariton menimpali pembicaraan Khaila tadi. "Mas!" Khaila terkejut dia tidak sadar kalau ternyata Mas Yusuf belum meninggalkan kami berdua."Kenapa Mas Yusuf membela wanita ini? Dia bukan siapa-siapa di rumah ini!" khaila meluruskan jari telunjuknya pada wajahku."Saya tidak membela siapa-siapa." Mas Yusuf kembali melangkah mendekati aku dan Khaila. "Saya sedang mengumpulkan cerita-cerita dari memory saya yang hilang. Sebelum ingatan saya kembali pulih, tak akan ada siapa pun yang keluar dari rumah ini," lanjut Mas Yusuf dengan tegasnya.Khaila dia langsung diam dengan raut wajah emosi. Kemudian pergi meninggalkan kami, usai melemparkan tatapan sinisnya padaku."Masuk, Mia. Kamu tidak akan kemana-mana sebelum saya pulih," titah Mas Yusuf. Meski dia hilang ingatan, ketegasannya masih sama. Wataknya juga masih sama.Aku segera masuk ke dalam. Tak ada makan malam, aku dan Mas Yusuf sudah makan di luar.Tiba-tiba ponselk
Wanita itu telah duduk di kursi tamu. Dia menyambutku dengan senyuman tipis. Penuh kemenangan."Ada keperluan apa kamu datang ke sini?" Aku yang masih berdiri langsung saja bertanya kepadanya."Saya ingin bertemu dengan, Yusuf. Bisakah kamu panggilkan dia. Katakan padanya kalau saya menunggunya di ruang tamu." Jenifer memerintah dengan tak tahu malunya."Kamu pikir kamu siapa? Yusuf adalah suami saya. Saya berhak melarang kamu bertemu dengan suami saya." Aku menyilangkan kedua tangan di depan dada. "Kamu jangan merasa berkuasa gitu dong, Mia. Kasihan sekali kamu. Kalau memang Yusuf mencintai kamu, mengapa dia tak ingat dengan bayangan kamu. Dia bahka dengan suka rela membebaskan saya." Jenifer mencibir. Dia masih duduk dengan santai. Sebelah kaki dia tumpangi di atas sebelah kaki yang satunya lagi."Kamu adalah salah satu perempuan yang saya pikir tak tahu malu ya. Datang ke rumah ini untuk bertemu suami orang." Aku menggelengkan kepala tak habis pikir."Sudahlah, Mia. Jangan banyak
Aku langsung menyiapkan makanan untuk Mas Yusuf. Namun, belum sempat Mas Yusuf menyendok makanan di hadapannya, suara Khaila terdengar mengagetkan."Mas, apakah Mba Mia tak mengatakan kalau di depan sedang ada tamu yang menunggu?" Khaila nampak kesal.Mas Yusuf menjawab tanpa menoleh. "Saya lapar dan harus sarapan dahulu.""Tapi, Mba Jenifer sudah menunggu. Hari ini kita ada jadwal, Mas," rengek Khaila.Apa! Jadwal? Akan kemana lagi mereka membawa Mas Yusuf."Saya tak bisa pergi dalam keadaan perut kosong," jawab Mas Yusuf lagi."Tapi kan bisa sarapan di luar," rengek Khaila lagi."Saya sudah masak kok, Khaila. Kita sarapan bersama saja. Tak usah makan di luar," ajakku berusaha tetap tenang."Tak sudi!" desis Khaila menolak."Khaila, apa kamu lupa. Mas Yusuf memiliki riwayat asam lambung. Pola makan Mas Yusuf harus dijaga. Tidak boleh telat makan," terangku hanya mengingatkan.Mendengar penerangan dariku, seketika Mas Yusuf mendongak. "Asam lambung. Sepertinya saya ingat," celetuknya.
Khaila masih mematung sambil memperlihatkan wajah sendunya. Bibirnya bergetar seperti kesulitan untuk membela diri."Mas, saya hanya ingin kamu tidak dibohongi lagi oleh, Mia," lirih Khaila. Aku dibuat tercengang."Saya tidak membohongi Mas Yusuf, Khaila," sanggahku segera membela diri. Aku tak terima."Khaila, cukup. Saya sudah dewasa, melebihi kamu. saya tahu mana yang bohong dan mana yang jujur," tekan Mas Yusuf menimpali lagi."Kamu hanya sedang terbuai, Mas. Aku ini adik kamu. Aku menginginkan yang terbaik untuk kamu, Mas." Khaila membela diri. Dia bahkan mampu meneteskan air mata di hadapan Mas Yusuf. Entah itu tangisan dusta atau malah yang sebenarnya."Sudahlah, Khaila. Saya tidak ingin berdebat dengan siapa pun. Saya pun merasa kalau saya menyayangi kamu." Mas Yusuf beranjak dan hendak meninggalkan ruang makan.Tapi, seketika Khaila menahan langkah Mas Yusuf. "Tunggu, Mas.""Apa lagi?" Mas Yusuf menghentikan langkah dengan berat."Kita akan pergi sekarang, Mas. Tapi aku mohon
Mas Yusuf tak menjawab pertanyaanku. Dia berlalu begitu saja. Aku tak bisa menebak alasan apa yang membuat wajah Mas Yusuf ditekuk."Apa yang terjadi dengan Mas Yusuf, Khaila?" Aku mengalihkan pertanyaanku pada Khaila. Wajah dia tak jauh berbeda seperti Mas Yusuf."Hukum karma memang nyata, Mia. Kamu siap-siap saja dengan hukuman yang akan diberikan Tuhan kepadamu," jawab Khaila dengan ketusnya."Apa maksud kamu?" Aku masih tak paham."Nanti kamu akan tahu sendiri. Selamat menikmati buah dari kelicikan kamu selama ini." Dengan acuh Khaila berlalu begitu meninggalakanku.Aku masih tak paham dengan jawaban Khaila. Aku langsung menemui orang suruhanku, bodyguard yang hari ini membuntuti perjalanan Mas Yusuf."Apa yang telah terjadi selama Mas Yusuf pergi?" tanyaku langsung tanpa basa-basi. Kulihat tak ada yang aneh pada wajah pria sangar di hadapanku."Tak ada yang aneh, Bu. Mereka hanta ke makam Pak Reynaldi, setelah itu ke rumah sakit," jelas bodyguard kepercayaan Mas Yusuf."Ada yang