Sony memandang Yolla yang tengah terbaring lemah dengan jarum infus terpasang di salah satu punggung tangannya, sementara Virnie terlihat duduk dengan wajah sedih di sampingnya.
“Pak Byanz, saya sangat berterima kasih.” Sony bergegas menemui Byanz yang masih berada di luar.“Sama-sama Pak,” sahut Byanz sambil buru-buru berdiri. “Bu Yolla sudah tidak apa-apa kan, saya permisi kembali ke kantor dulu ....”Sony menganggukkan kepalanya.“Sekali lagi terima kasih,” sahut Sony sambil tersenyum. “Biar sopir kantor yang mengantar kamu.”“Baik Pak,” angguk Byanz sambil berbalik pergi.Sepanjang perjalanan kembali ke kantor, Byanz sesekali menjawab pertanyaan dari sopir yang mengantarnya tentang apa yang baru saja dialami Yolla.“Saya nggak tahu persis, mungkin kecapekan.” Byanz menjelaskan sebisanya.Setibanya di kantor, Byanz kembali menekuni pekerjaannya dan bayangan Yolla yang tengah terbaring lemas langsung menghilang begitu saja dari pikirannKedua orang tua Byanz terkejut bukan main saat mendengar berita bahwa anak mereka akan dijodohkan dengan putri dari pemilik perusahaan besar sekelas Emerald Enterprise.“Kamu serius, Yanz?” tanya Ramzy, ayah Byanz dengan wajah tidak percaya.“Iya, Yah.” Byanz mengangguk membenarkan.“Tapi keluarga Pak Sony itu keluarga terpandang,” kata Sari, ibunda Byanz dengan suara lirih. “Apa mereka mau besanan sama keluarga kita yang sangat sederhana ini?”Ramzy dan Sari saling berpandangan, membuat Byanz jadi ikut bimbang.“Ayah sama Ibu nggak usah kepikiran, nanti aku kabari lagi.” Byanz buru-buru menimpali.“Ayah sih nggak mempermasalahkan kamu berjodoh sama siapa, asalkan dia bisa menghargai kamu dengan segala keadaan kamu.” Ramzy menyahut.“Memangnya Yolla yang akan dijodohkan sama Byanz itu anaknya seperti apa?” tanya Sari ingin tahu.Ramzy menarik napas.“Jujur perangainya nggak terlalu bagus,” ungkap Ramzy. “Sangat berbanding terbalik sama anak kita y
Sekeras apa pun usaha Yolla untuk menolak perjodohan itu, tetap saja ayahnya tidak akan membatalkan rencana yang sudah dia susun sejak lama.“Apa sih yang Papa lihat dari Babangs?” tanya Yolla tidak habis pikir. “Kalau Papa memang mau aku menikah, biar aku yang cari jodoh sendiri. Tentunya yang sesuai sama kriteria aku karena kelak aku yang akan menjalaninya.”“Memangnya kamu bisa menjamin kalau pria yang kamu pilih itu adalah orang baik-baik?” tanya Sony sambil memandang putrinya lekat-lekat. “Paling juga dia hanya mau sama kekayaan papa saja ....”“Apa Papa pikir Babangs juga nggak begitu?” sahut Yolla dengan napas memburu. “Dia kan dari keluarga pas-pasan, jelas saja dia nggak mungkin menolak perjodohan ini. Kapan lagi bisa dapat jodoh satu paket? Sudah cantik, kaya, berpendidikan tinggi, populer, orang tuanya juga kaya raya, punya perusahaan ....”“Byanz menolak kok,” kata Sony tenang.“Apa?” Yolla terpaku. “Dia berani-beraninya menolak rencana Papa ...? Somb
“Kamu nggak malu?” desis Yolla di telinga Byanz ketika pria itu sedang memasangkan cincin pertunangan di jari manisnya.Byanz tidak menjawab.“Seharusnya kan ibu kamu yang membawakan cincin pertunangan ini,” sambung Yolla seakan mengejek bahwa Byanz tidak cukup mampu untuk membeli sepasang cincin pertunangan.Di saat yang sama, ingin sekali rasanya Byanz mematahkan jemari Yolla yang lentik. Dia paling tidak suka saat mendengar ada orang yang sengaja menghina ibunya.“Maaf ya, ibu saya harus mempertimbangkan apa kamu pantas dihadiahi cincin istimewa.” Byanz membalas sambil tersenyum samar.Yolla melirik Byanz dengan tatapan maut, hampir tidak ada dari para orang tua yang menyadari bahwa pasangan di depan mereka sedang bertikai.“Nah kalian berdua, mulai hari ini kalian resmi bertunangan.” Sony memandang Byanz dan Yolla bergantian. “Semoga kalian bisa memanfaatkan momen ini ke depan dengan saling mengenal satu sama lain.”Byanz menganggukkan kepalanya.
Byanz mendengus pelan begitu mendengar pengakuan jujur Rani terhadapnya.“Memang sekarang aku sudah bukan office boy lagi,” katanya setuju sambil menganggukkan kepalanya. “Dan karena itu kamu jadi mengejar-ngejar aku lagi kan?”Rani sukses terbungkam.“Yanz, tolong kasih aku kesempatan sekali lagi untuk memperbaiki hubungan kita. Kamu mau kan?” pintanya dengan wajah memelas.Namun, Byanz menggeleng dengan sangat tegas. “Aku nggak bisa, Ran. Kamu nggak lihat kalau aku sudah punya tunangan?” katanya sambil dengan sengaja menunjukkan cincin yang kini melingkar di salah satu jemarinya. “Satu hal lagi yang harus kamu tahu tentang aku, kalau aku ini adalah orang yang sangat menghargai hubungan yang apa adanya.”Rani menarik napas.“Apa selama ini aku kurang menerima kamu apa adanya?” Dia masih berani bertanya.“Menurut kamu?” tukas Byanz. “Kamu lupa, kalau kamu sendiri yang jelas-jelas mengakhiri hubungan kita di depan Bu Yolla hanya gara-gara aku kerja ja
Byanz baru saja selesai mandi sore dan sedang setengah jalan mengenakan kaos santai untuk menutupi tubuhnya yang masih agak basah.“Yanz, ada Rani di depan!” seru Sari sambil mengetuk pintu kamar Byanz beberapa kali.“Iya, Bu!” sahut Byanz sambil menyisiri rambutnya yang lebat dengan jari tangannya. Dia sebetulnya malas bertemu dengan Rani lagi, tetapi di sisi lain dia juga enggan jika tetangga menganggapnya sombong setelah kehidupannya berubah seratus delapan puluh derajat.“Hei, Ran?” sapa Byanz dengan nada yang berusaha dibuatnya seramah mungkin. “Ada perlu apa kamu ke sini?”Rani menghirup napas sebentar sebelum menjawab. “Aku mau minta maaf,” katanya pelan tanpa memandang Byanz.“Minta maaf?” tanya Byanz sambil mengerutkan keningnya. “Soal apa?”“Semuanya,” jawab Rani, menoleh dan menampakkan wajah sedihnya kepada sang mantan kekasih. “Aku harap kamu mau maafin aku, Yanz. Mungkin ucapan aku sangat menyakitkan hati kamu ....”Byanz terpaku sebent
“Ibu nggak perlu mikirin itu,” geleng Byanz sambil menatap Sari. “Untuk sekarang ini Pak Sony maunya aku sama Bu Yolla saling mengenal, masalah menikah ... aku belum tahu kepastiannya gimana.”“Lho, apa-apaan ini Yanz?” tanya Ramzy bingung. “Yang namanya tunangan kan seharusnya maju ke pernikahan, kok kamu malah belum pasti?”Sari memandang Byanz dengan sorot mata yang menuntut penjelasan.“Yang namanya jodoh, siapa yang tahu?” jawab Byanz lugas. “Pertunangan memang sifatnya mengikat, tapi ikatannya bisa saja putus setiap saat. Jadi aku minta Ayah sama Ibu nggak usah terlalu kepikiran. Aku saja menjalaninya dengan santai.”Sebenarnya dalam hati, Byanz mengakui bahwa dirinya tidak bisa sesantai itu menghadapi ucapan dan perlakuan semena-mena Yolla kepadanya. Terkadang ada keinginan untuk membalas sedikit saja kesombongan Yolla agar dia menyadari bahwa masih ada langit di atas langit.Hari itu Byanz menyempatkan diri untuk melihat-lihat brosur yang menampilkan bera
“Jangan mimpi terlalu tinggi kamu,” potong Yolla sambil menjatuhkan dirinya ke sofa.“Saya nggak mimpi kok,” kata Byanz pura-pura bodoh. “Kalau saya bermimpi, saya nggak mungkin bisa sampai ke rumah Pak Sony dengan selamat seperti ini.”Yolla melengos.“Saya pikir kamu bakalan datang pakai ... seragam office boy,” komentarnya, seperti biasa dengan nada merendahkan.Namun, Byanz tidak menjawab dan hanya menoleh memandangnya dengan ekspresi datar.“Oh iya lupa, kamu kan sudah bukan office boy lagi.” Yolla meralat ucapannya. “Penampilan kamu nggak buruk kok, malah mirip seperti mahasiswa yang sedang magang. Tapi ... memangnya kamu pernah kuliah di universitas? Enggak kan, bukannya kamu cuma lulusan SMP?”Byanz menarik napas panjang. Sudah jelas jika kedatangannya ke rumah Sony hanya untuk dihina-hina Yolla saja.Sampai kapan dia akan bertahan dari pertunangan konyol ini?“Maaf Pak, bagaimana kalau saya mundur saja dari pertunangan dengan Bu Yolla?” Byanz
“Ajak calon suami kamu masuk dong, Yol?” suruh Sisty antusias.“Biar ajalah,” sahut Yolla masa bodoh sambil membaringkan dirinya untuk bersiap-siap keramas. “Kepalaku pusing banget Sis, nanti dipiji-pijit sekalian ya?”“Gampang!” angguk Sisty. “Tapi itu disuruh masuk dulu calon suami kamu, nggak enak aku kalau dia dibiarkan nunggu di luar kayak sopir begitu.”“Nggak usah,” tolak Yolla mentah-mentah. “Lagian ini kan salon khusus wanita, gimana sih kamu. Sudah deh, nggak usah pedulikan dia kayak anak kecil.”Sisty tidak mendengar dan malah berjalan menuju mobil Yolla berada.“Baby!” panggil Sisty sembari mengetuk kaca mobil sahabatnya tanpa sungkan.Byanz yang sedang mendinginkan kepalanya, bergegas menurunkan kaca mobil Yolla dan terlihatlah wajah sumringah Sisty yang sedang menatapnya.“Ada apa, Mbak?” tanya Byanz sopan.“Mbak?” ulang Sisty sambil tertawa kecil. “Saya ini temannya Yolla, panggil aja Sisty.”“Oh iya ...” angguk Byanz dengan senyum
"Begitulah," sahut Clerin melalui sambungan telepon. "Kalau nggak, mana mungkin dia bisa tahu soal obat yang kamu berikan itu." Sunyi sesaat selain hanya dengusan napas yang Clerin dengar dari seberang sana. "Sekarang bagaimana? Aku bisa dicabut izin praktekku kalau sampai masalah Callisto ini ketahuan ...." "Tenang!" potong Clerin segera. "Aku akan menanggung semua risikonya, kamu nggak perlu khawatir izin praktek kamu dicabut." Teman Clerin tentu saja mulai gelisah mendengar kabar ini. Dulu, awalnya dia sudah tidak setuju saat Clerin memintanya untuk menangani Callisto dengan masalah ingatannya. "Aku akan berusaha bikin Callisto mau periksa di tempat kamu lagi," janji Clerin. "Asal kamu ...." "Ya ampun Clerin, jangan lagi-lagi deh!" tolak teman Clerin. "Aku nggak mau terlibat lebih jauh soal pria asing yang kamu panggil pakai nama mendiang suami kamu. Sadarlah, suami kamu sudah meninggal dan bukan hal yang bagus kalau kamu sengaja menghidupkannya kembali dalam diri pria itu .
"Halo?" "Kamu suka?" tanya Callisto begitu Yolla menjawab panggilannya. "Buket bunga yang aku kirim tadi ...." "Suka sekali!" sahut Yolla, nyaris melonjak seperti anak kecil yang mendapatkan mainan kesukaannya. "Bunga yang kamu kirimkan ke aku selalu bagus-bagus, terima kasih." Sunyi sebentar. "Bunga itu mungkin akan layu dan mati dalam beberapa hari ke depan, tapi kamu harus yakin kalau niat aku untuk melamar kamu tidak akan pernah mati." Callisto menegaskan. "Kamu cuma harus bersabar sedikit, Yolla." "Iya ..." lirih Yolla tersipu saat Callisto terang-terangan memanggil namanya. "Kamu juga ya ... Niat baik pasti akan menemukan jalannya sendiri." "Kamu benar," sahut Callisto. "Ya sudah, aku kerja dulu. Ingat, jangan mikir macam-macam hanya karena aku satu kantor sama Bu Clerin." "Iya ..." sahut Yolla sambil tersenyum meskipun Callisto tidak dapat melihat tingkahnya. "yang penting kamu tidak macam-macam sama dia. Jangan kegenitan juga, ingat kalau dia yang sengaja membuat ingat
Yolla langsung lemas saat mendengar jawaban papanya yang tidak sesuai harapan. "Tapi kenapa, Pa?" tanya Yolla ingin tahu. "Kan yang penting Shano masih sendiri. Bukannya itu yang Papa tunggu sejak Shano melamar aku?" Sony menarik napas dan memandang Yolla lurus-lurus. "Papa lega kalau memang benar Shano itu masih sendiri," katanya lambat-lambat. "Tapi di luar itu, ada beberapa hal lain yang menjadi pertimbangan papa juga. Misalnya saja siapa kedua orang tua Shano dan keluarganya yang lain." Yolla menarik napas. "Namanya juga orang hilang ingatan, Pa. Shano juga sedang menjalani proses pengobatan ... Tapi kalau Papa mengharapkan dia sembuh dalam waktu dekat, siapa yang bisa menjamin itu? Apa aku juga harus nunggu sampai Shano benar-benar sembuh total?" Sony tidak segera menjawab. "Ayo dong, Pa ..." bujuk Yolla dengan wajah memelas. "Apa Shano yang mendesak kamu untuk segera menikah?" tanya Sony ingin tahu. Yolla buru-buru menggelengkan kepalanya. "Shano sudah tahu kalau Pap
"Maksud kamu apa sih?" tanya Callisto bingung. "Aku sama Bu Clerin hanya bertemu setiap hari di kantor, itu juga karena pekerjaan saja. Tidak lebih, jadi kenapa kamu harus mempermasalahkan soal ini?" Yolla melengos. "Aku tidak mempermasalahkannya," bantah Yolla. "Kalau aku menjadikannya masalah, pasti aku sudah dari kemarin protes sama kamu." Callisto tersenyum samar, menurutnya ucapan Yolla sangat berbanding terbalik dengan sikapnya. "Kamu mempermasalahkannya dengan cara menghindari aku," komentar Callisto sambil mengangkat cangkir kopinya. "sengaja tidak mau menjawab telepon dari aku bahkan tidak membalas pesanku sama sekali." Yolla tidak menampik, karena semua yang diucapkan Callisto adalah benar adanya. "Terus maksud kamu kalau aku sama Bu Clerin itu seperti keluarga kecil yang bahagia itu apa?" tanya Callisto ingin tahu. "Kamu tidak perlu berpikir jelek soal aku ...." "Memang itu kenyataannya," potong Yolla sambil merogoh tasnya untuk mengambil ponsel. "Kamu tidak perlu m
Hari itu Yolla sedang mengendarai mobilnya di jalan raya sepulangnya dia dari kantor. Tanpa dia sadari, ada sebuah mobil merah yang berjalan tepat beberapa meter di belakangnya. Awal-awal, lalu lintas di sekitar ruas jalan yang dilalui Yolla terlihat biasa-biasa saja. Sampai pada saat mobil yang dia kendarai memasuki jalanan yang lebih lebar tapi dengan dominasi kendaraan-kendaraan besar seperti mobil dan truk. Mobil merah yang semula berjarak agak jauh dari mobil Yolla, perlahan menambah kecepatan hingga kini jaraknya agak lebih mendekat. Namun, Yolla sama sekali tidak memperhatikan karena baginya jalan raya adalah tempat umum yang siapapun bebas mengendarai mobilnya di sana. Namun, lama kelamaan Yolla merasa juga jika mobil itu seakan sengaja membuntutinya. "Kok mobil itu nggak nyalip-nyalip sih?" gumam Yolla curiga. "Perasaan dari tadi di belakang terus ... apa jangan-jangan tujuannya sama?" Yolla tanpa ragu menambah kecepatan mobilnya demi memperlebar jarak dengan mobil merah
"Papa ...?" Callisto tidak mampu lagi untuk tidak mempedulikan bocah perempuan yang tak berdosa itu. "Vhea, kamu harus cepat tidur ya?" ucap Callisto akhirnya, membuat langkah Clerin terhenti. "Aku kangen Papa," ulang Vhea sambil melongok melewati bahu sang mama. "Aku mau Papa temani aku ... Aku sayang Papa ...." Beberapa kata terakhir yang dilontarkan Vhea sukses membuat hati Callisto terenyuh, dan dia seketika sadar yang menjadi musuh dalam selimutnya adalah Clerin. Bukannya Vhea. "Kamu mau tidur sama papa?" tanya Callisto sambil berdiri. Vhea diam saja dan hanya menganggukkan kepalanya. "Tidak perlu kalau kamu sedang tidak ingin diganggu," geleng Clerin sambil menolehkan wajahnya. "Saya mengerti kalau kamu juga mempunyai kehidupan sendiri." Callisto kali ini yang terdiam, seharusnya dia senang saat Clerin menyadari hal itu. Namun, kenapa rasanya dia tidak tega jika harus menolak Vhea dan membuat bocah perempuan itu kecewa? "Malam ini kamu boleh tidur di tempat papa k
Callisto sudah tidak percaya lagi dengan apa yang dikatakan oleh bosnya. "Apa begini cara kamu menyayangi Vhea?" komentarnya dengan nada dingin. "Dengan menghalalkan segala cara untuk membuat dia berpikir bahwa papanya masih hidup?" Clerin mengerjabkan kedua matanya yang kini terasa basah. "Kamu mungkin tidak akan bisa mengerti ..." tutur Clerin dengan suara lemah. "Kamu belum punya memiliki anak, jadi kamu tidak tahu ... bagaimana rasanya kehilangan pendamping hidup ... dengan seorang anak kecil yang masih membutuhkan kasih sayang dari kedua orang tuanya ...." Callisto memalingkan wajahnya dengan jengah. "Kehilangan seorang pendamping hidup, ya?" komentarnya. "Lalu bagaimana dengan saya yang kehilangan semuanya? Keluarga saya, bahkan ingatan saya ... Semuanya pergi meninggalkan saya, bandingkan dengan diri kamu! Seperti itu kamu merasa bahwa hidup kamu dan Vhea adalah yang paling menderita? Lalu bagaimana dengan yang saya rasakan?" Clerin tidak berkata apa-apa, untuk sementar
“Lagipula bukankah status saya adalah sebagai penyewa mansion, jadi kenapa kamu keberatan?” Clerin tidak segera menyahut informasi yang diberikan Callisto kepadanya. “Kalau kamu keberatan atau merasa terganggu dengan kedatangan Yolla tadi, saya tidak masalah kalau harus pindah dari mansion kamu.” Callisto melanjutkan. “Saya pikir sudah saatnya saya mencari tempat tinggal baru.” Tanpa sadar, jemari Clerin mengepal saat dia mendengar ucapan Callisto barusan. “Kamu tidak perlu seperti itu,” katanya berusaha menekan egonya hingga ke dasar. “apalagi masa sewa kamu masih panjang, jadi jangan buang-buang uang.” Callisto mengangkat bahunya. “Jadi tidak masalah kan kalau Yolla sesekali datang ke mansion?” tanya pria itu sambil memandang sang bos. “Kamu tidak perlu khawatir karena saya dan Yolla tidak akan melakukan perbuatan yang tak pantas.” Clerin memaksakan diri tersenyum sebelum berkomentar, dia sadar bahwa dia sedang menghadapi pria yang bukanlah suaminya. "Baiklah, saya r
Yolla sendiri tidak kalah terkejut saat mendapati sang pemilik mansion sudah berdiri di hadapannya. “Bu Yolla ... ada perlu apa?” tanya Clerin dengan bahasa tubuh yang begitu anggun meskipun dalam hatinya begitu bergemuruh saat melihat jika Yola sudah berani mendatangi mansion miliknya secara terang-terangan seperti ini. “Maaf Bu, saya ... mencari Callisto.” Yolla menyahut apa adanya tanpa gentar sedikitpun. “Callisto?” ulang Clerin sambil mengernyit. “Apa Anda tahu kalau ... Callisto itu adalah nama mendiang suami saya?” Yolla tertegun sebentar, tapi kemudian dia cepat-cepat meralat ucapannya. “Maksud saya Shano,” timpal Yolla sambil tersenyum. “Saya mau mengunjungi Shano, bukan Callisto.” Senyuman itu memudar sedikit dari wajah Clerin, menurutnya Yolla sama sekali tidak tahu malu saat berani-beraninya datang ke mansion untuk menemui Callisto. Punya hak apa dia? “Pak, Callisto di mana?” tanya Clerin kepada sang penjaga mansion. “Mungkin sebentar lagi pulang, Bu.” Penjaga it