Share

Merebut Anisa

Ayah Anisa, dengan mata menyipit penuh curiga, menatap Daniel lekat-lekat. "Apa maksudmu dengan 'merebutnya ', Daniel? Jelaskan padaku!"

Ruangan itu seketika hening, semua mata tertuju pada Daniel yang berdiri tegak di ujung meja. Ia menarik napas dalam sebelum menjawab dengan suara mantap.

"Saya jatuh cinta pada Anisa, Pak. Pada saat pertama kali melihat dia." Daniel menatap satu per satu anggota keluarga. "Keberaniannya, ketegasannya... semua itu membuatku terpesona. Saya ingin merebutnya dari pria itu, memberikannya kehidupan yang lebih layak."

Dimas, yang sedari tadi diam, tiba-tiba tertawa keras. "Ini dia! Inilah yang kita tunggu-tunggu!" Ia menepuk pundak ayahnya dengan semangat. "Ayah, ini kesempatan kita!"

Ayah Anisa mengangguk, senyum licik tersungging di bibirnya. "Kau benar Dimas. Daniel, kau punya dukungan dan restu penuh dariku. Bawa anakku kembali kerumah ini"

"Tunggu dulu!" Ibu Anisa berseru, wajahnya pucat. "Kalian tidak bisa melakukan ini semua! Anisa sudah bahagia dengan pilihannya. Kita tidak berhak untuk merusak kebahagiaannya!"

"Bahagia?" Dimas mendengus. "Dengan pria miskin itu? Ayolah, Bu. Ibu harus sadar, ini semua demi kebaikan Anisa juga. Apa ibu tidak mau melihat anak kesayangan ibu itu hidup dengan mewah lagi ?"

Sementara diskusi semakin memanas, Reza duduk diam di sudut meja. Wajahnya tenang, tapi rahangnya mengeras. Tangannya terkepal erat di bawah meja, menahan amarah yang bergejolak.

Siska, yang duduk di sampingnya, menyadari perubahan sikap suaminya. Ia bisa merasakan ketegangan yang terpancar dari tubuh Reza. Namun, mengingat mereka sedang berada di tengah keluarga, Siska memilih untuk tidak berkomentar.

"Reza," Daniel tiba-tiba memanggil. "Kau tidak keberatan kan dengan rencanaku?"

Reza menatap Daniel, matanya berkilat berbahaya untuk sesaat sebelum kembali normal. Dengan suara yang dipaksakan tenang, ia menjawab, "Kenapa aku harus keberatan? Lakukan saja apa yang kau mau, Daniel."

Siska menggigit bibirnya, menahan diri untuk tidak menegur suaminya. Ia tahu Reza sedang menahan amarah, dan hal terakhir yang ia inginkan adalah ia tidak ingin ada pertengkaran di depan keluarganya.

"Bagus!" Ayah Anisa berseru. "Kalau begitu, kita mulai menyusun rencana."

Reza bangkit perlahan dari kursinya. "Maaf, aku butuh udara segar sebentar."

Siska hendak mengikuti, tapi Reza menghentikannya dengan lembut. "Tidak perlu, sayang. Aku hanya sebentar."

Setelah Reza keluar, Siska menatap pintu dengan cemas. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan suaminya.

Tak lama kemudian, Reza kembali masuk. Wajahnya masih tenang, tapi ada kilatan aneh di matanya.

"Jadi, sudah memutuskan strategi kalian?" tanyanya dengan nada yang terlalu santai.

Daniel menatapnya curiga. "Kau benar-benar tidak keberatan kan, Reza?"

Reza tersenyum tipis, tapi senyum itu tidak mencapai matanya. "Tentu saja tidak. Tapi ingat, Daniel, dalam permainan cinta, tidak ada yang bisa diprediksi. Kau bisa menang sebagai pemenang atau kalah seperti pecundang"

Kalimat itu membuat ruangan hening seketika. Siska menatap suaminya dengan rasa kesal. Ia tahu, di balik sikap tenang Reza, ada badai yang siap mengamuk. Namun, demi menjaga keharmonisan, Siska memilih untuk tetap diam, dia berjanji dalam hati akan membicarakan hal ini dengan Reza nanti setelah makan malam ini berakhir.

Malam sudah larut ketika Daniel bangkit dari kursinya, membungkuk sopan kepada orangtua Anisa.

"Pak, Bu, saya mohon ijin untuk pamit pulang," ujar Daniel dengan suara rendah. "Terima kasih atas jamuan makan malamnya."

Ayah Anisa mengangguk, wajahnya masih menyiratkan kekecewaan. "Ya, Daniel. Maafkan kegaduhan yang terjadi malam ini. Seharusnya ini menjadi makan malam untuk membicarakan kerjasama antara perusahaan kita."

Daniel tersenyum tipis. "Justru saya yang harus berterima kasih, Pak. Berkat malam ini, saya jadi bisa mengenal Anisa."

Reza, yang duduk di sudut ruangan, tanpa sadar mengepalkan tangannya erat-erat. Siska, yang duduk di sampingnya, menyadari perubahan sikap suaminya itu.

Setelah kepergian Daniel, semua orang kembali ke kamar masing-masing. Siska memutuskan untuk menginap di rumah orangtuanya bersama Reza. Begitu pintu kamar tamu tertutup, Siska tidak bisa lagi menahan emosinya.

"Reza, apa-apaan sikapmu tadi?" tanya Siska dengan nada tinggi.

Reza, yang sedang melonggarkan dasinya, menoleh dengan wajah bingung. "Maksudmu apa, Siska?"

"Jangan pura-pura tidak tahu! Aku lihat bagaimana kamu menatap Daniel saat dia bilang tertarik pada Anisa. Kenapa kamu terlihat cemburu? Apa kamu masih suka dengan Anisa?”

Mendengar pertanyaan Siska yang tepat sasaran, wajah Reza seketika berubah pucat. Dia gelagapan, matanya bergerak-gerak gelisah, mencoba menghindari tatapan tajam istrinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status