Begitu mendengar jawaban Byanz, ingin sekali rasanya Yolla bertepuk tangan dengan keras karena merasa kedudukannya semakin lebih tinggi dari sebelumnya.
Byanz yang tidak berpikiran macam-macam, justru heran sekali saat melihat Yolla senyum-senyum sendiri di depannya.“Saya kerja dulu, ya?” kata Byanz sebagai penutup pembicaraan mereka pagi itu.“Oke, cari uang yang banyak ... buat masa depan kamu nanti,” sahut Yolla sambil berlalu pergi menuinggalkan Byanz sendirian di ruangannya.Begitu Yolla menghilang dari hadapannya, Byanz menyandarkan punggung sambil memikirkan tingkah tunangannya yang menjadi semakin aneh dari waktu ke waktu.Keanehan Yolla tidak hanya berhenti sampai di situ. Suatu hari, Byanz diminta datang berkunjung ke rumah untuk menemaninya sementara Sony sedang menghadiri pesta pernikahan bersama Virnie.“Kamu mau minum apa?” tanya Yolla sambil melingkarkan satu lengannya ke bahu Byanz yang lebar.Terkejut, Byanz agak menggeser duduknya untuk“Biar nanti saya bicara sama Yolla,” ujar Sony. “Kalau memang dia sudah tidak sabar untuk bersatu sama kamu, saya akan usulkan sama dia untuk mempercepat pernikahan kalian.”“Apa, Pak?” Byanz membelalakkan matanya. “Pernikahan kami mau dipercepat?”Sony mengangguk kalem, dan Byanz langsung menyesali keputusannya yang terlalu gegabah untuk menceritakan tingkah Yolla kepada bosnya.“Tapi saya ... saya belum siap, Pak!” ucap Byanz terbata. “Saya juga belum mapan untuk menjadi seorang suami, jadi saya rasa ini keputusan yang ... terlalu dipaksakan.”Sony melipat kedua tangannya di dada.“Mapan itu bisa kamu dapatkan secara bertahap, yang penting kamu sama Yolla resmi dulu biar segalanya jauh lebih mudah.” Dia berkomentar. Byanz terduduk kaku, menurutnya ini bukanlah ide yang bagus. Persiapan pernikahan itu sendiri sudah pasti membutuhkan banyak uang, tabungan yang sudah susah payah dikumpulkannya mana cukup untuk mengurus tetek bengek pernikahan, belum lagi renc
Selain itu juga untuk memenuhi janjinya kepada Sony demi bisa mengubah Yolla menjadi pribadi yang lebih baik lagi, meskipun hal itu tidak akan mudah untuk dilakukan olehnya jika seorang diri.“Jadi,” Yolla menatap Byanz dengan sorot mata yang berbeda dari biasanya. “Kamu akhirnya setuju untuk melanjutkan pertunangan kita ke jenjang pernikahan?”Byanz balas menatap Yolla.“Kamu sendiri bagaimana?” tanya Byanz ingin tahu. “Kamu tahu betul siapa dan seperti apa saya, termasuk kemampuan finansial saya yang belum bisa dibilang mapan ....”“Saya tahu,” angguk Yolla. “Entahlah, makin ke sini saya semakin ingin membuat papa saya senang. Dan papa akan senang kalau saya menikah sama orang pilihan papa saya, jadi ya ... mau nggak mau saya harus menikah sama kamu.”Byanz tidak segera menanggapi, sebagai gantinya dia lebih memilih untuk mengamati daftar menu yang disajikan pihak kafe tempat mereka janjian bertemu.“Jadi kamu menikah sama saya hanya demi papa kamu?” Byanz
Byanz tidak lagi bicara saat sikap mau menang sendiri ditampakkan oleh Yolla kepadanya, sebagai calon suami dia tentu ingin berusaha ngemong calon istrinya yang masih kekanakan.Selesai acara fitting baju, Yolla meminta Byanz untuk membelokkan mobilnya ke arah pantai.“Tapi kita pamitnya kan cuma mau fitting baju pengantin,” protes Byanz bingung. “Saya juga belum izin sama Pak Sony ....”“Ya ampun, papa saya nggak akan keberatan melepas saya untuk pergi sama kamu ke manapun itu!” sergah Yolla kesal. Dia merasa kalau cowok baik-baik begitu membosankan dan sesekali ingin memancing kenakalan Byanz supaya keluar sedikit saja.“Tapi kamu belum resmi jadi istri saya,” ujar Byanz memberi pengertian. “Kamu bisa kan menghubungi papa kamu dulu untuk minta izin? Paling nggak sampai sepuluh menit ....”“Iyaaa, bawel banget sih kamu jadi laki-laki.” Sikap judes Yolla yang biasanya kini keluar juga setelah Byanz membuat segala sesuatu menjadi terasa merepotkan.Byanz terse
Atau memilih memutuskan mundur dengan alasan belum ada rasa cinta di antara mereka?Malam sebelum hari pernikahan, tidak ada acara istimewa selain kumpul-kumpul kerabat keluarga di rumah orang tua Byanz.“Tidurlah Yanz, besok kamu harus bangun lebih pagi.” Sari menyuruh ketika Byanz masih terlihat menimbrung perbincangan di antara sepupunya yang malam itu hadir. “Iya Bu,” angguk Byanz sambil berdiri, tidak lupa dia berpamitan kepada anggota keluarga yang lain sebelum akhirnya pergi ke kamar untuk tidur lebih awal dari biasanya.“Kamu benar-benar mantap sama keputusan kamu, kan?” tanya Sari memastikan sebelum Byanz menutup pintu kamarnya.“Aku harus mantap,” jawab Byanz sambil mengangguk. “Yang penting Ibu sama ayah merestui pilihanku, toh niat aku sama Yolla itu baik untuk ke depannya.”“Ibu sependapat, daripada kamu pacaran lama-lama. Ya sudah, tidur sana.” Sari tersenyum, kemudian segera berlalu pergi untuk menemui sanak keluarganya lagi.Cukup lama ju
Ada rasa tidak terima di hati Yolla, yang sampai detik ini menganggap bahwa Sony adalah papa kandungnya.“Kamu kelihatannya akrab banget sama papa saya, ya?” komentar Yolla ketika Byanz masuk mobil dan duduk di sampingnya.“Akrab ...? Biasa saja, kan saya memang pegawainya ... dan itu tadi beliau minta saya untuk memanggilnya papa.”Yolla mengepalkan tangannya ketika mendengar pengakuan jujur Byanz.“Ya wajar ... sekarang kan papa saya jadi papa kamu juga,” kata Yolla dengan nada sebiasa mungkin. “Yang penting kamu jangan ngelunjak saja.”Byanz tidak segera menjawab dan lebih memilih untuk menyandarkan punggungnya saat mobil Yolla meninggalkan kediaman Sony.“Kamu selalu mengatai saya ngelunjak, saya juga pastinya akan tetap tahu diri karena Pak Sony hanyalah mertua saya.” Byanz menukas saat sedang dalam perjalanan.Yolla tentu saja menginginkan hal yang serupa dari ucapan yang dilontarkan Byanz kepadanya. Secara hukum Sony adalah papa kandungnya dan sete
“Sini ...” Lengan Byanz yang besar terulur untuk merengkuh Yolla dalam kenikmatan sakral di malam pertama mereka.Pagi itu Yolla terbangun dan menyaksikan bahwa tubuhnya dan tubuh Byanz saling peluk setelah sempat menyatu dalam dinginnya malam. Dengan susah payah dia menarik dirinya dan membiarkan Byanz yang masih terlelap tidur di tempat peraduan mereka.“Minta tolong Sisty ah,” gumam Yolla sambil melipir ke kamar mandi dengan ponsel di tangannya. “Biar dia beliin obat pencegah kehamilan buat aku.”Sementara Byanz masih tertidur, Yolla sibuk berbalas-balasan pesan dengan Sisty.Saat Byanz akhirnya terbangun, Yolla belum keluar juga dari kamar mandi hingga dia harus menunggu cukup lama di depan pintu.“Yol, sudah belum?” tanya Byanz sambil mengetuk pintu kamar mandi hingga beberapa kali. “Gantian, nih ....”Terdengar bunyi kait kunci digeser dan pintu terbuka, memperlihatkan Yolla yang baru saja selesai mandi.“Sabarlah,” katanya genit sambil mencubit pin
Sementara itu, Yolla hanya mampu terdiam selama beberapa detik lamanya.“Jawab, Yol!” suruh Byanz dengan kemarahan yang tidak bisa ditahan lagi. “Atau aku akan mencari tahu sendiri, semuanya.”Emosi Yolla seketika menggelegak saat dia mendengar Byanz menggunakan kata ‘aku’ dan tidak lagi ‘saya’ seperti biasanya. Menurut Yolla, Byanz sudah mulai ngelunjak sekarang.“Kamu nggak berhak ikut campur urusan orang termasuk aku!” kata Yolla memperingatkan dengan keras. “Jadi lebih baik kamu kembalikan ponsel aku, sekarang juga!”Byanz menggelengkan kepala dengan tegas.“Aku nggak akan peduli sama surat ini seandainya nggak ada namaku yang tercantum di sana!” geram Byanz sambil memandang tajam Yolla. “Pasti ada sesuatu yang kamu sembunyikan dari aku kan, sebaiknya kamu bicara jujur sekarang ....”“Kamu nggak usah mikir macam-macam!” elak Yolla. “Itu ponsel aku, jadi kamu nggak berhak buka-buka file apa pun yang ada di dalamnya termasuk foto yang aku punya!”Byanz
Byanz berdecih, dia tidak akan mempercayai lagi mulut berbisa Yolla sedikitpun. “Tolong kamu dengarkan aku baik-baik dulu,” bujuk Yolla yang merasa semakin terdesak oleh keadaan. “Aku akan tetap berusaha untuk memberikan kamu hak sebagai anak, tapi tolong jangan bilang apa-apa sama papa. Bukankah jauh lebih baik kalau kita hidup berdampingan dalam damai? Anggap saja seperti tidak terjadi apa-apa.”Byanz mengepalkan tangannya yang tidak menggenggam ponsel Yolla. Sekarang dia mengerti kenapa wanita itu mendadak begitu baik sekali kepadanya, benar-benar wanita munafik.“Jadi ini tujuan kamu sengaja baik-baik sama aku?” tanya Byanz dingin. “Demi untuk menutupi rasa bersalah kamu karena sudah merebut semua hakku, Yol? Betapa memalukannya kamu ini.”Yolla menggeleng putus asa.“Byanz, aku kan sudah berusaha supaya kamu dekat sama papa dan tetap mendapatkan hak kamu sebagai anak ...” katanya mencoba melunakkan hati suaminya. “Aku bukan sengaja merampas apa yang kamu mi
"Begitulah," sahut Clerin melalui sambungan telepon. "Kalau nggak, mana mungkin dia bisa tahu soal obat yang kamu berikan itu." Sunyi sesaat selain hanya dengusan napas yang Clerin dengar dari seberang sana. "Sekarang bagaimana? Aku bisa dicabut izin praktekku kalau sampai masalah Callisto ini ketahuan ...." "Tenang!" potong Clerin segera. "Aku akan menanggung semua risikonya, kamu nggak perlu khawatir izin praktek kamu dicabut." Teman Clerin tentu saja mulai gelisah mendengar kabar ini. Dulu, awalnya dia sudah tidak setuju saat Clerin memintanya untuk menangani Callisto dengan masalah ingatannya. "Aku akan berusaha bikin Callisto mau periksa di tempat kamu lagi," janji Clerin. "Asal kamu ...." "Ya ampun Clerin, jangan lagi-lagi deh!" tolak teman Clerin. "Aku nggak mau terlibat lebih jauh soal pria asing yang kamu panggil pakai nama mendiang suami kamu. Sadarlah, suami kamu sudah meninggal dan bukan hal yang bagus kalau kamu sengaja menghidupkannya kembali dalam diri pria itu .
"Halo?" "Kamu suka?" tanya Callisto begitu Yolla menjawab panggilannya. "Buket bunga yang aku kirim tadi ...." "Suka sekali!" sahut Yolla, nyaris melonjak seperti anak kecil yang mendapatkan mainan kesukaannya. "Bunga yang kamu kirimkan ke aku selalu bagus-bagus, terima kasih." Sunyi sebentar. "Bunga itu mungkin akan layu dan mati dalam beberapa hari ke depan, tapi kamu harus yakin kalau niat aku untuk melamar kamu tidak akan pernah mati." Callisto menegaskan. "Kamu cuma harus bersabar sedikit, Yolla." "Iya ..." lirih Yolla tersipu saat Callisto terang-terangan memanggil namanya. "Kamu juga ya ... Niat baik pasti akan menemukan jalannya sendiri." "Kamu benar," sahut Callisto. "Ya sudah, aku kerja dulu. Ingat, jangan mikir macam-macam hanya karena aku satu kantor sama Bu Clerin." "Iya ..." sahut Yolla sambil tersenyum meskipun Callisto tidak dapat melihat tingkahnya. "yang penting kamu tidak macam-macam sama dia. Jangan kegenitan juga, ingat kalau dia yang sengaja membuat ingat
Yolla langsung lemas saat mendengar jawaban papanya yang tidak sesuai harapan. "Tapi kenapa, Pa?" tanya Yolla ingin tahu. "Kan yang penting Shano masih sendiri. Bukannya itu yang Papa tunggu sejak Shano melamar aku?" Sony menarik napas dan memandang Yolla lurus-lurus. "Papa lega kalau memang benar Shano itu masih sendiri," katanya lambat-lambat. "Tapi di luar itu, ada beberapa hal lain yang menjadi pertimbangan papa juga. Misalnya saja siapa kedua orang tua Shano dan keluarganya yang lain." Yolla menarik napas. "Namanya juga orang hilang ingatan, Pa. Shano juga sedang menjalani proses pengobatan ... Tapi kalau Papa mengharapkan dia sembuh dalam waktu dekat, siapa yang bisa menjamin itu? Apa aku juga harus nunggu sampai Shano benar-benar sembuh total?" Sony tidak segera menjawab. "Ayo dong, Pa ..." bujuk Yolla dengan wajah memelas. "Apa Shano yang mendesak kamu untuk segera menikah?" tanya Sony ingin tahu. Yolla buru-buru menggelengkan kepalanya. "Shano sudah tahu kalau Pap
"Maksud kamu apa sih?" tanya Callisto bingung. "Aku sama Bu Clerin hanya bertemu setiap hari di kantor, itu juga karena pekerjaan saja. Tidak lebih, jadi kenapa kamu harus mempermasalahkan soal ini?" Yolla melengos. "Aku tidak mempermasalahkannya," bantah Yolla. "Kalau aku menjadikannya masalah, pasti aku sudah dari kemarin protes sama kamu." Callisto tersenyum samar, menurutnya ucapan Yolla sangat berbanding terbalik dengan sikapnya. "Kamu mempermasalahkannya dengan cara menghindari aku," komentar Callisto sambil mengangkat cangkir kopinya. "sengaja tidak mau menjawab telepon dari aku bahkan tidak membalas pesanku sama sekali." Yolla tidak menampik, karena semua yang diucapkan Callisto adalah benar adanya. "Terus maksud kamu kalau aku sama Bu Clerin itu seperti keluarga kecil yang bahagia itu apa?" tanya Callisto ingin tahu. "Kamu tidak perlu berpikir jelek soal aku ...." "Memang itu kenyataannya," potong Yolla sambil merogoh tasnya untuk mengambil ponsel. "Kamu tidak perlu m
Hari itu Yolla sedang mengendarai mobilnya di jalan raya sepulangnya dia dari kantor. Tanpa dia sadari, ada sebuah mobil merah yang berjalan tepat beberapa meter di belakangnya. Awal-awal, lalu lintas di sekitar ruas jalan yang dilalui Yolla terlihat biasa-biasa saja. Sampai pada saat mobil yang dia kendarai memasuki jalanan yang lebih lebar tapi dengan dominasi kendaraan-kendaraan besar seperti mobil dan truk. Mobil merah yang semula berjarak agak jauh dari mobil Yolla, perlahan menambah kecepatan hingga kini jaraknya agak lebih mendekat. Namun, Yolla sama sekali tidak memperhatikan karena baginya jalan raya adalah tempat umum yang siapapun bebas mengendarai mobilnya di sana. Namun, lama kelamaan Yolla merasa juga jika mobil itu seakan sengaja membuntutinya. "Kok mobil itu nggak nyalip-nyalip sih?" gumam Yolla curiga. "Perasaan dari tadi di belakang terus ... apa jangan-jangan tujuannya sama?" Yolla tanpa ragu menambah kecepatan mobilnya demi memperlebar jarak dengan mobil merah
"Papa ...?" Callisto tidak mampu lagi untuk tidak mempedulikan bocah perempuan yang tak berdosa itu. "Vhea, kamu harus cepat tidur ya?" ucap Callisto akhirnya, membuat langkah Clerin terhenti. "Aku kangen Papa," ulang Vhea sambil melongok melewati bahu sang mama. "Aku mau Papa temani aku ... Aku sayang Papa ...." Beberapa kata terakhir yang dilontarkan Vhea sukses membuat hati Callisto terenyuh, dan dia seketika sadar yang menjadi musuh dalam selimutnya adalah Clerin. Bukannya Vhea. "Kamu mau tidur sama papa?" tanya Callisto sambil berdiri. Vhea diam saja dan hanya menganggukkan kepalanya. "Tidak perlu kalau kamu sedang tidak ingin diganggu," geleng Clerin sambil menolehkan wajahnya. "Saya mengerti kalau kamu juga mempunyai kehidupan sendiri." Callisto kali ini yang terdiam, seharusnya dia senang saat Clerin menyadari hal itu. Namun, kenapa rasanya dia tidak tega jika harus menolak Vhea dan membuat bocah perempuan itu kecewa? "Malam ini kamu boleh tidur di tempat papa k
Callisto sudah tidak percaya lagi dengan apa yang dikatakan oleh bosnya. "Apa begini cara kamu menyayangi Vhea?" komentarnya dengan nada dingin. "Dengan menghalalkan segala cara untuk membuat dia berpikir bahwa papanya masih hidup?" Clerin mengerjabkan kedua matanya yang kini terasa basah. "Kamu mungkin tidak akan bisa mengerti ..." tutur Clerin dengan suara lemah. "Kamu belum punya memiliki anak, jadi kamu tidak tahu ... bagaimana rasanya kehilangan pendamping hidup ... dengan seorang anak kecil yang masih membutuhkan kasih sayang dari kedua orang tuanya ...." Callisto memalingkan wajahnya dengan jengah. "Kehilangan seorang pendamping hidup, ya?" komentarnya. "Lalu bagaimana dengan saya yang kehilangan semuanya? Keluarga saya, bahkan ingatan saya ... Semuanya pergi meninggalkan saya, bandingkan dengan diri kamu! Seperti itu kamu merasa bahwa hidup kamu dan Vhea adalah yang paling menderita? Lalu bagaimana dengan yang saya rasakan?" Clerin tidak berkata apa-apa, untuk sementar
“Lagipula bukankah status saya adalah sebagai penyewa mansion, jadi kenapa kamu keberatan?” Clerin tidak segera menyahut informasi yang diberikan Callisto kepadanya. “Kalau kamu keberatan atau merasa terganggu dengan kedatangan Yolla tadi, saya tidak masalah kalau harus pindah dari mansion kamu.” Callisto melanjutkan. “Saya pikir sudah saatnya saya mencari tempat tinggal baru.” Tanpa sadar, jemari Clerin mengepal saat dia mendengar ucapan Callisto barusan. “Kamu tidak perlu seperti itu,” katanya berusaha menekan egonya hingga ke dasar. “apalagi masa sewa kamu masih panjang, jadi jangan buang-buang uang.” Callisto mengangkat bahunya. “Jadi tidak masalah kan kalau Yolla sesekali datang ke mansion?” tanya pria itu sambil memandang sang bos. “Kamu tidak perlu khawatir karena saya dan Yolla tidak akan melakukan perbuatan yang tak pantas.” Clerin memaksakan diri tersenyum sebelum berkomentar, dia sadar bahwa dia sedang menghadapi pria yang bukanlah suaminya. "Baiklah, saya r
Yolla sendiri tidak kalah terkejut saat mendapati sang pemilik mansion sudah berdiri di hadapannya. “Bu Yolla ... ada perlu apa?” tanya Clerin dengan bahasa tubuh yang begitu anggun meskipun dalam hatinya begitu bergemuruh saat melihat jika Yola sudah berani mendatangi mansion miliknya secara terang-terangan seperti ini. “Maaf Bu, saya ... mencari Callisto.” Yolla menyahut apa adanya tanpa gentar sedikitpun. “Callisto?” ulang Clerin sambil mengernyit. “Apa Anda tahu kalau ... Callisto itu adalah nama mendiang suami saya?” Yolla tertegun sebentar, tapi kemudian dia cepat-cepat meralat ucapannya. “Maksud saya Shano,” timpal Yolla sambil tersenyum. “Saya mau mengunjungi Shano, bukan Callisto.” Senyuman itu memudar sedikit dari wajah Clerin, menurutnya Yolla sama sekali tidak tahu malu saat berani-beraninya datang ke mansion untuk menemui Callisto. Punya hak apa dia? “Pak, Callisto di mana?” tanya Clerin kepada sang penjaga mansion. “Mungkin sebentar lagi pulang, Bu.” Penjaga it