"Karena kamu lebih memilih menikah dengan pria ini, maka tinggalkan rumah dan keluarga ini!"
Kalimat itu bergema dalam benak Anisa, membuatnya tersentak dari lamunan. Setahun lebih telah berlalu, tapi luka itu masih terasa nyata. Matanya menerawang ke luar jendela mobil yang melaju pelan menembus jalanan Jakarta yang mulai lengang di sore hari.
"Apa yang sedang kamu pikirkan sampai mengerutkan kening seperti itu?"
Suara dalam nan lembut membuat Anisa menoleh. Adrian, suaminya, menatapnya dengan sorot mata penuh perhatian. Pria itu menggenggam tangan Anisa lembut, seolah berusaha menyalurkan kekuatan.
"Aku hanya sedang teringat masa lalu," Anisa tersenyum tipis.
Adrian mengangguk paham. "Kita sudah sepakat kan? Hari ini kita akan menulis lembaran baru."
Anisa menatap Adrian lekat-lekat. Setahun yang lalu, ia memilih untuk meninggalkan keluarganya demi cintanya pada pria ini. Adrian mungkin hanya seorang staff biasa di sebuah perusahaan swasta, jauh dari ekspektasi orangtuanya yang mengharapkan menantu kaya raya. Tapi bagi Anisa, Adrian adalah segalanya.
"Kamu ingat pertemuan pertama kita?" tanya Adrian, berusaha mengalihkan pikiran Anisa.
Anisa tertawa kecil. "Mana mungkin aku lupa. Kamu menabrakku di halte bus saat aku sedang menunggu jemputan dari supirku, sampai barang - barangku berserakan."
"Dan aku langsung jatuh cinta pada gadis yang marah-marah sambil memunguti barang – barangnya yang jatuh berserakan di tanah," Adrian menimpali, matanya berbinar jenaka.
"Dasar gombal!" Anisa memukul pelan lengan Adrian.
"Tapi serius, Nis. Aku sangat bersyukur karena kamu memilihku. Aku tahu pengorbananmu ini tidak kecil."
Anisa menatap Adrian penuh kasih. "Dan aku tidak pernah menyesalinya sedetik pun."
Perjalanan cinta mereka memang tak mudah. Ketika Anisa memperkenalkan Adrian pada keluarganya, penolakan datang bertubi-tubi. Orangtuanya, terutama sang ayah, menganggap Adrian tak layak untuk putri mereka. Tapi Anisa tak goyah. Ia melihat di balik penampilan sederhana Adrian, ada pria yang gigih, lembut, dan penyayang.
Adrian selalu ada di sisinya, bahkan ketika Anisa harus meninggalkan rumah dan kehilangan kontak dengan keluarganya. Mereka memulai hidup baru dari nol. Adrian bekerja keras, sering lembur demi menabung untuk masa depan mereka. Sementara Anisa, yang dulunya hanya anak manja, belajar mengurus rumah.
Puncak kebahagiaan mereka adalah kelahiran putri pertama mereka 3 bulan lalu. Anisa melirik ke kursi belakang, di mana bayi mungil mereka tertidur pulas dalam car seat.
Mobil tua mereka akhirnya berhenti di depan sebuah rumah mewah yang familiar. Anisa menarik napas dalam-dalam, tangannya gemetar saat membuka pintu mobil.
"Kamu siap?" tanya Adrian, sambil menggendong bayi mereka dengan hati-hati.
Anisa mengangguk pelan. Mereka berjalan menuju pintu depan. Belum sempat mengetuk, pintu terbuka. Seorang wanita paruh baya berdiri di sana, matanya berkaca-kaca.
"Ibu..." Anisa berbisik lirih.
Tanpa kata-kata, ibunya langsung memeluk Anisa erat. "Anak nakal, kenapa baru pulang sekarang?"
Air mata Anisa tumpah. "Maafkan aku, Bu."
Ibu Anisa kemudian beralih pada Adrian dan si kecil. "Ini cucu ibu? Ya ampun, lucunya!"
Suasana haru itu terasa begitu intens. Anisa terisak dalam pelukan ibunya, melepaskan segala kerinduan yang terpendam selama setahun ini. Adrian berdiri di samping, matanya juga berkaca-kaca menyaksikan reuni ibu dan anak ini.
"Ayo masuk, jangan di luar terus," ajak Ibu Anisa lembut.
Mereka melangkah masuk ke ruang tamu yang familiar namun terasa asing bagi Anisa. Foto-foto keluarga masih terpajang di dinding, termasuk foto Anisa sewaktu wisuda yang membuat hatinya mencelos. Begitu banyak momen yang ia lewatkan.
"Ibu kangen sekali sama kamu, Nis," ujar Ibu Anisa sambil mengelus rambut putrinya. "Maafkan ibu yang tidak bisa berbuat banyak waktu itu."
Anisa menggeleng. "Tidak apa-apa, Bu. Aku mengerti posisi Ibu."
Adrian duduk di samping Anisa, masih menggendong putri mereka yang mulai menggeliat bangun. Ibu Anisa menatap Adrian dengan senyum hangat.
"Terima kasih sudah menjaga putriku, Nak," ucapnya tulus.
Adrian mengangguk sopan. "Saya yang berterima kasih karena sudah diizinkan mencintai putri Ibu."
Suasana hangat itu mendadak pecah oleh suara berat yang menggelegar dari arah tangga.
"Siapa yang datang?"
Ayah Anisa muncul dengan wajah kaku. Matanya menyipit melihat kehadiran Anisa dan Adrian.
"Mau apa kalian ke sini?" tanyanya dingin.
"Ayah..." Anisa mencoba bicara, tapi ayahnya memotong.
"Sudah puas main rumah-rumahannya? Sekarang mau apa lagi kesini ? Minta uang?"
"Pak, kami datang dengan niat baik," Adrian angkat bicara, suaranya tenang meski tangannya sedikit gemetar.
Ayah Anisa mendengus. "Niat baik? Setelah kalian mempermalukan keluarga ini? Pulang sana!"
"Sayang, bagaimanapun juga mereka ini anak dan cucu kita," Ibu Anisa mencoba menengahi.
"Cucu?" Ayah Anisa tertawa sinis. "Aku tidak punya cucu dari pria miskin seperti dia!"
Anisa merasakan Adrian menegang di sampingnya. Ia menggenggam tangan suaminya erat, berusaha menenangkan.
"Ayah, kumohon. Beri kami kesempatan," Anisa memohon, air matanya kembali mengalir.
Ayah Anisa menatap putrinya dengan tajam, lalu beralih pada Adrian dan bayi dalam gendongannya. Untuk sesaat, Anisa melihat sorot mata ayahnya melembut saat menatap cucunya. Namun, kekerasan hati segera kembali menguasai.
"Kamu bisa kembali ke rumah ini, begitu pula dengan anakmu, kalau kamu menceraikan pria itu!"
Suasana tegang masih menyelimuti ruang tamu keluarga besar Anisa. Ucapan terakhir sang ayah membuat semua orang terdiam, seolah menahan napas."Pa, jangan begitu," Ibu Anisa akhirnya angkat bicara, suaranya lembut namun tegas. "Mereka berdua datang dengan niat baik. Lihatlah, kita punya cucu sekarang."Ayah Anisa mendengus, tapi matanya tak lepas dari bayi mungil dalam gendongan Adrian. Perlahan, sorot matanya melembut."Pa, coba kamu gendong cucu kita, lihat dia sangat lucu kan ?" ujar Ibu Anisa.Dengan hati-hati, Ibu Anisa mengambil si kecil dari Adrian dan menyerahkannya pada sang suami. Untuk pertama kalinya, Anisa melihat ekspresi ayahnya berubah. Ada kelembutan yang tak pernah ia lihat sebelumnya saat pria itu menggendong cucunya."Siapa namanya?" tanya Ayah Anisa, masih menatap si bayi."Alisha," jawab Anisa pelan. "Artinya yang mulia dan dilindungi."Ayah Anisa mengangguk pelan. Untuk beberapa saat, suasana hening. Hanya terdengar suara dengkuran halus Alisha."Baiklah," Ayah A
Anisa menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab tawaran Daniel. Ruangan itu hening, menunggu jawabannya."Maaf. Aku menghargai tawaran anda, tapi aku harus menolak," ujar Anisa tegas.Seketika, ruangan meledak dalam kekacauan."Kau gila!" Dimas menggebrak meja, membuat piring-piring bergetar. "Itu kesempatan emas, bodoh!"Anisa berdiri, matanya berkilat-kilat. "Aku bukan bodoh, kak! Ini pilihanku sendiri!""Pilihan?" Ayahnya mendengus, bangkit dari kursinya. "Atau cucian otak dari suamimu yang tidak berguna itu?"Adrian hendak membela diri, tapi Anisa mengangkat tangannya, menghentikannya."Bukan, Yah. Ini murni keinginanku sendiri. Aku ingin fokus menjadi ibu dan istri yang baik untuk Adrian dan Alisha."Siska tertawa mengejek, suaranya melengking tinggi. "Oh, jadi sekarang kau mau jadi budak rumah tangga? Hebat sekali!""Diam kau!" bentak Anisa, membuat semua orang terkejut. Ini pertama kalinya mereka melihat Anisa begitu marah.Reza berdiri, matanya menatap tajam Adrian. "Kau," ia
Ayah Anisa, dengan mata menyipit penuh curiga, menatap Daniel lekat-lekat. "Apa maksudmu dengan 'merebutnya ', Daniel? Jelaskan padaku!"Ruangan itu seketika hening, semua mata tertuju pada Daniel yang berdiri tegak di ujung meja. Ia menarik napas dalam sebelum menjawab dengan suara mantap."Saya jatuh cinta pada Anisa, Pak. Pada saat pertama kali melihat dia." Daniel menatap satu per satu anggota keluarga. "Keberaniannya, ketegasannya... semua itu membuatku terpesona. Saya ingin merebutnya dari pria itu, memberikannya kehidupan yang lebih layak."Dimas, yang sedari tadi diam, tiba-tiba tertawa keras. "Ini dia! Inilah yang kita tunggu-tunggu!" Ia menepuk pundak ayahnya dengan semangat. "Ayah, ini kesempatan kita!"Ayah Anisa mengangguk, senyum licik tersungging di bibirnya. "Kau benar Dimas. Daniel, kau punya dukungan dan restu penuh dariku. Bawa anakku kembali kerumah ini""Tunggu dulu!" Ibu Anisa berseru, wajahnya pucat. "Kalian tidak bisa melakukan ini semua! Anisa sudah bahagia den
"S-Siska, dengarkan aku," Reza tergagap, suaranya sedikit bergetar. "Aku tidak... maksudku, aku sama sekali tidak punya perasaan apa-apa pada Anisa. Sungguh!" Siska melipat tangannya di dada, matanya menyipit curiga. "Oh ya? Lalu kenapa kamu terlihat sangat tidak suka saat Daniel menunjukkan ketertarikan padanya?" Reza menelan ludah dengan susah payah. Dia tahu harus meyakinkan Siska, meskipun itu berarti dia harus berbohong. "Sayang, dengar," Reza mencoba menenangkan suaranya. "Apa yang kurasakan dulu pada Anisa... itu sudah lama terkubur. Saat aku menikah denganmu dan menerima perjodohan ini, semua perasaan itu hilang. Kamu satu-satunya wanita dalam hidupku sekarang." Siska masih tampak ragu. "Benarkah? Lalu kenapa kamu begitu kesal tadi?" Reza menghela napas panjang, pikirannya berpacu mencari alasan yang masuk akal. "Itu karena... karena aku tahu seperti apa Daniel. Dia sepupuku, ingat? Aku tahu track record-nya dengan wanita. Aku hanya tidak ingin Anisa terluka." "Jadi kamu
Beberapa hari telah berlalu sejak pertemuan keluarga yang penuh ketegangan itu. Kehidupan Anisa kembali ke rutinitas normalnya, dipenuhi dengan tugas-tugas sebagai istri dan ibu muda.Pagi itu, seperti biasa, Anisa sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuk Adrian. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara, bercampur dengan suara denting peralatan masak."Sayang, kamu lihat dasi biruku tidak?" suara Adrian terdengar dari kamar.Anisa tersenyum kecil. "Di laci kedua, Adrian. Aku sudah menyetrikanya semalam."Tiba-tiba, tangisan bayi memecah keheningan pagi. Alisha, putri mereka yang baru berusia 3 bulan, terbangun dari tidurnya."Biar aku yang urus," Adrian berkata cepat, melihat Anisa yang masih sibuk dengan penggorengan.Anisa mengangguk penuh terima kasih. "Terima kasih, sayang. Mungkin popoknya perlu diganti."Adrian bergegas ke kamar bayi. Tak lama kemudian, tangisan Alisha mereda, digantikan oleh suara tawa kecil dan celotehan Adrian yang mengajak putrinya bermain.Anisa tersenyum
"Kamu... Anisa, kan?" tanya lelaki itu, memecah keheningan di antara mereka.Anisa hanya diam, dahinya berkerut sementara dia berusaha mengingat-ingat di mana dia pernah bertemu dengan pria di hadapannya ini. Wajahnya terasa familiar, tapi Anisa tidak bisa menghubungkannya dengan ingatan yang jelas.Melihat kebingungan di wajah Anisa, lelaki itu tersenyum ramah dan mencoba membantu. "Mungkin kamu lupa. Aku Daniel, sepupu Reza. Kita pernah bertemu waktu makan malam di rumah orangtuamu beberapa hari yang lalu. Aku yang menawarkan pekerjaan padamu saat itu."Mendengar penjelasan itu, ingatan Anisa seketika menjadi jelas. "Ah!" serunya pelan, wajahnya memerah karena malu. "Iya, benar. Maaf, aku baru ingat."Daniel tertawa kecil, "Tidak apa-apa. Wajar kalau kamu lupa. Situasinya waktu itu memang agak... tegang."Anisa menundukkan kepalanya, merasa semakin malu mengingat kejadian malam itu. "Maaf ya, kamu jadi harus menyaksikan pertengkaran keluarga kami. Padahal kamu orang luar.""Hey, jang
Sosok misterius itu terus mengikuti Anisa dan Daniel, dengan hati-hati memilih tempat duduk yang cukup jauh namun masih memungkinkan untuk mengamati mereka. Dia memesan secangkir kopi, berpura-pura sibuk dengan laptopnya, sementara matanya terus mengawasi target."Ini akan jadi berita besar," gumamnya pelan, jari-jarinya siap di atas tombol kamera ponselnya. "Tinggal menunggu momen yang tepat..."Sementara itu, Daniel menuntun Anisa ke meja di pojok restoran. "Di sini bagaimana? Lebih tenang, jadi kita bisa ngobrol santai," ujarnya dengan senyum ramah.Anisa mengangguk setuju, "Boleh, terima kasih Daniel."Setelah memesan makanan, Daniel bertanya, "Jadi, Anisa, kamu jadi nge-charge HP-mu?"Anisa menggeleng, wajahnya terlihat menyesal. " Aku lupa bawa kabel charger. Bodoh sekali ya aku?""Oh, sayang sekali," Daniel menanggapi. "Tapi tidak apa-apa, kita nikmati makan siang ini saja dulu."Daniel mulai mengajukan berbagai pertanyaan tentang kehidupan Anisa. Awalnya, topik pembicaraan mas
Tring! Ponsel Adrian bergetar di atas meja kerjanya."Nomor tidak dikenal?" gumamnya, alisnya terangkat. Jarinya ragu-ragu sejenak sebelum membuka pesan itu.Detik berikutnya, wajahnya memucat. "Apa-apaan ini?"Di layar ponselnya, terpampang foto Anisa berjalan berdampingan dengan seorang pria asing di sebuah mall. Foto berikutnya membuat jantung Adrian seolah berhenti: tangan pria itu menyentuh bibir Anisa."Tidak... tidak mungkin," Adrian menggeleng keras, seolah berusaha mengusir bayangan itu dari pikirannya.Dengan tangan gemetar, dia mencoba menghubungi Anisa. Sekali, dua kali, tiga kali..."Ayolah, Anisa. Angkat teleponnya!" Adrian menggeram frustasi.Rekan kerjanya, Budi, menoleh dengan heran. "Ada apa, Dri? Kelihatannya panik banget."Adrian menggeleng, berusaha tersenyum. "Nggak apa-apa, Bud. Cuma... ada urusan keluarga."Namun pikirannya terus berkecamuk. 'Anisa tidak mungkin selingkuh. Pasti ada penjelasan untuk ini.'Setelah berkali-kali gagal menghubungi Anisa, Adrian tid