Sementara itu Yolla masih belum bisa terima tentang keputusan ayahnya mengangkat Byanz sebagai CEO di perusahaan ini. Mana bisa dirinya yang berpendidikan tinggi disandingkan dengan mantan office boy yang riwayat pendidikannya tidak jelas.
Itu namanya penghinaan, geram Yolla dalam hatinya.Segera saja dia menyuruh orang untuk mencari informasi tentang Babyanz Avinskie termasuk riwayat pendidikannya.Setidaknya Yolla ingin memastikan sendiri bahwa pesaingnya itu adalah orang yang sangat sejajar dalam hal apa pun."Ini berkas yang Anda minta, Bu." Mita mengulurkan satu map cokelat ke arah Yolla."Nggak ada yang tahu kan kalau saya suruh kamu ambil data pribadi Babyanz?" tanya Yolla sambil mendongak menatapsekretarisnya."Tidak ada, Bu." Mita menggelengkan kepalanya dengan sopan."Bagus," sahut Yolla dengan nada puas. "Kamu boleh pergi. Tapi ingat, jangan cerita sama siapa pun soal ini."Mita mengangguk dan buru-buru pergi dari ruangan Yolla.Sepeninggal Mita, Yolla menundukkan kepalanya untuk memeriksa biodata Byanz. Dia nampak biasa saja saat membaca pada baris awal, tapi semakin ke bawah ada otot yang berkedut di pelipisnya seakan baru saja menemukan sebuah dosa yang tidak bisa dimaafkan."Pa, tolong jelaskan apa maksudnya ini?" Yolla cepat-cepat pergi ke ruangan ayahnya dan menunjukkan lembar biodata Byanz.Sony mendongakkan wajahnya dengan heran."Kenapa Papa menempatkan Babangs di posisi bergengsi," tuntut Yolla lambat-lambat. "Sementara dia cuma tamatan SMP aja?"Sony mengisyaratkan putrinya untuk duduk terlebih dahulu dan bicara baik-baik, tapi Yolla jelas tak mau."Yolla?" panggil Sony sabar.Yolla mendengus kemudian duduk di kursi yang ada di hadapan ayahnya."Tolong Papa jelaskan sama aku sekarang," tuntut Yolla lagi. "Kenapa Papa lebih pilih Babangs yang hanya tamat SMP daripada aku? Anak papa yang lulusan sarjana!"Sony menegakkan punggungnya dan memandang Yolla dengan saksama."Kamu tahu kan kalau data karyawan itu sifatnya rahasia?" tanya Sony kalem tapi tegas. "Jadi seharusnya kamu nggak berhak mencari tahu tentang siapa Babyanz sesungguhnya."Yolla menarik napas dengan gusar."Kalau aku nggak cari tahu, aku nggak akan sadar kalau Papa sama Babangs sudah mencurangi aku!" katanya dramatis. "Papa kok tega, lebih pilih lulusan SMP daripada seorang sarjana yang ....""... belum tentu lebih berkompeten daripada tamatan SMP," potong Sony lugas. "Babyanz itu cerdas, Yol. Dia terpaksa hanya tamat SMP karena memang keterbatasan biaya."Yolla menggelengkan kepala, tentu saja dia tidak peduli dengan alasan ini. Yang dia paham adalah bahwa ayahnya lebih mengutamakan orang lain daripada putri kandungnya sendiri."Ini nggak adil Pa," keluh Yolla dengan nada merajuk. "Aku tahu kami seumuran, tapi si office boy itu nggak layak bersaing sama aku memperebutkan kursi CEO ....""Kalian tidak perlu berebut, Yol." Sony menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Papa sudah sediakan ruangan untuk kamu sendiri, Byanz juga. Jadi buat apa kamu merisaukan hal ini?""Tapi, Pa ....""Intinya, papa membutuhkan Byanz." Sony memotong dengan sedikit penekanan pada ucapannya. "Sambil menunggu kamu lebih berkompeten, tidak ada salahnya kalau papa mempekerjakan Byanz di sini. Jadi untuk apa kamu merasa terganggu?"Yolla terdiam, dia sudah kehabisan kata-kata untuk mendebat ucapan ayahnya."Sialan si Babangs," rutuk Yolla ketika dia sudah kembali ke ruangannya. "Papa juga nggak adil sama aku ...."Yolla duduk di kursinya dengan gusar. Dari awal bertemu, dia memang sudah sangat tidak suka dengan Byanz. Ditambah lagi sekarang laki-laki itu menjabat jadi CEO di perusahaan ayahnya pula."Menyebalkan," dengus Yolla sambil bertopang dagu, dia tidak tahu lagi siapa yang lebih mengesalkan dirinya.Byanz atau ayahnya sendiri.Sementara itu di ruangan lain, Byanz sedang mencoba beradaptasi dengan jabatan barunya. Dia sendiri kaget setengah mati saat Sony tiba-tiba memintanya untuk mengirimkan CV ke perusahaan.Awalnya tentu saja Byanz menolak, karena dia sadar jika pendidikannya hanyalah sebatas tamatan SMP dan tentunya tidak dapat disejajarkan dengan Yolla.Kini Byanz tahu bahwa wanita itu semakin membencinya karena kejadian ini."Merasa jadi Cinderella ya kamu?" komentar Yolla pedas ketika dia dan Byanz keluar ruangan mereka nyaris bersamaan.Byanz menolehkan wajahnya dengan datar."Tentu saja enggak," geleng Byanz. "Di dunia ini nggak ada laki-laki yang berubah jadi Cinderella."Byanz yang biasanya tidak berkeinginan untuk memandang Yolla, kali ini tidak sungkan menatapnya agar wanita itu tahu bahwa nasib seseorang tidak selamanya berada di bawah."Apa lihat-lihat?" sentak Yolla. "Sudah berani ngelunjak kamu?"Byanz mengerjabkan matanya dan memalingkan wajah."Maaf, saya permisi." Dia melangkah pergi dan meninggalkan Yolla sendirian di tempatnya.Byanz berjalan santai ke belakang, tempat dia sering melepas lelah setelah mengerjakan tugasnya untuk bersih-bersih ruangan."Baby!""Wah, ini dia CEO baru kita!""Nggak nyangka Byanz, kamu bisa naik jabatan!"Rekan-rekan office boy Byanz antusias melihat kemunculannya."Selamat ya?" ucap Ifan sambil tersenyum lebar. "Jangan lupakan kami ...."Byanz menganggukkan kepalanya."Tentu saja aku nggak akan melupakan kalian semua," sahut Byanz, wajahnya menoleh saat melihat sosok ayahnya muncul dari salah satu bilik toilet."Ayah?" panggil Byanz, refleks mengesun punggung tangan seorang pria yang sudah berusia senja dengan takzim."Jangan salahgunakan jabatanmu ya, Yanz?" sahut pria itu, yang tak lain tak bukan adalah ayah Byanz. "Ayah bangga sama kamu, terima kasih kamu sudah sempat menggantikan ayah bersih-bersih di sini ....""Sudah kewajiban aku, Yah." Byanz mengangguk sambil tersenyum. "Aku lanjut kerja lagi, ya? Teman-teman semua, jangan lupa istirahat!""Oke, Baby!""Sukses terus, ya!"Byanz melangkah pergi meninggalkan rekan-rekan office boy lainnya dan berbelok menuju kantin untuk makan siang."Heh Babangs!"Byanz mendengar suara Yolla memanggilnya dan dia menolehkan kepalanya ke belakang."Ada apa, Bu Yolla?" tanya Byanz sopan ketika Yolla mendekatinya sambil berkacak pinggang."Kamu nyogok berapa duit sama papa saya untuk jabatan ini?" tanya Yolla sambil mengernyit curiga.Byanz memandang Yolla dengan tatapan tidak mengerti."Saya nggak nyogok," jawab Byanz apa adanya. "Uang saja saya nggak punya.""Terus kenapa kamu punya muka buat menjabat sebagai CEO di sini?" tanya Yolla meradang. "Kamu harusnya tahu diri dong, lulusan SMP seperti kamu mana pantas pakai kemeja berdasi seperti ini!"Byanz membiarkan saja ocehan Yolla masuk ke telinga kanan dan keluar dari telinga kirinya."Ibu bisa tanyakan sendiri pada Pak Sony," jawab Byanz kalem, meskipun dalam hatinya dia mulai gerah.Namun, Byanz tidak ingin memperturutkan emosinya dengan meladeni kemurkaan Yolla.Sejujurnya Byanz sendiri tidak mengerti kenapa Pak Sony tiba-tiba memintanya mengirim lamaran lengkap ke perusahaannya.Setelah itu dia diminta datang untuk menjalani serangkaian tes-tes sulit yang ajaibnya bisa dia kerjakan dengan mudah."Byanz?" Rani rupanya sudah menanti kepulangan Byanz di rumah."Kamu ... sedang apa di sini?" tanya Byanz dengan wajah datar.Bersambung—Rani memandang Byanz dengan sorot mata berbeda dibandingkan dengan pertemuan terakhir mereka. “Aku ... yah, aku Cuma mau minta maaf ...” kata Rani terbata-bata. “Aku tahu ucapan aku yang dulu sangat jahat ....”Byanz menarik napas panjang. “Ya sudahlah,” katanya. “Aku lagi nggak mau bahas soal dulu-dulu.”Rani kelihatan salah tingkah saat Byanz berjalan melewatinya begitu saja. “Lancar, Yanz?” sambut Sari yang baru kembali dari dapur. “Lancar Bu,” jawab Byanz sambil mengangguk. “Oh ya, Rani sudah sejak kapan ada di sini?”“Rani sudah sejak tadi di rumah nungguin kamu saat dia tahu kalau kamu naik jabatan,” jawab Sari. “Dia kelihatannya ikut senang mendengar berita ini.”Byanz hanya menganggukkan kepalanya dan berlalu pergi ke kamar.Rani masih duduk terpekur di kursinya ketika Byanz muncul tanpa ekspresi yang berarti. “Belum pulang kamu?” tanya Byanz dengan nada datar. Rani tergeragap menoleh ke arah Byanz. “Kamu ... udah maafin aku belum?” tanya Rani memberanikan d
“Byanz, saya mau kamu yang mewakilkan pertemuan penting dengan klien dari Platinum Grup.” Sony mendatangi Byanz di ruangannya ketika dia baru saja memeriksa salah satu proposal.“Saya, Pak?” tanya Byanz sambil buru-buru berdiri untuk menyambut bosnya. “Iya, kamu.” Sony mengangguk.“Saya ... tidak enak sama Bu Yolla, Pak.” Byanz mengaku. “Saya kan tidak sederajat pendidikannya ....”Sony justru tersenyum simpul mendengarnya. “Kamu bisa pergi sama Yolla,” katanya ringan. “Sekalian kamu ajari putri saya agar dia memiliki attitude yang baik seperti kamu.”Byanz terpaku sejenak, dia teringat dengan Yolla yang pernah meremehkannya karena dirinya hanyalah tamatan SMP saja. “Apa Bu Yolla bersedia pergi sama saya, Pak?” tanya Byanz ragu. “Saya khawatir kalau ... seandainya Bu Yolla keberatan dan pertemuan itu malah akan terganggu dengan kehadiran saya ....”Sony menggelengkan kepalanya. “Tenang saja, ini hanya pertemuan ramah tamah biasa. Jadi ada baiknya kamu sama Yolla pergi ber
Byanz sendiri sudah tentu ingin menolak usul bos besarnya, tetapi dia tidak mungkin mengatakannya langsung di depan Yolla. Bagaimanapun, dia masih menjaga perasaan putri Sony meskipun sikapnya sangat tidak menyenangkan hatinya. "Saya ..." Byanz berusaha mencari kata-kata yang pas untuk menolak rencana Sony. "Apa ada yang kurang dari Yolla, Pak Byanz?" tanya Sony lagi. Byanz melirik Yolla yang mendelik ke arahnya, seakan siap mengulitinya hidup-hidup kalau dia berani bilang yang jelek-jelek tentangnya. "Tidak ada Pak," geleng Byanz. "Bu Yolla ... sempurna sekali."Sony tersenyum simpul sementara Yolla mendengus pelan. "Baiklah, tidak ada alasan bagi kamu untuk menolak putri saya kan?" tanya Sony lagi sambil memandang Byanz. "Pa, apa-apaan ini?" sela Yolla gusar. "Aku nggak ....""Papa tidak bicara sama kamu, Yolla." Sony mengingatkan tanpa memandang putrinya. "Saya tidak akan buru-buru, silakan kamu dan Yolla saling beradaptasi secara alami."Apa-apaan ini, batin Byanz tidak men
Byanz dan Yolla duduk di kursi yang telah tersedia. Sambil makan, sesekali mereka berdua terlibat obrolan singkat dengan Vivian dan Rasha yang duduk berhadapan. “Hari yang sibuk untuk seorang CEO?” komentar Rasha basa-basi. “Sangat, apalagi untuk orang baru seperti saya.” Byanz menganggukkan kepalanya. “Oh ya?” tanggap Rasha dengan ekspresi terkejut. Yolla sendiri disibukkan dengan obrolan yang menurutnya tidak begitu penting dengan Vivian. “Kamu masih kelihatan muda, lulus sarjana umur berapa?” tanya Vivian ramah. “Dua tiga mungkin ... entahlah, sudah lupa,” sahut Yolla, sesekali jemarinya asyik berselancar ria di layar ponselnya. Byanz yang melihat kalau Yolla lebih sibuk dengan gawai di tangan, tidak tahan jika tidak menegurnya. “Bu Yolla?” panggil Byanz sambil mendekatkan kepalanya ke arah Yolla. “Tolong simpan ponselnya dulu, kita sedang ada jamuan penting sekarang ....”“Diam,” desis Yolla sambil mendorong kepala Bya
“Makan, Fan?” Byanz menyambangi Ifan di belakang, tempat yang biasa digunakan para petugas kebersihan untuk melepas penat setelah bekerja. “Loh Yanz, kamu ngapain sampai ke sini?” tanya Ifan terkejut. “Kamu kan sudah naik jabatan ....”“Ya terus?” sahut Byanz sambil tersenyum kalem. “Nggak masalah kan, ini jam makan siang. Nanti aku bisa balik ke ruanganku lagi kalau sudah jam kerja.”Ifan belum sempat menjawab karena saat itu ada beberapa orang yang melihat Byanz dan menyapanya. “Aku kira kamu sudah lupa sama teman-teman office boy,” komentar Ifan ketika dia dan Byanz duduk satu meja di kafetaria. “Macam orang-orang yang sudah naik kelas.”Byanz menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku bukan lupa, tapi lagi adaptasi sama kerjaan.” Byanz menjelaskan. “Jadi CEO itu nggak sementereng kelihatannya Fan, tanggung jawabnya berat. Dan aku nggak mau mengecewakan Pak Sony yang sudah kasih aku kesempatan.”Ifan mengangguk paham, kemudian menyedot es teh
Sony memandang Yolla yang tengah terbaring lemah dengan jarum infus terpasang di salah satu punggung tangannya, sementara Virnie terlihat duduk dengan wajah sedih di sampingnya. “Pak Byanz, saya sangat berterima kasih.” Sony bergegas menemui Byanz yang masih berada di luar.“Sama-sama Pak,” sahut Byanz sambil buru-buru berdiri. “Bu Yolla sudah tidak apa-apa kan, saya permisi kembali ke kantor dulu ....”Sony menganggukkan kepalanya. “Sekali lagi terima kasih,” sahut Sony sambil tersenyum. “Biar sopir kantor yang mengantar kamu.”“Baik Pak,” angguk Byanz sambil berbalik pergi. Sepanjang perjalanan kembali ke kantor, Byanz sesekali menjawab pertanyaan dari sopir yang mengantarnya tentang apa yang baru saja dialami Yolla. “Saya nggak tahu persis, mungkin kecapekan.” Byanz menjelaskan sebisanya. Setibanya di kantor, Byanz kembali menekuni pekerjaannya dan bayangan Yolla yang tengah terbaring lemas langsung menghilang begitu saja dari pikirann
Kedua orang tua Byanz terkejut bukan main saat mendengar berita bahwa anak mereka akan dijodohkan dengan putri dari pemilik perusahaan besar sekelas Emerald Enterprise.“Kamu serius, Yanz?” tanya Ramzy, ayah Byanz dengan wajah tidak percaya.“Iya, Yah.” Byanz mengangguk membenarkan.“Tapi keluarga Pak Sony itu keluarga terpandang,” kata Sari, ibunda Byanz dengan suara lirih. “Apa mereka mau besanan sama keluarga kita yang sangat sederhana ini?”Ramzy dan Sari saling berpandangan, membuat Byanz jadi ikut bimbang.“Ayah sama Ibu nggak usah kepikiran, nanti aku kabari lagi.” Byanz buru-buru menimpali.“Ayah sih nggak mempermasalahkan kamu berjodoh sama siapa, asalkan dia bisa menghargai kamu dengan segala keadaan kamu.” Ramzy menyahut.“Memangnya Yolla yang akan dijodohkan sama Byanz itu anaknya seperti apa?” tanya Sari ingin tahu.Ramzy menarik napas.“Jujur perangainya nggak terlalu bagus,” ungkap Ramzy. “Sangat berbanding terbalik sama anak kita y
Sekeras apa pun usaha Yolla untuk menolak perjodohan itu, tetap saja ayahnya tidak akan membatalkan rencana yang sudah dia susun sejak lama.“Apa sih yang Papa lihat dari Babangs?” tanya Yolla tidak habis pikir. “Kalau Papa memang mau aku menikah, biar aku yang cari jodoh sendiri. Tentunya yang sesuai sama kriteria aku karena kelak aku yang akan menjalaninya.”“Memangnya kamu bisa menjamin kalau pria yang kamu pilih itu adalah orang baik-baik?” tanya Sony sambil memandang putrinya lekat-lekat. “Paling juga dia hanya mau sama kekayaan papa saja ....”“Apa Papa pikir Babangs juga nggak begitu?” sahut Yolla dengan napas memburu. “Dia kan dari keluarga pas-pasan, jelas saja dia nggak mungkin menolak perjodohan ini. Kapan lagi bisa dapat jodoh satu paket? Sudah cantik, kaya, berpendidikan tinggi, populer, orang tuanya juga kaya raya, punya perusahaan ....”“Byanz menolak kok,” kata Sony tenang.“Apa?” Yolla terpaku. “Dia berani-beraninya menolak rencana Papa ...? Somb