Aku menghela napas kesal. Tega sekali mereka mencap aku sebagai janda gatal. Padahal aku belum pernah menggoda satu laki-laki beristri mana pun di dunia ini, termasuk suami mereka.Mereka kemudian pulang dengan membawa emosi yang bisa diredam dengan satu amplop yang berisi uang kertas."Mba Mia, mohon maaf. Jangan dengarkan ucapan istri saya." Salah satu pria yang merasa suami si ibu tadi nampak merasa tak enak kepadaku."Tidak apa-apa kok, Pak." Aku berusaha tersenyum walau terpaksa."Saya ucapkan terima kasih ya pada Bapak-bapak semuanya," sambungku yang dibalas anggukan kepala oleh mereka.Wajah kelima laki-laki yang membantuku membersih rumah tampak ditekuk. Sepertinya mereka tidak enak karena kelakuan istrinya tadi. Mereka pergi dengan langkah lesu meninggalkan rumahku. Padahal aku tidak apa-apa. Meski pun ucapan ibu-ibu tadi cukup menusuk jantung karena menyebutku dengan panggilan janda gatal. Seperti apa sih janda gatal yang mereka maksud?Tak mau ambil pusing. Teras rumah suda
Di sebelahku, Jenifer tampak memiringkan bibirnya. Dia tersenyum sinis seperti penuh kemenangan."Mia, kamu lihat ini." Yusuf menyodorkan layar ponsel yang tengah memutar suatu video hasil kamera jahanam ke hadapanku.Mataku terbelalak. Tak ada suara percakapan dalam vidio itu. Vidio yang memutarkan suasana di super market tadi saat aku tengah membantu pria bernama Bastian. Bagaimana bisa paparazi mengambil adegan demi adegan yang menonjolnya saja sementara suara yang bisa memperjelas, nyaris hening tak terdengar sama sekali."Jelaskan sama saya, Mia. Siapa pria itu?" Yusuf meluruskan jari telunjuknya pada layar ponsel yang menampilkan wajah Bastian.Aku mengulum senyum emosi. "Saya tidak mengenal dia," jawabku segera."Kenapa kalian terlihat dekat, Mia? Kalian terlihat akrab. Belanja bersama-sama, salam-salaman beradu pandang. Kalian sedang jatuh cinta?" Yusuf yang nampak terbawa emosi.Aku menggelengkan kepala. "Saya tidak kenal, Mas. Dia hanya-""Mungkin hanya temannya, Yusuf. Atau
"Ada apa?" tanyaku ketus membuang pandangan ke arah yang lain.Yusuf meraih tanganku seketika pula kuhempaskan."Saya mau minta maaf, Mia," ucapnya tanpa berpaling dari menatapku."Minta maaf untuk apa?" Aku pura-pura tak paham."Saya minta maaf karena sempat curiga dengan kamu," tutur Yusuf memelas."Tidak perlu." Aku segera meraih pintu dan bersiap akan menutupnya kembali. Sayangnya, pintu tak bisa ditutup karena terganjal sepatu Yusuf yang langsung menahan niatku."Mia, saya belum selesai bicara." Yusuf memasang nada suara paling lembut seantero negeri.Aku memasang senyum tipis sangat kesal. "Bicara soal apa, Mas? Mau nuduh lagi? Saya cape, Mas. Sudah saya katakan jangan datang ke rumah saya lagi. Apa kurang jelas?!" Nada suaraku naik satu oktav. Tak biasanya seperti ini."Iya saya tahu saya salah. Semuanya telah terbukti kalau kamu tidak bersalah, Mia. Seseorang telah memanipulasi keadaan," jelas Yusuf segera."Siapa?" tanyaku segera karena penasaran."Jenifer," jawabnya dengan
"Apa lagi?!" Aku menghela napas pendek saat berhenti melangkah."Maafkan saya, Mia. Sungguh saya berjanji tak akan mengulangi hal itu lagi." Yusuf berusaha kembali meraih tanganku. Ingin kuhempaskan lagi tapi lagi-lagu dia mempererat genggamannya."Maaf, Mas-" Ucapanku tercekat seiringan dengan air mata yang terus saja mengalir. Aku benar-benar cengeng."Tolong jangan bicara seperti itu lagi, Mia." Yusuf menatapku kian dalam."Saya kecewa, Mas. Tidak dipercaya oleh pasangan itu rasanya sakit, Mas. Sakit sekali." Aku mengusap pipi yang basah agar segera mengering.Sementara Yusuf, dia tak mau melepaskan genggaman tangannya. Tatapannya begitu dalam mengiba maaf dariku. Kesalahan besarnya adalah karena tidak percaya denganku, dan rasanya lebih menyakitkan dari pada belati yang menancap hati."Saya janji, saya tak akan mengulangi hal itu lagi. Saya tak akan mengulangi kebodohan yang ke dua kalinya. Catat janji saya, Mia," tekannya begitu berusaha meyakinkanku. Aku membalas tatapan Yusuf.
Pria itu bukan Yusuf. Dia melangkah mendekatiku saat aku mundur menjauhinya."Harusnya saya yang bertanya, kamu siapa? Apa kamu perempuan yang dikirim seseorang untuk menemani saya siang ini?" Pria itu mengulum senyum jahat. Dia terus saja mendekatiku aku pun segera menjauh menuju pintu."Buka pintunya. Saya harus pulang!" Aku menarik handle pintu yang sudah terkunci."Saya bahkan tidak tahu siapa yang mengunci pintunya." Pria itu mulai membuka kancing jasnya."Hentikan, jangan mendekat!" Aku mengangkat sebelah tangan kanan. Namun dia tetap mendekat."Kamu itu perempuan aneh! Kamu datang sendiri dan sekarang malah hendak pergi," celotehnya sambil melemparkan jas hitamnya ke sembarang arah."Ayolah cantik. Kita main bersama siang ini. Saya sudah tidak sabar," sambungnya kali ini sambil membuka kancing kemejanya.Aku berusaha membuka pintu tapi sulit. Sepertinya seseorang telah mengunci pintunya dari luar. Ah sial! Aku bahkan tak membawa ponsel atau pun benda lainnya untuk sekedar minta
Jenifer berani mengangkat wajahnya. "Kamu yang jahat! Kamu telah berani mengambil Yusuf dari saya," sergahnya dengan rahang yang nampak mengeras. Dia nampak marah kepadaku, padahal seharusnya aku yang marah padanya."Saya tidak pernah mengambil Mas Yusuf dari siapa pun!" bantahku dengan tegas. Jenifer langsung membulatkan mata. Menatapku penuh emosi."Sudah, Mia. Dia akan segera membusuk di penjara. Tak usah membuang tenaga lagi." Yusuf mempererat dekapannya dari samping, lalu kami melanjutkan langkah masuk ke dalam lift meninggalkan Jenifer dan pria brengsek tadi."Mereka akan dibawa kemana, Mas?" tanyaku yang masih belum membahas kedatangan Yusuf siang ini. Sejujurnya dalam hati bertanya-tanya, dari mana Yusuf bisa tahu keberadaanku? Dia bahkan datang tepat pada waktunya. Dia juga membawa Jenifer."Ke kantor polisi. Di sanalah tempat yang paling pantas untuk perempuan licik seperti Jenifer," jawab Yusuf dengan raut wajah penuh kebencian."Beruntung saya datang pada waktu yang tepat
Yusuf menarik napas kesal. Dia tampak geram dengan dua ocehan ibu-ibu tadi."Apa tetangga di sini memang tak bisa menjaga ucapannya, Mia?" Yusuf kembali duduk di dekatku."Entahlah, Mas." Aku tak memperdulikan mereka. Perasaan masih saja cemas dengan diri sendiri."Jangan banyak pikiran. Saya tidak mau kamu kenapa-kenapa," ucapnya.Bulir bening lagi-lagi menganak sungai di pelupuk mata. Kemudian luruh di pipi tanpa bisa dikendalikan."Kenapa menangis lagi? Kamu sudah aman. Saya akan selalu menjaga kamu." Yusuf mengusap bahuku lembut."Saya takut, Mas." Lagi-lagi kejadian tadi mempengaruhi bayang-bayangku. Aku kembali merasa takut. Wajah pria tadi membuat perasaan ini hancur berkeping-keping bak pecahan kaca.Yusuf kembali mendekapku dari samping. "Tenang, Mia. Tak akan ada lagi yang bisa menyakiti kamu. Saya akan pastikan, Jenifer dan pria brengsek itu akan menjadi penghuni sel jeruji besi selamanya." "Bagaimana kalau Jenifer bermain dibelakang, Mas. Bagaimana kalau dia menyuruh sese
Malam ini tak ada rembulan yang menampakan sinarnya. Sepertinya tertutup awan hitam. Sekeliling langit bahkan tak ada gemerlap bintang yang harusnya menghias di angkasa.Aku tengah dalam perjalanan di atas sepeda motor. Aku memeluk erat Yusuf yang ada di depan tengah fokus dengan setang motor. Ini adalah pemandangan yang pertama kalinya melihat Yusuf mengendarai Motor. Karena biasanya aku melihat dia hanya mondar-mandir dengan mobil mewahnya.Entah apa yang terjadi dengan diriku. Bayang-bayang menyeramkan tentang kejadian tadi siang masih berputar-putar di kepalaku."Kenapa berhenti di sini?" Aku tercengang saat menyadari perjalananku sudah terhenti di depan rertaurant mewah. "Turun, Mia," titah Yusuf. Ia menghentikan mesin motorku lalu mencabut kuncinya."Untuk apa, Mas?" Aku bertanya seakan linglung. Tubuh ini masih berada di atas motor."Saya yakin kalau kamu belum makan. Kita akan makan dulu sebelum ke rumah saya." Yusuf memperjelas perintahnya."Tapi saya sudah makan." Aku menol