Byanz baru saja selesai mandi sore dan sedang setengah jalan mengenakan kaos santai untuk menutupi tubuhnya yang masih agak basah.
“Yanz, ada Rani di depan!” seru Sari sambil mengetuk pintu kamar Byanz beberapa kali.“Iya, Bu!” sahut Byanz sambil menyisiri rambutnya yang lebat dengan jari tangannya. Dia sebetulnya malas bertemu dengan Rani lagi, tetapi di sisi lain dia juga enggan jika tetangga menganggapnya sombong setelah kehidupannya berubah seratus delapan puluh derajat.“Hei, Ran?” sapa Byanz dengan nada yang berusaha dibuatnya seramah mungkin. “Ada perlu apa kamu ke sini?”Rani menghirup napas sebentar sebelum menjawab.“Aku mau minta maaf,” katanya pelan tanpa memandang Byanz.“Minta maaf?” tanya Byanz sambil mengerutkan keningnya. “Soal apa?”“Semuanya,” jawab Rani, menoleh dan menampakkan wajah sedihnya kepada sang mantan kekasih. “Aku harap kamu mau maafin aku, Yanz. Mungkin ucapan aku sangat menyakitkan hati kamu ....”Byanz terpaku sebent“Ibu nggak perlu mikirin itu,” geleng Byanz sambil menatap Sari. “Untuk sekarang ini Pak Sony maunya aku sama Bu Yolla saling mengenal, masalah menikah ... aku belum tahu kepastiannya gimana.”“Lho, apa-apaan ini Yanz?” tanya Ramzy bingung. “Yang namanya tunangan kan seharusnya maju ke pernikahan, kok kamu malah belum pasti?”Sari memandang Byanz dengan sorot mata yang menuntut penjelasan.“Yang namanya jodoh, siapa yang tahu?” jawab Byanz lugas. “Pertunangan memang sifatnya mengikat, tapi ikatannya bisa saja putus setiap saat. Jadi aku minta Ayah sama Ibu nggak usah terlalu kepikiran. Aku saja menjalaninya dengan santai.”Sebenarnya dalam hati, Byanz mengakui bahwa dirinya tidak bisa sesantai itu menghadapi ucapan dan perlakuan semena-mena Yolla kepadanya. Terkadang ada keinginan untuk membalas sedikit saja kesombongan Yolla agar dia menyadari bahwa masih ada langit di atas langit.Hari itu Byanz menyempatkan diri untuk melihat-lihat brosur yang menampilkan bera
“Jangan mimpi terlalu tinggi kamu,” potong Yolla sambil menjatuhkan dirinya ke sofa.“Saya nggak mimpi kok,” kata Byanz pura-pura bodoh. “Kalau saya bermimpi, saya nggak mungkin bisa sampai ke rumah Pak Sony dengan selamat seperti ini.”Yolla melengos.“Saya pikir kamu bakalan datang pakai ... seragam office boy,” komentarnya, seperti biasa dengan nada merendahkan.Namun, Byanz tidak menjawab dan hanya menoleh memandangnya dengan ekspresi datar.“Oh iya lupa, kamu kan sudah bukan office boy lagi.” Yolla meralat ucapannya. “Penampilan kamu nggak buruk kok, malah mirip seperti mahasiswa yang sedang magang. Tapi ... memangnya kamu pernah kuliah di universitas? Enggak kan, bukannya kamu cuma lulusan SMP?”Byanz menarik napas panjang. Sudah jelas jika kedatangannya ke rumah Sony hanya untuk dihina-hina Yolla saja.Sampai kapan dia akan bertahan dari pertunangan konyol ini?“Maaf Pak, bagaimana kalau saya mundur saja dari pertunangan dengan Bu Yolla?” Byanz
“Ajak calon suami kamu masuk dong, Yol?” suruh Sisty antusias.“Biar ajalah,” sahut Yolla masa bodoh sambil membaringkan dirinya untuk bersiap-siap keramas. “Kepalaku pusing banget Sis, nanti dipiji-pijit sekalian ya?”“Gampang!” angguk Sisty. “Tapi itu disuruh masuk dulu calon suami kamu, nggak enak aku kalau dia dibiarkan nunggu di luar kayak sopir begitu.”“Nggak usah,” tolak Yolla mentah-mentah. “Lagian ini kan salon khusus wanita, gimana sih kamu. Sudah deh, nggak usah pedulikan dia kayak anak kecil.”Sisty tidak mendengar dan malah berjalan menuju mobil Yolla berada.“Baby!” panggil Sisty sembari mengetuk kaca mobil sahabatnya tanpa sungkan.Byanz yang sedang mendinginkan kepalanya, bergegas menurunkan kaca mobil Yolla dan terlihatlah wajah sumringah Sisty yang sedang menatapnya.“Ada apa, Mbak?” tanya Byanz sopan.“Mbak?” ulang Sisty sambil tertawa kecil. “Saya ini temannya Yolla, panggil aja Sisty.”“Oh iya ...” angguk Byanz dengan senyum
“Langsung aku transfer kayak biasa,” kata Yolla sambil mengibas-ngibas rambut curly-nya yang lembut dengan wajah puas. “Aku duluan ya, Sis?”“Okey Yol, hati-hati!” Sisty menyahut sambil melambaikan tangan sementara Yolla melenggang pergi ke mobilnya yang sudah menunggunya di luar.Sesampainya di depan mobil, Yolla melihat Byanz yang saat itu sedang menyibak bagian depan rambutnya yang lebat ke belakang kepala.“Cepat antar saya pulang ke rumah,” perintah Yolla dengan nada bossy. “Jangan lama-lama, saya capek mau segera rebahan.”Byanz menoleh dan membukakan pintu mobil untuk Yolla tanpa berkata apa-apa.“Ini nanti kan kita lewat perkampungan orang tua saya, kita mampir sebentar ke rumah tidak apa-apa kan?” tanya Byanz saat mobil yang dikemudikannya melaju mulus di jalanan beraspal.“Jangan bercanda deh,” sahut Yolla judes. “Udah sore banget lho ini, mana aku capek banget lagi ....”“Sebentar saja kok, kan sekalian lewat.” Byanz kali ini memberanikan diri
Yolla hanya tersenyum saja menanggapinya, dia tidak mungkin mengamuk Byanz di depan kedua orang tuanya. Namun, dia masih bisa menghukumnya besok saat mereka berada di kantor.Beberapa hari kemudian ....Saat itu Yolla baru saja keluar dari kamarnya saat mendengarkan suara ayah dan ibunya di kamar sebelah.“... papa pikir papa harus melakukan tes ....”“... papa kebanyakan nonton film, ini cuma soal nama ....”“... kemiripan nama ini mulai mengganggu papa, Ma ....”Yolla yang biasanya tidak peduli dengan urusan papa dan mamanya, entah kenapa kali itu merasa tertarik untuk mencuri dengar percakapan kedua orang tuanya. Sambil berjingkat pelan, dia mendekat ke arah kamar sebelah.“... mungkin untuk anak kedua nanti mama harus USG tiap bulan ....”“... dulu kan niatnya nggak USG juga buat kejutan ....”“ ... tapi nama Babyanz sangat mengganggu papa ....”Yolla memasang telinganya baik-baik, dia hampir saja bersuara saat pintu kamar orang tuanya tib
“Memangnya kenapa? Apa ini bagian dari proses pengenalan kita lebih dekat?”Yolla tersenyum jijik seraya menatap Byanz lagi.“Ada lagi yang mau kamu tanyakan soal saya?” tanya Byanz sambil menatap Yolla. “Sebentar lagi akan ada rapat soal eksekusi yang harus diambil terkait peningkatan SDM di perusahaan, kamu sebaiknya hadir.”Yolla berdiri dari kursinya dengan sangat anggun.“Saya usul,” katanya. “Kita pecat saja para pegawai yang nggak punya kompetensi, buang-buang duit saja kalau perusahaan ini hanya menggaji orang-orang seperti itu.”Byanz menarik napas.“Kamu nggak paham masalahnya,” komentar Byanz. “Perusahaan butuh peningkatan SDM untuk memperbaiki kualitas, bukan pengurangan jumlah pegawai.”“Kamu ngomong begini seperti paham segalanya saja,” tukas Yolla sewot sambil mendelik ke arah Byanz dengan sorot mata garang. “Kamu cuma lulusan SMP, sedangkan saya ini kan lulusan sarjana ....”“Tapi itu nggak menjamin kalau kamu bisa memahami kondisi per
Ketika itu tanpa sengaja Yolla menghirup aroma yang tak biasa saat Byanz lewat di dekatnya. Dia terbiasa mengenal parfum teman-teman prianya, tapi belum ada yang menyamai wangi Byanz malam itu.“Gaji kamu sebagai CEO belum cukup ya buat kredit mobil?” tanya Yolla sambil mengulurkan kunci mobilnya kepada Byanz saat dia muncul lagi di hadapannya.Untuk mengalihkan perhatiannya dari aroma khas parfum yang dikenakan Byanz, Yolla sengaja melontarkan pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu.“Saya merasa belum terlalu butuh,” jawab Byanz tenang sembari menerima kunci mobil Yolla. “Apa sebaiknya kita pergi pakai taksi online saja? Saya masih bisa bayar ongkosnya untuk mengantar kamu ke manapun ....”“Terima kasih deh, tapi lebih baik kamu pakai mobil saya saja daripada saya harus pakai kendaraan umum.” Yolla bergidik sambil memandang Byanz. “Masa saya harus menanggung malu di depan para pelayan resto yang lihat saya datang pakai taksi?”Byanz menghela napas kemudian membu
“... dan calon imam kamu,” potong Byanz tegas, kini sikapnya tak lagi lunak saat menghadapi kekasaran Yolla terhadapnya yang sudah sangat keterlaluan.Yolla mendongak menatap Byanz dengan garang.“Jangan karena saya miskin, jadi kamu bisa menginjak-injak saya seenaknya seperti keset.” Byanz meneruskan dengan tenang. “Sudah cukup lama saya diam saja, dengan harapan kamu bisa sadar sendiri. Tapi nyatanya enggak, kamu justru semakin sombong dengan apa yang kamu punya.”Yolla mendadak berdecih.“Saya memang punya segalanya, pantas kan kalau saya sombong?” katanya sambil mengedikkan bahu. “Beda halnya sama kamu yang nggak punya apa-apa buat disombongkan, terus di mana salahnya.”Byanz menatap tajam Yolla tanpa mengucapkan sepatah katapun. Dia bisa saja memperpanjang perdebatan ini sampai Yolla tidak merendahkannya lagi, tetapi dia enggan melakukannya.Karena menurut Byanz, perdebatan itu tidak ada faedahnya jika diteruskan. Kalah menang sama saja baginya, karena m