Aku dan Siska dalam perjalanan menuju bandara. Aku akan mengajukan diri untuk menjadi relawan dalam pencarian korban pesawat yang jatuh.Namun, niatku hanyalah tinggal niat saja tanpa ada dukungan. Pihak maskapai tak mengijinkan aku untuk turut serta dalam pencarian Mas Yusuf. Aku menelan kecewa. Masih tak ada kabar apa pun mengenai suamiku. Aku kembali dirundung nestapa. Duduk di kursi besi dengan perasaan duka didampingi Siska di sampingku."Bagaimana ini, Sis?" keluhku seraya menutup wajah senduku dengan kedua telapak tangan.Bahuku diusap Siska. Dia pasti turut sendu dengan kisahku. "Sabar ya. Kamu harus kuat. Semoga Yusuf selamat ya. Meski pun kenyataannya begitu terasa sulit," tuturnya.Deraian air mata seakan menjadi temanku saat ini. Kesedihan lagi-lagi menguasai diri saat kenyataan pahit terus saja menyelimuti.Aku memutuskan pulang tanpa ada jawaban. Satu minggu bahkan telah berlalu namun Mas Yusuf belum juga ditemukan di saat kobran-korban lain mulai diidentifikasi.Aku men
"Apa!" Aku menghela napas lega. Customer service dari maskapai penerbangan mengabarkan kalau suamiku telah ditemukan di suatu gunung namun masih dalam perjalanan pulang.Aku meletakan kembali gagang telepon pada tempatnya setelah petugas maskapai mengakhiri sambungan telepon dan laporannya. Aku langsung menghubungi Bu Anjani untuk memberitahukan berita baik ini. Meski pun aku belum tahu dalam kondisi apa Mas Yusuf saat ditemukan.Setelah memberitahukan Bu Anjani, gegas aku berlari ke kamar Khaila. Adik Mas Yusuf itu harus tahu. Biar bagaimana pun dia harus segera tahu. Meski pun selalu saja jutek kepadaku."Khaila!" Aku mengetuk pintu kamar Khaila yang tertutup rapat."Apa! Ganggu saja!" Suara Khaila berteriak dari dalam kamarnya."Buka, Khaila. Saya ada informasi penting," panggilku lagi yang masih berusaha mengetuk pintu kamar Khaila.Tak lama, pintu dibuka. Khaila menatapku sinis. "Apa?!" "Mas Yusuf ditemukan." Ada air mata yang hendak keluar di sudut mataku. Air mata ini sebagai
Beberapa jam telah berlalu. Kami bertiga sudah diperbolehkan masuk ke ruang ICU satu-persatu. Aku sadar Khaila dan Bu Anjani lebih berhak duluan. Aku menunggu antrian terakhir.Belum apa-apa, aku merasa sedih saat melihat wajah Bu Anjani dan Khaila keluar dari ruang ICU. Mereka tampak sedih sambil menghapus air mata.Sekarang giliranku. Gegas aku masuk dengan memekai pakaian steril terlebih dahulu. Ini adalah kali kedua aku masuk ruang ICU setelah dahulu jantung Mas Yusuf sempat kambuh.Namun kali ini rasanya lebih menyakitkan dari itu. Kepala Mas Yusuf nampak dililit perban berwarna putih sementara tubuhnya terdapat banyak sekali goresan luka. Kantung matanya pucat. Dia masih tertidur dalam komanya.Aku berjalan lebih mendekat. Mengusap punggung tangan Mas Yusuf dengan lembut. Sekuat tenaga aku menahan tangisan, namun sulit. Bulir bening ini tetap saja tumpah di pipi. Rasa sakit ini kembali terasa saat melihat Mas Yusuf tak berdaya. Wajahnya nampak bengkak, begitu pun dengan bagian k
Mas Yusuf masih diam saja dengan tatapan datarnya. Dia tak bicara apa-apa. Bibirnya hendak bergerak tapi terlihat sulit untuk bicara."Mas." Bola mata ini terasa berkaca-kaca. Ada sesuatu yang terbendung di dalam dada."Si-siapa?" Dengan suara terbata-bata Mas Yusuf mengeluarkan pertanyaan. Tatapannya juga tanpa ekspresi.Aku tercengang tak paham dengan pertanyaannya. "Siapa, apanya, Mas?"Kuraih telapak tangan suamiku namun langsung dihempaskannya. Aku terkesiap melihatnya."Kamu siapa?" suara lesunya bertanya lagi namun membuatku semakin dipaksa menelan saliva kecewa."Mas, ini saya. Saya istri kamu, Mas," jawabku segera. Kulihat wajah Mas Yusuf memang nampak kaku dan dingin. Seperti bukan Mas Yusuf yang telah kukenal.Suamiku menggelengkan kepala. Dia menolak jawabanku. Dia bahkan menghempaskan tangan ini saat mencoba meraihnya."Mas, ini saya. Kamu tidak ingat, Mas?" Lirihku berusaha menjelaskan lagi. Yusuf nampak ketakutan padaku. Dia terus menggeleng-gelengkan kepala. Seakan jaw
Khaila menyodorkan kembali ponsel Bu Anjani pada Mas Yusuf yang tatapannya datar."Ini poto kita bertiga, Mas. Aku Khaila dan Mba Anjani adalah adik Mas Yusuf." Khaila menunjukan poto yang bisa ditebak gambar mereka bertiga tanpa kehadiranku.Wajah Mas Yusuf nampak bingung. Mungkin dia masih proses mengingat-ingat pada memory di kepalanya."Saya tidak ingat," ucap Mas Yusuf sambil menggelengkan kepala. Tatapannya masih sama."Mas, aku dan Mba Anjani adik kandung, Mas Yusuf. Kita sudah bersama-sama sejak puluhan tahun." Khaila masih berusaha membangkitkan memory Mas Yusuf.Sementara aku, tak dapat bicara apa-apa. Aku hanya diam seraya menatap sumiku yang terlihat sudah linglung karena amnesia."Sudah, Khai. Biarkan Mas Yusuf mencerna ingatannya terlebih dahulu. Biarkan Mas Yusuf pelan-pelan mengingat kembali memorynya." Bu Anjani melerai. Khaila diam, raut wajahnya nampak emosi menahan kecewa.Mas Yusuf tak menanggapi apa-apa. Responnya datar-datar saja. Sepertinya Mas Yusuf masih kesu
Aku menunjuk diri sendiri. Bisa-bisanya Khaila menyalahkan aku. Padahal jelas dirinya sendiri yang sedari dari menekan Mas Yusuf."Kenapa saya yang disalahkan?" Setengah berbisik aku bertanya. Mas Yusuf sudah kembali tidur dan istirahat. Aku tak mau mengganggunya."Karena kamu salah! Kamu masih saja berada di sini. Sudah saya bilang kamu segera pergi, tapi memaksa untuk tetap di sini!" Khaila dengan sinisnya.Aku mengusap dada. Khaila benar-benar tak paham kondisi. Dalam kondisi Mas Yusuf seperti ini dia masih saja dengan egonya yang tinggi.Kulirik kembali suamiku. Aku semakin yakin kalau aku harus tetap berada di dekatnya. Meninggalkan Mas Yusuf sama saja membuat keadaan semakin buruk.Aku tak mau menimpali ucapan Khaila yang pedas. "Saya tak akan kemana-mana."Aku membalikan badan lalu duduk di sofa yang berada di ruangan yang sama. Aku pura-pura tidur dengan memejamkan mata yang tak mengantuk. Entahlah, Khaila benar-benar sudah memancing emosiku. Beruntung aku bukan tipe manusia p
Sedikit terkejut namun aku masih berusaha tenang. "Makan dulu ya, Mas," pintaku lagi dengan nada yang sangat dilembut-lembutkan."Saya bisa makan sendiri," ketusnya. Mas Yusuf duduk kemudian meraih piring dalam pangkuanku. Wajahnya datar kemudian makan dengan tangan sendiri karena tak mau disuapi olehku.Aku berusaha tetap tenang dan mengukir senyum. Walau pun Mas Yusuf cuek dan tak membalas tatapanku, aku tetap merasa lega karena suamiku sudah mau makan.Saat Mas Yusuf batuk karena tersendat makanan, aku pun segera menyodorkan air minum kepadanya."Siapa wanita yang bernama, Mia?" Di sela-sela makan siangnya Mas Yusuf mengajukan pertanyaan."Kamu mengingatnya, Mas?" Aku menyeringai senang."Entahlah. Nama itu seperti nama yang sering saya sebut sebelum saya terdampar di tengah hutan." Mas Yusuf menjelaskan.Hening sesaat karena aku merasa bingung. "Mia adalah istri kamu, Mas," balasku.Mas Yusuf kembali diam. "Saya tidak mengingat apa-apa lagi selain nama itu saja," jelasnya lagi."P
Satu minggu setelah pemulihan usai koma. Hari ini Mas Yusuf sudah diperbolehkan pulang. Kami menyambut kabar baik ini dengan wajah semringah. Aku segera mengemasi barang-barang Mas Yusuf yang sempat dibawa Bu Anjani ke rumah sakit. Kepulangan kali ini juga dijemput oleh Bu Anjani dan suaminya.Aku segera mendorong kursi roda yang diduduki Mas Yusuf dengan semangat menuju kendaraan roda empat milik Bu Anjani."Apa Mas Yusuf sudah bisa mengingat, Mba Mia?" tanya Bu Anjani berbisik kepadaku di tengah-tengah langkah.Aku menggelengkan kepala. "Belum, Bu," jawabku."Mba Mia, sabar ya. Saya yakin ingatan Mas Yusuf akan kembali normal." Bu Anjani nampak menguatkanku.Aku mengangguk. Berusaha mengukir senyuman walau sulit.Kami masuk secara bersamaan ke dalam mobil Bu Anjani yang berukuran besar. Rasa bahagia bercampur haru sendu. Bahagia karena akhirnya Mas Yusuf bisa pulang dan berkumpul bersama. Sedihnya karena memory suamiku sedikit tergores sehingga belum mampu mengingatku.Tapi meski pu
Siang ini 40 hari sudah setelah kelahiran Yusra dan Yumna. Kediaman Yusuf nampak dipenuhi bunga serba putih. Semua dekorasi serba putih. Ini bukan sedang berpesta, melainkam sedang ada acara aqiqah si kembar Yusra dan Yumna.Dua bayi kembar yang lucu yang memakai pakaian muslim ala-ala bayi, sudah dibawa pengasuhnya masing-masing ke tengah-tengah pengajian. Sebagai rasa syukur yang luar biasa pada Tuhan, Yusuf dan Mia menggelar acara pengajian sekaligus aqiqahan untuk bayi kembarnya. Bukan hanya itu, Yusuf dan Mia juga mengadakan santunan anak yatim yang diundang dari salah satu panti asuhan yatim piatu di kota Jakarta. Yusuf berharap, anak-anak yang kurang beruntung itu bisa merasakan kebahagiaan yang kini tengah dia rasakan.Kediaman Zubair dipenuhi banyak jamaah pengajian dan anak yatim piatu yang hadir. Mereka membacakaan dzikir dan puji-pujian. Menggunting rambut si kembar Yusra dan Yumna secara bergantian.Seperti ada cahaya yang terpancar pada bayi kembar Yusra dan Yumna kali i
Benar saja dengan apa yang sudah ditebak sebelumnya. Kediaman Zubair nampak ramai oleh suara tangisan bayi yang silih berganti. Sudah menjadi kebiasaan bayi yang pusarnya belum copot memang agak rewel. Akan tetapi Mia nampak piawai menghandle. Mungkin karena bukan yang pertama kalinya, jadi Mia sudah paham.Bayi kembar yang mungil nampak anteng apabila dalam gendongan Mia. Mungkin karena bayi kembar itu merasakan kenyamanan saat berada di dekat orang tuanya."Kenapa kalian tidak bisa menghandle? Bukankah kalian sudah pengalaman sebagai baby sitter! Dimana keahlian kalian?!" Suara Yusuf terdengar mengeras di kamar anaknya. Dia bicara pada dua pengasuh anaknya."Sstt! Mas, jangan begitu dong." Mia meluruskan jari telunjuknya di depan bibir.Rupanya Yusuf tengah memarahi dua baby sitter anaknya yang tampak tak bisa menghandle tugas. Dua anak kembar Mia dan Yusuf hanya bisa anteng dan tak menangis saat berada dalam dekapan mamanya."Habisnya mereka salah, Sayang. Kamu kan belum benar-bena
Banyak sekali yang harus dipelajari Mia setelah operasi. Mulai dari belajar tidur miring kiri miring kanan, belajar bangun sendiri kemudian sampai berjalan.Yusuf mendukung Mia yang belajar dengan antusias. Saat ini bahkan Mia sudah berada di ruangan rawat inap. Banyak sekali perjuangan yang telah dia lakukan untuk anak kembarnya.Mia juga mulai memberikan asi pertamanya untuk kedua anak kembar, meski pun belum ada asi putih yang keluar. Anak kembar itu juga akan dibantu susu formula karena asi Mia belum keluar dan mungkin tak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan dua anak kembar."Sayang, anak kita cantik dan tampan ya. Mirip sekali dengan wajah mamanya. Mamanya cantik sih, jadi anaknya juga cantik dan tampan," kata Yusuf tanpa bisa berhenti menatap wajah anak kembarnya. Rasa syukur pada Tuhan pun ia ungkapkan berkali-kali atas rasa bahagia yang sangat luar biasa."Papanya juga tampan, Mas. Makanya saya jatuh cinta," balas Mia pada suaminya. Dia kini sudah bisa berbicara."Masa sih?" Y
Saat ini Mia masih berada di ruang rawat inap. Operasi akan dilakukan besok siang pukul sepuluh pagi. Mia tengah beristirahat membaringkan tubuhnya di atas bed pasien."Sayang, perutnya masih sakit?" Yusuf mengusap kening istrinya. Ia duduk di kursi yang ada di dekat ranjang. Dalam benaknya berkecamuk rasa. Khawatir cemas bercampur jadi satu. Apalagi saat melihat wajah Mia yang terlihat layu."Tak terlalu sakit, Mas. Semoga besok pagi operasinya lancar ya." Suara Mia terdengar lemas. Yusuf mengecup kembali kening Mia. "Sayang, tentu saja saya do'akan semoga operasinya lancar. Kamu dan bayi kita selamat. Kamu harus semangat dan kuat, karena ini adalah impian kita berdua," ia menyemangati."Iya, Mas. Saya akan berjuang. Saya akan semangat," balas Mia.Sejujurnya Yusuf tidak tega melihat Mia yang tiba-tiba meringgis kesakitan. Namun, jadwal caesar memang sudah ditentukan dan surat perjanjian sudah ditanda tangani. Ia tak tega melihat istrinya kesakitan. Andai tak malu dengan diri sendir
Yusuf dan Mia telah sampai di depan rumah sakit. Mereka langsung duduk di kursi tunggu karena nomor antrian telah diambilkan oleh anak buahnya.Yusuf mengusap perut Mia. Walau di depan banyak orang, Yusuf tak mau perduli. Rasa sayangnya pada Mia menutup matanya dari orang-orang yang ada di sekelilingnya."Nyonya Mia Lestari!"Saat namanya dipanggil, Mia dan Yusuf langsung berdiri. Dia segera masuk ke ruang Dokter kandungan.Setelah ditanya-tanya sebentar, Dokter langsung menyuruh Mia berbaring di atas bed pasien. Perut buncitnya dioleskan cairan dan alat USG langsung ditempelkan pada perut Mia.Bola mata Yusuf seketika berkaca-kaca melihat calon anaknya pada layar monitor."Selamat ya, Pak. Tuhan memberikan bayi kembar. Sepertinya jenis kelaminnya sepasang ni," kata Dokter sambil terus menempelkan alat USG di perut Mia. Sementara layar monitir menampilkan hasilnya."Apa! Kembar, Dok?" Yusuf terbelalak. Pun dengan Mia yang terkejut."Serius, Dok?" Timpal Mia. Mulutnya sedikit terbuka k
Pagi hari di cappadocia.Sinar matahari telah masuk menerobos jendela kamar. Keduanya masih asik dalam mimpi indah usai bergelut dalam permainan panas semalam.Mata Mia menyipit saat mulai membuka kelopak matanya. Ia sadar dari mimpi indah semalaman tadi. Ia terkejut saat sadar telah bangun keiangan."Ya ampun! Kesiangan!" Mia bangkit dari tempat tidur. Dia bahkan masih memakai lingerie berwarna silver sisa semalam. Ia menuju kamar mandi dan akan segera membersihkan tubuhnya.Perut mulusnya mulai terlihat membuncit. Mia keluar dari kamar mandi dengan rambut yang terlihat basah. Sepertinya harus segera dikeringkan. Melihat ke atas ranjang, Yusuf tampak masih terlelap dalam tidurnya. Cuaca dingin membuat suami Mia tampak nyaman di balik selimut tebal yang menutupi tubuhnya yang hanya memakai bokser saja."Sayang, jam berapa?" Suara serak pria yang masih terbaring di atas ranjang, tampak membuka sedikit kelopak matanya. Terlihat kelelahan."Sudah siang, Mas. Cepetan mandi. Katanya mau ng
Satu bulan kemudian."Mas, koper punya saya mana?" Mia mencari koper miliknya. Mereka kini dalam perjalanan menuju bandara. Perut Mia kali ini sudah terlihat menonjol ke depan. Semakin nampak kalau dia tengah hamil.Sejak satu minggu yang lalu semua telah dipersiapkan. Mulai dari tiket, paspor dan perlengkapan yang lainnya. Yusuf juga telah konsultasi ke Dokter kandungan Mia. Beruntung janin yang ada dalam perut Mia dalam keadaan sehat dan bisa diajak jalan-jalan ke luar negri."Sepertinya sudah dimasukan Ijah ke dalam bagasi," jawab Yusuf menerka saja. Padahal dia tak terlalu yakin. Ia mengusap kening mengiyakan saja dari pada salah. Maklum semenjak hamil, Mia jadi sering baperan dan Yusuf paham akan hal itu."Baguslah, Mas. Soalnya saya tak melihatnya tadi. Mungkin karena Ijah telah merapihkannya." Mia bergelayut manja di dada bidang milik suaminya. Sementara supir yang mengemudikan mobil tetap fokus ke jalan raya.Bersamaan dengan itu ponsel Mia nampak berdering ada panggilan masuk
Hampir satu jam Yusuf mengantri di cafe martabak itu. Dia memijat pelipis karena baru kali ini dia rasakan rasanya menunggu sungguh membosankan."Mas, apa masih lama?" Akhirnya memberanikan diri bertanya karena sudah merasa kesal."Sebentar lagi kok, Pak. Hanya tinggal satu orang lagi," jawab pelayan cafe dengan ramahnya."Oke baik." Yusuf memutuskan untuk menunggu lagi. Semua itu semata-mata demi sang istri tercinta yang tengah mengandung buah hatinya.Dengan tambahan waktu lima belas menit akhirnya dua dus martabak pesanan Mia telah selesai dibuat dan kini sudah berada dalam genggaman. Yusuf segera kembali ke rumah. Dia sudah tidak sabar ingin melihat senyuman istrinya malam ini. Apalagi imbalannya yang akan menengok dede bayi dalam kandungan, tentu saja semakin membuat dia semangat.Perjalanan malam ini sangat cepat karena suasana jalanan yang sepi Yusuf tiba di rumah lebih cepat. Ia segera masuk ke kamar menenteng dus martabak pesanan istrinya."Sayang, ini pesanan kamu." Yusuf me
Sampai satu hari berganti, keadaan Mia masih saja tetap sama. Tubuhnya lemas ia tak berdaya. Mual muntah. Setiap kali ada makanan yang masuk maka kembali ia muntahkan.Yusuf yang siaga, segera membawa istrinya ke Dokter. Ia tak akan membiarkan Mia kesakitan.Yusuf kini tengah memunggu di depan ruang pemeriksaan. Salah satu perawat memanggilnya atas perintah Dokter. Dia segera menghadap dan duduk di kursi yang berseberangan dengan Dokter."Selamat, Pak!" Dokter wanita berlesung pipit itu menyodorkan tangannya ke hadapan Yusuf. Yusuf mengernyitkan dahi saat Dokter yang telah memeriksa istrinya itu malah mengajak berjabat tangan."Selamat untuk apa, Dok?" Yusuf kemudian bertanya karena tak paham."Selamat karena Bu Mia positif hamil. Sebentar lagi Pak Yusuf akan jadi seorang Ayah," jelas wanita berjas putih itu.Tentu saja Yusuf menyeringai senang mendengar berita yang baru saja di dengarnya."Apa!" Yusuf langsung beranjak menghampiri Mia yang duduk di atas ranjang rumah sakit usai dipe