“Apa lihat-lihat?” hardik Yolla kembali dengan mulut meremehkan. “Kamu tahu nggak salah kamu apa?”
Office boy itu tetap bergeming sementara beberapa rekannya berdiri dengan wajah tegang.“Siapa nama kamu tadi?” tanya Yolla tidak ramah. “Beneran ... Baby?”Dia menambahkan dengan ekspresi jijik.“Nama asli saya Babyanz, Bu.” Office boy itu menjawab sopan meskipun sikap Yolla tak sesopan sikapnya.“Oke, mau Baby, Byanz, atau siapa kek ... hari ini kamu sudah bikin salah sama saya.” Yolla meneruskan. “Gara-gara kamu, saya jatuh di ruangan saya ...”“Bukannya saya sudah bilang kalau lantainya masih basah dan minta Ibu nunggu sebentar?” sela Byanz tenang.“Kamu jangan motong ucapan saya dong!” sahut Yolla dengan nada tinggi. “Kamu pegawai baru, ya?”“Maaf, sepertinya Ibu yang pegawai baru.” Byanz menggeleng. “Karena sebelumnya saya nggak pernah lihat Ibu di ruangan itu.”Wajah cantik Yolla berubah merah padam mendengar ucapan Byanz, sementara petugas kebersihan yang lain merepet menyaksikan kemarahan CEO mereka.“Pintar jawab kamu, ya?” geram Yolla. “Kamu mau saya pecat?”Byanz tetap berdiri dengan tenang.“Cuma Pak Sony yang berhak memecat saya, Bu.” Dia menyahut.Yolla semakin meradang mendengar ucapan office boy bernama Babyanz itu.“Oh, jadi kamu belum tahu siapa saya?” kata Yolla sambil menaikkan sebelah bahunya. “Saya Babyolla Zavinska, CEO di perusahaan ini dan saya adalah putri tunggal Pak Sony.”Byanz memasang ekspresi datar di wajahnya.“Kalau begitu salam kenal,” komentar Byanz sambil tersenyum singkat.Yolla justru semakin meradang saat Byanz tidak segera memohon-mohon padanya supaya jangan dipecat.“Sekarang kamu sudah tahu kan siapa saya?” tanya Yolla menegaskan. “Saya bisa saja pecat kamu kapanpun saya mau.”Byanz tidak segera menanggapi gertakan Yolla kepadanya.“Kali ini kamu saya maafkan,” kata Yolla dengan nada angkuh. “Lain kali bersihkan betul-betul ruangan saya, kalau dipel ya harus sampai kering.”Byanz hanya menganggukkan kepalanya tanpa mengucap sepatah katapun.“Jangan sampai saya jatuh lagi gara-gara kamu,” dengus Yolla, sebelum akhirnya dia berlalu pergi meninggalkan mereka dengan langkah-langkah pongah.Sepeninggal Yolla, rekan-rekan Byanz menarik napas lega berjamaah.“Baby, beraninya kamu bikin masalah sama Bu Yolla?”“Galak bener dia ...”“Aku sih nggak mau cari masalah sama dia, Baby ...”Byanz menarik napas.“Tolong jangan manggil aku Baby,” pintanya serius. “Nggak enak didengar masalahnya.”Rekan-rekan Byanz justru nyengir menanggapi pernyataannya.“Kamu harus hati-hati sama Bu Yolla,” kata salah satu dari mereka.“Dia supergalak, ratu tega pula ...” timpal yang lain.Byanz hanya menganggukkan kepalanya dan memilih untuk beristirahat sejenak setelah menyelesaikan pekerjaannya.Saat jam makan siang, Byanz bersama seorang rekannya berjalan santai menuju kafetaria untuk mengisi perut di sana.“Heh Baby, ingat pesan saya tadi ya?” Yolla melongok dari mobilnya ketika dia melewati mereka.Byanz menoleh dan tidak berkata apa-apa.“Sombong amat,” sahut rekan Byanz ketika mobil Yolla berlalu.“Sudahlah, Fan. Namanya bos, wajar kalau sombong,” komentar Byanz sambil terus berjalan.Ifan mendengus.“Kamu sama Bu Yolla kebetulan banget namanya sama, ya?” kata Ifan. “Sama-sama baby ...”“Yah, Cuma nasibnya aja yang beda.” Byanz menimpali sambil melangkahkan kakinya ke kafetaria.Setelah makan siang, Byanz dan Ifan kembali bekerja sampai jam shift mereka berakhir.“Trims tumpangannya, Fan!” seru Byanz ketika Ifan menurunkannya di depan rumah sederhana di pinggir jalan kampung.“Aku langsung, ya?” pamit Ifan disambut anggukan kepala dari Byanz.“Sudah pulang, Yanz?” Seorang wanita paruh baya muncul saat Byanz baru melangkahkan kakinya masuk rumah.Refleks, Byanz meraih tangan wanita itu dan mengesunnya.“Sudah Bu,” jawabnya. “Ramai warungnya?”“Syukurlah, cukup buat kita makan. Mandi sana, setelah itu kamu cepat makan,” suruh Sari, nama ibunda Byanz.Byanz mengangguk dan segera melakukan apa yang disuruh ibunya tanpa banyak bicara.Setelah mandi dan makan, Byanz membantu membereskan warung sederhana yang dikelola ibunya untuk membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.Begitulah Byanz menjalani kehidupannya setiap waktu. Pria muda bernama lengkap Babyanz Avinskie itu terlahir dalam keluarga sangat sederhana dan berekonomi pas-pasan, berbanding terbalik dengan apa yang dialami Babyolla dengan segala kemewahan dari kedua orang tuanya.“Bersihkan dengan benar,” perintah Yolla ketika Byanz baru saja melangkahkan kakinya ke dalam ruangan esok harinya.“Baik, Bu.” Byanz menerima saja sikap sombong Yolla kepadanya, karena dia sadar diri bahwa dia hanyalah orang rendah di mata wanita itu.Sementara Byanz mulai membersihkan lantai ruangannya, Yolla sibuk bermain dengan gawai di tangan. Tidak dipedulikannya sama sekali setumpuk dokumen yang berada di atas meja kerjanya sedari tadi.Saat Byanz baru saja selesai mengepel dan lantai masih dalam kondisi basah, mendadak ada seorang perempuan muda muncul di depan ruangan Yolla.“Hai Babyyy!” seru perempuan muda itu.Yolla mendongakkan wajahnya dan langsung berdiri untuk menyambut sahabat baiknya yang sudah menunggu. Tidak dipedulikannya lantai ruangan yang belum kering sepenuhnya dan dia nekat melangkah di atas permukaannya yang licin.“Bu Yolla, jangan ...” Byanz baru akan mengingatkan ketika tubuh Yolla oleng di depannya.“Aduhh!”Refleks Byanz mengulurkan tangannya dan menangkap punggung Yolla sebelum dia jatuh membentur lantai yang keras.Waktu seakan melambat saat kedua Baby yang berbeda itu saling pandang selama beberapa detik lamanya.“Kamu yang sopan ya?!” Detik berikutnya Yolla menegakkan diri dan mendorong tubuh Byanz agar menjauhinya. “Beraninya sentuh-sentuh saya!”Byanz tentu saja tidak terima Yolla menuduhnya begitu, apalagi di depan sahabat Yolla yang kini terkejut melihat mereka berdua.“Saya justru nolong Ibu,” katanya membela diri. “Kalau Ibu jatuh lagi, saya juga yang Ibu damprat.”“Banyak alasan,” dengus Yolla yang celingukan ke sana kemari, berusaha mencari-cari sesuatu yang bisa digunakannya untuk membalas Byanz atas perbuatannya yang dianggap dosa besar.Kening Byanz mengernyit saat Yolla mengambil alat pel dan membantingnya ke lantai sehingga cipratan airnya kembali menodai lantai yang sudah susah payah Byanz bersihkan.“Bu Yolla, jangan Bu!” cegah Byanz sambil merebut kembali alat pelnya.Yolla menoleh dan memandang Byanz dengan garang.“Berani kamu sama saya?” gertaknya. “Berani?”Byanz yang sadar akan posisinya hanya diam dan tidak menjawab.“Baby, udah dong!” Sahabat Yolla menengahi. “Dia kan nggak salah apa-apa.”Yolla hanya menoleh sekilas memandang sahabatnya.“Bawahan kayak gini harus dikasih pelajaran Sis!” sahutnya, dia menyipitkan mata dan melihat ember yang berisi air bekas pel tadi.Tanpa pikir panjang lagi, Yolla mengangkat ember itu dan menyiramkannya ke tubuh Byanz yang tidak pernah menduganya.“Rasain kamu!” geram Yolla penuh dendam.Byanz berdiri termangu, bahkan sahabat Yolla sampai menutup mulut saking terkejutnya.“Ibu keterlaluan,” ucap Byanz dingin, sedingin air kotor bekas pel yang baru saja mengguyur tubuhnya.Bersambung—Yolla balas memandang Byanz dengan sorot mata menyala-nyala. “Kenapa, kamu nggak terima?” tanya Yolla dengan nada menantang. “Saya tahu kalau saya cuma pegawai bawahan, tapi nggak semestinya Ibu memperlakukan saya seperti ini.” Byanz menatap tajam Yolla. “Kamu berhenti kerja aja kalau nggak suka sama perlakuan saya,” sahut Yolla congkak. Byanz tersenyum dingin. “Maaf saja, tapi saya kerja untuk Pak Sony. Bukan untuk Ibu,” katanya sembari membalikkan tubuhnya dan pergi dari hadapan Yolla. Ifan terkejut ketika melihat Byanz kembali dengan seragam kotor dan basah. “Keterlaluan, kamu demo aja!” suruh Ifan ketika mendengar cerita lengkapnya dari Byanz. “Gampanglah, aku minta tolong gantikan tugas aku di ruangan Bu Yolla. Tadi aku tinggal ember sama alat pelnya di sana,” pinta Byanz sambil melepas seragamnya yang kotor. Untungnya dia selalu membawa baju ganti setiap pergi kerja. Ifan sebenarnya tidak mau, tapi dia terpaksa melakukannya karena petugas kebersihan yang lain sedang sib
“Jadi kamu nuduh saya yang menabrak kamu?” sembur Yolla terang-terangan. “Kamu menganggap saya yang salah?” Byanz tidak menjawab. “Bersihkan!” perintah Yolla semena-mena. Sebetulnya Yolla tidak perlu bertingkah seperti itu, karena Byanz sudah pasti akan membersihkan semua tumpahan kopi dan pecahan cangkir yang berserakan di lantai. “Ada apa ini?” Sony melangkah memasuki ruangan putrinya saat Byanz tengah bekerja. “Papa?” sahut Yolla sambil menoleh. “Hati-hati, banyak pecahan cangkir di sini.” Sony menunduk dan melihat lantai di ruangan anaknya yang berantakan. “Kamu menjatuhkan cangkir?” tanya Sony sambil memandang anaknya. Yolla balas memandang ayahnya dengan tatapan sedih. “Kenapa sih Papa mempekerjakan office boy seperti dia?” tanya Yolla. “Kerjaan dia nggak begitu bagus, Pa ....” Byanz diam saja sambil terus mengepel lantai tanpa berkata apa-apa. “Kebetulan memang Byanz ini office boy baru di kantor papa,” sahut Sony tenang. “Pantas aja!” seru Yolla dengan nada menang.
“Apa kamu lihat-lihat?” tanya Yolla ketus ketika dia mendongak dan melihat Mita sedang menatapnya.“Ah, enggak Bu!” sahut Mita sambil terlonjak kaget. “Saya mau mengantar ini ....”Dengan agak takut-takut, Mita berjalan mendekat sambil mengulurkan satu map ke meja Yolla.“Taruh sini, cepat!” gertak Yolla dengan mata menyipit, membuat Mita terlonjak lagi untuk yang kedua kalinya. Cewek itu buru-buru menaruh mapnya dan pergi secepat kilat dari ruangan Yolla dengan jantung berdebar kencang.Tanpa sengaja Mita menabrak Byanz yang baru saja lewat di depan ruangan, untung Byanz sigap mengulurkan lengan ke pinggang cewek itu sebelum terhuyung ke lantai.“Maaf ....”“Kamu nggak apa-apa, Mbak?” tanya Byanz sambil menarik tangannya kembali.“Iya Mas,” angguk Mita. “Terima kasih ya sudah ....”“Woy, ngapain kalian berdiri saja di situ?!” teriak Yolla saat menoleh dan menyaksikan Byanz yang saat itu sedang berdiri bersama Mita. “Kerja sana!”Baik Byanz maupun Mita tidak berani menjawab dan lebih
“Saya nggak nipu, saya cuma belum sempat menjelaskan yang sebenarnya sama Rani.” Dia menyahut.“Kamu nggak pernah bilang kalau kamu kerja jadi tukang bersih-bersih!” seru Rani tertahan. “Aku pikir kamu itu kerja di perusahaan besar jadi manajer atau apa ....”“Haha, jangan mimpi kamu.” Yolla menggeleng-gelengkan kepalanya sambil melirik Byanz. “Modelan begini mana cocok jadi manajer kantor.”Setelah puas menghina Byanz di depan mata Rani, Yolla dengan enteng melangkah pergi meninggalkan mereka berdua menuju halaman parkir.“Rani, tunggu ....” “Aku malu punya pacar seperti kamu, Byanz!” potong Rani sebelum Byanz selesai dengan ucapannya. “Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu ini cuma tukang bersih-bersih di kantor orang? Kamu sengaja menutupi ini semua? Iya?”“Aku itu cuma gantiin ayah aku untuk sementara saja,” jelas Byanz. “Kamu tahu kan kalau ayah aku kerja jadi cleaning service? Sebagai anak, sudah sewajarnya kalau aku menggantikan ayahku yang sedang sakit untuk ....”“Aku nggak ma
Sementara itu Yolla masih belum bisa terima tentang keputusan ayahnya mengangkat Byanz sebagai CEO di perusahaan ini. Mana bisa dirinya yang berpendidikan tinggi disandingkan dengan mantan office boy yang riwayat pendidikannya tidak jelas.Itu namanya penghinaan, geram Yolla dalam hatinya.Segera saja dia menyuruh orang untuk mencari informasi tentang Babyanz Avinskie termasuk riwayat pendidikannya. Setidaknya Yolla ingin memastikan sendiri bahwa pesaingnya itu adalah orang yang sangat sejajar dalam hal apa pun. "Ini berkas yang Anda minta, Bu." Mita mengulurkan satu map cokelat ke arah Yolla. "Nggak ada yang tahu kan kalau saya suruh kamu ambil data pribadi Babyanz?" tanya Yolla sambil mendongak menatapsekretarisnya. "Tidak ada, Bu." Mita menggelengkan kepalanya dengan sopan. "Bagus," sahut Yolla dengan nada puas. "Kamu boleh pergi. Tapi ingat, jangan cerita sama siapa pun soal ini."Mita mengangguk dan buru-buru pergi dari ruangan Yolla. Sepeninggal Mita, Yolla menundukkan kep
Rani memandang Byanz dengan sorot mata berbeda dibandingkan dengan pertemuan terakhir mereka. “Aku ... yah, aku Cuma mau minta maaf ...” kata Rani terbata-bata. “Aku tahu ucapan aku yang dulu sangat jahat ....”Byanz menarik napas panjang. “Ya sudahlah,” katanya. “Aku lagi nggak mau bahas soal dulu-dulu.”Rani kelihatan salah tingkah saat Byanz berjalan melewatinya begitu saja. “Lancar, Yanz?” sambut Sari yang baru kembali dari dapur. “Lancar Bu,” jawab Byanz sambil mengangguk. “Oh ya, Rani sudah sejak kapan ada di sini?”“Rani sudah sejak tadi di rumah nungguin kamu saat dia tahu kalau kamu naik jabatan,” jawab Sari. “Dia kelihatannya ikut senang mendengar berita ini.”Byanz hanya menganggukkan kepalanya dan berlalu pergi ke kamar.Rani masih duduk terpekur di kursinya ketika Byanz muncul tanpa ekspresi yang berarti. “Belum pulang kamu?” tanya Byanz dengan nada datar. Rani tergeragap menoleh ke arah Byanz. “Kamu ... udah maafin aku belum?” tanya Rani memberanikan d
“Byanz, saya mau kamu yang mewakilkan pertemuan penting dengan klien dari Platinum Grup.” Sony mendatangi Byanz di ruangannya ketika dia baru saja memeriksa salah satu proposal.“Saya, Pak?” tanya Byanz sambil buru-buru berdiri untuk menyambut bosnya. “Iya, kamu.” Sony mengangguk.“Saya ... tidak enak sama Bu Yolla, Pak.” Byanz mengaku. “Saya kan tidak sederajat pendidikannya ....”Sony justru tersenyum simpul mendengarnya. “Kamu bisa pergi sama Yolla,” katanya ringan. “Sekalian kamu ajari putri saya agar dia memiliki attitude yang baik seperti kamu.”Byanz terpaku sejenak, dia teringat dengan Yolla yang pernah meremehkannya karena dirinya hanyalah tamatan SMP saja. “Apa Bu Yolla bersedia pergi sama saya, Pak?” tanya Byanz ragu. “Saya khawatir kalau ... seandainya Bu Yolla keberatan dan pertemuan itu malah akan terganggu dengan kehadiran saya ....”Sony menggelengkan kepalanya. “Tenang saja, ini hanya pertemuan ramah tamah biasa. Jadi ada baiknya kamu sama Yolla pergi ber
Byanz sendiri sudah tentu ingin menolak usul bos besarnya, tetapi dia tidak mungkin mengatakannya langsung di depan Yolla. Bagaimanapun, dia masih menjaga perasaan putri Sony meskipun sikapnya sangat tidak menyenangkan hatinya. "Saya ..." Byanz berusaha mencari kata-kata yang pas untuk menolak rencana Sony. "Apa ada yang kurang dari Yolla, Pak Byanz?" tanya Sony lagi. Byanz melirik Yolla yang mendelik ke arahnya, seakan siap mengulitinya hidup-hidup kalau dia berani bilang yang jelek-jelek tentangnya. "Tidak ada Pak," geleng Byanz. "Bu Yolla ... sempurna sekali."Sony tersenyum simpul sementara Yolla mendengus pelan. "Baiklah, tidak ada alasan bagi kamu untuk menolak putri saya kan?" tanya Sony lagi sambil memandang Byanz. "Pa, apa-apaan ini?" sela Yolla gusar. "Aku nggak ....""Papa tidak bicara sama kamu, Yolla." Sony mengingatkan tanpa memandang putrinya. "Saya tidak akan buru-buru, silakan kamu dan Yolla saling beradaptasi secara alami."Apa-apaan ini, batin Byanz tidak men