Malam ini tak ada rembulan yang menampakan sinarnya. Sepertinya tertutup awan hitam. Sekeliling langit bahkan tak ada gemerlap bintang yang harusnya menghias di angkasa.Aku tengah dalam perjalanan di atas sepeda motor. Aku memeluk erat Yusuf yang ada di depan tengah fokus dengan setang motor. Ini adalah pemandangan yang pertama kalinya melihat Yusuf mengendarai Motor. Karena biasanya aku melihat dia hanya mondar-mandir dengan mobil mewahnya.Entah apa yang terjadi dengan diriku. Bayang-bayang menyeramkan tentang kejadian tadi siang masih berputar-putar di kepalaku."Kenapa berhenti di sini?" Aku tercengang saat menyadari perjalananku sudah terhenti di depan rertaurant mewah. "Turun, Mia," titah Yusuf. Ia menghentikan mesin motorku lalu mencabut kuncinya."Untuk apa, Mas?" Aku bertanya seakan linglung. Tubuh ini masih berada di atas motor."Saya yakin kalau kamu belum makan. Kita akan makan dulu sebelum ke rumah saya." Yusuf memperjelas perintahnya."Tapi saya sudah makan." Aku menol
Tiba-tiba kepalaku mengangguk begitu saja tanpa meminta persetujuan. Entah kenapa apa yang terjadi denganku. Kulihat Yusuf nampak menyeringai."Apa itu artinya, kamu manerima lamaran saya?" Dia bertanya penuh harap.Ada senyuman yang melebar dengan sendirinya. Aku pun kembali mengangguk tanpa sepatah kata.Yusuf langsung memelukku di depan Khaila. Dia nampak bahagia dengan jawabanku tapi sepertinya tidak begitu terlihat dengan Khaila.Adik kandung Yusuf hanya tersenyum tipis tanpa menimpali dengan kalimat apa pun. "Lalu, bagaimana dengan, Khaila?" Gegas kubertanya karena merasa ragu."Bagaimana, Khaila. Apa kamu merestui?" Yusuf menimpali pertanyaanku pada Khaila.Bahu dan telapak tangan Khaila bersamaan terangkat. "Terserah kalian saja," jawabnya sesingkat itu. Seperti dipaksakan. Dia kemudian pergi ke ruangan yang lain.Yusuf mempererat genggaman tangannya. Dia menatapku haru. "Terima kasih, Mia. Terima kasih atas kesempatan dan kepercayaan kamu. Percayalah, saya tak akan menyia-ny
"Kenapa?" tanya Yusuf berbisik di telingaku. Tangannya masih melingkari perutku. Dia juga masih menaruh dagunya di bahuku."Kita belum mandi, Mas. Masa udah peluk aja," ucapku yang sejujurnya masih merasa malu. Bahkan saat tangan Yusuf melingkari parut, serasa bagai ada getaran listrik yang rendah di dalam perut ini. Apalagi dengan bulu halus di pundak, serasa geli."Kan cuma peluk doang, Mia. Masa harus nunggu mandi dulu sih." Yusuf masih dengan pelukannya yang erat."Bagaimana kalau kita mandi bareng," lanjutnya konyol.Aku bahkan dibuatnya semakin tersipu malu. Pipi ini begitu terlihat merah dari pantulan cermin."Jangan, Mas," tolakku lembut."Kenapa lagi coba?" Yusuf kembali menggigit bahuku dengan lembut."Saya malu, Mas. Kita mandi masing-masing saja ya," pintaku sambil menggigit bibir bawah. Aku harap Yusuf paham kalau hari pertama pernikahan, aku masih merasa malu dan tidak enak."Iya deh, kamu mandi duluan aja ya. Saya akan keluar sebentar untuk menghubungi seseorang," pamit
"Kok merah, Mia?" Suara Yusuf terdengar kaget saat dia telah membuka kedua pahaku dan melihat bagian mis v.Aku membuka mata karena sedari dari memejamkan mata kegelian. "Merah?" Aku malah berbalik tanya.Bergegas aku memeriksanya. Aku menepuk kening. "Kok bisa datang tamu ya. Padahal tadi pagi bersih kok, Mas." Aku menggaruk kening yang tak gatal. Aduh malu sekali rasanya sampai sadar ada bercak darah haid yang datang pada waktu yang tak diharapkan.Kulihat Yusuf menghela napas kecewa, tapi dia berusaha tetap mengukir senyum. Dia langsung menutup barang paling berharga dalam tubuh ini dengan beberapa lembar tissue tanpa merasa jijik."Maaf, Mas. Sungguh saya tidak tahu kalau tamu bulanan akan datang," ucapku merasa bersalah tentu karena merasa tak enak pada suamiku."Tidak apa-apa, Sayang. Ini kan sudah kodratnya seorang wanita. Lagian saya juga paham tamu bulanan memang harus tetap datang jika sudah waktunya." Yusuf tetap mengukir senyum paling manis.Dia meluruhkan tubuhnya di samp
Setelah malam pertama yang gagal itu, aku dan Yusuf memutuskan untuk keluar dari hotel.Suamiku akan memboyongku ke rumahnya. Aku bahkan tak sempat pulang ke rumah karena Yusuf memenuhi semua kebutuhanku lewat barang-barang baru.Sepintas rencana, sepertinya rumah sederhanaku akan dikontrakan saja. Lagi pula aku sudah tak nyaman tinggal di sana. Bukan perkara sederhana penyebabnya, melainkan karena gosip-gosip panas terus saja berhembus kencang di area lingkuhan dekat rumahku."Mia, apakah kamu tidak keberatan kalau Khaila akan tetap tinggal bersama kita?" Yusuf bertanya tatkala kami tengah berada dalam perjalanan menuju rumah Yusuf."Tentu saja tidak, Mas. Khaila itu adik kamu. Lagi pula Khaila masih menjadi tanggung jawab kamu kan," balasku segera tanpa merasa keberatan."Terima kasih ya, Sayang." Yusuf mengusap kepalaku dengan lembut. Dia melebarkan senyuman tampak bernapas dengan lega.Aku membalas senyuman suamiku. Menyenderkan kepala ini pada bahu sampingnya. Nyaman sekali rasan
Aku tak langsung meninggalkan bandara. Aku memastikan pesawat yang ditumpangi suamiku terbang. Setelah itu aku kembali ke rumah.Aku menaiki mobil mewah suamiku dengan duduk di kursi belakang karena ada supir yang mengantarkan.Aku mampir terlebih dahulu ke rumah lamaku, memastikan kesepakatan dengan orang yang hendak mengontrak."Hebat ya, Mba Mia. Menikah dengan konglomerat. Ajian macam apa yang membuat seorang konglomerat terpincut?" Seorang ibu muda yang tak asing dalam pandanganku menyambut kedatanganku di area rumah sederhanaku dengan sebuah pertanyaan yang bernada cibiran.Aku membeliak sambil menutup pintu mobil karena baru saja keluar."Maaf ya, apa maksud anda bicara seperti itu?" Aku berbalik tanya dengan ketus. Dia wanita muda yang selalu saja mencibirku dengan gosip-gosip tidak enak didengar."Ya tidak ada maksud apa-apa. Hanya ingin tahu saja trik menggaet sugar dady. Mba Mia, sepertinya sudah mahir dengan itu," lanjutnya dengan pertanyaan yang sama. Muak sekali aku mend
Dalam perjalanan menuju maskapai penerbangan internasional, aku dan Khaila kini saling diam merasakan kecemasan di dalam dada. Sementara nomor ponsel suamiku memang tidak bisa dihubungi."Semua ini gara-gara kamu, Mba!" Tiba-tiba Khaila mengucapkan kalimat yang membuatku terkejut dan menoleh kepadanya."Khaila, apa maksud kamu bicara seperti itu?" Aku bertanya sambil mengusap air mata yang tak terasa jatuh di pipi."Dari awal, aku sudah meragukan pernikahan, Mas Yusuf dan Mba Mia. Aku merasakan Mba Mia tidak akan membawa keberuntungan. Dan lihat yang terjadi sekarang, Mas Yusuf tak bisa dihuhungi, pesawat yang ditumpanginga hilang kontak. Kamu pembawa sial, Mba!" Khaila menampakan wajah geram kepadaku. Sementara di sudut matanya masih saja meneteskan air mata kesedihannya.Seketika aku mengusap dada. Tega sekali, Khaila bicara seperti itu kepadaku."Tidak, Khaila. Saya tidak pernah membawa sial untuk siapa pun apalagi suami saya sendiri," bantahku segera. Aku tak habis pikir dengan ad
"Mas Yusuf!" Seketika bola mataku terbuka. Kulihat ke atas langit-langit kamar. Suasana yang sangat berbeda. Bukankah tadi ada Mas Yusuf di dekatku. Tapi kini dia tak nampak dalam pandanganku."Mia." Suara sopran berdesis memanggil namaku. Sepertinya aku kenal dengan suara itu. Gegas kualihkan pandangan ke sumber suara. "Siska." Aku sedikit terkejut dengan keberadaan Siska duduk di sampingku. "Mia, sabar ya. Kamu harus kuat." Kalimat yang keluar dari mulut Siska seolah meruntuhkan jiwa dan perasaan kamu."Kenapa denganku, Sis? Dimana ini?" Aku bertanya seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling sudut ruangan. Seperti tengah berada di ruang medis."Kamu di klinik dekat bandara. Tadi kamu pingsan. Driver menghuhungiku saat Khaila pun terkulai lemas tak berdaya. Beruntung driver sempat menyimpan nomorku," jelas Siska. Ia mengusap punggung tanganku seperti berusaha menenangkanku.Genangan air mata kembali membasahi bola mataku. Berusaha kubendung tapi bulir bening ini kembali menetes d