Yolla balas memandang Byanz dengan sorot mata menyala-nyala.
“Kenapa, kamu nggak terima?” tanya Yolla dengan nada menantang.“Saya tahu kalau saya cuma pegawai bawahan, tapi nggak semestinya Ibu memperlakukan saya seperti ini.” Byanz menatap tajam Yolla.“Kamu berhenti kerja aja kalau nggak suka sama perlakuan saya,” sahut Yolla congkak.Byanz tersenyum dingin.“Maaf saja, tapi saya kerja untuk Pak Sony. Bukan untuk Ibu,” katanya sembari membalikkan tubuhnya dan pergi dari hadapan Yolla.Ifan terkejut ketika melihat Byanz kembali dengan seragam kotor dan basah.“Keterlaluan, kamu demo aja!” suruh Ifan ketika mendengar cerita lengkapnya dari Byanz.“Gampanglah, aku minta tolong gantikan tugas aku di ruangan Bu Yolla. Tadi aku tinggal ember sama alat pelnya di sana,” pinta Byanz sambil melepas seragamnya yang kotor. Untungnya dia selalu membawa baju ganti setiap pergi kerja.Ifan sebenarnya tidak mau, tapi dia terpaksa melakukannya karena petugas kebersihan yang lain sedang sibuk di bagian gedung yang lain.Sementara Ifan menggantikan tugasnya, Byanz mandi untuk membersihkan dirinya dari siraman air pel kotor yang membuat sekujur tubuhnya gatal-gatal.Dia tidak akan lupa dengan apa yang baru saja Yolla lakukan terhadapnya.“Kamu keterlaluan, Yol.” Sahabat Yolla jelas berpikir demikian.“Sisty, ngapain sih kamu peduli sama office boy macam dia?” sentak Yolla angkuh. “Nggak penting, tahu.”Sisty memandang sahabatnya dengan miris.“Memangnya papa kamu akan diam aja kalau tahu kelakuan kamu kayak begini?” komentar Sisty sambil mengernyitkan dahinya.“Asal office boy tadi nggak buka mulut,” sahut Yolla tenang. “Lagian aku nggak suka sama dia, orang kayak dia nggak pantes dikasih nama Baby ....”“Apa?” Sisty hampir saja menyemburkan kopi yang baru saja diminumnya ketika mendengar ucapan Yolla. “Nggak salah? Cowok kok namanya Baby.”Yolla mengangguk membenarkan.“Makanya kamu jangan pernah manggil aku pakai nama itu lagi,” katanya mengingatkan. “Malas dengarnya, tahu nggak?”Sisty melanjutkan menyesap kopinya dengan nikmat.“Aku tetap nggak percaya kalau nama cowok itu beneran Baby kayak yang kamu bilang,” komentar Sisty sambil meletakkan cangkirnya ke atas meja.“Kalau nggak salah namanya Babyanz,” sahut Yolla dengan nada tak peduli. “Cocoknya kan Babangs atau malah Bambang, ya nggak?”Sisty tersenyum tipis.“Jangan suka merendahkan nama orang,” katanya mengingatkan.Di waktu yang bersamaan, pandangan mata Sisty menangkap sosok pria muda yang muncul di depan kafetaria.“Eh Yol, ada mahasiswa yang baru magang ya di kantor kamu?” tanya Sisty antusias.“Mana, nggak ada.” Yolla menggeleng.“Terus itu siapa?” tunjuk Sisty dengan pandangan matanya.Yolla mendengus dan mengikuti arah pandangan Sisty tepat ketika pemuda itu memasuki kafetaria.“Kok kayak kenal?” gumamnya.“Itu siapa?” desak Sisty bersemangat. “Ganteng banget!”“Biasa aja, biasa!” desis Yolla, risi sekali dengan tingkah Sisty yang menurutnya konyol.“Nggak, nggak, dia kelihatan terpelajar!” Sisty menyahut dengan antusias, dia berdiri dan memberanikan diri untuk mendekati pria muda itu.Byanz mengerutkan keningnya ketika melihat sahabat Yolla berjalan mendatanginya.“Hei, kamu mahasiswa yang lagi magang di perusahaan ini, ya?” sapa Sisty antusias.“Maaf?” sahut Byanz bingung. “Saya kan office boy yang tadi dimaki-maki Bu Yolla di depan Anda.”Sisty melongo sambil memandang pria muda yang ada di depannya ini. Matanya sesekali terpejam mengingat petugas kebersihan yang tadi dipermalukan Yolla dengan sosok pria berpenampilan bersih yang sedang berhadapan dengannya.“Kamu ... baby? Baby?” tanya Sisty berulang. “Bener kamu Baby?”“Tolong jangan panggil saya begitu,” geleng Byanz. “Panggil saya Byanz, permisi.”Begitu Byanz berlalu, Sisty berjalan kembali ke mejanya.“Kenapa kamu?” tanya Yolla sambil melirik Sisty sekilas sebelum akhirnya bergeser ke punggung Byanz yang sedang berdiri untuk membeli sesuatu.“Itu ternyata office boy yang tadi kamu maki-maki, Yol!” pekik Sisty tertahan. “Ya ampun, bersih banget mukanya!”Yolla melengos.“Jelas aja bersih, tadi kan dia aku guyur pakai air pel.” Yolla berkomentar. “Kalaupun sekarang office boy itu bersih, itu pasti karena dia udah mandi.”“Tapi beneran beda loh,” sahut Sisty dengan pandangan menerawang. “Apalagi sekarang dia lagi nggak pakai seragam cleaning service.”Yolla menoleh tepat ketika Byanz berbalik dan tanpa sengaja menatapnya.“Apa lihat-lihat?” Yolla melotot ke arah Byanz dengan ekspresi tak suka saat pria muda itu melewati mejanya.“Permisi, Bu ...” sapanya sambil mengangguk singkat ke arah Sisty.“Iya, iya!” angguk Sisty bersemangat, dan dia harus membayar mahal dengan sikutan yang diterimanya dari Yolla. “Aduhhh ....”“Jangan bikin aku malu dong, Sis!” sembur Yolla sementara Byanz sudah berlalu meninggalkam kafetaria.“Apa sih Yol, Byanz nyapa aku!” sahut Sisty heboh. “Masa aku nggak boleh balas? Nggak sopan itu namanya.”Yolla hanya melengos dan tidak lagi membahasnya.“Yanz, katanya kamu dapat tawaran kerja di perusahaan bagus. Kenapa nggak kamu terima?” tanya ibu ketika anaknya itu baru tiba di rumah.“Ayah kan belum sembuh Bu,” jawab Byanz sambil meletakkan tasnya di kursi.“Maaf ya, ayah sudah merepotkan kamu?” ucap ibu dengan wajah lelah. Sudah hampir sebulan ini Byanz menggantikan tugas ayahnya menjadi petugas kebersihan di perusahaan Sony, salah seorang pebisnis terpandang di kotanya.“Enggak repot Bu,” geleng Byanz sambil tersenyum. “Nanti kalau ayah sudah sembuh, aku akan segera terima tawaran kerja itu. Bosnya mau nunggu kok, Ibu nggak usah khawatir.”Ibunda Byanz hanya tersenyum menanggapi jawaban tulus anaknya.“Semoga jalan kamu dikasih kelancaran, Yanz. Sama seperti kamu yang selalu berusaha melancarkan setiap urusan ayah sama ibu.”“Amin,” sahu Byanz, dia sangat percaya bahwa doa seorang ibu pasti dikabulkan.Keesokan harinya, Byanz melakukan pekerjaannya seperti biasa. Dia membersihkan setiap ruangan yang sudah dibagi merata oleh ketua petugas kebersihan di perusahaan Sony.“Byanz, kamu aja deh yang bersihin ruangannya Bu Yolla!” pinta Ifan dengan wajah enggan. “Aku nggak tahan di sana, Bu Yolla selalu aja mengkritik pekerjaanku.”Byanz menarik napas.“Ya sudah, aku saja yang bersihkan ruangan Bu Yolla.” Dia menyanggupi. “Hitung-hitung bantu kamu karena dulu kamu juga gantiin aku.”“Makasih ya, Byanz?” ucap Ifan lega.“Sama-sama,” sahut Byanz sembari berlalu pergi dengan menenteng ember dan alat pel.Setibanya di ruangan Yolla, Byanz tidak bertemu siapa-siapa di sana. Dia menarik napas lega dan buru-buru melakukan pekerjaannya sebelum Yolla tiba.“Beres,” gumam Byanz sambil memandangi hasil kerjanya yang bersih dan mengilat. Dia berbalik dan langsung membentur Yolla yang baru saja muncul.Sialnya, kopi yang sedang dipegang Yolla seketika jatuh membentur lantai hingga pecah berkeping-keping.“Gimana sih kamu?!” bentak Yolla dengan suara nyaring melengking. “Lihat-lihat makanya!”Byanz mundur menjauh dengan wajah tegang.“Maaf Bu, saya bahkan belum sempat berjalan satu langkahpun pas Ibu muncul.” Dia menyahut datar sambil memandang wajah Yolla yang merah padam menahan amarah.Bersambung—“Jadi kamu nuduh saya yang menabrak kamu?” sembur Yolla terang-terangan. “Kamu menganggap saya yang salah?” Byanz tidak menjawab. “Bersihkan!” perintah Yolla semena-mena. Sebetulnya Yolla tidak perlu bertingkah seperti itu, karena Byanz sudah pasti akan membersihkan semua tumpahan kopi dan pecahan cangkir yang berserakan di lantai. “Ada apa ini?” Sony melangkah memasuki ruangan putrinya saat Byanz tengah bekerja. “Papa?” sahut Yolla sambil menoleh. “Hati-hati, banyak pecahan cangkir di sini.” Sony menunduk dan melihat lantai di ruangan anaknya yang berantakan. “Kamu menjatuhkan cangkir?” tanya Sony sambil memandang anaknya. Yolla balas memandang ayahnya dengan tatapan sedih. “Kenapa sih Papa mempekerjakan office boy seperti dia?” tanya Yolla. “Kerjaan dia nggak begitu bagus, Pa ....” Byanz diam saja sambil terus mengepel lantai tanpa berkata apa-apa. “Kebetulan memang Byanz ini office boy baru di kantor papa,” sahut Sony tenang. “Pantas aja!” seru Yolla dengan nada menang.
“Apa kamu lihat-lihat?” tanya Yolla ketus ketika dia mendongak dan melihat Mita sedang menatapnya.“Ah, enggak Bu!” sahut Mita sambil terlonjak kaget. “Saya mau mengantar ini ....”Dengan agak takut-takut, Mita berjalan mendekat sambil mengulurkan satu map ke meja Yolla.“Taruh sini, cepat!” gertak Yolla dengan mata menyipit, membuat Mita terlonjak lagi untuk yang kedua kalinya. Cewek itu buru-buru menaruh mapnya dan pergi secepat kilat dari ruangan Yolla dengan jantung berdebar kencang.Tanpa sengaja Mita menabrak Byanz yang baru saja lewat di depan ruangan, untung Byanz sigap mengulurkan lengan ke pinggang cewek itu sebelum terhuyung ke lantai.“Maaf ....”“Kamu nggak apa-apa, Mbak?” tanya Byanz sambil menarik tangannya kembali.“Iya Mas,” angguk Mita. “Terima kasih ya sudah ....”“Woy, ngapain kalian berdiri saja di situ?!” teriak Yolla saat menoleh dan menyaksikan Byanz yang saat itu sedang berdiri bersama Mita. “Kerja sana!”Baik Byanz maupun Mita tidak berani menjawab dan lebih
“Saya nggak nipu, saya cuma belum sempat menjelaskan yang sebenarnya sama Rani.” Dia menyahut.“Kamu nggak pernah bilang kalau kamu kerja jadi tukang bersih-bersih!” seru Rani tertahan. “Aku pikir kamu itu kerja di perusahaan besar jadi manajer atau apa ....”“Haha, jangan mimpi kamu.” Yolla menggeleng-gelengkan kepalanya sambil melirik Byanz. “Modelan begini mana cocok jadi manajer kantor.”Setelah puas menghina Byanz di depan mata Rani, Yolla dengan enteng melangkah pergi meninggalkan mereka berdua menuju halaman parkir.“Rani, tunggu ....” “Aku malu punya pacar seperti kamu, Byanz!” potong Rani sebelum Byanz selesai dengan ucapannya. “Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu ini cuma tukang bersih-bersih di kantor orang? Kamu sengaja menutupi ini semua? Iya?”“Aku itu cuma gantiin ayah aku untuk sementara saja,” jelas Byanz. “Kamu tahu kan kalau ayah aku kerja jadi cleaning service? Sebagai anak, sudah sewajarnya kalau aku menggantikan ayahku yang sedang sakit untuk ....”“Aku nggak ma
Sementara itu Yolla masih belum bisa terima tentang keputusan ayahnya mengangkat Byanz sebagai CEO di perusahaan ini. Mana bisa dirinya yang berpendidikan tinggi disandingkan dengan mantan office boy yang riwayat pendidikannya tidak jelas.Itu namanya penghinaan, geram Yolla dalam hatinya.Segera saja dia menyuruh orang untuk mencari informasi tentang Babyanz Avinskie termasuk riwayat pendidikannya. Setidaknya Yolla ingin memastikan sendiri bahwa pesaingnya itu adalah orang yang sangat sejajar dalam hal apa pun. "Ini berkas yang Anda minta, Bu." Mita mengulurkan satu map cokelat ke arah Yolla. "Nggak ada yang tahu kan kalau saya suruh kamu ambil data pribadi Babyanz?" tanya Yolla sambil mendongak menatapsekretarisnya. "Tidak ada, Bu." Mita menggelengkan kepalanya dengan sopan. "Bagus," sahut Yolla dengan nada puas. "Kamu boleh pergi. Tapi ingat, jangan cerita sama siapa pun soal ini."Mita mengangguk dan buru-buru pergi dari ruangan Yolla. Sepeninggal Mita, Yolla menundukkan kep
Rani memandang Byanz dengan sorot mata berbeda dibandingkan dengan pertemuan terakhir mereka. “Aku ... yah, aku Cuma mau minta maaf ...” kata Rani terbata-bata. “Aku tahu ucapan aku yang dulu sangat jahat ....”Byanz menarik napas panjang. “Ya sudahlah,” katanya. “Aku lagi nggak mau bahas soal dulu-dulu.”Rani kelihatan salah tingkah saat Byanz berjalan melewatinya begitu saja. “Lancar, Yanz?” sambut Sari yang baru kembali dari dapur. “Lancar Bu,” jawab Byanz sambil mengangguk. “Oh ya, Rani sudah sejak kapan ada di sini?”“Rani sudah sejak tadi di rumah nungguin kamu saat dia tahu kalau kamu naik jabatan,” jawab Sari. “Dia kelihatannya ikut senang mendengar berita ini.”Byanz hanya menganggukkan kepalanya dan berlalu pergi ke kamar.Rani masih duduk terpekur di kursinya ketika Byanz muncul tanpa ekspresi yang berarti. “Belum pulang kamu?” tanya Byanz dengan nada datar. Rani tergeragap menoleh ke arah Byanz. “Kamu ... udah maafin aku belum?” tanya Rani memberanikan d
“Byanz, saya mau kamu yang mewakilkan pertemuan penting dengan klien dari Platinum Grup.” Sony mendatangi Byanz di ruangannya ketika dia baru saja memeriksa salah satu proposal.“Saya, Pak?” tanya Byanz sambil buru-buru berdiri untuk menyambut bosnya. “Iya, kamu.” Sony mengangguk.“Saya ... tidak enak sama Bu Yolla, Pak.” Byanz mengaku. “Saya kan tidak sederajat pendidikannya ....”Sony justru tersenyum simpul mendengarnya. “Kamu bisa pergi sama Yolla,” katanya ringan. “Sekalian kamu ajari putri saya agar dia memiliki attitude yang baik seperti kamu.”Byanz terpaku sejenak, dia teringat dengan Yolla yang pernah meremehkannya karena dirinya hanyalah tamatan SMP saja. “Apa Bu Yolla bersedia pergi sama saya, Pak?” tanya Byanz ragu. “Saya khawatir kalau ... seandainya Bu Yolla keberatan dan pertemuan itu malah akan terganggu dengan kehadiran saya ....”Sony menggelengkan kepalanya. “Tenang saja, ini hanya pertemuan ramah tamah biasa. Jadi ada baiknya kamu sama Yolla pergi ber
Byanz sendiri sudah tentu ingin menolak usul bos besarnya, tetapi dia tidak mungkin mengatakannya langsung di depan Yolla. Bagaimanapun, dia masih menjaga perasaan putri Sony meskipun sikapnya sangat tidak menyenangkan hatinya. "Saya ..." Byanz berusaha mencari kata-kata yang pas untuk menolak rencana Sony. "Apa ada yang kurang dari Yolla, Pak Byanz?" tanya Sony lagi. Byanz melirik Yolla yang mendelik ke arahnya, seakan siap mengulitinya hidup-hidup kalau dia berani bilang yang jelek-jelek tentangnya. "Tidak ada Pak," geleng Byanz. "Bu Yolla ... sempurna sekali."Sony tersenyum simpul sementara Yolla mendengus pelan. "Baiklah, tidak ada alasan bagi kamu untuk menolak putri saya kan?" tanya Sony lagi sambil memandang Byanz. "Pa, apa-apaan ini?" sela Yolla gusar. "Aku nggak ....""Papa tidak bicara sama kamu, Yolla." Sony mengingatkan tanpa memandang putrinya. "Saya tidak akan buru-buru, silakan kamu dan Yolla saling beradaptasi secara alami."Apa-apaan ini, batin Byanz tidak men
Byanz dan Yolla duduk di kursi yang telah tersedia. Sambil makan, sesekali mereka berdua terlibat obrolan singkat dengan Vivian dan Rasha yang duduk berhadapan. “Hari yang sibuk untuk seorang CEO?” komentar Rasha basa-basi. “Sangat, apalagi untuk orang baru seperti saya.” Byanz menganggukkan kepalanya. “Oh ya?” tanggap Rasha dengan ekspresi terkejut. Yolla sendiri disibukkan dengan obrolan yang menurutnya tidak begitu penting dengan Vivian. “Kamu masih kelihatan muda, lulus sarjana umur berapa?” tanya Vivian ramah. “Dua tiga mungkin ... entahlah, sudah lupa,” sahut Yolla, sesekali jemarinya asyik berselancar ria di layar ponselnya. Byanz yang melihat kalau Yolla lebih sibuk dengan gawai di tangan, tidak tahan jika tidak menegurnya. “Bu Yolla?” panggil Byanz sambil mendekatkan kepalanya ke arah Yolla. “Tolong simpan ponselnya dulu, kita sedang ada jamuan penting sekarang ....”“Diam,” desis Yolla sambil mendorong kepala Bya