Pov NiaAku dibawah entah ke mana, sampai akhirnya tiba di salah satu gedung. Terus dibawa ke sebuah ruangan. Seorang wanita datang menemuiku."Singkat saja ya, kami berikan tawaran untuk Anda, temui bupati, terus serahkan uang ini, kamu dapat keringanan hukuman," kata Wanita tersebut."Kalian mau jebak bupati? kenapa aku yang dijebak?" tanyaku kemudian."Terserah Anda mau bilang bagaimana, ada kemungkinan Anda bebas jika bupati dapat di OTT,' katanya lagi."Kenapa orang yang serahkan uang itu padaku tidak ditangkap?" tanyaku kemudian."Pertanyaan yang cerdas, jawabannya akan Anda ketahui jika Anda bersedia antar uang ini," katanya lagi."Oh, yang antar uang sengaja tidak ditangkap ya? Permainan kalian licik," "Bagaimana? Saya tidak akan tawarkan ini dua kali, kami sudah cukup bukti Anda suruhan bupati," kata wanita itu lagi."Jawaban saya, tidak, sebaiknya cepat bebaskan saya, atau kalian dapat karmanya," kataku kemudian. Aku yakin, jika aku hilang, Bang Parlin akan membuat mereka s
Bang Parlin, Butet dan Ucok ikut keluar rumah. Belum ada yang turun dari mobil-mobil tersebut. Entah apa yang mereka tunggu. Apakah akan ada masalah lagi. Aku perhatikan mobil yang di depan. Platnya coklat khas polisi. Kemudian turun beberapa pria yang mobil di belakang, lalu mobil di depan dibuka pintunya. Ya, Ampun untuk buka pintu mobil pun harus menunggu, siapakah ini kira-kira?Seorang pria turun dari mobil dinas tersebut, pria tinggi besar pakaiannya pakaian biasa."Selamat siang, Pak Parlin, Bu Nia," katanya seraya menyalami kami satu persatu."Selamat siang juga," jawab Bang Parlin.Baru kemudian satu persatu mobil yang banyak itu terbuka pintunya. Beberapa pria dan wanita turun dari mobil tersebut. "Bang Parlin tak kenal saya, Kah?" tanya pria itu."Tentu saja kamu kenal, Pak Kapolres," Butet yang menjawab.Oh, ternyata Pak Kapolres, mau apa Kapolres ke rumah kami, apakah mau nangkap lagi."Ini Pak Rama, ketua DPRD, ini Pak Bima, Anggota dewan, dan ini Pak Abdullah, pejabat
Perkataan Butet ini memang selalu menohok, entah bagaimana cara meredamnya. Ada bupati, kapolres sampai ketua DPRD. tapi Butet ini seakan tak peduli, ucapannya sampai membuat pejabat Bupati terdiam. "Tujuan kami mulia, Bang Parlin, memberantas korupsi dari kabupaten kita pada khususnya, Indonesia pada umumnya," kata Pejabat Bupati itu lagi."Bagaimana mau berantai korupsi, Pak, bapak datangnya sudah bawa suap, apa namanya, gratifikasi,' lagi-lagi Butet yang menjawab. Mereka memang datang bawa hadiah ada buket bunga, bahkan ada hadiah uang untuk Bang Parlin. Pejabat Bupati sampai geleng-geleng kepala."Pikirkan saja dulu, Bang Parlin, kita akan jadi tim yang solid," kata Kapolres."Baik, Pak, akan saya pikirkan," kata Bang Parlin.Para tamu itu lalu permisi untuk pulang. Di luar rumah ternyata sudah ramai warga desa, mereka minta foto bersama dengan tamu kami. Memang baru kali ini datang tamu dari ibukota kabupaten yang begitu lengkap. "Kami permisi pulang, Pak, oh, ya, Bu Felina t
Aku pendendam? Apa iya, tapi Bang Parlin yang tiba-tiba nyanyikan lagu India, yang katanya lagu Sanjay Dutt, padahal Sanjay Dutt itu aktor, bukan penyanyi. "Bukan aku yang pendendam, tapi Abang yang gak bisa move on, dari sekian juta lagu, kenapa harus lagu Sanjay Dutt, karena lagu itu kesukaan Rata kan?" kataku kemudian."Aduh, Dek, bukan masalah lama itu, tapi masalah kita yang sekarang," jawab Bang Parlin."Mau masalah mana pun, tetap Rara ujungnya, Abang larang sebut nama Rara, tapi Abang nyanyi India, Sanjay dutt lagi, aku tanya Abang dari mana Abang bisa ngefans sama Sanjay dutt, karena Rara kan?" aku makin sewot saja."Astaghfirullah, kamu benar-benar sulit untuk memaafkan, itu maksudnya, Dek," kata Bang Parlin lagi."Ya, aku sudah maafkan, sudah lupakan, Abang yang tiba-tiba nyanyi India," kataku kemudian."Waduh, aku jadi rindu Butet," "Kok Butet pula, gak usah alihkan pembicaraan, Bang," "Aku rindu Butet, Dek, biar dia jelaskan sama adek, Abang mau coba jelaskan adek teru
Pembicaraan dengan ibu itu membuat aku berpikir, aku memang tidak akan pernah bisa seikhlas itu. Ikhlas seperti itu mungkin tidak akan pernah bisa kuraih.Saat pulang dari sekolah Ucok, aku langsung ke kantor, sudah ada lagi Wak Haji di kantor menungguku. Berurusan dengan orang tua ini benar-benar menguras emosi."Sapi saja sudah mulai cari makan, ayam sudah lama bangun, kamu belum masuk kantor sampai jam sembilan," kata Wak Haji begitu aku datang."Maaf ya, Wak, aku atasan di sini, kepala desa, gak senang silakan pergi," aku kesal juga akhirnya, datang-datang sudah diomeli."Begitu cara pemimpin menghadapi kritik rakyatnya?" Wak Haji masih saja mengomel."Ya, begitulah, mau apa tadi, Wak?" tanyaku kemudian."Begini, itu tanah saya yang di simpang tiga itu mau saya wakafkan," kata Waktu Haji."Oh, Alhamdulillah," "Tolong dulu urus suratnya," "Baik, Wak, tolong lengkapi berkasnya," jawabku kemudian."Ini semua berkasnya, dasar kepala desa pemalas, belum lihat sudah bilang lengkapi,"
Mata Bang Parlin terus melihat ke mataku, sepertinya dia ingin melihat keseriusan di mata ini. Aku menunduk."Kamu kenapa, Dek?" tanya Bang Parlin lagi."Aku mau belajar ikhlas, Bang, belajar memaafkan, kata Abang hati harus ikhlas," kataku lagi."Kok larinya ke kawin lagi?" tanya Bang Parlin."Kasta tertinggi ikhlas bagi perempuan itu adalah saat mengikhlaskan suaminya menikah lagi," kataku kemudian."Waduh, dari mana pula dapat ilmu begitu, Dek?" suara Bang Parlin mengeras."Aku dapat dari guru agama Ucok," kataku kemudian."Ya, Allah, Dek, beda konteks, Dek, beda, memang betul begitu, tapi itu konteks dalam rumah tangga, Dek, masalah kita kan konteks di hati dalam hal memaafkan," kata Bang Parlin."Aku bingung, Bang, orang yang sakit' perut, yang buat sakit perut Abang, kok aku yang disalahkan tidak bisa ikhlas, tidak bisa memaafkan?" kataku kemudian."Udah, Dek, jangan sedih, Adek tidak pernah ngomong soal poligami, Abang pun gak pernah, eh, pernah juga tapi bercanda," kata Bang P
Kenapa Ibunya Salsabila belum sembuh juga? Sementara semua yang terlibat sudah sembuh. Apakah Bu Dewan itu punya penyakit lain? Atau aku tidak bisa memaafkan dirinya. Padahal aku sudah coba memaafkan dengan tulus.Pagi itu aku tidak ke kantor, selepas mengantarkan Ucok sekolah, aku pulang ke rumah. Bang Parlindungan juga tidak ke kebun. Kami mempersiapkan sambutan untuk tamu yang akan datang. Camilan sudah dipersiapkan, minuman juga. Rumah pun sudah dibereskan.Ada mobil parkir di depan rumah, kukira tamu yang datang, ternyata anaknya Wak Haji bersama Wak Haji. "Assalamualaikum," salam Wak Haji."Waalaikumsalam,"Aku dan Bang Parlin menyalami kedua tamu tersebut. Mereka lalu duduk di sofa."Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanyaku basa-basi."Begini, Bu Kades, kemarin kan aku pergi urus suratnya, ternyata penerima wakaf itu harus jelas. Yayasan keagamaan, atau masyarakat desa, jadi aku pilih masyarakat desa saja, terus aku akan wakaf kan tanah itu ke desa ini, dengan syarat bentuk pan
Inikah yang membuat ibu dewan tidak sembuh juga? Atau jangan-jangan Bang Parlin punya hubungan khusus dengan Bu Dewan ini? Berbagai macam pertanyaan dalam benakku, yang membuatku jadi semakin kepo. Akhirnya kucoba balas pesan tersebut. Sampai lama aku memikirkan balasannya biar sesuai dengan gaya mereka.(Kenapa ayam tak bisa dikunyah? Masih ompong kah macan, atau perut tak bisa menerima?) Balasku kemudian.(Perut sudah bisa menerima, tapi sakit ini haruslah berlama-lama, aku takut dimakan buaya) balasnya lagi.Sampai lima belas meniti aku memikirkan apa arti chat,-nya barusan. Akan tetapi aku tak tahu juga. Akhirnya ku- screenshot dan kirim ke Butet, anak gadisku itu pintar, dia pasti tahu.(Artikan, Tet,) pesanku kemudian.(Gitu aja mamak gak tau, perut sudah bisa menerima, artinya perutnya sudah sembuh , sakit ini haruslah berlama-lama, artinya pura-pura sakit, takut dimakan buaya, takut ditangkap polisi,,) begitu pesan Butet. Kenapa lah otakku tidak sampai ke sana, kenapa pula