Yolla hanya tersenyum saja menanggapinya, dia tidak mungkin mengamuk Byanz di depan kedua orang tuanya. Namun, dia masih bisa menghukumnya besok saat mereka berada di kantor.
Beberapa hari kemudian ....Saat itu Yolla baru saja keluar dari kamarnya saat mendengarkan suara ayah dan ibunya di kamar sebelah.“... papa pikir papa harus melakukan tes ....”“... papa kebanyakan nonton film, ini cuma soal nama ....”“... kemiripan nama ini mulai mengganggu papa, Ma ....”Yolla yang biasanya tidak peduli dengan urusan papa dan mamanya, entah kenapa kali itu merasa tertarik untuk mencuri dengar percakapan kedua orang tuanya. Sambil berjingkat pelan, dia mendekat ke arah kamar sebelah.“... mungkin untuk anak kedua nanti mama harus USG tiap bulan ....”“... dulu kan niatnya nggak USG juga buat kejutan ....”“ ... tapi nama Babyanz sangat mengganggu papa ....”Yolla memasang telinganya baik-baik, dia hampir saja bersuara saat pintu kamar orang tuanya tib“Memangnya kenapa? Apa ini bagian dari proses pengenalan kita lebih dekat?”Yolla tersenyum jijik seraya menatap Byanz lagi.“Ada lagi yang mau kamu tanyakan soal saya?” tanya Byanz sambil menatap Yolla. “Sebentar lagi akan ada rapat soal eksekusi yang harus diambil terkait peningkatan SDM di perusahaan, kamu sebaiknya hadir.”Yolla berdiri dari kursinya dengan sangat anggun.“Saya usul,” katanya. “Kita pecat saja para pegawai yang nggak punya kompetensi, buang-buang duit saja kalau perusahaan ini hanya menggaji orang-orang seperti itu.”Byanz menarik napas.“Kamu nggak paham masalahnya,” komentar Byanz. “Perusahaan butuh peningkatan SDM untuk memperbaiki kualitas, bukan pengurangan jumlah pegawai.”“Kamu ngomong begini seperti paham segalanya saja,” tukas Yolla sewot sambil mendelik ke arah Byanz dengan sorot mata garang. “Kamu cuma lulusan SMP, sedangkan saya ini kan lulusan sarjana ....”“Tapi itu nggak menjamin kalau kamu bisa memahami kondisi per
Ketika itu tanpa sengaja Yolla menghirup aroma yang tak biasa saat Byanz lewat di dekatnya. Dia terbiasa mengenal parfum teman-teman prianya, tapi belum ada yang menyamai wangi Byanz malam itu.“Gaji kamu sebagai CEO belum cukup ya buat kredit mobil?” tanya Yolla sambil mengulurkan kunci mobilnya kepada Byanz saat dia muncul lagi di hadapannya.Untuk mengalihkan perhatiannya dari aroma khas parfum yang dikenakan Byanz, Yolla sengaja melontarkan pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu.“Saya merasa belum terlalu butuh,” jawab Byanz tenang sembari menerima kunci mobil Yolla. “Apa sebaiknya kita pergi pakai taksi online saja? Saya masih bisa bayar ongkosnya untuk mengantar kamu ke manapun ....”“Terima kasih deh, tapi lebih baik kamu pakai mobil saya saja daripada saya harus pakai kendaraan umum.” Yolla bergidik sambil memandang Byanz. “Masa saya harus menanggung malu di depan para pelayan resto yang lihat saya datang pakai taksi?”Byanz menghela napas kemudian membu
“... dan calon imam kamu,” potong Byanz tegas, kini sikapnya tak lagi lunak saat menghadapi kekasaran Yolla terhadapnya yang sudah sangat keterlaluan.Yolla mendongak menatap Byanz dengan garang.“Jangan karena saya miskin, jadi kamu bisa menginjak-injak saya seenaknya seperti keset.” Byanz meneruskan dengan tenang. “Sudah cukup lama saya diam saja, dengan harapan kamu bisa sadar sendiri. Tapi nyatanya enggak, kamu justru semakin sombong dengan apa yang kamu punya.”Yolla mendadak berdecih.“Saya memang punya segalanya, pantas kan kalau saya sombong?” katanya sambil mengedikkan bahu. “Beda halnya sama kamu yang nggak punya apa-apa buat disombongkan, terus di mana salahnya.”Byanz menatap tajam Yolla tanpa mengucapkan sepatah katapun. Dia bisa saja memperpanjang perdebatan ini sampai Yolla tidak merendahkannya lagi, tetapi dia enggan melakukannya.Karena menurut Byanz, perdebatan itu tidak ada faedahnya jika diteruskan. Kalah menang sama saja baginya, karena m
Yolla membuka matanya saat merasakan kucuran air dingin mengenai kulit kepalanya, dia harus memikirkan sebuah cara untuk bisa menyingkirkan Byanz sebelum satu tahun pertunangannya itu tiba.“Nah, selesai!” Sisty menyisir pelan rambut curly pendek keemasan yang dimiliki Yolla sejak dulu. “Cat rambut kamu awet banget, ya? Siapa dulu yang nge-cat ....”“Ck, memuji diri sendiri.” Yolla memotong sambil mengamati pantulan dirinya sendiri di cermin yang ada di depannya. “Kamu punya ide nggak biar pertunangan aku berhenti sebelum batas waktu yang ditentukan papa aku?”Sisty meletakkan sisirnya kemudian memandang Yolla lurus-lurus.“Kamu beneran nggak bisa suka ya sama Baby?” tanya Sisty dengan kening berkerut. “Dia nggak jelek-jelek banget lho, Yol. Pekerjaan juga mapan sekarang ....”“Mau taruh di mana muka aku kalau sampai teman-teman kita tahu siapa calon suami aku dan dari keluarga mana dia berasal?” tukas Yolla gusar. “Kamu kalau lihat rumah calon mertua aku itu ... masuk harus lewat gan
“Berisik, terserah saya mau parkir di mana.” Yolla menukas. “Kerjaan kamu kan banyak, jangan sampai papa saya kecewa sama kamu.”Byanz tidak berkomentar apa-apa lagi dan bergegas turun dari mobil Yolla tanpa menoleh sedikitpun lagi kepadanya.Yolla terus mengawasi Byanz sampai dia sudah tidak terlihat lagi, setelah itu dia menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya ke rumah sakit yang rencananya akan dikunjungi papanya.Rasa penasaran telah membutakan pikiran Yolla hingga dia tidak mencari tahu dulu apakah papanya akan mengunjungi rumah sakit yang sama atau tidak.Setibanya di tempat tujuan, Yolla mengenakan kacamata hitam sembari merapikan rambutnya yang curly. Kemudian dia mengambil tasnya dan turun setelah memastikan mobil ayahnya tidak muncul tiba-tiba.Yolla berjalan anggun seperti biasa, berusaha untuk tidak nampak mencurigakan agar tidak ada yang tahu kalau dia sedang membuntuti seseorang. Lagipula papanya yang sedang dia buntuti justru belum terlihat keha
Tanpa kesulitan yang berarti, Yolla dengan mudah mendapatkan kedua amplop yang diincarnya tadi. Dia sempat melempar pandang ke arah pintu, sebelum akhirnya membuka salah satu amplop dengan sangat hati-hati.Jari-jari Yolla bergetar hebat seakan dia sedang membuka sebuah amplop yang berisi surat wasiat di dalamnya. Tidak berapa lama, dia berhasil mengeluarkan selembar kertas yang terlipat rapi dan cepat-cepat membacanya.“Apa ini ... tes apa ...?” Mata Yolla melebar ketika dia membaca tulisan yang tertera di kertas itu dengan sangat jelas. Belum hilang keterkejutannya, dia bergegas membuka amplop yang satunya. Seketika wajahnya mengerut ketika membaca tulisan di kertas kedua, seakan baru saja melihat hantu muncul di setiap hurufnya.“Kok lama, sakit perut?” tanya Virnie saat Yolla muncul hampir setengah jam lamanya.“Enggak,” jawab Yolla dengan wajah muram. “Aku cuma ... masih kepikiran aja sama Papa, Ma.”Sony menoleh memandang Yolla dan terenyuh saat meliha
“Nggak usah banyak tanya,” jawab Yolla sambil berbalik dan berjalan mendahului calon suaminya itu.Byanz bukan tidak senang karena sikap Yolla yang sudah tidak semena-mena lagi terhadapnya seperti dulu, tapi tetap saja dia merasa aneh dengan kepribadian Yolla yang mendadak berubah seratus delapan puluh derajat sedemikian rupa.“Bangs, gimana ... gimana kalau pernikahan kita dipercepat saja, kamu mau nggak?” tanya Yolla hari itu.“Apa?” Byanz membelalakkan matanya. “Kamu ...?”Byanz tentu saja tidak langsung mempercayai ucapan Yolla begitu saja. Ini terlalu mencurigakan menurutnya, karena dia tahu kalau Yolla terpaksa bertunangan dengannya karena permintaan sang ayah.“Saya tidak bisa,” geleng Byanz jujur. Yolla terbelalak, tidak mengira jika Byanz akan menolaknya seperti itu.“Ngelunjak ya, kamu?” semburnya. “Apa kamu nggak ingat kalau papa saya sudah menjodohkan kita? Kita juga sudah tunangan, terus apa salahnya kalau kita menikah segera?”Byanz men
“Terpaksa aku harus baik-baikin kamu, Babangs ...” Yolla tersenyum sinis sembari mengemudi. “Biar gimanapun, ada sedikit hak kamu di setiap hal yang aku miliki sekarang ....”Sari menatap Byanz yang baru saja mengantar Yolla kembali ke mobilnya.“Sikap Bu Yolla sudah jauh lebih baik,” komentar Sari sambil mengembangkan senyumnya. “Semoga dia bisa terus seperti itu sampai akhirnya kalian jadi suami istri.”Byanz hanya tersenyum, tidak tahu harus menanggapi bagaimana.“Kira-kira Bu Yolla bersedia tinggal di sini tidak, ya?” tanya Sari, bergantian memandang Byanz dan Ramzy.“Ibu nggak perlu mikir kejauhan,” sahut Byanz buru-buru. “Aku sama Bu Yolla kan masih tunangan, keputusan finalnya tergantung bagaimana kami berdua menjalani masa-masa pertunangan ini.”Ramzy meletakkan tangannya dia atas pundak Byanz.“Ayah nggak masalah kamu bejdodoh sama siapa saja, asalkan dia wanita baik-baik yang bisa menerima kamu apa adanya,” katanya sungguh-sungguh.“Semoga,
"Begitulah," sahut Clerin melalui sambungan telepon. "Kalau nggak, mana mungkin dia bisa tahu soal obat yang kamu berikan itu." Sunyi sesaat selain hanya dengusan napas yang Clerin dengar dari seberang sana. "Sekarang bagaimana? Aku bisa dicabut izin praktekku kalau sampai masalah Callisto ini ketahuan ...." "Tenang!" potong Clerin segera. "Aku akan menanggung semua risikonya, kamu nggak perlu khawatir izin praktek kamu dicabut." Teman Clerin tentu saja mulai gelisah mendengar kabar ini. Dulu, awalnya dia sudah tidak setuju saat Clerin memintanya untuk menangani Callisto dengan masalah ingatannya. "Aku akan berusaha bikin Callisto mau periksa di tempat kamu lagi," janji Clerin. "Asal kamu ...." "Ya ampun Clerin, jangan lagi-lagi deh!" tolak teman Clerin. "Aku nggak mau terlibat lebih jauh soal pria asing yang kamu panggil pakai nama mendiang suami kamu. Sadarlah, suami kamu sudah meninggal dan bukan hal yang bagus kalau kamu sengaja menghidupkannya kembali dalam diri pria itu .
"Halo?" "Kamu suka?" tanya Callisto begitu Yolla menjawab panggilannya. "Buket bunga yang aku kirim tadi ...." "Suka sekali!" sahut Yolla, nyaris melonjak seperti anak kecil yang mendapatkan mainan kesukaannya. "Bunga yang kamu kirimkan ke aku selalu bagus-bagus, terima kasih." Sunyi sebentar. "Bunga itu mungkin akan layu dan mati dalam beberapa hari ke depan, tapi kamu harus yakin kalau niat aku untuk melamar kamu tidak akan pernah mati." Callisto menegaskan. "Kamu cuma harus bersabar sedikit, Yolla." "Iya ..." lirih Yolla tersipu saat Callisto terang-terangan memanggil namanya. "Kamu juga ya ... Niat baik pasti akan menemukan jalannya sendiri." "Kamu benar," sahut Callisto. "Ya sudah, aku kerja dulu. Ingat, jangan mikir macam-macam hanya karena aku satu kantor sama Bu Clerin." "Iya ..." sahut Yolla sambil tersenyum meskipun Callisto tidak dapat melihat tingkahnya. "yang penting kamu tidak macam-macam sama dia. Jangan kegenitan juga, ingat kalau dia yang sengaja membuat ingat
Yolla langsung lemas saat mendengar jawaban papanya yang tidak sesuai harapan. "Tapi kenapa, Pa?" tanya Yolla ingin tahu. "Kan yang penting Shano masih sendiri. Bukannya itu yang Papa tunggu sejak Shano melamar aku?" Sony menarik napas dan memandang Yolla lurus-lurus. "Papa lega kalau memang benar Shano itu masih sendiri," katanya lambat-lambat. "Tapi di luar itu, ada beberapa hal lain yang menjadi pertimbangan papa juga. Misalnya saja siapa kedua orang tua Shano dan keluarganya yang lain." Yolla menarik napas. "Namanya juga orang hilang ingatan, Pa. Shano juga sedang menjalani proses pengobatan ... Tapi kalau Papa mengharapkan dia sembuh dalam waktu dekat, siapa yang bisa menjamin itu? Apa aku juga harus nunggu sampai Shano benar-benar sembuh total?" Sony tidak segera menjawab. "Ayo dong, Pa ..." bujuk Yolla dengan wajah memelas. "Apa Shano yang mendesak kamu untuk segera menikah?" tanya Sony ingin tahu. Yolla buru-buru menggelengkan kepalanya. "Shano sudah tahu kalau Pap
"Maksud kamu apa sih?" tanya Callisto bingung. "Aku sama Bu Clerin hanya bertemu setiap hari di kantor, itu juga karena pekerjaan saja. Tidak lebih, jadi kenapa kamu harus mempermasalahkan soal ini?" Yolla melengos. "Aku tidak mempermasalahkannya," bantah Yolla. "Kalau aku menjadikannya masalah, pasti aku sudah dari kemarin protes sama kamu." Callisto tersenyum samar, menurutnya ucapan Yolla sangat berbanding terbalik dengan sikapnya. "Kamu mempermasalahkannya dengan cara menghindari aku," komentar Callisto sambil mengangkat cangkir kopinya. "sengaja tidak mau menjawab telepon dari aku bahkan tidak membalas pesanku sama sekali." Yolla tidak menampik, karena semua yang diucapkan Callisto adalah benar adanya. "Terus maksud kamu kalau aku sama Bu Clerin itu seperti keluarga kecil yang bahagia itu apa?" tanya Callisto ingin tahu. "Kamu tidak perlu berpikir jelek soal aku ...." "Memang itu kenyataannya," potong Yolla sambil merogoh tasnya untuk mengambil ponsel. "Kamu tidak perlu m
Hari itu Yolla sedang mengendarai mobilnya di jalan raya sepulangnya dia dari kantor. Tanpa dia sadari, ada sebuah mobil merah yang berjalan tepat beberapa meter di belakangnya. Awal-awal, lalu lintas di sekitar ruas jalan yang dilalui Yolla terlihat biasa-biasa saja. Sampai pada saat mobil yang dia kendarai memasuki jalanan yang lebih lebar tapi dengan dominasi kendaraan-kendaraan besar seperti mobil dan truk. Mobil merah yang semula berjarak agak jauh dari mobil Yolla, perlahan menambah kecepatan hingga kini jaraknya agak lebih mendekat. Namun, Yolla sama sekali tidak memperhatikan karena baginya jalan raya adalah tempat umum yang siapapun bebas mengendarai mobilnya di sana. Namun, lama kelamaan Yolla merasa juga jika mobil itu seakan sengaja membuntutinya. "Kok mobil itu nggak nyalip-nyalip sih?" gumam Yolla curiga. "Perasaan dari tadi di belakang terus ... apa jangan-jangan tujuannya sama?" Yolla tanpa ragu menambah kecepatan mobilnya demi memperlebar jarak dengan mobil merah
"Papa ...?" Callisto tidak mampu lagi untuk tidak mempedulikan bocah perempuan yang tak berdosa itu. "Vhea, kamu harus cepat tidur ya?" ucap Callisto akhirnya, membuat langkah Clerin terhenti. "Aku kangen Papa," ulang Vhea sambil melongok melewati bahu sang mama. "Aku mau Papa temani aku ... Aku sayang Papa ...." Beberapa kata terakhir yang dilontarkan Vhea sukses membuat hati Callisto terenyuh, dan dia seketika sadar yang menjadi musuh dalam selimutnya adalah Clerin. Bukannya Vhea. "Kamu mau tidur sama papa?" tanya Callisto sambil berdiri. Vhea diam saja dan hanya menganggukkan kepalanya. "Tidak perlu kalau kamu sedang tidak ingin diganggu," geleng Clerin sambil menolehkan wajahnya. "Saya mengerti kalau kamu juga mempunyai kehidupan sendiri." Callisto kali ini yang terdiam, seharusnya dia senang saat Clerin menyadari hal itu. Namun, kenapa rasanya dia tidak tega jika harus menolak Vhea dan membuat bocah perempuan itu kecewa? "Malam ini kamu boleh tidur di tempat papa k
Callisto sudah tidak percaya lagi dengan apa yang dikatakan oleh bosnya. "Apa begini cara kamu menyayangi Vhea?" komentarnya dengan nada dingin. "Dengan menghalalkan segala cara untuk membuat dia berpikir bahwa papanya masih hidup?" Clerin mengerjabkan kedua matanya yang kini terasa basah. "Kamu mungkin tidak akan bisa mengerti ..." tutur Clerin dengan suara lemah. "Kamu belum punya memiliki anak, jadi kamu tidak tahu ... bagaimana rasanya kehilangan pendamping hidup ... dengan seorang anak kecil yang masih membutuhkan kasih sayang dari kedua orang tuanya ...." Callisto memalingkan wajahnya dengan jengah. "Kehilangan seorang pendamping hidup, ya?" komentarnya. "Lalu bagaimana dengan saya yang kehilangan semuanya? Keluarga saya, bahkan ingatan saya ... Semuanya pergi meninggalkan saya, bandingkan dengan diri kamu! Seperti itu kamu merasa bahwa hidup kamu dan Vhea adalah yang paling menderita? Lalu bagaimana dengan yang saya rasakan?" Clerin tidak berkata apa-apa, untuk sementar
“Lagipula bukankah status saya adalah sebagai penyewa mansion, jadi kenapa kamu keberatan?” Clerin tidak segera menyahut informasi yang diberikan Callisto kepadanya. “Kalau kamu keberatan atau merasa terganggu dengan kedatangan Yolla tadi, saya tidak masalah kalau harus pindah dari mansion kamu.” Callisto melanjutkan. “Saya pikir sudah saatnya saya mencari tempat tinggal baru.” Tanpa sadar, jemari Clerin mengepal saat dia mendengar ucapan Callisto barusan. “Kamu tidak perlu seperti itu,” katanya berusaha menekan egonya hingga ke dasar. “apalagi masa sewa kamu masih panjang, jadi jangan buang-buang uang.” Callisto mengangkat bahunya. “Jadi tidak masalah kan kalau Yolla sesekali datang ke mansion?” tanya pria itu sambil memandang sang bos. “Kamu tidak perlu khawatir karena saya dan Yolla tidak akan melakukan perbuatan yang tak pantas.” Clerin memaksakan diri tersenyum sebelum berkomentar, dia sadar bahwa dia sedang menghadapi pria yang bukanlah suaminya. "Baiklah, saya r
Yolla sendiri tidak kalah terkejut saat mendapati sang pemilik mansion sudah berdiri di hadapannya. “Bu Yolla ... ada perlu apa?” tanya Clerin dengan bahasa tubuh yang begitu anggun meskipun dalam hatinya begitu bergemuruh saat melihat jika Yola sudah berani mendatangi mansion miliknya secara terang-terangan seperti ini. “Maaf Bu, saya ... mencari Callisto.” Yolla menyahut apa adanya tanpa gentar sedikitpun. “Callisto?” ulang Clerin sambil mengernyit. “Apa Anda tahu kalau ... Callisto itu adalah nama mendiang suami saya?” Yolla tertegun sebentar, tapi kemudian dia cepat-cepat meralat ucapannya. “Maksud saya Shano,” timpal Yolla sambil tersenyum. “Saya mau mengunjungi Shano, bukan Callisto.” Senyuman itu memudar sedikit dari wajah Clerin, menurutnya Yolla sama sekali tidak tahu malu saat berani-beraninya datang ke mansion untuk menemui Callisto. Punya hak apa dia? “Pak, Callisto di mana?” tanya Clerin kepada sang penjaga mansion. “Mungkin sebentar lagi pulang, Bu.” Penjaga it