“Berisik, terserah saya mau parkir di mana.” Yolla menukas. “Kerjaan kamu kan banyak, jangan sampai papa saya kecewa sama kamu.”
Byanz tidak berkomentar apa-apa lagi dan bergegas turun dari mobil Yolla tanpa menoleh sedikitpun lagi kepadanya.Yolla terus mengawasi Byanz sampai dia sudah tidak terlihat lagi, setelah itu dia menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya ke rumah sakit yang rencananya akan dikunjungi papanya.Rasa penasaran telah membutakan pikiran Yolla hingga dia tidak mencari tahu dulu apakah papanya akan mengunjungi rumah sakit yang sama atau tidak.Setibanya di tempat tujuan, Yolla mengenakan kacamata hitam sembari merapikan rambutnya yang curly. Kemudian dia mengambil tasnya dan turun setelah memastikan mobil ayahnya tidak muncul tiba-tiba.Yolla berjalan anggun seperti biasa, berusaha untuk tidak nampak mencurigakan agar tidak ada yang tahu kalau dia sedang membuntuti seseorang. Lagipula papanya yang sedang dia buntuti justru belum terlihat kehaTanpa kesulitan yang berarti, Yolla dengan mudah mendapatkan kedua amplop yang diincarnya tadi. Dia sempat melempar pandang ke arah pintu, sebelum akhirnya membuka salah satu amplop dengan sangat hati-hati.Jari-jari Yolla bergetar hebat seakan dia sedang membuka sebuah amplop yang berisi surat wasiat di dalamnya. Tidak berapa lama, dia berhasil mengeluarkan selembar kertas yang terlipat rapi dan cepat-cepat membacanya.“Apa ini ... tes apa ...?” Mata Yolla melebar ketika dia membaca tulisan yang tertera di kertas itu dengan sangat jelas. Belum hilang keterkejutannya, dia bergegas membuka amplop yang satunya. Seketika wajahnya mengerut ketika membaca tulisan di kertas kedua, seakan baru saja melihat hantu muncul di setiap hurufnya.“Kok lama, sakit perut?” tanya Virnie saat Yolla muncul hampir setengah jam lamanya.“Enggak,” jawab Yolla dengan wajah muram. “Aku cuma ... masih kepikiran aja sama Papa, Ma.”Sony menoleh memandang Yolla dan terenyuh saat meliha
“Nggak usah banyak tanya,” jawab Yolla sambil berbalik dan berjalan mendahului calon suaminya itu.Byanz bukan tidak senang karena sikap Yolla yang sudah tidak semena-mena lagi terhadapnya seperti dulu, tapi tetap saja dia merasa aneh dengan kepribadian Yolla yang mendadak berubah seratus delapan puluh derajat sedemikian rupa.“Bangs, gimana ... gimana kalau pernikahan kita dipercepat saja, kamu mau nggak?” tanya Yolla hari itu.“Apa?” Byanz membelalakkan matanya. “Kamu ...?”Byanz tentu saja tidak langsung mempercayai ucapan Yolla begitu saja. Ini terlalu mencurigakan menurutnya, karena dia tahu kalau Yolla terpaksa bertunangan dengannya karena permintaan sang ayah.“Saya tidak bisa,” geleng Byanz jujur. Yolla terbelalak, tidak mengira jika Byanz akan menolaknya seperti itu.“Ngelunjak ya, kamu?” semburnya. “Apa kamu nggak ingat kalau papa saya sudah menjodohkan kita? Kita juga sudah tunangan, terus apa salahnya kalau kita menikah segera?”Byanz men
“Terpaksa aku harus baik-baikin kamu, Babangs ...” Yolla tersenyum sinis sembari mengemudi. “Biar gimanapun, ada sedikit hak kamu di setiap hal yang aku miliki sekarang ....”Sari menatap Byanz yang baru saja mengantar Yolla kembali ke mobilnya.“Sikap Bu Yolla sudah jauh lebih baik,” komentar Sari sambil mengembangkan senyumnya. “Semoga dia bisa terus seperti itu sampai akhirnya kalian jadi suami istri.”Byanz hanya tersenyum, tidak tahu harus menanggapi bagaimana.“Kira-kira Bu Yolla bersedia tinggal di sini tidak, ya?” tanya Sari, bergantian memandang Byanz dan Ramzy.“Ibu nggak perlu mikir kejauhan,” sahut Byanz buru-buru. “Aku sama Bu Yolla kan masih tunangan, keputusan finalnya tergantung bagaimana kami berdua menjalani masa-masa pertunangan ini.”Ramzy meletakkan tangannya dia atas pundak Byanz.“Ayah nggak masalah kamu bejdodoh sama siapa saja, asalkan dia wanita baik-baik yang bisa menerima kamu apa adanya,” katanya sungguh-sungguh.“Semoga,
“Nggak usah,” tolak Yolla sambil tetap memaksa Byanz untuk menerimanya.Byanz tentu saja heran dengan ucapan Yolla barusan, ditambah lagi dia baru saja membelikannya setumpuk baju dengan cuma-cuma.“Serius, kamu nggak usah bayar.” Yolla meyakinkannya seolah tahu keraguan yang sedang dirasakan Byanz. “Gaji kamu juga dijamin aman, nggak akan dipotong sepeserpun untuk pengeluaran ini.”Byanz akhirnya menganggukkan kepala, meskipun dalam hati dia masih merasa curiga dan kebingungan dengan apa yang dilakukan Yolla untuknya.Yolla sendiri hanya tersenyum puas saat melihat Byanz yang berpamitan pulang sambil membawa semua belanjaannya.“Tentu aja aku harus kasih kamu gratisan kan, karena itu adalah hak kamu sendiri!” bisiknya, kemudian dia celingukan ke sana kemari, takut kalau-kalau mama atau papanya mendengar apa yang dia ucapkan.Awalnya, terkadang ada sedikit rasa bersalah yang menelusup di hati Yolla. Namun, dia segera mengenyahkannya karena merasa bahwa apa ya
Namun, Byanz tidak ingin menjadikan pernikahan sebagai jalan pintas untuk mendulang kesuksesan. Dia sangat percaya, bahwa proses yang alami justru akan memberikan hasil yang lebih tahan lama.Setengah tahun berlalu dan Yolla tetap menyimpan rapat-rapat rahasia tentang Byanz yang sebenarnya adalah putra kandung Sony. Sebagai gantinya, dia terpaksa memperlakukan sang calon suami sebaik mungkin supaya sedikit mengurangi rasa bersalah di hatinya.“Gimana hubungan kamu sama Babyanz, Yol?” tanya Sisty penasaran saat Yolla datang berkunjung ke salonnya.“Udah pasti aku harus baik-baikin dia kan,” jawab Yolla sambil mengangkat bahunya. “Ingat ya, kamu jangan cerita ini sama siapapun? Atau hidup aku bakalan tamat.”“Aku sih nggak mau ikut campur,” sahut Sisty sambil menggeleng.“Itu lebih baik,” timpal Yolla. “Toh bukan salahku kalau kehidupan kami jadi ketukar kayak begini. Siapa sih yang bisa memilih takdirnya saat masih bayi merah?”Namun, rupanya Sisty memiliki su
Begitu mendengar jawaban Byanz, ingin sekali rasanya Yolla bertepuk tangan dengan keras karena merasa kedudukannya semakin lebih tinggi dari sebelumnya.Byanz yang tidak berpikiran macam-macam, justru heran sekali saat melihat Yolla senyum-senyum sendiri di depannya.“Saya kerja dulu, ya?” kata Byanz sebagai penutup pembicaraan mereka pagi itu.“Oke, cari uang yang banyak ... buat masa depan kamu nanti,” sahut Yolla sambil berlalu pergi menuinggalkan Byanz sendirian di ruangannya.Begitu Yolla menghilang dari hadapannya, Byanz menyandarkan punggung sambil memikirkan tingkah tunangannya yang menjadi semakin aneh dari waktu ke waktu.Keanehan Yolla tidak hanya berhenti sampai di situ. Suatu hari, Byanz diminta datang berkunjung ke rumah untuk menemaninya sementara Sony sedang menghadiri pesta pernikahan bersama Virnie.“Kamu mau minum apa?” tanya Yolla sambil melingkarkan satu lengannya ke bahu Byanz yang lebar.Terkejut, Byanz agak menggeser duduknya untuk
“Biar nanti saya bicara sama Yolla,” ujar Sony. “Kalau memang dia sudah tidak sabar untuk bersatu sama kamu, saya akan usulkan sama dia untuk mempercepat pernikahan kalian.”“Apa, Pak?” Byanz membelalakkan matanya. “Pernikahan kami mau dipercepat?”Sony mengangguk kalem, dan Byanz langsung menyesali keputusannya yang terlalu gegabah untuk menceritakan tingkah Yolla kepada bosnya.“Tapi saya ... saya belum siap, Pak!” ucap Byanz terbata. “Saya juga belum mapan untuk menjadi seorang suami, jadi saya rasa ini keputusan yang ... terlalu dipaksakan.”Sony melipat kedua tangannya di dada.“Mapan itu bisa kamu dapatkan secara bertahap, yang penting kamu sama Yolla resmi dulu biar segalanya jauh lebih mudah.” Dia berkomentar. Byanz terduduk kaku, menurutnya ini bukanlah ide yang bagus. Persiapan pernikahan itu sendiri sudah pasti membutuhkan banyak uang, tabungan yang sudah susah payah dikumpulkannya mana cukup untuk mengurus tetek bengek pernikahan, belum lagi renc
Selain itu juga untuk memenuhi janjinya kepada Sony demi bisa mengubah Yolla menjadi pribadi yang lebih baik lagi, meskipun hal itu tidak akan mudah untuk dilakukan olehnya jika seorang diri.“Jadi,” Yolla menatap Byanz dengan sorot mata yang berbeda dari biasanya. “Kamu akhirnya setuju untuk melanjutkan pertunangan kita ke jenjang pernikahan?”Byanz balas menatap Yolla.“Kamu sendiri bagaimana?” tanya Byanz ingin tahu. “Kamu tahu betul siapa dan seperti apa saya, termasuk kemampuan finansial saya yang belum bisa dibilang mapan ....”“Saya tahu,” angguk Yolla. “Entahlah, makin ke sini saya semakin ingin membuat papa saya senang. Dan papa akan senang kalau saya menikah sama orang pilihan papa saya, jadi ya ... mau nggak mau saya harus menikah sama kamu.”Byanz tidak segera menanggapi, sebagai gantinya dia lebih memilih untuk mengamati daftar menu yang disajikan pihak kafe tempat mereka janjian bertemu.“Jadi kamu menikah sama saya hanya demi papa kamu?” Byanz