Share

6 Kita Putus!

“Saya nggak nipu, saya cuma belum sempat menjelaskan yang sebenarnya sama Rani.” Dia menyahut.

“Kamu nggak pernah bilang kalau kamu kerja jadi tukang bersih-bersih!” seru Rani tertahan. “Aku pikir kamu itu kerja di perusahaan besar jadi manajer atau apa ....”

“Haha, jangan mimpi kamu.” Yolla menggeleng-gelengkan kepalanya sambil melirik Byanz. “Modelan begini mana cocok jadi manajer kantor.”

Setelah puas menghina Byanz di depan mata Rani, Yolla dengan enteng melangkah pergi meninggalkan mereka berdua menuju halaman parkir.

“Rani, tunggu ....”

“Aku malu punya pacar seperti kamu, Byanz!” potong Rani sebelum Byanz selesai dengan ucapannya. “Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu ini cuma tukang bersih-bersih di kantor orang? Kamu sengaja menutupi ini semua? Iya?”

“Aku itu cuma gantiin ayah aku untuk sementara saja,” jelas Byanz. “Kamu tahu kan kalau ayah aku kerja jadi cleaning service? Sebagai anak, sudah sewajarnya kalau aku menggantikan ayahku yang sedang sakit untuk ....”

“Aku nggak mau tahu,” geleng Rani yang wajahnya nampak sama sinisnya seperti Yolla. “Aku tuh malu, Yanz. Aku nggak mau punya pacar tukang bersih-bersih, kita putus detik ini juga!”

Rani langsung berbalik bahkan sebelum Byanz sempat mencegahnya, cewek itu keburu pergi dengan langkah-langkah cepat membawa setumpuk rasa kecewanya yang sangat besar.

“Nasib ...” keluh Byanz sambil menggelengkan kepalanya.

Sementara itu di rumahnya, Yolla baru saja tiba dan langsung pergi ke kamarnya dengan langkah-langkah ringan.

“Yol, tumben kamu hari ini ceria sekali?” sapa Virny ketika berpapasan dengan putrinya di tangga. “Biasanya kamu cemberut tiap pulang kantor.”

Yolla tersenyum lebar, masih terbayang dalam ingatannya bagaimana dia membongkar pekerjaan asli Byanz sebagai tukang bersih-bersih di kantornya kepada cewek tadi.

“Lagi bahagia aja, Ma.” Yolla menjawab ringan. “Papa belum pulang, ya?”

“Mungkin sebentar lagi,” sahut Virnie sambil melanjutkan langkahnya untuk pergi ke dapur.

Yolla melempar tasnya begitu saja ke atas tempat tidur, entah kenapa hatinya begitu senang sekali saat dia melihat wajah suram Byanz saat ceweknya tahu tentang pekerjaan aslinya di perusahaan.

“Rasain kamu,” gumam Yolla dengan wajah sangat puas.

Namun, kesenangan Yolla atas kesengsaraan Byanz tidak berlangsung lama. Lebih tepatnya saat Sony tiba-tiba menyinggung tentang CEO baru yang akan menghuni kantornya tidak lama lagi.

“Pa, aku kan sudah berusaha menyelesaikan pekerjaanku dengan sangat baik.” Yolla mengeluh. “Kenapa Papa masih harus repot-repot mencari orang lain untuk mengisi jabatan itu sih?”

Virnie tidak berkomentar apa-apa karena dia tidak ingin mendahului kepentingan suaminya.

“Masalahnya papa butuh orang yang berkompeten sekarang juga,” jawab Sony jujur.

“Jadi maksud Papa aku nggak kompeten?” sahut Yolla sambil meletakkan sendoknya. “Aku kurang bisa diandalkan, begitu maksud papa?”

Sony menarik napas.

“Papa percaya kamu bisa diandalkan suatu saat nanti,” katanya lambat-lambat. “Tapi untuk sekarang ini, papa butuh seseorang yang berkompeten sambil nunggu kamu lebih siap. Tenang saja, CEO baru ini tidak akan mengganggu jabatan kamu sama sekali di kantor.”

Yolla tidak berkomentar apa-apa, tetapi raut wajahnya kelihatan tidak puas dengan jawaban yang dilontarkan sang ayah.

“Terus kapan orang itu akan datang?” tanya Yolla sambil melanjutkan menyantap makanannya lagi.

“Secepatnya,” jawab Sony tanpa ragu-ragu.

Hari-hari berikutnya, Yolla merasa hatinya tidak begitu tenang saat bekerja. Dia terus menebak-nebak seperti apa orang yang begitu ayahnya dambakan untuk mengisi jabatan CEO di perusahaan ini.

“Awas aja kalau dia berani mengusik kinerjaku,” gumam Yolla di sela-sela pekerjaannya.

“Kenapa sih kamu, gelisah amat?” komentar Sisty saat menemani Yolla makan siang di resto dekat kantor.

“Sebentar lagi bakalan ada CEO baru di perusahaan papa aku,” jawab Yolla lesu.

“Oh, aku kira ada apa ...” tanggap Sisty santai. “Terus kenapa kamu kelihatan nggak suka begitu, merasa tersaingi atau gimana?”

Yolla menoleh menatap Sisty sambil menaikkan sebelah alisnya, seolah sahabatnya itu baru saja mengatakan hal yang berlumur dosa.

“Jelas aku nggak sukalah!” sahutnya segera. “Kan udah ada aku yang jadi CEO, anak pemilik perusahaan pula ... Apa yang akan dikatakan pegawai yang lain kalau mereka tahu papaku malah merekrut orang buat jadi CEO baru?”

Sisty menggaruk-garuk kepalanya dan tidak menjawab.

“Kelihatan banget kan kalau aku seolah nggak becus kerja,” sungut Yolla lagi. “Papaku benar-benar menjatuhkan nama baikku di sini, kok tega ....”

“Asyik kan, kamu malah ada temannya buat ngobrol soal kerjaan?” komentar Sisty. “Aku jadi membayangkan kalau yang gabung di perusahaan ayah kamu itu adalah pria muda, ganteng, pintar, kaya ... pokoknya mirip-mirip seperti yang ada di drama-drama televisi.”

Yolla menghela napas, jawaban konyol Sisty justru membuat hatinya tambah semakin mendongkol terhadap keputusan sang ayah.

Hingga hari yang paling dibenci Yolla itupun tiba.

Pagi itu Sony meminta sebagian karyawannya berkumpul di ruangan rapat termasuk Yolla sendiri.

“Terima kasih karena kalian sudah meluangkan waktu di pagi hari ini,” ucap Sony membuka pembicaraan. “Saya ingin memperkenalkan seseorang yang akan bergabung dengan perusahaan ini. Dia adalah Babyanz Avinskie, silakan.”

Mata Yolla melebar saat seorang laki-laki muda muncul dari balik bahu ayahnya.

“Si office boy,” gumam Yolla tak percaya. Jadi dia yang akan ditunjuk ayahnya sebagai CEO baru? Ayahnya pasti bercanda!

“Selamat pagi, nama saya Byanz. Saya akan berusaha sebaik mungkin untuk melaksanakan kewajiban saya di perusahaan ini, mohon bantuannya.” Byanz berkata dengan bahasa formal seraya menganggukkan kepalanya dengan sopan.

Yolla tentu saja menganggap bergabungnya Byanz di perusahaan ayahnya adalah sebuah lelucon konyol yang nyata dan harus ditentang detik itu juga.

“Papa nggak salah nunjuk orang? Si Babangs ini kan ....”

“Namanya Babyanz, Yol.” Sony meralat dengan tenang.

“Apalah namanya nggak penting,” sahut Yolla tidak sabar. “Bukannya dia ini ... adalah office boy di kantor kita, Pa?”

“Byanz selama ini hanya menggantikan ayahnya yang sakit,” jawab Sony sambil memandang Yolla sementara Byanz memilih untuk diam selama tidak ada yang menyuruhnya bicara.

“Tapi tetap aja dia itu nggak pantas, Pa ...” Yolla nampak kesulitan mencari padanan diksi yang pas untuk mengungkapkan betapa gilanya memilih mantan office boy untuk mengisi jabatan CEO di suatu perusahaan besar seperti ini.

“Baiklah, silakan kalian kembali bekerja.” Sony tampak tidak terlalu ambil pusing dengan masalah Yolla yang keberatan dengan keputusannya. “Pak Byanz, biar Mita yang akan mengantar kamu ke ruangan.”

“Terima kasih banyak, Pak Sony.” Byanz menyahut sambil mengangguk hormat.

Mita sendiri tidak kalah terkejutnya saat tahu bahwa Byanz telah bergabung di perusahaan tempatnya bekerja.

“Kamu yang kemarin nolong saya, kan?” tanya Mita takut-takut saat berjalan menuju ruangan Byanz.

“Iya, mungkin ...” jawab Byanz ragu-ragu. “Terima kasih ya, kamu sudah mau mengantar saya?”

“Sama-sama Pak,” angguk Mita, terkesima dengan kesopanan yang diperlihatkan Byanz kepadanya.

Bersambung—

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status