"Begitulah," sahut Clerin melalui sambungan telepon. "Kalau nggak, mana mungkin dia bisa tahu soal obat yang kamu berikan itu." Sunyi sesaat selain hanya dengusan napas yang Clerin dengar dari seberang sana. "Sekarang bagaimana? Aku bisa dicabut izin praktekku kalau sampai masalah Callisto ini ketahuan ...." "Tenang!" potong Clerin segera. "Aku akan menanggung semua risikonya, kamu nggak perlu khawatir izin praktek kamu dicabut." Teman Clerin tentu saja mulai gelisah mendengar kabar ini. Dulu, awalnya dia sudah tidak setuju saat Clerin memintanya untuk menangani Callisto dengan masalah ingatannya. "Aku akan berusaha bikin Callisto mau periksa di tempat kamu lagi," janji Clerin. "Asal kamu ...." "Ya ampun Clerin, jangan lagi-lagi deh!" tolak teman Clerin. "Aku nggak mau terlibat lebih jauh soal pria asing yang kamu panggil pakai nama mendiang suami kamu. Sadarlah, suami kamu sudah meninggal dan bukan hal yang bagus kalau kamu sengaja menghidupkannya kembali dalam diri pria itu .
“Anak saya ... mana, Suster?” Seorang wanita paruh baya yang baru siuman setelah persalinan, bertanya lirih ketika melihat suster muncul di ruangannya. “Sebentar ya, Bu?” sahut suster sambil tersenyum. “Saya cek dulu.” Wanita bernama Virnie itu hanya mampu terbaring lemah dan nyaris tidak memperhatikan apa yang sedang dilakukan suster itu kepadanya. Beberapa saat setelah menyelesaikan pekerjaannya, suster itu permisi keluar dan meninggalkan Virnie sendiri di ruangannya. “Selamat pagi,” Tidak berapa lama kemudian, salah seorang suster masuk sambil menggendong seorang malaikat kecil yang tertidur pulas. “Ini anak saya, Suster?” tanya Virnie dengan raut wajah seakan tidak sabar untuk segera menimang buah hatinya. “Betul, Bu. Mari, saya bantu pelekatannya agar bisa menyusui dengan nyaman.” Suster itu meletakkan bayi Virnie dalam gendongannya dengan posisi senyaman mungkin. “Saya tinggal dulu ya, Bu?” kata suster. “Kalau butuh apa-apa, silakan pencet belnya.” “Terima kasih Suster,
“Apa lihat-lihat?” hardik Yolla kembali dengan mulut meremehkan. “Kamu tahu nggak salah kamu apa?” Office boy itu tetap bergeming sementara beberapa rekannya berdiri dengan wajah tegang. “Siapa nama kamu tadi?” tanya Yolla tidak ramah. “Beneran ... Baby?” Dia menambahkan dengan ekspresi jijik. “Nama asli saya Babyanz, Bu.” Office boy itu menjawab sopan meskipun sikap Yolla tak sesopan sikapnya. “Oke, mau Baby, Byanz, atau siapa kek ... hari ini kamu sudah bikin salah sama saya.” Yolla meneruskan. “Gara-gara kamu, saya jatuh di ruangan saya ...” “Bukannya saya sudah bilang kalau lantainya masih basah dan minta Ibu nunggu sebentar?” sela Byanz tenang. “Kamu jangan motong ucapan saya dong!” sahut Yolla dengan nada tinggi. “Kamu pegawai baru, ya?” “Maaf, sepertinya Ibu yang pegawai baru.” Byanz menggeleng. “Karena sebelumnya saya nggak pernah lihat Ibu di ruangan itu.” Wajah cantik Yolla berubah merah padam mendengar ucapan Byanz, sementara petugas kebersihan yang lain merepet me
Yolla balas memandang Byanz dengan sorot mata menyala-nyala. “Kenapa, kamu nggak terima?” tanya Yolla dengan nada menantang. “Saya tahu kalau saya cuma pegawai bawahan, tapi nggak semestinya Ibu memperlakukan saya seperti ini.” Byanz menatap tajam Yolla. “Kamu berhenti kerja aja kalau nggak suka sama perlakuan saya,” sahut Yolla congkak. Byanz tersenyum dingin. “Maaf saja, tapi saya kerja untuk Pak Sony. Bukan untuk Ibu,” katanya sembari membalikkan tubuhnya dan pergi dari hadapan Yolla. Ifan terkejut ketika melihat Byanz kembali dengan seragam kotor dan basah. “Keterlaluan, kamu demo aja!” suruh Ifan ketika mendengar cerita lengkapnya dari Byanz. “Gampanglah, aku minta tolong gantikan tugas aku di ruangan Bu Yolla. Tadi aku tinggal ember sama alat pelnya di sana,” pinta Byanz sambil melepas seragamnya yang kotor. Untungnya dia selalu membawa baju ganti setiap pergi kerja. Ifan sebenarnya tidak mau, tapi dia terpaksa melakukannya karena petugas kebersihan yang lain sedang sib
“Jadi kamu nuduh saya yang menabrak kamu?” sembur Yolla terang-terangan. “Kamu menganggap saya yang salah?” Byanz tidak menjawab. “Bersihkan!” perintah Yolla semena-mena. Sebetulnya Yolla tidak perlu bertingkah seperti itu, karena Byanz sudah pasti akan membersihkan semua tumpahan kopi dan pecahan cangkir yang berserakan di lantai. “Ada apa ini?” Sony melangkah memasuki ruangan putrinya saat Byanz tengah bekerja. “Papa?” sahut Yolla sambil menoleh. “Hati-hati, banyak pecahan cangkir di sini.” Sony menunduk dan melihat lantai di ruangan anaknya yang berantakan. “Kamu menjatuhkan cangkir?” tanya Sony sambil memandang anaknya. Yolla balas memandang ayahnya dengan tatapan sedih. “Kenapa sih Papa mempekerjakan office boy seperti dia?” tanya Yolla. “Kerjaan dia nggak begitu bagus, Pa ....” Byanz diam saja sambil terus mengepel lantai tanpa berkata apa-apa. “Kebetulan memang Byanz ini office boy baru di kantor papa,” sahut Sony tenang. “Pantas aja!” seru Yolla dengan nada menang.
“Apa kamu lihat-lihat?” tanya Yolla ketus ketika dia mendongak dan melihat Mita sedang menatapnya.“Ah, enggak Bu!” sahut Mita sambil terlonjak kaget. “Saya mau mengantar ini ....”Dengan agak takut-takut, Mita berjalan mendekat sambil mengulurkan satu map ke meja Yolla.“Taruh sini, cepat!” gertak Yolla dengan mata menyipit, membuat Mita terlonjak lagi untuk yang kedua kalinya. Cewek itu buru-buru menaruh mapnya dan pergi secepat kilat dari ruangan Yolla dengan jantung berdebar kencang.Tanpa sengaja Mita menabrak Byanz yang baru saja lewat di depan ruangan, untung Byanz sigap mengulurkan lengan ke pinggang cewek itu sebelum terhuyung ke lantai.“Maaf ....”“Kamu nggak apa-apa, Mbak?” tanya Byanz sambil menarik tangannya kembali.“Iya Mas,” angguk Mita. “Terima kasih ya sudah ....”“Woy, ngapain kalian berdiri saja di situ?!” teriak Yolla saat menoleh dan menyaksikan Byanz yang saat itu sedang berdiri bersama Mita. “Kerja sana!”Baik Byanz maupun Mita tidak berani menjawab dan lebih
“Saya nggak nipu, saya cuma belum sempat menjelaskan yang sebenarnya sama Rani.” Dia menyahut.“Kamu nggak pernah bilang kalau kamu kerja jadi tukang bersih-bersih!” seru Rani tertahan. “Aku pikir kamu itu kerja di perusahaan besar jadi manajer atau apa ....”“Haha, jangan mimpi kamu.” Yolla menggeleng-gelengkan kepalanya sambil melirik Byanz. “Modelan begini mana cocok jadi manajer kantor.”Setelah puas menghina Byanz di depan mata Rani, Yolla dengan enteng melangkah pergi meninggalkan mereka berdua menuju halaman parkir.“Rani, tunggu ....” “Aku malu punya pacar seperti kamu, Byanz!” potong Rani sebelum Byanz selesai dengan ucapannya. “Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu ini cuma tukang bersih-bersih di kantor orang? Kamu sengaja menutupi ini semua? Iya?”“Aku itu cuma gantiin ayah aku untuk sementara saja,” jelas Byanz. “Kamu tahu kan kalau ayah aku kerja jadi cleaning service? Sebagai anak, sudah sewajarnya kalau aku menggantikan ayahku yang sedang sakit untuk ....”“Aku nggak ma
Sementara itu Yolla masih belum bisa terima tentang keputusan ayahnya mengangkat Byanz sebagai CEO di perusahaan ini. Mana bisa dirinya yang berpendidikan tinggi disandingkan dengan mantan office boy yang riwayat pendidikannya tidak jelas.Itu namanya penghinaan, geram Yolla dalam hatinya.Segera saja dia menyuruh orang untuk mencari informasi tentang Babyanz Avinskie termasuk riwayat pendidikannya. Setidaknya Yolla ingin memastikan sendiri bahwa pesaingnya itu adalah orang yang sangat sejajar dalam hal apa pun. "Ini berkas yang Anda minta, Bu." Mita mengulurkan satu map cokelat ke arah Yolla. "Nggak ada yang tahu kan kalau saya suruh kamu ambil data pribadi Babyanz?" tanya Yolla sambil mendongak menatapsekretarisnya. "Tidak ada, Bu." Mita menggelengkan kepalanya dengan sopan. "Bagus," sahut Yolla dengan nada puas. "Kamu boleh pergi. Tapi ingat, jangan cerita sama siapa pun soal ini."Mita mengangguk dan buru-buru pergi dari ruangan Yolla. Sepeninggal Mita, Yolla menundukkan kep