"Maksud kamu apa sih?" tanya Callisto bingung. "Aku sama Bu Clerin hanya bertemu setiap hari di kantor, itu juga karena pekerjaan saja. Tidak lebih, jadi kenapa kamu harus mempermasalahkan soal ini?" Yolla melengos. "Aku tidak mempermasalahkannya," bantah Yolla. "Kalau aku menjadikannya masalah, pasti aku sudah dari kemarin protes sama kamu." Callisto tersenyum samar, menurutnya ucapan Yolla sangat berbanding terbalik dengan sikapnya. "Kamu mempermasalahkannya dengan cara menghindari aku," komentar Callisto sambil mengangkat cangkir kopinya. "sengaja tidak mau menjawab telepon dari aku bahkan tidak membalas pesanku sama sekali." Yolla tidak menampik, karena semua yang diucapkan Callisto adalah benar adanya. "Terus maksud kamu kalau aku sama Bu Clerin itu seperti keluarga kecil yang bahagia itu apa?" tanya Callisto ingin tahu. "Kamu tidak perlu berpikir jelek soal aku ...." "Memang itu kenyataannya," potong Yolla sambil merogoh tasnya untuk mengambil ponsel. "Kamu tidak perlu m
Yolla langsung lemas saat mendengar jawaban papanya yang tidak sesuai harapan. "Tapi kenapa, Pa?" tanya Yolla ingin tahu. "Kan yang penting Shano masih sendiri. Bukannya itu yang Papa tunggu sejak Shano melamar aku?" Sony menarik napas dan memandang Yolla lurus-lurus. "Papa lega kalau memang benar Shano itu masih sendiri," katanya lambat-lambat. "Tapi di luar itu, ada beberapa hal lain yang menjadi pertimbangan papa juga. Misalnya saja siapa kedua orang tua Shano dan keluarganya yang lain." Yolla menarik napas. "Namanya juga orang hilang ingatan, Pa. Shano juga sedang menjalani proses pengobatan ... Tapi kalau Papa mengharapkan dia sembuh dalam waktu dekat, siapa yang bisa menjamin itu? Apa aku juga harus nunggu sampai Shano benar-benar sembuh total?" Sony tidak segera menjawab. "Ayo dong, Pa ..." bujuk Yolla dengan wajah memelas. "Apa Shano yang mendesak kamu untuk segera menikah?" tanya Sony ingin tahu. Yolla buru-buru menggelengkan kepalanya. "Shano sudah tahu kalau Pap
"Halo?" "Kamu suka?" tanya Callisto begitu Yolla menjawab panggilannya. "Buket bunga yang aku kirim tadi ...." "Suka sekali!" sahut Yolla, nyaris melonjak seperti anak kecil yang mendapatkan mainan kesukaannya. "Bunga yang kamu kirimkan ke aku selalu bagus-bagus, terima kasih." Sunyi sebentar. "Bunga itu mungkin akan layu dan mati dalam beberapa hari ke depan, tapi kamu harus yakin kalau niat aku untuk melamar kamu tidak akan pernah mati." Callisto menegaskan. "Kamu cuma harus bersabar sedikit, Yolla." "Iya ..." lirih Yolla tersipu saat Callisto terang-terangan memanggil namanya. "Kamu juga ya ... Niat baik pasti akan menemukan jalannya sendiri." "Kamu benar," sahut Callisto. "Ya sudah, aku kerja dulu. Ingat, jangan mikir macam-macam hanya karena aku satu kantor sama Bu Clerin." "Iya ..." sahut Yolla sambil tersenyum meskipun Callisto tidak dapat melihat tingkahnya. "yang penting kamu tidak macam-macam sama dia. Jangan kegenitan juga, ingat kalau dia yang sengaja membuat ingat
"Begitulah," sahut Clerin melalui sambungan telepon. "Kalau nggak, mana mungkin dia bisa tahu soal obat yang kamu berikan itu." Sunyi sesaat selain hanya dengusan napas yang Clerin dengar dari seberang sana. "Sekarang bagaimana? Aku bisa dicabut izin praktekku kalau sampai masalah Callisto ini ketahuan ...." "Tenang!" potong Clerin segera. "Aku akan menanggung semua risikonya, kamu nggak perlu khawatir izin praktek kamu dicabut." Teman Clerin tentu saja mulai gelisah mendengar kabar ini. Dulu, awalnya dia sudah tidak setuju saat Clerin memintanya untuk menangani Callisto dengan masalah ingatannya. "Aku akan berusaha bikin Callisto mau periksa di tempat kamu lagi," janji Clerin. "Asal kamu ...." "Ya ampun Clerin, jangan lagi-lagi deh!" tolak teman Clerin. "Aku nggak mau terlibat lebih jauh soal pria asing yang kamu panggil pakai nama mendiang suami kamu. Sadarlah, suami kamu sudah meninggal dan bukan hal yang bagus kalau kamu sengaja menghidupkannya kembali dalam diri pria itu .
“Anak saya ... mana, Suster?” Seorang wanita paruh baya yang baru siuman setelah persalinan, bertanya lirih ketika melihat suster muncul di ruangannya. “Sebentar ya, Bu?” sahut suster sambil tersenyum. “Saya cek dulu.” Wanita bernama Virnie itu hanya mampu terbaring lemah dan nyaris tidak memperhatikan apa yang sedang dilakukan suster itu kepadanya. Beberapa saat setelah menyelesaikan pekerjaannya, suster itu permisi keluar dan meninggalkan Virnie sendiri di ruangannya. “Selamat pagi,” Tidak berapa lama kemudian, salah seorang suster masuk sambil menggendong seorang malaikat kecil yang tertidur pulas. “Ini anak saya, Suster?” tanya Virnie dengan raut wajah seakan tidak sabar untuk segera menimang buah hatinya. “Betul, Bu. Mari, saya bantu pelekatannya agar bisa menyusui dengan nyaman.” Suster itu meletakkan bayi Virnie dalam gendongannya dengan posisi senyaman mungkin. “Saya tinggal dulu ya, Bu?” kata suster. “Kalau butuh apa-apa, silakan pencet belnya.” “Terima kasih Suster,
“Apa lihat-lihat?” hardik Yolla kembali dengan mulut meremehkan. “Kamu tahu nggak salah kamu apa?” Office boy itu tetap bergeming sementara beberapa rekannya berdiri dengan wajah tegang. “Siapa nama kamu tadi?” tanya Yolla tidak ramah. “Beneran ... Baby?” Dia menambahkan dengan ekspresi jijik. “Nama asli saya Babyanz, Bu.” Office boy itu menjawab sopan meskipun sikap Yolla tak sesopan sikapnya. “Oke, mau Baby, Byanz, atau siapa kek ... hari ini kamu sudah bikin salah sama saya.” Yolla meneruskan. “Gara-gara kamu, saya jatuh di ruangan saya ...” “Bukannya saya sudah bilang kalau lantainya masih basah dan minta Ibu nunggu sebentar?” sela Byanz tenang. “Kamu jangan motong ucapan saya dong!” sahut Yolla dengan nada tinggi. “Kamu pegawai baru, ya?” “Maaf, sepertinya Ibu yang pegawai baru.” Byanz menggeleng. “Karena sebelumnya saya nggak pernah lihat Ibu di ruangan itu.” Wajah cantik Yolla berubah merah padam mendengar ucapan Byanz, sementara petugas kebersihan yang lain merepet me
Yolla balas memandang Byanz dengan sorot mata menyala-nyala. “Kenapa, kamu nggak terima?” tanya Yolla dengan nada menantang. “Saya tahu kalau saya cuma pegawai bawahan, tapi nggak semestinya Ibu memperlakukan saya seperti ini.” Byanz menatap tajam Yolla. “Kamu berhenti kerja aja kalau nggak suka sama perlakuan saya,” sahut Yolla congkak. Byanz tersenyum dingin. “Maaf saja, tapi saya kerja untuk Pak Sony. Bukan untuk Ibu,” katanya sembari membalikkan tubuhnya dan pergi dari hadapan Yolla. Ifan terkejut ketika melihat Byanz kembali dengan seragam kotor dan basah. “Keterlaluan, kamu demo aja!” suruh Ifan ketika mendengar cerita lengkapnya dari Byanz. “Gampanglah, aku minta tolong gantikan tugas aku di ruangan Bu Yolla. Tadi aku tinggal ember sama alat pelnya di sana,” pinta Byanz sambil melepas seragamnya yang kotor. Untungnya dia selalu membawa baju ganti setiap pergi kerja. Ifan sebenarnya tidak mau, tapi dia terpaksa melakukannya karena petugas kebersihan yang lain sedang sib
“Jadi kamu nuduh saya yang menabrak kamu?” sembur Yolla terang-terangan. “Kamu menganggap saya yang salah?” Byanz tidak menjawab. “Bersihkan!” perintah Yolla semena-mena. Sebetulnya Yolla tidak perlu bertingkah seperti itu, karena Byanz sudah pasti akan membersihkan semua tumpahan kopi dan pecahan cangkir yang berserakan di lantai. “Ada apa ini?” Sony melangkah memasuki ruangan putrinya saat Byanz tengah bekerja. “Papa?” sahut Yolla sambil menoleh. “Hati-hati, banyak pecahan cangkir di sini.” Sony menunduk dan melihat lantai di ruangan anaknya yang berantakan. “Kamu menjatuhkan cangkir?” tanya Sony sambil memandang anaknya. Yolla balas memandang ayahnya dengan tatapan sedih. “Kenapa sih Papa mempekerjakan office boy seperti dia?” tanya Yolla. “Kerjaan dia nggak begitu bagus, Pa ....” Byanz diam saja sambil terus mengepel lantai tanpa berkata apa-apa. “Kebetulan memang Byanz ini office boy baru di kantor papa,” sahut Sony tenang. “Pantas aja!” seru Yolla dengan nada menang.