Kedua orang tua Byanz terkejut bukan main saat mendengar berita bahwa anak mereka akan dijodohkan dengan putri dari pemilik perusahaan besar sekelas Emerald Enterprise.
“Kamu serius, Yanz?” tanya Ramzy, ayah Byanz dengan wajah tidak percaya.“Iya, Yah.” Byanz mengangguk membenarkan.“Tapi keluarga Pak Sony itu keluarga terpandang,” kata Sari, ibunda Byanz dengan suara lirih. “Apa mereka mau besanan sama keluarga kita yang sangat sederhana ini?”Ramzy dan Sari saling berpandangan, membuat Byanz jadi ikut bimbang.“Ayah sama Ibu nggak usah kepikiran, nanti aku kabari lagi.” Byanz buru-buru menimpali.“Ayah sih nggak mempermasalahkan kamu berjodoh sama siapa, asalkan dia bisa menghargai kamu dengan segala keadaan kamu.” Ramzy menyahut.“Memangnya Yolla yang akan dijodohkan sama Byanz itu anaknya seperti apa?” tanya Sari ingin tahu.Ramzy menarik napas.“Jujur perangainya nggak terlalu bagus,” ungkap Ramzy. “Sangat berbanding terbalik sama anak kita ySekeras apa pun usaha Yolla untuk menolak perjodohan itu, tetap saja ayahnya tidak akan membatalkan rencana yang sudah dia susun sejak lama.“Apa sih yang Papa lihat dari Babangs?” tanya Yolla tidak habis pikir. “Kalau Papa memang mau aku menikah, biar aku yang cari jodoh sendiri. Tentunya yang sesuai sama kriteria aku karena kelak aku yang akan menjalaninya.”“Memangnya kamu bisa menjamin kalau pria yang kamu pilih itu adalah orang baik-baik?” tanya Sony sambil memandang putrinya lekat-lekat. “Paling juga dia hanya mau sama kekayaan papa saja ....”“Apa Papa pikir Babangs juga nggak begitu?” sahut Yolla dengan napas memburu. “Dia kan dari keluarga pas-pasan, jelas saja dia nggak mungkin menolak perjodohan ini. Kapan lagi bisa dapat jodoh satu paket? Sudah cantik, kaya, berpendidikan tinggi, populer, orang tuanya juga kaya raya, punya perusahaan ....”“Byanz menolak kok,” kata Sony tenang.“Apa?” Yolla terpaku. “Dia berani-beraninya menolak rencana Papa ...? Somb
“Kamu nggak malu?” desis Yolla di telinga Byanz ketika pria itu sedang memasangkan cincin pertunangan di jari manisnya.Byanz tidak menjawab.“Seharusnya kan ibu kamu yang membawakan cincin pertunangan ini,” sambung Yolla seakan mengejek bahwa Byanz tidak cukup mampu untuk membeli sepasang cincin pertunangan.Di saat yang sama, ingin sekali rasanya Byanz mematahkan jemari Yolla yang lentik. Dia paling tidak suka saat mendengar ada orang yang sengaja menghina ibunya.“Maaf ya, ibu saya harus mempertimbangkan apa kamu pantas dihadiahi cincin istimewa.” Byanz membalas sambil tersenyum samar.Yolla melirik Byanz dengan tatapan maut, hampir tidak ada dari para orang tua yang menyadari bahwa pasangan di depan mereka sedang bertikai.“Nah kalian berdua, mulai hari ini kalian resmi bertunangan.” Sony memandang Byanz dan Yolla bergantian. “Semoga kalian bisa memanfaatkan momen ini ke depan dengan saling mengenal satu sama lain.”Byanz menganggukkan kepalanya.
Byanz mendengus pelan begitu mendengar pengakuan jujur Rani terhadapnya.“Memang sekarang aku sudah bukan office boy lagi,” katanya setuju sambil menganggukkan kepalanya. “Dan karena itu kamu jadi mengejar-ngejar aku lagi kan?”Rani sukses terbungkam.“Yanz, tolong kasih aku kesempatan sekali lagi untuk memperbaiki hubungan kita. Kamu mau kan?” pintanya dengan wajah memelas.Namun, Byanz menggeleng dengan sangat tegas. “Aku nggak bisa, Ran. Kamu nggak lihat kalau aku sudah punya tunangan?” katanya sambil dengan sengaja menunjukkan cincin yang kini melingkar di salah satu jemarinya. “Satu hal lagi yang harus kamu tahu tentang aku, kalau aku ini adalah orang yang sangat menghargai hubungan yang apa adanya.”Rani menarik napas.“Apa selama ini aku kurang menerima kamu apa adanya?” Dia masih berani bertanya.“Menurut kamu?” tukas Byanz. “Kamu lupa, kalau kamu sendiri yang jelas-jelas mengakhiri hubungan kita di depan Bu Yolla hanya gara-gara aku kerja ja
Byanz baru saja selesai mandi sore dan sedang setengah jalan mengenakan kaos santai untuk menutupi tubuhnya yang masih agak basah.“Yanz, ada Rani di depan!” seru Sari sambil mengetuk pintu kamar Byanz beberapa kali.“Iya, Bu!” sahut Byanz sambil menyisiri rambutnya yang lebat dengan jari tangannya. Dia sebetulnya malas bertemu dengan Rani lagi, tetapi di sisi lain dia juga enggan jika tetangga menganggapnya sombong setelah kehidupannya berubah seratus delapan puluh derajat.“Hei, Ran?” sapa Byanz dengan nada yang berusaha dibuatnya seramah mungkin. “Ada perlu apa kamu ke sini?”Rani menghirup napas sebentar sebelum menjawab. “Aku mau minta maaf,” katanya pelan tanpa memandang Byanz.“Minta maaf?” tanya Byanz sambil mengerutkan keningnya. “Soal apa?”“Semuanya,” jawab Rani, menoleh dan menampakkan wajah sedihnya kepada sang mantan kekasih. “Aku harap kamu mau maafin aku, Yanz. Mungkin ucapan aku sangat menyakitkan hati kamu ....”Byanz terpaku sebent
“Ibu nggak perlu mikirin itu,” geleng Byanz sambil menatap Sari. “Untuk sekarang ini Pak Sony maunya aku sama Bu Yolla saling mengenal, masalah menikah ... aku belum tahu kepastiannya gimana.”“Lho, apa-apaan ini Yanz?” tanya Ramzy bingung. “Yang namanya tunangan kan seharusnya maju ke pernikahan, kok kamu malah belum pasti?”Sari memandang Byanz dengan sorot mata yang menuntut penjelasan.“Yang namanya jodoh, siapa yang tahu?” jawab Byanz lugas. “Pertunangan memang sifatnya mengikat, tapi ikatannya bisa saja putus setiap saat. Jadi aku minta Ayah sama Ibu nggak usah terlalu kepikiran. Aku saja menjalaninya dengan santai.”Sebenarnya dalam hati, Byanz mengakui bahwa dirinya tidak bisa sesantai itu menghadapi ucapan dan perlakuan semena-mena Yolla kepadanya. Terkadang ada keinginan untuk membalas sedikit saja kesombongan Yolla agar dia menyadari bahwa masih ada langit di atas langit.Hari itu Byanz menyempatkan diri untuk melihat-lihat brosur yang menampilkan bera
“Jangan mimpi terlalu tinggi kamu,” potong Yolla sambil menjatuhkan dirinya ke sofa.“Saya nggak mimpi kok,” kata Byanz pura-pura bodoh. “Kalau saya bermimpi, saya nggak mungkin bisa sampai ke rumah Pak Sony dengan selamat seperti ini.”Yolla melengos.“Saya pikir kamu bakalan datang pakai ... seragam office boy,” komentarnya, seperti biasa dengan nada merendahkan.Namun, Byanz tidak menjawab dan hanya menoleh memandangnya dengan ekspresi datar.“Oh iya lupa, kamu kan sudah bukan office boy lagi.” Yolla meralat ucapannya. “Penampilan kamu nggak buruk kok, malah mirip seperti mahasiswa yang sedang magang. Tapi ... memangnya kamu pernah kuliah di universitas? Enggak kan, bukannya kamu cuma lulusan SMP?”Byanz menarik napas panjang. Sudah jelas jika kedatangannya ke rumah Sony hanya untuk dihina-hina Yolla saja.Sampai kapan dia akan bertahan dari pertunangan konyol ini?“Maaf Pak, bagaimana kalau saya mundur saja dari pertunangan dengan Bu Yolla?” Byanz
“Ajak calon suami kamu masuk dong, Yol?” suruh Sisty antusias.“Biar ajalah,” sahut Yolla masa bodoh sambil membaringkan dirinya untuk bersiap-siap keramas. “Kepalaku pusing banget Sis, nanti dipiji-pijit sekalian ya?”“Gampang!” angguk Sisty. “Tapi itu disuruh masuk dulu calon suami kamu, nggak enak aku kalau dia dibiarkan nunggu di luar kayak sopir begitu.”“Nggak usah,” tolak Yolla mentah-mentah. “Lagian ini kan salon khusus wanita, gimana sih kamu. Sudah deh, nggak usah pedulikan dia kayak anak kecil.”Sisty tidak mendengar dan malah berjalan menuju mobil Yolla berada.“Baby!” panggil Sisty sembari mengetuk kaca mobil sahabatnya tanpa sungkan.Byanz yang sedang mendinginkan kepalanya, bergegas menurunkan kaca mobil Yolla dan terlihatlah wajah sumringah Sisty yang sedang menatapnya.“Ada apa, Mbak?” tanya Byanz sopan.“Mbak?” ulang Sisty sambil tertawa kecil. “Saya ini temannya Yolla, panggil aja Sisty.”“Oh iya ...” angguk Byanz dengan senyum
“Langsung aku transfer kayak biasa,” kata Yolla sambil mengibas-ngibas rambut curly-nya yang lembut dengan wajah puas. “Aku duluan ya, Sis?”“Okey Yol, hati-hati!” Sisty menyahut sambil melambaikan tangan sementara Yolla melenggang pergi ke mobilnya yang sudah menunggunya di luar.Sesampainya di depan mobil, Yolla melihat Byanz yang saat itu sedang menyibak bagian depan rambutnya yang lebat ke belakang kepala.“Cepat antar saya pulang ke rumah,” perintah Yolla dengan nada bossy. “Jangan lama-lama, saya capek mau segera rebahan.”Byanz menoleh dan membukakan pintu mobil untuk Yolla tanpa berkata apa-apa.“Ini nanti kan kita lewat perkampungan orang tua saya, kita mampir sebentar ke rumah tidak apa-apa kan?” tanya Byanz saat mobil yang dikemudikannya melaju mulus di jalanan beraspal.“Jangan bercanda deh,” sahut Yolla judes. “Udah sore banget lho ini, mana aku capek banget lagi ....”“Sebentar saja kok, kan sekalian lewat.” Byanz kali ini memberanikan diri