“Byanz, saya mau kamu yang mewakilkan pertemuan penting dengan klien dari Platinum Grup.” Sony mendatangi Byanz di ruangannya ketika dia baru saja memeriksa salah satu proposal.“Saya, Pak?” tanya Byanz sambil buru-buru berdiri untuk menyambut bosnya. “Iya, kamu.” Sony mengangguk.“Saya ... tidak enak sama Bu Yolla, Pak.” Byanz mengaku. “Saya kan tidak sederajat pendidikannya ....”Sony justru tersenyum simpul mendengarnya. “Kamu bisa pergi sama Yolla,” katanya ringan. “Sekalian kamu ajari putri saya agar dia memiliki attitude yang baik seperti kamu.”Byanz terpaku sejenak, dia teringat dengan Yolla yang pernah meremehkannya karena dirinya hanyalah tamatan SMP saja. “Apa Bu Yolla bersedia pergi sama saya, Pak?” tanya Byanz ragu. “Saya khawatir kalau ... seandainya Bu Yolla keberatan dan pertemuan itu malah akan terganggu dengan kehadiran saya ....”Sony menggelengkan kepalanya. “Tenang saja, ini hanya pertemuan ramah tamah biasa. Jadi ada baiknya kamu sama Yolla pergi ber
Byanz sendiri sudah tentu ingin menolak usul bos besarnya, tetapi dia tidak mungkin mengatakannya langsung di depan Yolla. Bagaimanapun, dia masih menjaga perasaan putri Sony meskipun sikapnya sangat tidak menyenangkan hatinya. "Saya ..." Byanz berusaha mencari kata-kata yang pas untuk menolak rencana Sony. "Apa ada yang kurang dari Yolla, Pak Byanz?" tanya Sony lagi. Byanz melirik Yolla yang mendelik ke arahnya, seakan siap mengulitinya hidup-hidup kalau dia berani bilang yang jelek-jelek tentangnya. "Tidak ada Pak," geleng Byanz. "Bu Yolla ... sempurna sekali."Sony tersenyum simpul sementara Yolla mendengus pelan. "Baiklah, tidak ada alasan bagi kamu untuk menolak putri saya kan?" tanya Sony lagi sambil memandang Byanz. "Pa, apa-apaan ini?" sela Yolla gusar. "Aku nggak ....""Papa tidak bicara sama kamu, Yolla." Sony mengingatkan tanpa memandang putrinya. "Saya tidak akan buru-buru, silakan kamu dan Yolla saling beradaptasi secara alami."Apa-apaan ini, batin Byanz tidak men
Byanz dan Yolla duduk di kursi yang telah tersedia. Sambil makan, sesekali mereka berdua terlibat obrolan singkat dengan Vivian dan Rasha yang duduk berhadapan. “Hari yang sibuk untuk seorang CEO?” komentar Rasha basa-basi. “Sangat, apalagi untuk orang baru seperti saya.” Byanz menganggukkan kepalanya. “Oh ya?” tanggap Rasha dengan ekspresi terkejut. Yolla sendiri disibukkan dengan obrolan yang menurutnya tidak begitu penting dengan Vivian. “Kamu masih kelihatan muda, lulus sarjana umur berapa?” tanya Vivian ramah. “Dua tiga mungkin ... entahlah, sudah lupa,” sahut Yolla, sesekali jemarinya asyik berselancar ria di layar ponselnya. Byanz yang melihat kalau Yolla lebih sibuk dengan gawai di tangan, tidak tahan jika tidak menegurnya. “Bu Yolla?” panggil Byanz sambil mendekatkan kepalanya ke arah Yolla. “Tolong simpan ponselnya dulu, kita sedang ada jamuan penting sekarang ....”“Diam,” desis Yolla sambil mendorong kepala Bya
“Makan, Fan?” Byanz menyambangi Ifan di belakang, tempat yang biasa digunakan para petugas kebersihan untuk melepas penat setelah bekerja. “Loh Yanz, kamu ngapain sampai ke sini?” tanya Ifan terkejut. “Kamu kan sudah naik jabatan ....”“Ya terus?” sahut Byanz sambil tersenyum kalem. “Nggak masalah kan, ini jam makan siang. Nanti aku bisa balik ke ruanganku lagi kalau sudah jam kerja.”Ifan belum sempat menjawab karena saat itu ada beberapa orang yang melihat Byanz dan menyapanya. “Aku kira kamu sudah lupa sama teman-teman office boy,” komentar Ifan ketika dia dan Byanz duduk satu meja di kafetaria. “Macam orang-orang yang sudah naik kelas.”Byanz menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku bukan lupa, tapi lagi adaptasi sama kerjaan.” Byanz menjelaskan. “Jadi CEO itu nggak sementereng kelihatannya Fan, tanggung jawabnya berat. Dan aku nggak mau mengecewakan Pak Sony yang sudah kasih aku kesempatan.”Ifan mengangguk paham, kemudian menyedot es teh
Sony memandang Yolla yang tengah terbaring lemah dengan jarum infus terpasang di salah satu punggung tangannya, sementara Virnie terlihat duduk dengan wajah sedih di sampingnya. “Pak Byanz, saya sangat berterima kasih.” Sony bergegas menemui Byanz yang masih berada di luar.“Sama-sama Pak,” sahut Byanz sambil buru-buru berdiri. “Bu Yolla sudah tidak apa-apa kan, saya permisi kembali ke kantor dulu ....”Sony menganggukkan kepalanya. “Sekali lagi terima kasih,” sahut Sony sambil tersenyum. “Biar sopir kantor yang mengantar kamu.”“Baik Pak,” angguk Byanz sambil berbalik pergi. Sepanjang perjalanan kembali ke kantor, Byanz sesekali menjawab pertanyaan dari sopir yang mengantarnya tentang apa yang baru saja dialami Yolla. “Saya nggak tahu persis, mungkin kecapekan.” Byanz menjelaskan sebisanya. Setibanya di kantor, Byanz kembali menekuni pekerjaannya dan bayangan Yolla yang tengah terbaring lemas langsung menghilang begitu saja dari pikirann
Kedua orang tua Byanz terkejut bukan main saat mendengar berita bahwa anak mereka akan dijodohkan dengan putri dari pemilik perusahaan besar sekelas Emerald Enterprise.“Kamu serius, Yanz?” tanya Ramzy, ayah Byanz dengan wajah tidak percaya.“Iya, Yah.” Byanz mengangguk membenarkan.“Tapi keluarga Pak Sony itu keluarga terpandang,” kata Sari, ibunda Byanz dengan suara lirih. “Apa mereka mau besanan sama keluarga kita yang sangat sederhana ini?”Ramzy dan Sari saling berpandangan, membuat Byanz jadi ikut bimbang.“Ayah sama Ibu nggak usah kepikiran, nanti aku kabari lagi.” Byanz buru-buru menimpali.“Ayah sih nggak mempermasalahkan kamu berjodoh sama siapa, asalkan dia bisa menghargai kamu dengan segala keadaan kamu.” Ramzy menyahut.“Memangnya Yolla yang akan dijodohkan sama Byanz itu anaknya seperti apa?” tanya Sari ingin tahu.Ramzy menarik napas.“Jujur perangainya nggak terlalu bagus,” ungkap Ramzy. “Sangat berbanding terbalik sama anak kita y
Sekeras apa pun usaha Yolla untuk menolak perjodohan itu, tetap saja ayahnya tidak akan membatalkan rencana yang sudah dia susun sejak lama.“Apa sih yang Papa lihat dari Babangs?” tanya Yolla tidak habis pikir. “Kalau Papa memang mau aku menikah, biar aku yang cari jodoh sendiri. Tentunya yang sesuai sama kriteria aku karena kelak aku yang akan menjalaninya.”“Memangnya kamu bisa menjamin kalau pria yang kamu pilih itu adalah orang baik-baik?” tanya Sony sambil memandang putrinya lekat-lekat. “Paling juga dia hanya mau sama kekayaan papa saja ....”“Apa Papa pikir Babangs juga nggak begitu?” sahut Yolla dengan napas memburu. “Dia kan dari keluarga pas-pasan, jelas saja dia nggak mungkin menolak perjodohan ini. Kapan lagi bisa dapat jodoh satu paket? Sudah cantik, kaya, berpendidikan tinggi, populer, orang tuanya juga kaya raya, punya perusahaan ....”“Byanz menolak kok,” kata Sony tenang.“Apa?” Yolla terpaku. “Dia berani-beraninya menolak rencana Papa ...? Somb
“Kamu nggak malu?” desis Yolla di telinga Byanz ketika pria itu sedang memasangkan cincin pertunangan di jari manisnya.Byanz tidak menjawab.“Seharusnya kan ibu kamu yang membawakan cincin pertunangan ini,” sambung Yolla seakan mengejek bahwa Byanz tidak cukup mampu untuk membeli sepasang cincin pertunangan.Di saat yang sama, ingin sekali rasanya Byanz mematahkan jemari Yolla yang lentik. Dia paling tidak suka saat mendengar ada orang yang sengaja menghina ibunya.“Maaf ya, ibu saya harus mempertimbangkan apa kamu pantas dihadiahi cincin istimewa.” Byanz membalas sambil tersenyum samar.Yolla melirik Byanz dengan tatapan maut, hampir tidak ada dari para orang tua yang menyadari bahwa pasangan di depan mereka sedang bertikai.“Nah kalian berdua, mulai hari ini kalian resmi bertunangan.” Sony memandang Byanz dan Yolla bergantian. “Semoga kalian bisa memanfaatkan momen ini ke depan dengan saling mengenal satu sama lain.”Byanz menganggukkan kepalanya.