“Anak saya ... mana, Suster?”
Seorang wanita paruh baya yang baru siuman setelah persalinan, bertanya lirih ketika melihat suster muncul di ruangannya.“Sebentar ya, Bu?” sahut suster sambil tersenyum. “Saya cek dulu.”Wanita bernama Virnie itu hanya mampu terbaring lemah dan nyaris tidak memperhatikan apa yang sedang dilakukan suster itu kepadanya.Beberapa saat setelah menyelesaikan pekerjaannya, suster itu permisi keluar dan meninggalkan Virnie sendiri di ruangannya.“Selamat pagi,” Tidak berapa lama kemudian, salah seorang suster masuk sambil menggendong seorang malaikat kecil yang tertidur pulas.“Ini anak saya, Suster?” tanya Virnie dengan raut wajah seakan tidak sabar untuk segera menimang buah hatinya.“Betul, Bu. Mari, saya bantu pelekatannya agar bisa menyusui dengan nyaman.” Suster itu meletakkan bayi Virnie dalam gendongannya dengan posisi senyaman mungkin.“Saya tinggal dulu ya, Bu?” kata suster. “Kalau butuh apa-apa, silakan pencet belnya.”“Terima kasih Suster,” angguk Virnie sambil memangku buah hatinya dengan bahagia.Setelah beberapa saat menyusui anaknya, Virnie baru ingat bahwa dia belum menanyakan tentang jenis sang bayi.“Perempuan apa laki-laki, Ma?” tanya Sony, suami Virnie begitu dia memasuki ruangan istrinya.Saat awal kehamilan, mereka berdua memang sepakat untuk tidak menanyakan jenis anak mereka setiap kali pemeriksaan kehamilan.“Biarlah ini jadi kejutan di hari kelahirannya nanti,” kata Virnie saat itu.Namun, sekarang ini Virnie justru menyesal karena lupa menanyakannya. Ditambah lagi dia sempat pingsan setelah bayinya lahir.“Maaf ya, papa terlambat datang?” ucap Sony yang sedang berada di luar kota saat mendapat telepon dari istrinya.“Nggak apa-apa, ayo kita cek sendiri, Pa?” ajak Virnie yang mendadak jadi bersemangat untuk mengungkap jenis anaknya.“Iya,” angguk Sony sambil membongkar selimut yang membungkus tubuh mungil buah hatinya. Dia hanya perlu melihat sekilas keseluruhan tubuh bayi itu untuk memastikan jenisnya.“Anak kita perempuan,” kata Sony memberi tahu istrinya. “Lihat Ma, benar-benar bayi perempuan yang cantik.”Virnie tersenyum begitu mendengar ucapan suaminya.“Siapa namanya, Pa?” tanya Virnie ingin tahu.Sony tersenyum sembari memandangi putri mungilnya yang sedang tertidur.“Sebenarnya papa sudah siapkan nama cowok, Babyanz Avinskie.” Sony menjawab pelan. “Tapi karena ternyata lahir cewek, aku ganti jadi Babyolla Zavinska.”Virnie tersenyum dengan mata berbinar-binar mendengar nama putri pertamanya.“Babyolla ... nama yang cantik,” ucapnya sambil mengecup kening sang malaikat kecil.Dua puluh lima tahun kemudian ....Babyolla tumbuh dengan limpahan kasih sayang dan materi dari kedua orang tuanya, hingga menjadikannya orang yang manja dan semena-mena.“Yolla?” panggil Virnie begitu dia tiba di rumah dan tidak melihat putrinya.“Apa sih, Ma?” Yolla muncul dengan wajah malas. Dia baru saja membersihkan kuku-kuku di jemari tangannya saat sang ibu memanggil.“Kamu nggak bantu papa di kantor?” tanya Virnie sambil menatap Yolla. “Papa belum dapat pegawai baru, setidaknya bantulah dulu.”Yolla menarik napas, dia memang pernah diminta ayahnya untuk membantu pekerjaan di kantor. Namun, euforia setelah dia diwisuda masih terasa efeknya sampai sekarang.“Malas ah Ma, kalau Cuma jadi pegawai.” Yolla berkomentar sambil duduk di sofa.“Kan enak dapat gaji dari papa,” sahut Virnie. “Kamu juga masih dapat uang bulanan dari mama. Kurang apa lagi, coba?”Yolla meniup-niup kukunya sebelum menjawab.“Gaji karyawan paling berapa sih, Ma?” katanya. “Aku itu mau pegang posisi yang bergengsi dong, apa gunanya aku jadi anak pemilik perusahaan?”“Yol, semua itu kan ada prosesnya.” Virnie menarik napas. “Semua jabatan tinggi pasti berawal dari bawah dulu ...”“Ma, kalau begitu mendingan aku cari kerja di luar.” Yolla menukas. “Masa aku jadi karyawan di perusahaan papa aku sendiri. Malu aku, Ma.”Virnie tidak menjawab, percuma. Yolla terkenal dengan sikap keras kepalanya, semakin dikerasi maka dia akan semakin membantah.Awalnya, keinginan Sony sangatlah sederhana. Dia tidak mau melihat putrinya jadi pengangguran setelah lulus sarjana. Untuk itulah dia mengarahkan Yola untuk membantunya di kantor.“Aku mau kerja di kantor papa,” kata Yolla setelah dibujuk berkali-kali oleh orang tuanya. “asalkan aku dikasih jabatan bagus.”“Contohnya?” tanya Sony sambil lalu.“Manajer atau apa,” jawab Yolla seenaknya. “CEO, apalah ... yang penting jangan pegawai bawah Pa, malu.”Sony menarik napas, sementara Virnie mengusap bahunya sebagai isyarat agar dia memaklumi sikap putri semata wayang mereka.Seminggu setelah itu, Yolla muncul di perusahaan ayahnya dengan rok sepan dan kemeja kerja serta riasan di wajahnya. Satu tas bermerek menggantung di lengannya dan sesekali berayun kala wanita muda itu melangkah anggun ke dalam ruangannya.Seharian itu Yolla hanya sibuk bermain gawai sambil duduk di kursi kebesarannya karena dia akan mengusir siapa saja yang berani masuk untuk mengantar pekerjaan ke ruangannya.Di bagian belakang, para petugas kebersihan terkadang membicarakan kelakuan putri bos mereka.“... kamu saja yang membersihkan ruangannya ...”“... aku aja malas, galak banget dia ...”Seorang pria muda muncul dengan seragam office boy sambil menenteng ember dan sebuah alat pel di tangannya.“Ada yang belum dibersihkan?” tanyanya dengan suara yang sangat santun.“Ruangan CEO baru kita,” sahut salah seorang petugas kebersihan yang tadi ngobrol.“Oke, aku akan ke sana.” Pria muda itu mengangguk dan berbalik.Yolla menoleh ketika seorang pemuda memasuki ruangannya yang terbuka.“Permisi Bu,” ucap pria itu sopan sambil mengangguk sungkan ke arah Yolla yang sedang asyik bermain gawai.Yolla tidak menjawab dan hanya menganggukkan kepalanya.Office boy itu lantas mulai menyapu dan mengepel lantai di ruangan Yolla.“Bu, tolong jangan berdiri dulu ya?” kata office boy itu sopan sebelum berlalu. “Lantainya masih licin, takutnya nanti Ibu jatuh.”“Ya,” sahut Yolla pendek.Office boy itupun berlalu karena merasa tugasnya sudah selesai.Tak lama kemudian, Yolla berdiri dengan ponsel di tangan. Dia baru melangkah sebentar ketika sepatunya tergelincir dan membuatnya jatuh seketika.“Aduhh!” pekik Yolla. “Siapa sih office boy yang bersihin?”Sambil menggerutu, Yolla berjalan hati-hati dan mencari office boy yang tadi membersihkan ruangannya.Beberapa petugas kebersihan langsung berdiri saat Yolla mendatangi mereka.“Siapa yang tadi bersihin ruangan saya?” hardik Yolla dengan mata melotot.Beberapa pasang mata saling lirik sebentar.“Baby ... kalau nggak salah tadi ...”“Mana, panggil Baby cepet ...”Mendengar mereka menyebut ‘baby,’ Yolla pikir dia adalah cewek.“Nah, itu Baby!”Yolla menoleh dan melihat office boy yang tadi membersihkan ruangannya, seketika dia tertawa meremehkan.“Cowok kok namanya Baby,” ejeknya sambil memandang si office boy.“Byanz, kamu kan yang tadi bersihin ruangan Bu Yolla?”“Masih kotor tuh, Bu Yolla sampai ke sini ...”Office boy itu memandang Yolla dengan tatapan sungkan sementara Yolla balas menatapnya dengan mata yang berapi-api.Bersambung—“Apa lihat-lihat?” hardik Yolla kembali dengan mulut meremehkan. “Kamu tahu nggak salah kamu apa?” Office boy itu tetap bergeming sementara beberapa rekannya berdiri dengan wajah tegang. “Siapa nama kamu tadi?” tanya Yolla tidak ramah. “Beneran ... Baby?” Dia menambahkan dengan ekspresi jijik. “Nama asli saya Babyanz, Bu.” Office boy itu menjawab sopan meskipun sikap Yolla tak sesopan sikapnya. “Oke, mau Baby, Byanz, atau siapa kek ... hari ini kamu sudah bikin salah sama saya.” Yolla meneruskan. “Gara-gara kamu, saya jatuh di ruangan saya ...” “Bukannya saya sudah bilang kalau lantainya masih basah dan minta Ibu nunggu sebentar?” sela Byanz tenang. “Kamu jangan motong ucapan saya dong!” sahut Yolla dengan nada tinggi. “Kamu pegawai baru, ya?” “Maaf, sepertinya Ibu yang pegawai baru.” Byanz menggeleng. “Karena sebelumnya saya nggak pernah lihat Ibu di ruangan itu.” Wajah cantik Yolla berubah merah padam mendengar ucapan Byanz, sementara petugas kebersihan yang lain merepet me
Yolla balas memandang Byanz dengan sorot mata menyala-nyala. “Kenapa, kamu nggak terima?” tanya Yolla dengan nada menantang. “Saya tahu kalau saya cuma pegawai bawahan, tapi nggak semestinya Ibu memperlakukan saya seperti ini.” Byanz menatap tajam Yolla. “Kamu berhenti kerja aja kalau nggak suka sama perlakuan saya,” sahut Yolla congkak. Byanz tersenyum dingin. “Maaf saja, tapi saya kerja untuk Pak Sony. Bukan untuk Ibu,” katanya sembari membalikkan tubuhnya dan pergi dari hadapan Yolla. Ifan terkejut ketika melihat Byanz kembali dengan seragam kotor dan basah. “Keterlaluan, kamu demo aja!” suruh Ifan ketika mendengar cerita lengkapnya dari Byanz. “Gampanglah, aku minta tolong gantikan tugas aku di ruangan Bu Yolla. Tadi aku tinggal ember sama alat pelnya di sana,” pinta Byanz sambil melepas seragamnya yang kotor. Untungnya dia selalu membawa baju ganti setiap pergi kerja. Ifan sebenarnya tidak mau, tapi dia terpaksa melakukannya karena petugas kebersihan yang lain sedang sib
“Jadi kamu nuduh saya yang menabrak kamu?” sembur Yolla terang-terangan. “Kamu menganggap saya yang salah?” Byanz tidak menjawab. “Bersihkan!” perintah Yolla semena-mena. Sebetulnya Yolla tidak perlu bertingkah seperti itu, karena Byanz sudah pasti akan membersihkan semua tumpahan kopi dan pecahan cangkir yang berserakan di lantai. “Ada apa ini?” Sony melangkah memasuki ruangan putrinya saat Byanz tengah bekerja. “Papa?” sahut Yolla sambil menoleh. “Hati-hati, banyak pecahan cangkir di sini.” Sony menunduk dan melihat lantai di ruangan anaknya yang berantakan. “Kamu menjatuhkan cangkir?” tanya Sony sambil memandang anaknya. Yolla balas memandang ayahnya dengan tatapan sedih. “Kenapa sih Papa mempekerjakan office boy seperti dia?” tanya Yolla. “Kerjaan dia nggak begitu bagus, Pa ....” Byanz diam saja sambil terus mengepel lantai tanpa berkata apa-apa. “Kebetulan memang Byanz ini office boy baru di kantor papa,” sahut Sony tenang. “Pantas aja!” seru Yolla dengan nada menang.
“Apa kamu lihat-lihat?” tanya Yolla ketus ketika dia mendongak dan melihat Mita sedang menatapnya.“Ah, enggak Bu!” sahut Mita sambil terlonjak kaget. “Saya mau mengantar ini ....”Dengan agak takut-takut, Mita berjalan mendekat sambil mengulurkan satu map ke meja Yolla.“Taruh sini, cepat!” gertak Yolla dengan mata menyipit, membuat Mita terlonjak lagi untuk yang kedua kalinya. Cewek itu buru-buru menaruh mapnya dan pergi secepat kilat dari ruangan Yolla dengan jantung berdebar kencang.Tanpa sengaja Mita menabrak Byanz yang baru saja lewat di depan ruangan, untung Byanz sigap mengulurkan lengan ke pinggang cewek itu sebelum terhuyung ke lantai.“Maaf ....”“Kamu nggak apa-apa, Mbak?” tanya Byanz sambil menarik tangannya kembali.“Iya Mas,” angguk Mita. “Terima kasih ya sudah ....”“Woy, ngapain kalian berdiri saja di situ?!” teriak Yolla saat menoleh dan menyaksikan Byanz yang saat itu sedang berdiri bersama Mita. “Kerja sana!”Baik Byanz maupun Mita tidak berani menjawab dan lebih
“Saya nggak nipu, saya cuma belum sempat menjelaskan yang sebenarnya sama Rani.” Dia menyahut.“Kamu nggak pernah bilang kalau kamu kerja jadi tukang bersih-bersih!” seru Rani tertahan. “Aku pikir kamu itu kerja di perusahaan besar jadi manajer atau apa ....”“Haha, jangan mimpi kamu.” Yolla menggeleng-gelengkan kepalanya sambil melirik Byanz. “Modelan begini mana cocok jadi manajer kantor.”Setelah puas menghina Byanz di depan mata Rani, Yolla dengan enteng melangkah pergi meninggalkan mereka berdua menuju halaman parkir.“Rani, tunggu ....” “Aku malu punya pacar seperti kamu, Byanz!” potong Rani sebelum Byanz selesai dengan ucapannya. “Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu ini cuma tukang bersih-bersih di kantor orang? Kamu sengaja menutupi ini semua? Iya?”“Aku itu cuma gantiin ayah aku untuk sementara saja,” jelas Byanz. “Kamu tahu kan kalau ayah aku kerja jadi cleaning service? Sebagai anak, sudah sewajarnya kalau aku menggantikan ayahku yang sedang sakit untuk ....”“Aku nggak ma
Sementara itu Yolla masih belum bisa terima tentang keputusan ayahnya mengangkat Byanz sebagai CEO di perusahaan ini. Mana bisa dirinya yang berpendidikan tinggi disandingkan dengan mantan office boy yang riwayat pendidikannya tidak jelas.Itu namanya penghinaan, geram Yolla dalam hatinya.Segera saja dia menyuruh orang untuk mencari informasi tentang Babyanz Avinskie termasuk riwayat pendidikannya. Setidaknya Yolla ingin memastikan sendiri bahwa pesaingnya itu adalah orang yang sangat sejajar dalam hal apa pun. "Ini berkas yang Anda minta, Bu." Mita mengulurkan satu map cokelat ke arah Yolla. "Nggak ada yang tahu kan kalau saya suruh kamu ambil data pribadi Babyanz?" tanya Yolla sambil mendongak menatapsekretarisnya. "Tidak ada, Bu." Mita menggelengkan kepalanya dengan sopan. "Bagus," sahut Yolla dengan nada puas. "Kamu boleh pergi. Tapi ingat, jangan cerita sama siapa pun soal ini."Mita mengangguk dan buru-buru pergi dari ruangan Yolla. Sepeninggal Mita, Yolla menundukkan kep
Rani memandang Byanz dengan sorot mata berbeda dibandingkan dengan pertemuan terakhir mereka. “Aku ... yah, aku Cuma mau minta maaf ...” kata Rani terbata-bata. “Aku tahu ucapan aku yang dulu sangat jahat ....”Byanz menarik napas panjang. “Ya sudahlah,” katanya. “Aku lagi nggak mau bahas soal dulu-dulu.”Rani kelihatan salah tingkah saat Byanz berjalan melewatinya begitu saja. “Lancar, Yanz?” sambut Sari yang baru kembali dari dapur. “Lancar Bu,” jawab Byanz sambil mengangguk. “Oh ya, Rani sudah sejak kapan ada di sini?”“Rani sudah sejak tadi di rumah nungguin kamu saat dia tahu kalau kamu naik jabatan,” jawab Sari. “Dia kelihatannya ikut senang mendengar berita ini.”Byanz hanya menganggukkan kepalanya dan berlalu pergi ke kamar.Rani masih duduk terpekur di kursinya ketika Byanz muncul tanpa ekspresi yang berarti. “Belum pulang kamu?” tanya Byanz dengan nada datar. Rani tergeragap menoleh ke arah Byanz. “Kamu ... udah maafin aku belum?” tanya Rani memberanikan d
“Byanz, saya mau kamu yang mewakilkan pertemuan penting dengan klien dari Platinum Grup.” Sony mendatangi Byanz di ruangannya ketika dia baru saja memeriksa salah satu proposal.“Saya, Pak?” tanya Byanz sambil buru-buru berdiri untuk menyambut bosnya. “Iya, kamu.” Sony mengangguk.“Saya ... tidak enak sama Bu Yolla, Pak.” Byanz mengaku. “Saya kan tidak sederajat pendidikannya ....”Sony justru tersenyum simpul mendengarnya. “Kamu bisa pergi sama Yolla,” katanya ringan. “Sekalian kamu ajari putri saya agar dia memiliki attitude yang baik seperti kamu.”Byanz terpaku sejenak, dia teringat dengan Yolla yang pernah meremehkannya karena dirinya hanyalah tamatan SMP saja. “Apa Bu Yolla bersedia pergi sama saya, Pak?” tanya Byanz ragu. “Saya khawatir kalau ... seandainya Bu Yolla keberatan dan pertemuan itu malah akan terganggu dengan kehadiran saya ....”Sony menggelengkan kepalanya. “Tenang saja, ini hanya pertemuan ramah tamah biasa. Jadi ada baiknya kamu sama Yolla pergi ber