“Saya nggak nipu, saya cuma belum sempat menjelaskan yang sebenarnya sama Rani.” Dia menyahut.
“Kamu nggak pernah bilang kalau kamu kerja jadi tukang bersih-bersih!” seru Rani tertahan. “Aku pikir kamu itu kerja di perusahaan besar jadi manajer atau apa ....”“Haha, jangan mimpi kamu.” Yolla menggeleng-gelengkan kepalanya sambil melirik Byanz. “Modelan begini mana cocok jadi manajer kantor.”Setelah puas menghina Byanz di depan mata Rani, Yolla dengan enteng melangkah pergi meninggalkan mereka berdua menuju halaman parkir.“Rani, tunggu ....”“Aku malu punya pacar seperti kamu, Byanz!” potong Rani sebelum Byanz selesai dengan ucapannya. “Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu ini cuma tukang bersih-bersih di kantor orang? Kamu sengaja menutupi ini semua? Iya?”“Aku itu cuma gantiin ayah aku untuk sementara saja,” jelas Byanz. “Kamu tahu kan kalau ayah aku kerja jadi cleaning service? Sebagai anak, sudah sewajarnya kalau aku menggantikan ayahku yang sedang sakit untuk ....”“Aku nggak mau tahu,” geleng Rani yang wajahnya nampak sama sinisnya seperti Yolla. “Aku tuh malu, Yanz. Aku nggak mau punya pacar tukang bersih-bersih, kita putus detik ini juga!”Rani langsung berbalik bahkan sebelum Byanz sempat mencegahnya, cewek itu keburu pergi dengan langkah-langkah cepat membawa setumpuk rasa kecewanya yang sangat besar.“Nasib ...” keluh Byanz sambil menggelengkan kepalanya.Sementara itu di rumahnya, Yolla baru saja tiba dan langsung pergi ke kamarnya dengan langkah-langkah ringan.“Yol, tumben kamu hari ini ceria sekali?” sapa Virny ketika berpapasan dengan putrinya di tangga. “Biasanya kamu cemberut tiap pulang kantor.”Yolla tersenyum lebar, masih terbayang dalam ingatannya bagaimana dia membongkar pekerjaan asli Byanz sebagai tukang bersih-bersih di kantornya kepada cewek tadi.“Lagi bahagia aja, Ma.” Yolla menjawab ringan. “Papa belum pulang, ya?”“Mungkin sebentar lagi,” sahut Virnie sambil melanjutkan langkahnya untuk pergi ke dapur.Yolla melempar tasnya begitu saja ke atas tempat tidur, entah kenapa hatinya begitu senang sekali saat dia melihat wajah suram Byanz saat ceweknya tahu tentang pekerjaan aslinya di perusahaan.“Rasain kamu,” gumam Yolla dengan wajah sangat puas.Namun, kesenangan Yolla atas kesengsaraan Byanz tidak berlangsung lama. Lebih tepatnya saat Sony tiba-tiba menyinggung tentang CEO baru yang akan menghuni kantornya tidak lama lagi.“Pa, aku kan sudah berusaha menyelesaikan pekerjaanku dengan sangat baik.” Yolla mengeluh. “Kenapa Papa masih harus repot-repot mencari orang lain untuk mengisi jabatan itu sih?”Virnie tidak berkomentar apa-apa karena dia tidak ingin mendahului kepentingan suaminya.“Masalahnya papa butuh orang yang berkompeten sekarang juga,” jawab Sony jujur.“Jadi maksud Papa aku nggak kompeten?” sahut Yolla sambil meletakkan sendoknya. “Aku kurang bisa diandalkan, begitu maksud papa?”Sony menarik napas.“Papa percaya kamu bisa diandalkan suatu saat nanti,” katanya lambat-lambat. “Tapi untuk sekarang ini, papa butuh seseorang yang berkompeten sambil nunggu kamu lebih siap. Tenang saja, CEO baru ini tidak akan mengganggu jabatan kamu sama sekali di kantor.”Yolla tidak berkomentar apa-apa, tetapi raut wajahnya kelihatan tidak puas dengan jawaban yang dilontarkan sang ayah.“Terus kapan orang itu akan datang?” tanya Yolla sambil melanjutkan menyantap makanannya lagi.“Secepatnya,” jawab Sony tanpa ragu-ragu.Hari-hari berikutnya, Yolla merasa hatinya tidak begitu tenang saat bekerja. Dia terus menebak-nebak seperti apa orang yang begitu ayahnya dambakan untuk mengisi jabatan CEO di perusahaan ini.“Awas aja kalau dia berani mengusik kinerjaku,” gumam Yolla di sela-sela pekerjaannya.“Kenapa sih kamu, gelisah amat?” komentar Sisty saat menemani Yolla makan siang di resto dekat kantor.“Sebentar lagi bakalan ada CEO baru di perusahaan papa aku,” jawab Yolla lesu.“Oh, aku kira ada apa ...” tanggap Sisty santai. “Terus kenapa kamu kelihatan nggak suka begitu, merasa tersaingi atau gimana?”Yolla menoleh menatap Sisty sambil menaikkan sebelah alisnya, seolah sahabatnya itu baru saja mengatakan hal yang berlumur dosa.“Jelas aku nggak sukalah!” sahutnya segera. “Kan udah ada aku yang jadi CEO, anak pemilik perusahaan pula ... Apa yang akan dikatakan pegawai yang lain kalau mereka tahu papaku malah merekrut orang buat jadi CEO baru?”Sisty menggaruk-garuk kepalanya dan tidak menjawab.“Kelihatan banget kan kalau aku seolah nggak becus kerja,” sungut Yolla lagi. “Papaku benar-benar menjatuhkan nama baikku di sini, kok tega ....”“Asyik kan, kamu malah ada temannya buat ngobrol soal kerjaan?” komentar Sisty. “Aku jadi membayangkan kalau yang gabung di perusahaan ayah kamu itu adalah pria muda, ganteng, pintar, kaya ... pokoknya mirip-mirip seperti yang ada di drama-drama televisi.”Yolla menghela napas, jawaban konyol Sisty justru membuat hatinya tambah semakin mendongkol terhadap keputusan sang ayah.Hingga hari yang paling dibenci Yolla itupun tiba.Pagi itu Sony meminta sebagian karyawannya berkumpul di ruangan rapat termasuk Yolla sendiri.“Terima kasih karena kalian sudah meluangkan waktu di pagi hari ini,” ucap Sony membuka pembicaraan. “Saya ingin memperkenalkan seseorang yang akan bergabung dengan perusahaan ini. Dia adalah Babyanz Avinskie, silakan.”Mata Yolla melebar saat seorang laki-laki muda muncul dari balik bahu ayahnya.“Si office boy,” gumam Yolla tak percaya. Jadi dia yang akan ditunjuk ayahnya sebagai CEO baru? Ayahnya pasti bercanda!“Selamat pagi, nama saya Byanz. Saya akan berusaha sebaik mungkin untuk melaksanakan kewajiban saya di perusahaan ini, mohon bantuannya.” Byanz berkata dengan bahasa formal seraya menganggukkan kepalanya dengan sopan.Yolla tentu saja menganggap bergabungnya Byanz di perusahaan ayahnya adalah sebuah lelucon konyol yang nyata dan harus ditentang detik itu juga.“Papa nggak salah nunjuk orang? Si Babangs ini kan ....”“Namanya Babyanz, Yol.” Sony meralat dengan tenang.“Apalah namanya nggak penting,” sahut Yolla tidak sabar. “Bukannya dia ini ... adalah office boy di kantor kita, Pa?”“Byanz selama ini hanya menggantikan ayahnya yang sakit,” jawab Sony sambil memandang Yolla sementara Byanz memilih untuk diam selama tidak ada yang menyuruhnya bicara.“Tapi tetap aja dia itu nggak pantas, Pa ...” Yolla nampak kesulitan mencari padanan diksi yang pas untuk mengungkapkan betapa gilanya memilih mantan office boy untuk mengisi jabatan CEO di suatu perusahaan besar seperti ini.“Baiklah, silakan kalian kembali bekerja.” Sony tampak tidak terlalu ambil pusing dengan masalah Yolla yang keberatan dengan keputusannya. “Pak Byanz, biar Mita yang akan mengantar kamu ke ruangan.”“Terima kasih banyak, Pak Sony.” Byanz menyahut sambil mengangguk hormat.Mita sendiri tidak kalah terkejutnya saat tahu bahwa Byanz telah bergabung di perusahaan tempatnya bekerja.“Kamu yang kemarin nolong saya, kan?” tanya Mita takut-takut saat berjalan menuju ruangan Byanz.“Iya, mungkin ...” jawab Byanz ragu-ragu. “Terima kasih ya, kamu sudah mau mengantar saya?”“Sama-sama Pak,” angguk Mita, terkesima dengan kesopanan yang diperlihatkan Byanz kepadanya.Bersambung—Sementara itu Yolla masih belum bisa terima tentang keputusan ayahnya mengangkat Byanz sebagai CEO di perusahaan ini. Mana bisa dirinya yang berpendidikan tinggi disandingkan dengan mantan office boy yang riwayat pendidikannya tidak jelas.Itu namanya penghinaan, geram Yolla dalam hatinya.Segera saja dia menyuruh orang untuk mencari informasi tentang Babyanz Avinskie termasuk riwayat pendidikannya. Setidaknya Yolla ingin memastikan sendiri bahwa pesaingnya itu adalah orang yang sangat sejajar dalam hal apa pun. "Ini berkas yang Anda minta, Bu." Mita mengulurkan satu map cokelat ke arah Yolla. "Nggak ada yang tahu kan kalau saya suruh kamu ambil data pribadi Babyanz?" tanya Yolla sambil mendongak menatapsekretarisnya. "Tidak ada, Bu." Mita menggelengkan kepalanya dengan sopan. "Bagus," sahut Yolla dengan nada puas. "Kamu boleh pergi. Tapi ingat, jangan cerita sama siapa pun soal ini."Mita mengangguk dan buru-buru pergi dari ruangan Yolla. Sepeninggal Mita, Yolla menundukkan kep
Rani memandang Byanz dengan sorot mata berbeda dibandingkan dengan pertemuan terakhir mereka. “Aku ... yah, aku Cuma mau minta maaf ...” kata Rani terbata-bata. “Aku tahu ucapan aku yang dulu sangat jahat ....”Byanz menarik napas panjang. “Ya sudahlah,” katanya. “Aku lagi nggak mau bahas soal dulu-dulu.”Rani kelihatan salah tingkah saat Byanz berjalan melewatinya begitu saja. “Lancar, Yanz?” sambut Sari yang baru kembali dari dapur. “Lancar Bu,” jawab Byanz sambil mengangguk. “Oh ya, Rani sudah sejak kapan ada di sini?”“Rani sudah sejak tadi di rumah nungguin kamu saat dia tahu kalau kamu naik jabatan,” jawab Sari. “Dia kelihatannya ikut senang mendengar berita ini.”Byanz hanya menganggukkan kepalanya dan berlalu pergi ke kamar.Rani masih duduk terpekur di kursinya ketika Byanz muncul tanpa ekspresi yang berarti. “Belum pulang kamu?” tanya Byanz dengan nada datar. Rani tergeragap menoleh ke arah Byanz. “Kamu ... udah maafin aku belum?” tanya Rani memberanikan d
“Byanz, saya mau kamu yang mewakilkan pertemuan penting dengan klien dari Platinum Grup.” Sony mendatangi Byanz di ruangannya ketika dia baru saja memeriksa salah satu proposal.“Saya, Pak?” tanya Byanz sambil buru-buru berdiri untuk menyambut bosnya. “Iya, kamu.” Sony mengangguk.“Saya ... tidak enak sama Bu Yolla, Pak.” Byanz mengaku. “Saya kan tidak sederajat pendidikannya ....”Sony justru tersenyum simpul mendengarnya. “Kamu bisa pergi sama Yolla,” katanya ringan. “Sekalian kamu ajari putri saya agar dia memiliki attitude yang baik seperti kamu.”Byanz terpaku sejenak, dia teringat dengan Yolla yang pernah meremehkannya karena dirinya hanyalah tamatan SMP saja. “Apa Bu Yolla bersedia pergi sama saya, Pak?” tanya Byanz ragu. “Saya khawatir kalau ... seandainya Bu Yolla keberatan dan pertemuan itu malah akan terganggu dengan kehadiran saya ....”Sony menggelengkan kepalanya. “Tenang saja, ini hanya pertemuan ramah tamah biasa. Jadi ada baiknya kamu sama Yolla pergi ber
Byanz sendiri sudah tentu ingin menolak usul bos besarnya, tetapi dia tidak mungkin mengatakannya langsung di depan Yolla. Bagaimanapun, dia masih menjaga perasaan putri Sony meskipun sikapnya sangat tidak menyenangkan hatinya. "Saya ..." Byanz berusaha mencari kata-kata yang pas untuk menolak rencana Sony. "Apa ada yang kurang dari Yolla, Pak Byanz?" tanya Sony lagi. Byanz melirik Yolla yang mendelik ke arahnya, seakan siap mengulitinya hidup-hidup kalau dia berani bilang yang jelek-jelek tentangnya. "Tidak ada Pak," geleng Byanz. "Bu Yolla ... sempurna sekali."Sony tersenyum simpul sementara Yolla mendengus pelan. "Baiklah, tidak ada alasan bagi kamu untuk menolak putri saya kan?" tanya Sony lagi sambil memandang Byanz. "Pa, apa-apaan ini?" sela Yolla gusar. "Aku nggak ....""Papa tidak bicara sama kamu, Yolla." Sony mengingatkan tanpa memandang putrinya. "Saya tidak akan buru-buru, silakan kamu dan Yolla saling beradaptasi secara alami."Apa-apaan ini, batin Byanz tidak men
Byanz dan Yolla duduk di kursi yang telah tersedia. Sambil makan, sesekali mereka berdua terlibat obrolan singkat dengan Vivian dan Rasha yang duduk berhadapan. “Hari yang sibuk untuk seorang CEO?” komentar Rasha basa-basi. “Sangat, apalagi untuk orang baru seperti saya.” Byanz menganggukkan kepalanya. “Oh ya?” tanggap Rasha dengan ekspresi terkejut. Yolla sendiri disibukkan dengan obrolan yang menurutnya tidak begitu penting dengan Vivian. “Kamu masih kelihatan muda, lulus sarjana umur berapa?” tanya Vivian ramah. “Dua tiga mungkin ... entahlah, sudah lupa,” sahut Yolla, sesekali jemarinya asyik berselancar ria di layar ponselnya. Byanz yang melihat kalau Yolla lebih sibuk dengan gawai di tangan, tidak tahan jika tidak menegurnya. “Bu Yolla?” panggil Byanz sambil mendekatkan kepalanya ke arah Yolla. “Tolong simpan ponselnya dulu, kita sedang ada jamuan penting sekarang ....”“Diam,” desis Yolla sambil mendorong kepala Bya
“Makan, Fan?” Byanz menyambangi Ifan di belakang, tempat yang biasa digunakan para petugas kebersihan untuk melepas penat setelah bekerja. “Loh Yanz, kamu ngapain sampai ke sini?” tanya Ifan terkejut. “Kamu kan sudah naik jabatan ....”“Ya terus?” sahut Byanz sambil tersenyum kalem. “Nggak masalah kan, ini jam makan siang. Nanti aku bisa balik ke ruanganku lagi kalau sudah jam kerja.”Ifan belum sempat menjawab karena saat itu ada beberapa orang yang melihat Byanz dan menyapanya. “Aku kira kamu sudah lupa sama teman-teman office boy,” komentar Ifan ketika dia dan Byanz duduk satu meja di kafetaria. “Macam orang-orang yang sudah naik kelas.”Byanz menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku bukan lupa, tapi lagi adaptasi sama kerjaan.” Byanz menjelaskan. “Jadi CEO itu nggak sementereng kelihatannya Fan, tanggung jawabnya berat. Dan aku nggak mau mengecewakan Pak Sony yang sudah kasih aku kesempatan.”Ifan mengangguk paham, kemudian menyedot es teh
Sony memandang Yolla yang tengah terbaring lemah dengan jarum infus terpasang di salah satu punggung tangannya, sementara Virnie terlihat duduk dengan wajah sedih di sampingnya. “Pak Byanz, saya sangat berterima kasih.” Sony bergegas menemui Byanz yang masih berada di luar.“Sama-sama Pak,” sahut Byanz sambil buru-buru berdiri. “Bu Yolla sudah tidak apa-apa kan, saya permisi kembali ke kantor dulu ....”Sony menganggukkan kepalanya. “Sekali lagi terima kasih,” sahut Sony sambil tersenyum. “Biar sopir kantor yang mengantar kamu.”“Baik Pak,” angguk Byanz sambil berbalik pergi. Sepanjang perjalanan kembali ke kantor, Byanz sesekali menjawab pertanyaan dari sopir yang mengantarnya tentang apa yang baru saja dialami Yolla. “Saya nggak tahu persis, mungkin kecapekan.” Byanz menjelaskan sebisanya. Setibanya di kantor, Byanz kembali menekuni pekerjaannya dan bayangan Yolla yang tengah terbaring lemas langsung menghilang begitu saja dari pikirann
Kedua orang tua Byanz terkejut bukan main saat mendengar berita bahwa anak mereka akan dijodohkan dengan putri dari pemilik perusahaan besar sekelas Emerald Enterprise.“Kamu serius, Yanz?” tanya Ramzy, ayah Byanz dengan wajah tidak percaya.“Iya, Yah.” Byanz mengangguk membenarkan.“Tapi keluarga Pak Sony itu keluarga terpandang,” kata Sari, ibunda Byanz dengan suara lirih. “Apa mereka mau besanan sama keluarga kita yang sangat sederhana ini?”Ramzy dan Sari saling berpandangan, membuat Byanz jadi ikut bimbang.“Ayah sama Ibu nggak usah kepikiran, nanti aku kabari lagi.” Byanz buru-buru menimpali.“Ayah sih nggak mempermasalahkan kamu berjodoh sama siapa, asalkan dia bisa menghargai kamu dengan segala keadaan kamu.” Ramzy menyahut.“Memangnya Yolla yang akan dijodohkan sama Byanz itu anaknya seperti apa?” tanya Sari ingin tahu.Ramzy menarik napas.“Jujur perangainya nggak terlalu bagus,” ungkap Ramzy. “Sangat berbanding terbalik sama anak kita y
"Begitulah," sahut Clerin melalui sambungan telepon. "Kalau nggak, mana mungkin dia bisa tahu soal obat yang kamu berikan itu." Sunyi sesaat selain hanya dengusan napas yang Clerin dengar dari seberang sana. "Sekarang bagaimana? Aku bisa dicabut izin praktekku kalau sampai masalah Callisto ini ketahuan ...." "Tenang!" potong Clerin segera. "Aku akan menanggung semua risikonya, kamu nggak perlu khawatir izin praktek kamu dicabut." Teman Clerin tentu saja mulai gelisah mendengar kabar ini. Dulu, awalnya dia sudah tidak setuju saat Clerin memintanya untuk menangani Callisto dengan masalah ingatannya. "Aku akan berusaha bikin Callisto mau periksa di tempat kamu lagi," janji Clerin. "Asal kamu ...." "Ya ampun Clerin, jangan lagi-lagi deh!" tolak teman Clerin. "Aku nggak mau terlibat lebih jauh soal pria asing yang kamu panggil pakai nama mendiang suami kamu. Sadarlah, suami kamu sudah meninggal dan bukan hal yang bagus kalau kamu sengaja menghidupkannya kembali dalam diri pria itu .
"Halo?" "Kamu suka?" tanya Callisto begitu Yolla menjawab panggilannya. "Buket bunga yang aku kirim tadi ...." "Suka sekali!" sahut Yolla, nyaris melonjak seperti anak kecil yang mendapatkan mainan kesukaannya. "Bunga yang kamu kirimkan ke aku selalu bagus-bagus, terima kasih." Sunyi sebentar. "Bunga itu mungkin akan layu dan mati dalam beberapa hari ke depan, tapi kamu harus yakin kalau niat aku untuk melamar kamu tidak akan pernah mati." Callisto menegaskan. "Kamu cuma harus bersabar sedikit, Yolla." "Iya ..." lirih Yolla tersipu saat Callisto terang-terangan memanggil namanya. "Kamu juga ya ... Niat baik pasti akan menemukan jalannya sendiri." "Kamu benar," sahut Callisto. "Ya sudah, aku kerja dulu. Ingat, jangan mikir macam-macam hanya karena aku satu kantor sama Bu Clerin." "Iya ..." sahut Yolla sambil tersenyum meskipun Callisto tidak dapat melihat tingkahnya. "yang penting kamu tidak macam-macam sama dia. Jangan kegenitan juga, ingat kalau dia yang sengaja membuat ingat
Yolla langsung lemas saat mendengar jawaban papanya yang tidak sesuai harapan. "Tapi kenapa, Pa?" tanya Yolla ingin tahu. "Kan yang penting Shano masih sendiri. Bukannya itu yang Papa tunggu sejak Shano melamar aku?" Sony menarik napas dan memandang Yolla lurus-lurus. "Papa lega kalau memang benar Shano itu masih sendiri," katanya lambat-lambat. "Tapi di luar itu, ada beberapa hal lain yang menjadi pertimbangan papa juga. Misalnya saja siapa kedua orang tua Shano dan keluarganya yang lain." Yolla menarik napas. "Namanya juga orang hilang ingatan, Pa. Shano juga sedang menjalani proses pengobatan ... Tapi kalau Papa mengharapkan dia sembuh dalam waktu dekat, siapa yang bisa menjamin itu? Apa aku juga harus nunggu sampai Shano benar-benar sembuh total?" Sony tidak segera menjawab. "Ayo dong, Pa ..." bujuk Yolla dengan wajah memelas. "Apa Shano yang mendesak kamu untuk segera menikah?" tanya Sony ingin tahu. Yolla buru-buru menggelengkan kepalanya. "Shano sudah tahu kalau Pap
"Maksud kamu apa sih?" tanya Callisto bingung. "Aku sama Bu Clerin hanya bertemu setiap hari di kantor, itu juga karena pekerjaan saja. Tidak lebih, jadi kenapa kamu harus mempermasalahkan soal ini?" Yolla melengos. "Aku tidak mempermasalahkannya," bantah Yolla. "Kalau aku menjadikannya masalah, pasti aku sudah dari kemarin protes sama kamu." Callisto tersenyum samar, menurutnya ucapan Yolla sangat berbanding terbalik dengan sikapnya. "Kamu mempermasalahkannya dengan cara menghindari aku," komentar Callisto sambil mengangkat cangkir kopinya. "sengaja tidak mau menjawab telepon dari aku bahkan tidak membalas pesanku sama sekali." Yolla tidak menampik, karena semua yang diucapkan Callisto adalah benar adanya. "Terus maksud kamu kalau aku sama Bu Clerin itu seperti keluarga kecil yang bahagia itu apa?" tanya Callisto ingin tahu. "Kamu tidak perlu berpikir jelek soal aku ...." "Memang itu kenyataannya," potong Yolla sambil merogoh tasnya untuk mengambil ponsel. "Kamu tidak perlu m
Hari itu Yolla sedang mengendarai mobilnya di jalan raya sepulangnya dia dari kantor. Tanpa dia sadari, ada sebuah mobil merah yang berjalan tepat beberapa meter di belakangnya. Awal-awal, lalu lintas di sekitar ruas jalan yang dilalui Yolla terlihat biasa-biasa saja. Sampai pada saat mobil yang dia kendarai memasuki jalanan yang lebih lebar tapi dengan dominasi kendaraan-kendaraan besar seperti mobil dan truk. Mobil merah yang semula berjarak agak jauh dari mobil Yolla, perlahan menambah kecepatan hingga kini jaraknya agak lebih mendekat. Namun, Yolla sama sekali tidak memperhatikan karena baginya jalan raya adalah tempat umum yang siapapun bebas mengendarai mobilnya di sana. Namun, lama kelamaan Yolla merasa juga jika mobil itu seakan sengaja membuntutinya. "Kok mobil itu nggak nyalip-nyalip sih?" gumam Yolla curiga. "Perasaan dari tadi di belakang terus ... apa jangan-jangan tujuannya sama?" Yolla tanpa ragu menambah kecepatan mobilnya demi memperlebar jarak dengan mobil merah
"Papa ...?" Callisto tidak mampu lagi untuk tidak mempedulikan bocah perempuan yang tak berdosa itu. "Vhea, kamu harus cepat tidur ya?" ucap Callisto akhirnya, membuat langkah Clerin terhenti. "Aku kangen Papa," ulang Vhea sambil melongok melewati bahu sang mama. "Aku mau Papa temani aku ... Aku sayang Papa ...." Beberapa kata terakhir yang dilontarkan Vhea sukses membuat hati Callisto terenyuh, dan dia seketika sadar yang menjadi musuh dalam selimutnya adalah Clerin. Bukannya Vhea. "Kamu mau tidur sama papa?" tanya Callisto sambil berdiri. Vhea diam saja dan hanya menganggukkan kepalanya. "Tidak perlu kalau kamu sedang tidak ingin diganggu," geleng Clerin sambil menolehkan wajahnya. "Saya mengerti kalau kamu juga mempunyai kehidupan sendiri." Callisto kali ini yang terdiam, seharusnya dia senang saat Clerin menyadari hal itu. Namun, kenapa rasanya dia tidak tega jika harus menolak Vhea dan membuat bocah perempuan itu kecewa? "Malam ini kamu boleh tidur di tempat papa k
Callisto sudah tidak percaya lagi dengan apa yang dikatakan oleh bosnya. "Apa begini cara kamu menyayangi Vhea?" komentarnya dengan nada dingin. "Dengan menghalalkan segala cara untuk membuat dia berpikir bahwa papanya masih hidup?" Clerin mengerjabkan kedua matanya yang kini terasa basah. "Kamu mungkin tidak akan bisa mengerti ..." tutur Clerin dengan suara lemah. "Kamu belum punya memiliki anak, jadi kamu tidak tahu ... bagaimana rasanya kehilangan pendamping hidup ... dengan seorang anak kecil yang masih membutuhkan kasih sayang dari kedua orang tuanya ...." Callisto memalingkan wajahnya dengan jengah. "Kehilangan seorang pendamping hidup, ya?" komentarnya. "Lalu bagaimana dengan saya yang kehilangan semuanya? Keluarga saya, bahkan ingatan saya ... Semuanya pergi meninggalkan saya, bandingkan dengan diri kamu! Seperti itu kamu merasa bahwa hidup kamu dan Vhea adalah yang paling menderita? Lalu bagaimana dengan yang saya rasakan?" Clerin tidak berkata apa-apa, untuk sementar
“Lagipula bukankah status saya adalah sebagai penyewa mansion, jadi kenapa kamu keberatan?” Clerin tidak segera menyahut informasi yang diberikan Callisto kepadanya. “Kalau kamu keberatan atau merasa terganggu dengan kedatangan Yolla tadi, saya tidak masalah kalau harus pindah dari mansion kamu.” Callisto melanjutkan. “Saya pikir sudah saatnya saya mencari tempat tinggal baru.” Tanpa sadar, jemari Clerin mengepal saat dia mendengar ucapan Callisto barusan. “Kamu tidak perlu seperti itu,” katanya berusaha menekan egonya hingga ke dasar. “apalagi masa sewa kamu masih panjang, jadi jangan buang-buang uang.” Callisto mengangkat bahunya. “Jadi tidak masalah kan kalau Yolla sesekali datang ke mansion?” tanya pria itu sambil memandang sang bos. “Kamu tidak perlu khawatir karena saya dan Yolla tidak akan melakukan perbuatan yang tak pantas.” Clerin memaksakan diri tersenyum sebelum berkomentar, dia sadar bahwa dia sedang menghadapi pria yang bukanlah suaminya. "Baiklah, saya r
Yolla sendiri tidak kalah terkejut saat mendapati sang pemilik mansion sudah berdiri di hadapannya. “Bu Yolla ... ada perlu apa?” tanya Clerin dengan bahasa tubuh yang begitu anggun meskipun dalam hatinya begitu bergemuruh saat melihat jika Yola sudah berani mendatangi mansion miliknya secara terang-terangan seperti ini. “Maaf Bu, saya ... mencari Callisto.” Yolla menyahut apa adanya tanpa gentar sedikitpun. “Callisto?” ulang Clerin sambil mengernyit. “Apa Anda tahu kalau ... Callisto itu adalah nama mendiang suami saya?” Yolla tertegun sebentar, tapi kemudian dia cepat-cepat meralat ucapannya. “Maksud saya Shano,” timpal Yolla sambil tersenyum. “Saya mau mengunjungi Shano, bukan Callisto.” Senyuman itu memudar sedikit dari wajah Clerin, menurutnya Yolla sama sekali tidak tahu malu saat berani-beraninya datang ke mansion untuk menemui Callisto. Punya hak apa dia? “Pak, Callisto di mana?” tanya Clerin kepada sang penjaga mansion. “Mungkin sebentar lagi pulang, Bu.” Penjaga it