Share

2 Hanya Orang Rendah

“Apa lihat-lihat?” hardik Yolla kembali dengan mulut meremehkan. “Kamu tahu nggak salah kamu apa?”

Office boy itu tetap bergeming sementara beberapa rekannya berdiri dengan wajah tegang.

“Siapa nama kamu tadi?” tanya Yolla tidak ramah. “Beneran ... Baby?”

Dia menambahkan dengan ekspresi jijik.

“Nama asli saya Babyanz, Bu.” Office boy itu menjawab sopan meskipun sikap Yolla tak sesopan sikapnya.

“Oke, mau Baby, Byanz, atau siapa kek ... hari ini kamu sudah bikin salah sama saya.” Yolla meneruskan. “Gara-gara kamu, saya jatuh di ruangan saya ...”

“Bukannya saya sudah bilang kalau lantainya masih basah dan minta Ibu nunggu sebentar?” sela Byanz tenang.

“Kamu jangan motong ucapan saya dong!” sahut Yolla dengan nada tinggi. “Kamu pegawai baru, ya?”

“Maaf, sepertinya Ibu yang pegawai baru.” Byanz menggeleng. “Karena sebelumnya saya nggak pernah lihat Ibu di ruangan itu.”

Wajah cantik Yolla berubah merah padam mendengar ucapan Byanz, sementara petugas kebersihan yang lain merepet menyaksikan kemarahan CEO mereka.

“Pintar jawab kamu, ya?” geram Yolla. “Kamu mau saya pecat?”

Byanz tetap berdiri dengan tenang.

“Cuma Pak Sony yang berhak memecat saya, Bu.” Dia menyahut.

Yolla semakin meradang mendengar ucapan office boy bernama Babyanz itu.

“Oh, jadi kamu belum tahu siapa saya?” kata Yolla sambil menaikkan sebelah bahunya. “Saya Babyolla Zavinska, CEO di perusahaan ini dan saya adalah putri tunggal Pak Sony.”

Byanz memasang ekspresi datar di wajahnya.

“Kalau begitu salam kenal,” komentar Byanz sambil tersenyum singkat.

Yolla justru semakin meradang saat Byanz tidak segera memohon-mohon padanya supaya jangan dipecat.

“Sekarang kamu sudah tahu kan siapa saya?” tanya Yolla menegaskan. “Saya bisa saja pecat kamu kapanpun saya mau.”

Byanz tidak segera menanggapi gertakan Yolla kepadanya.

“Kali ini kamu saya maafkan,” kata Yolla dengan nada angkuh. “Lain kali bersihkan betul-betul ruangan saya, kalau dipel ya harus sampai kering.”

Byanz hanya menganggukkan kepalanya tanpa mengucap sepatah katapun.

“Jangan sampai saya jatuh lagi gara-gara kamu,” dengus Yolla, sebelum akhirnya dia berlalu pergi meninggalkan mereka dengan langkah-langkah pongah.

Sepeninggal Yolla, rekan-rekan Byanz menarik napas lega berjamaah.

“Baby, beraninya kamu bikin masalah sama Bu Yolla?”

“Galak bener dia ...”

“Aku sih nggak mau cari masalah sama dia, Baby ...”

Byanz menarik napas.

“Tolong jangan manggil aku Baby,” pintanya serius. “Nggak enak didengar masalahnya.”

Rekan-rekan Byanz justru nyengir menanggapi pernyataannya.

“Kamu harus hati-hati sama Bu Yolla,” kata salah satu dari mereka.

“Dia supergalak, ratu tega pula ...” timpal yang lain.

Byanz hanya menganggukkan kepalanya dan memilih untuk beristirahat sejenak setelah menyelesaikan pekerjaannya.

Saat jam makan siang, Byanz bersama seorang rekannya berjalan santai menuju kafetaria untuk mengisi perut di sana.

“Heh Baby, ingat pesan saya tadi ya?” Yolla melongok dari mobilnya ketika dia melewati mereka.

Byanz menoleh dan tidak berkata apa-apa.

“Sombong amat,” sahut rekan Byanz ketika mobil Yolla berlalu.

“Sudahlah, Fan. Namanya bos, wajar kalau sombong,” komentar Byanz sambil terus berjalan.

Ifan mendengus.

“Kamu sama Bu Yolla kebetulan banget namanya sama, ya?” kata Ifan. “Sama-sama baby ...”

“Yah, Cuma nasibnya aja yang beda.” Byanz menimpali sambil melangkahkan kakinya ke kafetaria.

Setelah makan siang, Byanz dan Ifan kembali bekerja sampai jam shift mereka berakhir.

“Trims tumpangannya, Fan!” seru Byanz ketika Ifan menurunkannya di depan rumah sederhana di pinggir jalan kampung.

“Aku langsung, ya?” pamit Ifan disambut anggukan kepala dari Byanz.

“Sudah pulang, Yanz?” Seorang wanita paruh baya muncul saat Byanz baru melangkahkan kakinya masuk rumah.

Refleks, Byanz meraih tangan wanita itu dan mengesunnya.

“Sudah Bu,” jawabnya. “Ramai warungnya?”

“Syukurlah, cukup buat kita makan. Mandi sana, setelah itu kamu cepat makan,” suruh Sari, nama ibunda Byanz.

Byanz mengangguk dan segera melakukan apa yang disuruh ibunya tanpa banyak bicara.

Setelah mandi dan makan, Byanz membantu membereskan warung sederhana yang dikelola ibunya untuk membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.

Begitulah Byanz menjalani kehidupannya setiap waktu. Pria muda bernama lengkap Babyanz Avinskie itu terlahir dalam keluarga sangat sederhana dan berekonomi pas-pasan, berbanding terbalik dengan apa yang dialami Babyolla dengan segala kemewahan dari kedua orang tuanya.

“Bersihkan dengan benar,” perintah Yolla ketika Byanz baru saja melangkahkan kakinya ke dalam ruangan esok harinya.

“Baik, Bu.” Byanz menerima saja sikap sombong Yolla kepadanya, karena dia sadar diri bahwa dia hanyalah orang rendah di mata wanita itu.

Sementara Byanz mulai membersihkan lantai ruangannya, Yolla sibuk bermain dengan gawai di tangan. Tidak dipedulikannya sama sekali setumpuk dokumen yang berada di atas meja kerjanya sedari tadi.

Saat Byanz baru saja selesai mengepel dan lantai masih dalam kondisi basah, mendadak ada seorang perempuan muda muncul di depan ruangan Yolla.

“Hai Babyyy!” seru perempuan muda itu.

Yolla mendongakkan wajahnya dan langsung berdiri untuk menyambut sahabat baiknya yang sudah menunggu. Tidak dipedulikannya lantai ruangan yang belum kering sepenuhnya dan dia nekat melangkah di atas permukaannya yang licin.

“Bu Yolla, jangan ...” Byanz baru akan mengingatkan ketika tubuh Yolla oleng di depannya.

“Aduhh!”

Refleks Byanz mengulurkan tangannya dan menangkap punggung Yolla sebelum dia jatuh membentur lantai yang keras.

Waktu seakan melambat saat kedua Baby yang berbeda itu saling pandang selama beberapa detik lamanya.

“Kamu yang sopan ya?!” Detik berikutnya Yolla menegakkan diri dan mendorong tubuh Byanz agar menjauhinya. “Beraninya sentuh-sentuh saya!”

Byanz tentu saja tidak terima Yolla menuduhnya begitu, apalagi di depan sahabat Yolla yang kini terkejut melihat mereka berdua.

“Saya justru nolong Ibu,” katanya membela diri. “Kalau Ibu jatuh lagi, saya juga yang Ibu damprat.”

“Banyak alasan,” dengus Yolla yang celingukan ke sana kemari, berusaha mencari-cari sesuatu yang bisa digunakannya untuk membalas Byanz atas perbuatannya yang dianggap dosa besar.

Kening Byanz mengernyit saat Yolla mengambil alat pel dan membantingnya ke lantai sehingga cipratan airnya kembali menodai lantai yang sudah susah payah Byanz bersihkan.

“Bu Yolla, jangan Bu!” cegah Byanz sambil merebut kembali alat pelnya.

Yolla menoleh dan memandang Byanz dengan garang.

“Berani kamu sama saya?” gertaknya. “Berani?”

Byanz yang sadar akan posisinya hanya diam dan tidak menjawab.

“Baby, udah dong!” Sahabat Yolla menengahi. “Dia kan nggak salah apa-apa.”

Yolla hanya menoleh sekilas memandang sahabatnya.

“Bawahan kayak gini harus dikasih pelajaran Sis!” sahutnya, dia menyipitkan mata dan melihat ember yang berisi air bekas pel tadi.

Tanpa pikir panjang lagi, Yolla mengangkat ember itu dan menyiramkannya ke tubuh Byanz yang tidak pernah menduganya.

“Rasain kamu!” geram Yolla penuh dendam.

Byanz berdiri termangu, bahkan sahabat Yolla sampai menutup mulut saking terkejutnya.

“Ibu keterlaluan,” ucap Byanz dingin, sedingin air kotor bekas pel yang baru saja mengguyur tubuhnya.

Bersambung—

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status