Share

7 Hanya Lulusan SMP

Sementara itu Yolla masih belum bisa terima tentang keputusan ayahnya mengangkat Byanz sebagai CEO di perusahaan ini. Mana bisa dirinya yang berpendidikan tinggi disandingkan dengan mantan office boy yang riwayat pendidikannya tidak jelas.

Itu namanya penghinaan, geram Yolla dalam hatinya.

Segera saja dia menyuruh orang untuk mencari informasi tentang Babyanz Avinskie termasuk riwayat pendidikannya.

Setidaknya Yolla ingin memastikan sendiri bahwa pesaingnya itu adalah orang yang sangat sejajar dalam hal apa pun.

"Ini berkas yang Anda minta, Bu." Mita mengulurkan satu map cokelat ke arah Yolla.

"Nggak ada yang tahu kan kalau saya suruh kamu ambil data pribadi Babyanz?" tanya Yolla sambil mendongak menatapsekretarisnya.

"Tidak ada, Bu." Mita menggelengkan kepalanya dengan sopan.

"Bagus," sahut Yolla dengan nada puas. "Kamu boleh pergi. Tapi ingat, jangan cerita sama siapa pun soal ini."

Mita mengangguk dan buru-buru pergi dari ruangan Yolla.

Sepeninggal Mita, Yolla menundukkan kepalanya untuk memeriksa biodata Byanz. Dia nampak biasa saja saat membaca pada baris awal, tapi semakin ke bawah ada otot yang berkedut di pelipisnya seakan baru saja menemukan sebuah dosa yang tidak bisa dimaafkan.

"Pa, tolong jelaskan apa maksudnya ini?" Yolla cepat-cepat pergi ke ruangan ayahnya dan menunjukkan lembar biodata Byanz.

Sony mendongakkan wajahnya dengan heran.

"Kenapa Papa menempatkan Babangs di posisi bergengsi," tuntut Yolla lambat-lambat. "Sementara dia cuma tamatan SMP aja?"

Sony mengisyaratkan putrinya untuk duduk terlebih dahulu dan bicara baik-baik, tapi Yolla jelas tak mau.

"Yolla?" panggil Sony sabar.

Yolla mendengus kemudian duduk di kursi yang ada di hadapan ayahnya.

"Tolong Papa jelaskan sama aku sekarang," tuntut Yolla lagi. "Kenapa Papa lebih pilih Babangs yang hanya tamat SMP daripada aku? Anak papa yang lulusan sarjana!"

Sony menegakkan punggungnya dan memandang Yolla dengan saksama.

"Kamu tahu kan kalau data karyawan itu sifatnya rahasia?" tanya Sony kalem tapi tegas. "Jadi seharusnya kamu nggak berhak mencari tahu tentang siapa Babyanz sesungguhnya."

Yolla menarik napas dengan gusar.

"Kalau aku nggak cari tahu, aku nggak akan sadar kalau Papa sama Babangs sudah mencurangi aku!" katanya dramatis. "Papa kok tega, lebih pilih lulusan SMP daripada seorang sarjana yang ...."

"... belum tentu lebih berkompeten daripada tamatan SMP," potong Sony lugas. "Babyanz itu cerdas, Yol. Dia terpaksa hanya tamat SMP karena memang keterbatasan biaya."

Yolla menggelengkan kepala, tentu saja dia tidak peduli dengan alasan ini. Yang dia paham adalah bahwa ayahnya lebih mengutamakan orang lain daripada putri kandungnya sendiri.

"Ini nggak adil Pa," keluh Yolla dengan nada merajuk. "Aku tahu kami seumuran, tapi si office boy itu nggak layak bersaing sama aku memperebutkan kursi CEO ...."

"Kalian tidak perlu berebut, Yol." Sony menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Papa sudah sediakan ruangan untuk kamu sendiri, Byanz juga. Jadi buat apa kamu merisaukan hal ini?"

"Tapi, Pa ...."

"Intinya, papa membutuhkan Byanz." Sony memotong dengan sedikit penekanan pada ucapannya. "Sambil menunggu kamu lebih berkompeten, tidak ada salahnya kalau papa mempekerjakan Byanz di sini. Jadi untuk apa kamu merasa terganggu?"

Yolla terdiam, dia sudah kehabisan kata-kata untuk mendebat ucapan ayahnya.

"Sialan si Babangs," rutuk Yolla ketika dia sudah kembali ke ruangannya. "Papa juga nggak adil sama aku ...."

Yolla duduk di kursinya dengan gusar. Dari awal bertemu, dia memang sudah sangat tidak suka dengan Byanz. Ditambah lagi sekarang laki-laki itu menjabat jadi CEO di perusahaan ayahnya pula.

"Menyebalkan," dengus Yolla sambil bertopang dagu, dia tidak tahu lagi siapa yang lebih mengesalkan dirinya.

Byanz atau ayahnya sendiri.

Sementara itu di ruangan lain, Byanz sedang mencoba beradaptasi dengan jabatan barunya. Dia sendiri kaget setengah mati saat Sony tiba-tiba memintanya untuk mengirimkan CV ke perusahaan.

Awalnya tentu saja Byanz menolak, karena dia sadar jika pendidikannya hanyalah sebatas tamatan SMP dan tentunya tidak dapat disejajarkan dengan Yolla.

Kini Byanz tahu bahwa wanita itu semakin membencinya karena kejadian ini.

"Merasa jadi Cinderella ya kamu?" komentar Yolla pedas ketika dia dan Byanz keluar ruangan mereka nyaris bersamaan.

Byanz menolehkan wajahnya dengan datar.

"Tentu saja enggak," geleng Byanz. "Di dunia ini nggak ada laki-laki yang berubah jadi Cinderella."

Byanz yang biasanya tidak berkeinginan untuk memandang Yolla, kali ini tidak sungkan menatapnya agar wanita itu tahu bahwa nasib seseorang tidak selamanya berada di bawah.

"Apa lihat-lihat?" sentak Yolla. "Sudah berani ngelunjak kamu?"

Byanz mengerjabkan matanya dan memalingkan wajah.

"Maaf, saya permisi." Dia melangkah pergi dan meninggalkan Yolla sendirian di tempatnya.

Byanz berjalan santai ke belakang, tempat dia sering melepas lelah setelah mengerjakan tugasnya untuk bersih-bersih ruangan.

"Baby!"

"Wah, ini dia CEO baru kita!"

"Nggak nyangka Byanz, kamu bisa naik jabatan!"

Rekan-rekan office boy Byanz antusias melihat kemunculannya.

"Selamat ya?" ucap Ifan sambil tersenyum lebar. "Jangan lupakan kami ...."

Byanz menganggukkan kepalanya.

"Tentu saja aku nggak akan melupakan kalian semua," sahut Byanz, wajahnya menoleh saat melihat sosok ayahnya muncul dari salah satu bilik toilet.

"Ayah?" panggil Byanz, refleks mengesun punggung tangan seorang pria yang sudah berusia senja dengan takzim.

"Jangan salahgunakan jabatanmu ya, Yanz?" sahut pria itu, yang tak lain tak bukan adalah ayah Byanz. "Ayah bangga sama kamu, terima kasih kamu sudah sempat menggantikan ayah bersih-bersih di sini ...."

"Sudah kewajiban aku, Yah." Byanz mengangguk sambil tersenyum. "Aku lanjut kerja lagi, ya? Teman-teman semua, jangan lupa istirahat!"

"Oke, Baby!"

"Sukses terus, ya!"

Byanz melangkah pergi meninggalkan rekan-rekan office boy lainnya dan berbelok menuju kantin untuk makan siang.

"Heh Babangs!"

Byanz mendengar suara Yolla memanggilnya dan dia menolehkan kepalanya ke belakang.

"Ada apa, Bu Yolla?" tanya Byanz sopan ketika Yolla mendekatinya sambil berkacak pinggang.

"Kamu nyogok berapa duit sama papa saya untuk jabatan ini?" tanya Yolla sambil mengernyit curiga.

Byanz memandang Yolla dengan tatapan tidak mengerti.

"Saya nggak nyogok," jawab Byanz apa adanya. "Uang saja saya nggak punya."

"Terus kenapa kamu punya muka buat menjabat sebagai CEO di sini?" tanya Yolla meradang. "Kamu harusnya tahu diri dong, lulusan SMP seperti kamu mana pantas pakai kemeja berdasi seperti ini!"

Byanz membiarkan saja ocehan Yolla masuk ke telinga kanan dan keluar dari telinga kirinya.

"Ibu bisa tanyakan sendiri pada Pak Sony," jawab Byanz kalem, meskipun dalam hatinya dia mulai gerah.

Namun, Byanz tidak ingin memperturutkan emosinya dengan meladeni kemurkaan Yolla.

Sejujurnya Byanz sendiri tidak mengerti kenapa Pak Sony tiba-tiba memintanya mengirim lamaran lengkap ke perusahaannya.

Setelah itu dia diminta datang untuk menjalani serangkaian tes-tes sulit yang ajaibnya bisa dia kerjakan dengan mudah.

"Byanz?" Rani rupanya sudah menanti kepulangan Byanz di rumah.

"Kamu ... sedang apa di sini?" tanya Byanz dengan wajah datar.

Bersambung—

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status