Ketika itu tanpa sengaja Yolla menghirup aroma yang tak biasa saat Byanz lewat di dekatnya. Dia terbiasa mengenal parfum teman-teman prianya, tapi belum ada yang menyamai wangi Byanz malam itu.
“Gaji kamu sebagai CEO belum cukup ya buat kredit mobil?” tanya Yolla sambil mengulurkan kunci mobilnya kepada Byanz saat dia muncul lagi di hadapannya.Untuk mengalihkan perhatiannya dari aroma khas parfum yang dikenakan Byanz, Yolla sengaja melontarkan pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu.“Saya merasa belum terlalu butuh,” jawab Byanz tenang sembari menerima kunci mobil Yolla. “Apa sebaiknya kita pergi pakai taksi online saja? Saya masih bisa bayar ongkosnya untuk mengantar kamu ke manapun ....”“Terima kasih deh, tapi lebih baik kamu pakai mobil saya saja daripada saya harus pakai kendaraan umum.” Yolla bergidik sambil memandang Byanz. “Masa saya harus menanggung malu di depan para pelayan resto yang lihat saya datang pakai taksi?”Byanz menghela napas kemudian membu“... dan calon imam kamu,” potong Byanz tegas, kini sikapnya tak lagi lunak saat menghadapi kekasaran Yolla terhadapnya yang sudah sangat keterlaluan.Yolla mendongak menatap Byanz dengan garang.“Jangan karena saya miskin, jadi kamu bisa menginjak-injak saya seenaknya seperti keset.” Byanz meneruskan dengan tenang. “Sudah cukup lama saya diam saja, dengan harapan kamu bisa sadar sendiri. Tapi nyatanya enggak, kamu justru semakin sombong dengan apa yang kamu punya.”Yolla mendadak berdecih.“Saya memang punya segalanya, pantas kan kalau saya sombong?” katanya sambil mengedikkan bahu. “Beda halnya sama kamu yang nggak punya apa-apa buat disombongkan, terus di mana salahnya.”Byanz menatap tajam Yolla tanpa mengucapkan sepatah katapun. Dia bisa saja memperpanjang perdebatan ini sampai Yolla tidak merendahkannya lagi, tetapi dia enggan melakukannya.Karena menurut Byanz, perdebatan itu tidak ada faedahnya jika diteruskan. Kalah menang sama saja baginya, karena m
Yolla membuka matanya saat merasakan kucuran air dingin mengenai kulit kepalanya, dia harus memikirkan sebuah cara untuk bisa menyingkirkan Byanz sebelum satu tahun pertunangannya itu tiba.“Nah, selesai!” Sisty menyisir pelan rambut curly pendek keemasan yang dimiliki Yolla sejak dulu. “Cat rambut kamu awet banget, ya? Siapa dulu yang nge-cat ....”“Ck, memuji diri sendiri.” Yolla memotong sambil mengamati pantulan dirinya sendiri di cermin yang ada di depannya. “Kamu punya ide nggak biar pertunangan aku berhenti sebelum batas waktu yang ditentukan papa aku?”Sisty meletakkan sisirnya kemudian memandang Yolla lurus-lurus.“Kamu beneran nggak bisa suka ya sama Baby?” tanya Sisty dengan kening berkerut. “Dia nggak jelek-jelek banget lho, Yol. Pekerjaan juga mapan sekarang ....”“Mau taruh di mana muka aku kalau sampai teman-teman kita tahu siapa calon suami aku dan dari keluarga mana dia berasal?” tukas Yolla gusar. “Kamu kalau lihat rumah calon mertua aku itu ... masuk harus lewat gan
“Berisik, terserah saya mau parkir di mana.” Yolla menukas. “Kerjaan kamu kan banyak, jangan sampai papa saya kecewa sama kamu.”Byanz tidak berkomentar apa-apa lagi dan bergegas turun dari mobil Yolla tanpa menoleh sedikitpun lagi kepadanya.Yolla terus mengawasi Byanz sampai dia sudah tidak terlihat lagi, setelah itu dia menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya ke rumah sakit yang rencananya akan dikunjungi papanya.Rasa penasaran telah membutakan pikiran Yolla hingga dia tidak mencari tahu dulu apakah papanya akan mengunjungi rumah sakit yang sama atau tidak.Setibanya di tempat tujuan, Yolla mengenakan kacamata hitam sembari merapikan rambutnya yang curly. Kemudian dia mengambil tasnya dan turun setelah memastikan mobil ayahnya tidak muncul tiba-tiba.Yolla berjalan anggun seperti biasa, berusaha untuk tidak nampak mencurigakan agar tidak ada yang tahu kalau dia sedang membuntuti seseorang. Lagipula papanya yang sedang dia buntuti justru belum terlihat keha
Tanpa kesulitan yang berarti, Yolla dengan mudah mendapatkan kedua amplop yang diincarnya tadi. Dia sempat melempar pandang ke arah pintu, sebelum akhirnya membuka salah satu amplop dengan sangat hati-hati.Jari-jari Yolla bergetar hebat seakan dia sedang membuka sebuah amplop yang berisi surat wasiat di dalamnya. Tidak berapa lama, dia berhasil mengeluarkan selembar kertas yang terlipat rapi dan cepat-cepat membacanya.“Apa ini ... tes apa ...?” Mata Yolla melebar ketika dia membaca tulisan yang tertera di kertas itu dengan sangat jelas. Belum hilang keterkejutannya, dia bergegas membuka amplop yang satunya. Seketika wajahnya mengerut ketika membaca tulisan di kertas kedua, seakan baru saja melihat hantu muncul di setiap hurufnya.“Kok lama, sakit perut?” tanya Virnie saat Yolla muncul hampir setengah jam lamanya.“Enggak,” jawab Yolla dengan wajah muram. “Aku cuma ... masih kepikiran aja sama Papa, Ma.”Sony menoleh memandang Yolla dan terenyuh saat meliha
“Nggak usah banyak tanya,” jawab Yolla sambil berbalik dan berjalan mendahului calon suaminya itu.Byanz bukan tidak senang karena sikap Yolla yang sudah tidak semena-mena lagi terhadapnya seperti dulu, tapi tetap saja dia merasa aneh dengan kepribadian Yolla yang mendadak berubah seratus delapan puluh derajat sedemikian rupa.“Bangs, gimana ... gimana kalau pernikahan kita dipercepat saja, kamu mau nggak?” tanya Yolla hari itu.“Apa?” Byanz membelalakkan matanya. “Kamu ...?”Byanz tentu saja tidak langsung mempercayai ucapan Yolla begitu saja. Ini terlalu mencurigakan menurutnya, karena dia tahu kalau Yolla terpaksa bertunangan dengannya karena permintaan sang ayah.“Saya tidak bisa,” geleng Byanz jujur. Yolla terbelalak, tidak mengira jika Byanz akan menolaknya seperti itu.“Ngelunjak ya, kamu?” semburnya. “Apa kamu nggak ingat kalau papa saya sudah menjodohkan kita? Kita juga sudah tunangan, terus apa salahnya kalau kita menikah segera?”Byanz men
“Terpaksa aku harus baik-baikin kamu, Babangs ...” Yolla tersenyum sinis sembari mengemudi. “Biar gimanapun, ada sedikit hak kamu di setiap hal yang aku miliki sekarang ....”Sari menatap Byanz yang baru saja mengantar Yolla kembali ke mobilnya.“Sikap Bu Yolla sudah jauh lebih baik,” komentar Sari sambil mengembangkan senyumnya. “Semoga dia bisa terus seperti itu sampai akhirnya kalian jadi suami istri.”Byanz hanya tersenyum, tidak tahu harus menanggapi bagaimana.“Kira-kira Bu Yolla bersedia tinggal di sini tidak, ya?” tanya Sari, bergantian memandang Byanz dan Ramzy.“Ibu nggak perlu mikir kejauhan,” sahut Byanz buru-buru. “Aku sama Bu Yolla kan masih tunangan, keputusan finalnya tergantung bagaimana kami berdua menjalani masa-masa pertunangan ini.”Ramzy meletakkan tangannya dia atas pundak Byanz.“Ayah nggak masalah kamu bejdodoh sama siapa saja, asalkan dia wanita baik-baik yang bisa menerima kamu apa adanya,” katanya sungguh-sungguh.“Semoga,
“Nggak usah,” tolak Yolla sambil tetap memaksa Byanz untuk menerimanya.Byanz tentu saja heran dengan ucapan Yolla barusan, ditambah lagi dia baru saja membelikannya setumpuk baju dengan cuma-cuma.“Serius, kamu nggak usah bayar.” Yolla meyakinkannya seolah tahu keraguan yang sedang dirasakan Byanz. “Gaji kamu juga dijamin aman, nggak akan dipotong sepeserpun untuk pengeluaran ini.”Byanz akhirnya menganggukkan kepala, meskipun dalam hati dia masih merasa curiga dan kebingungan dengan apa yang dilakukan Yolla untuknya.Yolla sendiri hanya tersenyum puas saat melihat Byanz yang berpamitan pulang sambil membawa semua belanjaannya.“Tentu aja aku harus kasih kamu gratisan kan, karena itu adalah hak kamu sendiri!” bisiknya, kemudian dia celingukan ke sana kemari, takut kalau-kalau mama atau papanya mendengar apa yang dia ucapkan.Awalnya, terkadang ada sedikit rasa bersalah yang menelusup di hati Yolla. Namun, dia segera mengenyahkannya karena merasa bahwa apa ya
Namun, Byanz tidak ingin menjadikan pernikahan sebagai jalan pintas untuk mendulang kesuksesan. Dia sangat percaya, bahwa proses yang alami justru akan memberikan hasil yang lebih tahan lama.Setengah tahun berlalu dan Yolla tetap menyimpan rapat-rapat rahasia tentang Byanz yang sebenarnya adalah putra kandung Sony. Sebagai gantinya, dia terpaksa memperlakukan sang calon suami sebaik mungkin supaya sedikit mengurangi rasa bersalah di hatinya.“Gimana hubungan kamu sama Babyanz, Yol?” tanya Sisty penasaran saat Yolla datang berkunjung ke salonnya.“Udah pasti aku harus baik-baikin dia kan,” jawab Yolla sambil mengangkat bahunya. “Ingat ya, kamu jangan cerita ini sama siapapun? Atau hidup aku bakalan tamat.”“Aku sih nggak mau ikut campur,” sahut Sisty sambil menggeleng.“Itu lebih baik,” timpal Yolla. “Toh bukan salahku kalau kehidupan kami jadi ketukar kayak begini. Siapa sih yang bisa memilih takdirnya saat masih bayi merah?”Namun, rupanya Sisty memiliki su