“Apa kamu lihat-lihat?” tanya Yolla ketus ketika dia mendongak dan melihat Mita sedang menatapnya.
“Ah, enggak Bu!” sahut Mita sambil terlonjak kaget. “Saya mau mengantar ini ....”Dengan agak takut-takut, Mita berjalan mendekat sambil mengulurkan satu map ke meja Yolla.“Taruh sini, cepat!” gertak Yolla dengan mata menyipit, membuat Mita terlonjak lagi untuk yang kedua kalinya. Cewek itu buru-buru menaruh mapnya dan pergi secepat kilat dari ruangan Yolla dengan jantung berdebar kencang.Tanpa sengaja Mita menabrak Byanz yang baru saja lewat di depan ruangan, untung Byanz sigap mengulurkan lengan ke pinggang cewek itu sebelum terhuyung ke lantai.“Maaf ....”“Kamu nggak apa-apa, Mbak?” tanya Byanz sambil menarik tangannya kembali.“Iya Mas,” angguk Mita. “Terima kasih ya sudah ....”“Woy, ngapain kalian berdiri saja di situ?!” teriak Yolla saat menoleh dan menyaksikan Byanz yang saat itu sedang berdiri bersama Mita. “Kerja sana!”Baik Byanz maupun Mita tidak berani menjawab dan lebih memilih untuk segera menyingkir ke tempat masing-masing.“Kamu bikin perkara apa lagi sama Bu Yolla sih?” sambut Ifan ketika Byanz muncul di belakang. “Masa suaranya kedengaran sampai sini.”“Aku sama Mbak Mita tabrakan di depan ruangan Bu Yolla,” jelas Byanz kalem. “Padahal kita nggak ngapa-ngapain, tahu-tahu dia teriak macam ada maling saja di depan matanya.”Ifan menarik napas.“Bu Yolla itu anaknya Pak Sony, tapi kok sikapnya beda jauh banget ya?” komentar Ifan tidak habis pikir. “Pak Sony yang punya perusahaan ini aja nggak segalak itu sama karyawannya, bakalan kiamat kalau suatu saat beliau memberikan jabatannya sama Bu Yolla betulan.”Byanz hanya mengangguk setuju.“Kita kan cuma karyawan bawah Fan,” katanya. “Kalaupun iya, itu haknya Pak Sony. Apalagi Bu Yolla itu anak kandung satu-satunya kalau nggak salah, kan?”“Tapi tetap aja itu nggak bagus,” sahut Ifan sambil menggeleng. “Aku sering dengar orang-orang membicarakan Bu Yolla, dia sama sekali nggak bisa kerja. Awal-awal datang ke sini, kerjaannya cuma mainan gawai terus di ruang kerjanya. Yang kayak begitu bisa dapat gaji, Yanz.”Byanz tersenyum tipis.“Sudah deh, kenapa kita jadi gosipin anak bos seperti ini sih?” komentarnya sambil menyandarkan punggung di tembok. “Kita kerja saja yang bener, Fan. Rejeki orang kan sendiri-sendiri, sudah rejekinya Bu Yolla mungkin kalau dia akan memimpin perusahaan Pak Sony. Namanya juga anak kandung, masa iya mau dikasih ke orang lain.”Ifan menganggukkan kepala tanpa berkata apa-apa lagi.Byanz beristirahat sejenak, sebelum akhirnya dia teringat dengan pacarnya yang sedang libur kerja.“Halo Yanz?” sapa suara renyah dari ujung sana ketika Byanz menghubunginya. “Kamu udah selesai kerja belum?”“Sebentar lagi,” sahut Byanz. “Kamu nggak usah ke mana-mana Ran, biar aku saja yang nanti samperin kamu.”“Eh, kata ibu kamu ... sekarang kamu kerja di perusahaan besar ya?” tanya Rani, nama pacar Byanz. “Aku pengin lihat dong, Yanz ....”“Nggak usah, mau ngapain?” tukas Byanz. “Aku kan kerja, bukan nongkrong. Sudah ya, nanti pulang kerja aku mampir ke rumah kamu kok.”Rani terdengar merajuk, tapi Byanz dengan tegas melarangnya karena tidak ingin jam kerjanya terganggu.“Siapa sih, pacar kamu ya?” tebak Ifan ingin tahu saat Byanz memasukkan kembali ponsel bututnya ke dalam saku celana.“Iya,” Byanz menganggukkan kepalanya. “Ngotot banget mau nyamperin aku ke sini, jelas saja aku larang. Bisa dikuliti hidup-hidup dia sama Bu Yolla kalau sampai ketahuan.”“Tapi ... dia tahu kalau kamu kerja bersih-bersih di sini?” tanya Ifan penasaran. “Bukan apa-apa, kadang ada cewek yang meremehkan pekerjaan laki-laki kalau menurutnya nggak sesuai sama ekspektasi dia.”Byanz terdiam, dia memang belum cerita kepada Rani bahwa dirinya untuk sementara menggantikan tugas ayahnya menjadi petugas cleaning service di perusahaan besar.“Aku pikir itu nggak perlu,” ujar Byanz. “Lagipula kan aku cuma sementara kerja di sini sampai ayah aku sembuh, setelah itu aku akan cari kerja lain lagi di luar.”Ifan hanya tersenyum tidak enak menanggapinya.Setelah jam kerja berakhir, Byanz mengurungkan niatnya untuk berganti seragam karena dia ingin secepatnya pulang agar bisa segera mampir ke rumah Rani.Baru juga Byanz berjalan menyusuri halaman, dia melihat seorang perempuan dengan rambut diikat ekor kuda melambai dari kejauhan.“Rani?” gumam Byanz yang lantas mempercepat langkah kakinya.“Byanz!” panggil perempuan itu dengan wajah gembira.“Kamu ngapain ke sini sih?” tanya Byanz begitu tiba di hadapan Rani. “Aku kan sudah bilang biar aku saja yang ke rumah kamu nanti.”Bertepatan dengan itu, Yolla baru saja keluar dari ruangannya dan mngurungkan niatnya untuk pergi ke parkiran mobil saat melihat Byanz yang sedang bersama seorang perempuan muda yang tidak dia kenal.Terusik oleh rasa keingintahuannya, diam-diam Yolla berjalan mendekati mereka.“Perusahaan kamu gede juga ya, Byanz?” komentar Rani dengan wajah takjub. “Jabatan kamu sebagai apa di sini?”“Jabatanku nggak tinggi-tinggi banget kok,” geleng Byanz. “Lagipula aku cuma sementara menggantikan ayah aku yang lagi sakit, setelah itu aku bakalan berhenti.”Rani terlihat menyapukan pandangannya ke sekitaran gedung yang menjulang megah di hadapannya.“Kok cuma sementara sih, kenapa nggak dilanjutkan saja? Lumayan kan,” tanya Rani kemudian. “Memangnya kamu jadi apa Byanz, manajer?”Mendadak Yolla tertawa sebelum Byanz menjawab pertanyaan itu, membuat Rani menolehkan kepalanya.“Bu Yolla?” ucap Byanz sambil mengernyit heran saat melihat kemunculan Yolla.“Manajer dari Hong Kong?” komentar Yolla dengan nada meremehkan.“Serius kamu jadi manajer di Hong Kong?” tanya Rani antusias sambil memandang Byanz. “Hebat kamu, aku benar-benar bangga.”Byanz menggeleng sementara Yolla menepuk jidatnya sambil masih tertawa.“Pikiran kamu di mana sih?” sinis Yolla kemudian. “Siapa yang bilang kalau Babangs ini jadi manajer? Kamu nggak lihat seragam yang dia pakai? Lihat dong baik-baik.”“Seragam ...?” Rani nampak kebingungan sesaat.“Iya, seragam!” tegas Yolla sementara Byanz diam saja.“Oh, jadi ini seragam manajer itu?” tanya Rani dengan wajah polos.“Ya ampun, kamu ini ogeb atau apa sih?” sembur Yolla gemas. “Ini tuh seragam office boy! Alias cleaning service, tukang bersih-bersih kalau kamu nggak paham apa itu office boy!”Rani terpaku, pandangannya perlahan bergeser ke arah Byanz yang terlihat tenang.“Kamu ... hanya tukang bersih-bersih di perusahaan sebesar ini?” tanya Rani menegaskan.“Iya,” jawab Byanz, meskipun pekerjaan ini hanya sementara dilakoninya selama ayahnya belum sembuh total.“Memang selama ini kamu nggak tahu?” sergah Yolla, yang merasa perlu melibatkan diri dalam pembicaran sepasang insan ini. “Bangs, kamu sudah nipu cewek ini, ya?”Byanz menggelengkan kepala.“Saya nggak nipu, saya cuma belum sempat menjelaskan yang sebenarnya sama Rani.” Dia menyahut.Bersambung—“Saya nggak nipu, saya cuma belum sempat menjelaskan yang sebenarnya sama Rani.” Dia menyahut.“Kamu nggak pernah bilang kalau kamu kerja jadi tukang bersih-bersih!” seru Rani tertahan. “Aku pikir kamu itu kerja di perusahaan besar jadi manajer atau apa ....”“Haha, jangan mimpi kamu.” Yolla menggeleng-gelengkan kepalanya sambil melirik Byanz. “Modelan begini mana cocok jadi manajer kantor.”Setelah puas menghina Byanz di depan mata Rani, Yolla dengan enteng melangkah pergi meninggalkan mereka berdua menuju halaman parkir.“Rani, tunggu ....” “Aku malu punya pacar seperti kamu, Byanz!” potong Rani sebelum Byanz selesai dengan ucapannya. “Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu ini cuma tukang bersih-bersih di kantor orang? Kamu sengaja menutupi ini semua? Iya?”“Aku itu cuma gantiin ayah aku untuk sementara saja,” jelas Byanz. “Kamu tahu kan kalau ayah aku kerja jadi cleaning service? Sebagai anak, sudah sewajarnya kalau aku menggantikan ayahku yang sedang sakit untuk ....”“Aku nggak ma
Sementara itu Yolla masih belum bisa terima tentang keputusan ayahnya mengangkat Byanz sebagai CEO di perusahaan ini. Mana bisa dirinya yang berpendidikan tinggi disandingkan dengan mantan office boy yang riwayat pendidikannya tidak jelas.Itu namanya penghinaan, geram Yolla dalam hatinya.Segera saja dia menyuruh orang untuk mencari informasi tentang Babyanz Avinskie termasuk riwayat pendidikannya. Setidaknya Yolla ingin memastikan sendiri bahwa pesaingnya itu adalah orang yang sangat sejajar dalam hal apa pun. "Ini berkas yang Anda minta, Bu." Mita mengulurkan satu map cokelat ke arah Yolla. "Nggak ada yang tahu kan kalau saya suruh kamu ambil data pribadi Babyanz?" tanya Yolla sambil mendongak menatapsekretarisnya. "Tidak ada, Bu." Mita menggelengkan kepalanya dengan sopan. "Bagus," sahut Yolla dengan nada puas. "Kamu boleh pergi. Tapi ingat, jangan cerita sama siapa pun soal ini."Mita mengangguk dan buru-buru pergi dari ruangan Yolla. Sepeninggal Mita, Yolla menundukkan kep
Rani memandang Byanz dengan sorot mata berbeda dibandingkan dengan pertemuan terakhir mereka. “Aku ... yah, aku Cuma mau minta maaf ...” kata Rani terbata-bata. “Aku tahu ucapan aku yang dulu sangat jahat ....”Byanz menarik napas panjang. “Ya sudahlah,” katanya. “Aku lagi nggak mau bahas soal dulu-dulu.”Rani kelihatan salah tingkah saat Byanz berjalan melewatinya begitu saja. “Lancar, Yanz?” sambut Sari yang baru kembali dari dapur. “Lancar Bu,” jawab Byanz sambil mengangguk. “Oh ya, Rani sudah sejak kapan ada di sini?”“Rani sudah sejak tadi di rumah nungguin kamu saat dia tahu kalau kamu naik jabatan,” jawab Sari. “Dia kelihatannya ikut senang mendengar berita ini.”Byanz hanya menganggukkan kepalanya dan berlalu pergi ke kamar.Rani masih duduk terpekur di kursinya ketika Byanz muncul tanpa ekspresi yang berarti. “Belum pulang kamu?” tanya Byanz dengan nada datar. Rani tergeragap menoleh ke arah Byanz. “Kamu ... udah maafin aku belum?” tanya Rani memberanikan d
“Byanz, saya mau kamu yang mewakilkan pertemuan penting dengan klien dari Platinum Grup.” Sony mendatangi Byanz di ruangannya ketika dia baru saja memeriksa salah satu proposal.“Saya, Pak?” tanya Byanz sambil buru-buru berdiri untuk menyambut bosnya. “Iya, kamu.” Sony mengangguk.“Saya ... tidak enak sama Bu Yolla, Pak.” Byanz mengaku. “Saya kan tidak sederajat pendidikannya ....”Sony justru tersenyum simpul mendengarnya. “Kamu bisa pergi sama Yolla,” katanya ringan. “Sekalian kamu ajari putri saya agar dia memiliki attitude yang baik seperti kamu.”Byanz terpaku sejenak, dia teringat dengan Yolla yang pernah meremehkannya karena dirinya hanyalah tamatan SMP saja. “Apa Bu Yolla bersedia pergi sama saya, Pak?” tanya Byanz ragu. “Saya khawatir kalau ... seandainya Bu Yolla keberatan dan pertemuan itu malah akan terganggu dengan kehadiran saya ....”Sony menggelengkan kepalanya. “Tenang saja, ini hanya pertemuan ramah tamah biasa. Jadi ada baiknya kamu sama Yolla pergi ber
Byanz sendiri sudah tentu ingin menolak usul bos besarnya, tetapi dia tidak mungkin mengatakannya langsung di depan Yolla. Bagaimanapun, dia masih menjaga perasaan putri Sony meskipun sikapnya sangat tidak menyenangkan hatinya. "Saya ..." Byanz berusaha mencari kata-kata yang pas untuk menolak rencana Sony. "Apa ada yang kurang dari Yolla, Pak Byanz?" tanya Sony lagi. Byanz melirik Yolla yang mendelik ke arahnya, seakan siap mengulitinya hidup-hidup kalau dia berani bilang yang jelek-jelek tentangnya. "Tidak ada Pak," geleng Byanz. "Bu Yolla ... sempurna sekali."Sony tersenyum simpul sementara Yolla mendengus pelan. "Baiklah, tidak ada alasan bagi kamu untuk menolak putri saya kan?" tanya Sony lagi sambil memandang Byanz. "Pa, apa-apaan ini?" sela Yolla gusar. "Aku nggak ....""Papa tidak bicara sama kamu, Yolla." Sony mengingatkan tanpa memandang putrinya. "Saya tidak akan buru-buru, silakan kamu dan Yolla saling beradaptasi secara alami."Apa-apaan ini, batin Byanz tidak men
Byanz dan Yolla duduk di kursi yang telah tersedia. Sambil makan, sesekali mereka berdua terlibat obrolan singkat dengan Vivian dan Rasha yang duduk berhadapan. “Hari yang sibuk untuk seorang CEO?” komentar Rasha basa-basi. “Sangat, apalagi untuk orang baru seperti saya.” Byanz menganggukkan kepalanya. “Oh ya?” tanggap Rasha dengan ekspresi terkejut. Yolla sendiri disibukkan dengan obrolan yang menurutnya tidak begitu penting dengan Vivian. “Kamu masih kelihatan muda, lulus sarjana umur berapa?” tanya Vivian ramah. “Dua tiga mungkin ... entahlah, sudah lupa,” sahut Yolla, sesekali jemarinya asyik berselancar ria di layar ponselnya. Byanz yang melihat kalau Yolla lebih sibuk dengan gawai di tangan, tidak tahan jika tidak menegurnya. “Bu Yolla?” panggil Byanz sambil mendekatkan kepalanya ke arah Yolla. “Tolong simpan ponselnya dulu, kita sedang ada jamuan penting sekarang ....”“Diam,” desis Yolla sambil mendorong kepala Bya
“Makan, Fan?” Byanz menyambangi Ifan di belakang, tempat yang biasa digunakan para petugas kebersihan untuk melepas penat setelah bekerja. “Loh Yanz, kamu ngapain sampai ke sini?” tanya Ifan terkejut. “Kamu kan sudah naik jabatan ....”“Ya terus?” sahut Byanz sambil tersenyum kalem. “Nggak masalah kan, ini jam makan siang. Nanti aku bisa balik ke ruanganku lagi kalau sudah jam kerja.”Ifan belum sempat menjawab karena saat itu ada beberapa orang yang melihat Byanz dan menyapanya. “Aku kira kamu sudah lupa sama teman-teman office boy,” komentar Ifan ketika dia dan Byanz duduk satu meja di kafetaria. “Macam orang-orang yang sudah naik kelas.”Byanz menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku bukan lupa, tapi lagi adaptasi sama kerjaan.” Byanz menjelaskan. “Jadi CEO itu nggak sementereng kelihatannya Fan, tanggung jawabnya berat. Dan aku nggak mau mengecewakan Pak Sony yang sudah kasih aku kesempatan.”Ifan mengangguk paham, kemudian menyedot es teh
Sony memandang Yolla yang tengah terbaring lemah dengan jarum infus terpasang di salah satu punggung tangannya, sementara Virnie terlihat duduk dengan wajah sedih di sampingnya. “Pak Byanz, saya sangat berterima kasih.” Sony bergegas menemui Byanz yang masih berada di luar.“Sama-sama Pak,” sahut Byanz sambil buru-buru berdiri. “Bu Yolla sudah tidak apa-apa kan, saya permisi kembali ke kantor dulu ....”Sony menganggukkan kepalanya. “Sekali lagi terima kasih,” sahut Sony sambil tersenyum. “Biar sopir kantor yang mengantar kamu.”“Baik Pak,” angguk Byanz sambil berbalik pergi. Sepanjang perjalanan kembali ke kantor, Byanz sesekali menjawab pertanyaan dari sopir yang mengantarnya tentang apa yang baru saja dialami Yolla. “Saya nggak tahu persis, mungkin kecapekan.” Byanz menjelaskan sebisanya. Setibanya di kantor, Byanz kembali menekuni pekerjaannya dan bayangan Yolla yang tengah terbaring lemas langsung menghilang begitu saja dari pikirann