Beberapa hari telah berlalu sejak pertemuan keluarga yang penuh ketegangan itu. Kehidupan Anisa kembali ke rutinitas normalnya, dipenuhi dengan tugas-tugas sebagai istri dan ibu muda.
Pagi itu, seperti biasa, Anisa sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuk Adrian. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara, bercampur dengan suara denting peralatan masak.
"Sayang, kamu lihat dasi biruku tidak?" suara Adrian terdengar dari kamar.
Anisa tersenyum kecil. "Di laci kedua, Adrian. Aku sudah menyetrikanya semalam."
Tiba-tiba, tangisan bayi memecah keheningan pagi. Alisha, putri mereka yang baru berusia 3 bulan, terbangun dari tidurnya.
"Biar aku yang urus," Adrian berkata cepat, melihat Anisa yang masih sibuk dengan penggorengan.
Anisa mengangguk penuh terima kasih. "Terima kasih, sayang. Mungkin popoknya perlu diganti."
Adrian bergegas ke kamar bayi. Tak lama kemudian, tangisan Alisha mereda, digantikan oleh suara tawa kecil dan celotehan Adrian yang mengajak putrinya bermain.
Anisa tersenyum lebar mendengar interaksi suami dan anaknya. Hatinya dipenuhi rasa syukur atas keluarga kecil yang dimilikinya. Adrian mungkin bukan pria terkaya atau paling tampan, tapi baginya, suaminya adalah yang terbaik.
"Lihat siapa yang sudah wangi dan ceria," Adrian muncul di dapur dengan Alisha dalam gendongannya. Bayi mungil itu tertawa-tawa, tangannya menggapai-gapai ke arah ibunya.
Anisa menghampiri mereka, memberikan kecupan di pipi putrinya yang chubby. "Terima kasih sudah membantu, Adrian. Aku tidak tahu bagaimana jadinya tanpamu."
Adrian tersenyum lembut. "Hey, kita tim, ingat? Lagipula, aku suka menghabiskan waktu dengan putri kecil kita."
Mereka duduk di meja makan, Adrian masih menggendong Alisha sementara Anisa menyiapkan sarapan. Sesekali mereka tertawa melihat tingkah lucu putri mereka.8
Saat mereka sedang berbincang santai di meja makan, Anisa tiba-tiba teringat sesuatu.
"Oh iya, Adrian," ujarnya sambil mengelap mulut Alisha yang belepotan bubur. "Aku mau minta izin untuk pergi ke supermarket hari ini. Persediaan kita sudah banyak yang habis, terutama popok Alisha. Tinggal satu lagi."
Adrian mengangguk, lalu menawarkan, "Bagaimana kalau kita pergi bersama nanti setelah aku pulang kerja? Kita bisa sekalian makan malam di luar."
Anisa tersenyum lembut, menghargai niat baik suaminya. "Terima kasih sayang, tapi tidak usah. Kamu pasti capek setelah bekerja seharian. Lagipula, popok Alisha tidak akan cukup kalau harus menunggu sampai kamu pulang."
"Ah, kamu benar," Adrian mengangguk paham. "Kalau begitu, pakai saja mobil kita ya? Aku bisa naik transportasi umum ke kantor."
Anisa terlihat ragu sejenak. "Umm... kurasa aku akan naik taksi saja."
Adrian mengerutkan dahinya, sedikit bingung. "Kenapa? Apa kamu... malu menggunakan mobil tua kita?"
Mendengar pertanyaan itu, Anisa tertawa kecil. Dia meraih tangan Adrian dan menggenggamnya erat.
"Sayang, bukan begitu," jawabnya dengan senyum indah yang selalu membuat Adrian terpesona. "Aku tidak pernah malu dengan apa yang kita miliki. Mobil itu hasil kerja keras kita berdua."
"Lalu kenapa?" tanya Adrian, masih penasaran.
Anisa terkekeh pelan. "Kamu ingat kejadian minggu lalu? Saat mobil itu tiba-tiba mogok di tengah jalan? Aku panik setengah mati! Aku kan tidak mengerti apa-apa soal mesin. Takutnya kalau terjadi lagi saat aku sendirian dengan Alisha."
Adrian tertawa mendengar penjelasan istrinya. "Ah, iya ya. Aku lupa kejadian itu. Maaf ya, harusnya aku segera membawanya ke bengkel."
"Tidak apa-apa," Anisa tersenyum menenangkan. "Yang penting kita masih punya kendaraan untuk dipakai. Tapi untuk hari ini, izinkan aku naik taksi saja ya? Lebih aman untuk Alisha juga."
Adrian mengangguk setuju. "Baiklah kalau begitu. Tapi jangan lupa selalu hubungi aku ya. Kabari kalau sudah sampai di supermarket dan saat mau pulang."
"Siap, Pak Suami," canda Anisa, memberi hormat main-main yang membuat Adrian tertawa.
Mereka melanjutkan sarapan dengan obrolan ringan, diselingi celotehan dan tawa Alisha yang menggemaskan. Meskipun hidup mereka sederhana, kebahagiaan terpancar jelas dari interaksi keluarga kecil ini.
Siang itu, Anisa akhirnya tiba di supermarket yang berada di sebuah mall dekat rumahnya. Alisha tertidur pulas di kereta bayi, membuat Anisa bisa berbelanja dengan lebih leluasa. Dia mendorong kereta belanjanya menyusuri lorong-lorong supermarket, mengambil barang-barang yang dibutuhkan.
"Popok... susu... deterjen..." Anisa bergumam pada dirinya sendiri, mengecek daftar belanjaan di ponselnya.
Setelah mengambil sebagian besar barang yang diperlukan, Anisa merasa haus. Dia mendorong kereta belanjaannya menuju bagian minuman dingin. Matanya tertuju pada sebuah botol air mineral di rak pendingin.
Anisa mengulurkan tangannya, bermaksud mengambil botol tersebut. Namun, tepat pada saat yang sama, sebuah tangan lain juga terulur, hendak mengambil botol yang sama.
"Oh, maaf," Anisa refleks menarik tangannya dan membatalkan niatnya mengambil minuman itu. Dia menoleh, bermaksud mempersilakan orang itu untuk mengambil botol minuman terlebih dahulu.
Namun, begitu matanya bertemu dengan sosok di sampingnya, Anisa terkesiap. Matanya membelalak lebar, mulutnya sedikit terbuka karena terkejut. Wajahnya seketika memucat, seolah baru saja melihat hantu.
"Kamu..." kata itu meluncur pelan dari bibir Anisa, suaranya hampir seperti bisikan.
Sosok di hadapannya juga tampak sama terkejutnya. Mereka berdua terpaku, saling menatap dalam diam yang mencekam. Waktu seolah berhenti bergerak di sekitar.
"Kamu... Anisa, kan?" tanya lelaki itu, memecah keheningan di antara mereka.Anisa hanya diam, dahinya berkerut sementara dia berusaha mengingat-ingat di mana dia pernah bertemu dengan pria di hadapannya ini. Wajahnya terasa familiar, tapi Anisa tidak bisa menghubungkannya dengan ingatan yang jelas.Melihat kebingungan di wajah Anisa, lelaki itu tersenyum ramah dan mencoba membantu. "Mungkin kamu lupa. Aku Daniel, sepupu Reza. Kita pernah bertemu waktu makan malam di rumah orangtuamu beberapa hari yang lalu. Aku yang menawarkan pekerjaan padamu saat itu."Mendengar penjelasan itu, ingatan Anisa seketika menjadi jelas. "Ah!" serunya pelan, wajahnya memerah karena malu. "Iya, benar. Maaf, aku baru ingat."Daniel tertawa kecil, "Tidak apa-apa. Wajar kalau kamu lupa. Situasinya waktu itu memang agak... tegang."Anisa menundukkan kepalanya, merasa semakin malu mengingat kejadian malam itu. "Maaf ya, kamu jadi harus menyaksikan pertengkaran keluarga kami. Padahal kamu orang luar.""Hey, jang
Sosok misterius itu terus mengikuti Anisa dan Daniel, dengan hati-hati memilih tempat duduk yang cukup jauh namun masih memungkinkan untuk mengamati mereka. Dia memesan secangkir kopi, berpura-pura sibuk dengan laptopnya, sementara matanya terus mengawasi target."Ini akan jadi berita besar," gumamnya pelan, jari-jarinya siap di atas tombol kamera ponselnya. "Tinggal menunggu momen yang tepat..."Sementara itu, Daniel menuntun Anisa ke meja di pojok restoran. "Di sini bagaimana? Lebih tenang, jadi kita bisa ngobrol santai," ujarnya dengan senyum ramah.Anisa mengangguk setuju, "Boleh, terima kasih Daniel."Setelah memesan makanan, Daniel bertanya, "Jadi, Anisa, kamu jadi nge-charge HP-mu?"Anisa menggeleng, wajahnya terlihat menyesal. " Aku lupa bawa kabel charger. Bodoh sekali ya aku?""Oh, sayang sekali," Daniel menanggapi. "Tapi tidak apa-apa, kita nikmati makan siang ini saja dulu."Daniel mulai mengajukan berbagai pertanyaan tentang kehidupan Anisa. Awalnya, topik pembicaraan mas
Tring! Ponsel Adrian bergetar di atas meja kerjanya."Nomor tidak dikenal?" gumamnya, alisnya terangkat. Jarinya ragu-ragu sejenak sebelum membuka pesan itu.Detik berikutnya, wajahnya memucat. "Apa-apaan ini?"Di layar ponselnya, terpampang foto Anisa berjalan berdampingan dengan seorang pria asing di sebuah mall. Foto berikutnya membuat jantung Adrian seolah berhenti: tangan pria itu menyentuh bibir Anisa."Tidak... tidak mungkin," Adrian menggeleng keras, seolah berusaha mengusir bayangan itu dari pikirannya.Dengan tangan gemetar, dia mencoba menghubungi Anisa. Sekali, dua kali, tiga kali..."Ayolah, Anisa. Angkat teleponnya!" Adrian menggeram frustasi.Rekan kerjanya, Budi, menoleh dengan heran. "Ada apa, Dri? Kelihatannya panik banget."Adrian menggeleng, berusaha tersenyum. "Nggak apa-apa, Bud. Cuma... ada urusan keluarga."Namun pikirannya terus berkecamuk. 'Anisa tidak mungkin selingkuh. Pasti ada penjelasan untuk ini.'Setelah berkali-kali gagal menghubungi Anisa, Adrian tid
Jantung Anisa berdegup kencang saat Adrian memperlihatkan layar ponselnya. Di sana terpampang foto-foto Anisa berjalan berdua dengan Daniel di mall. Anisa terkesiap, tangannya refleks menutup mulutnya yang terbuka karena terkejut."Adrian, dari mana kamu mendapatkan foto foto ini ?....Aku bisa jelaskan —" Anisa mulai berbicara, namun kata-katanya terputus saat Adrian menggeser ke foto berikutnya.Foto terakhir membuat dunia Anisa seolah berhenti berputar. Di sana, terlihat jelas Daniel sedang menyentuh bibir Anisa dengan jemarinya.Adrian menatap Anisa, matanya menyiratkan kesedihan dan kebingungan. "Darimana aku mendapat foto-foto ini... itu tidak penting. Yang aku inginkan sekarang adalah kejujuranmu, Anisa. Apa yang sebenarnya terjadi?"Anisa menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri. "Baiklah, aku akan menceritakan semuanya dari awal," ujarnya lembut. "Aku tidak sengaja bertemu Daniel di supermarket. Dia mengajakku makan sebagai kompensasi karena aku menolak tawaran kerjanya.
Daniel terdiam sejenak, mendengarkan respons dari seberang telepon. Senyum liciknya semakin lebar."Ya, kau benar. Mereka pasti sedang bertengkar hebat sekarang. Foto-foto itu pasti sudah memancing kecemburuan Adrian."Ia menyandarkan tubuhnya ke jok mobil, terlihat sangat puas dengan dirinya sendiri."Langkah selanjutnya? Tentu, kita akan lanjutkan sesuai rencana. Tapi untuk saat ini, biarkan mereka 'menikmati' pertengkaran ini dulu."Daniel tertawa pelan, suaranya terdengar dingin"Baiklah, kita akan bicara lagi besok. Selamat malam, Dimas."Panggilan berakhir. Daniel menatap ke arah rumah Adrian dan Anisa sekali lagi, sebelum menyalakan mesin mobilnya."Selamat bermimpi buruk, Anisa sayang," gumamnya pelan sebelum menjalankan mobilnya, menghilang ke dalam kegelapan malam, menuju ke tempat peristirahatannya.Daniel memasuki apartemen mewahnya, pikirannya masih dipenuhi oleh Anisa. Dia langsung menuju kamar mandi, memutar keran bathtub dan membiarkan air hangat memenuhinya. Alunan mu
"Halo, Dimas," sapa Daniel."Daniel, apa ada perkembangan terbaru? Apa kau sudah memastikan kalau mereka benar benar bertengkar" tanya Dimas tanpa basa-basi.Daniel terkekeh. "Ya, sebelum aku meninggalkan rumah mereka, tadi aku sempat mengintip, untuk memastikan saja. Dan benar, mereka bertengkar hebat.""Sempurna," Dimas terdengar puas. "Tapi jangan senang dulu. Ini baru permulaan.""Maksudmu?" Daniel mengerutkan kening."Kita perlu memastikan retakan ini semakin besar," jelas Dimas. "Bagaimana kalau besok kau 'tidak sengaja' bertemu Anisa lagi?"Daniel terdiam sejenak. "Apa tidak terlalu mencolok?""Justru itu pointnya," Dimas tertaw
Siska terus mencoba menghubungi Reza, jari-jarinya dengan cepat menekan nomor yang sudah sangat ia hafal. Namun, hanya nada sibuk yang menyambutnya. Kegelisahan mulai menggerogoti pikirannya, membayangkan berbagai skenario buruk yang mungkin terjadi.Dua jam berlalu bagaikan keabadian. Siska mondar-mandir di kamarnya, sesekali melirik ponselnya dengan harapan ada panggilan atau pesan dari Reza. Akhirnya, tepat pukul 23:45, ponselnya berdering."Reza!" serunya begitu mengangkat telepon. "Kemana saja kamu? Siapa wanita tadi? Kenapa teleponmu tidak bisa dihubungi? Pesta apa yang dia maksud?"Terdengar jeda sejenak sebelum Reza menjawab semua rentetan pertanyaan Siska, suaranya sedikit terengah. "Sayang, tenang dulu. Biar kujelaskan semuanya.satu satu""Jelaskan apa lagi, Reza? Aku dengar jelas ada suara wanita lain saat kita berbicara di telepon tadi!" Siska berseru, suaranya bergetar menahan emosi.Reza menarik napas dalam. "Dengar, wanita yang kamu dengar itu Lina, klien dari Samanta G
Reza membuka pintu kamar mandi hotel perlahan, matanya waspada menyapu sekeliling ruangan. Ia berbisik lembut, "Kamu sudah aman, sayang. Sekarang kamu bisa keluar."Seorang wanita cantik bergaun pesta keluar dari kamar mandi. Tubuhnya yang ramping berbalut gaun merah menyala yang memamerkan lekuk tubuhnya. Senyum menggoda tersungging di bibirnya yang merah."Istrimu memang benar-benar bodoh ya, sayang," ujar wanita itu sambil terkekeh. "Gampang sekali untuk dibodohi."Reza menyeringai, tangannya dengan cepat melingkari pinggang si wanita. "Kau benar, Lina. Siska memang terlalu naif."Lina menatap Reza lekat-lekat, jemarinya menelusuri dagu pria itu. "Mmm... tapi aku penasaran. Apa kau mencintai istrimu, sayang?""Tentu saja tidak," jawab Reza mantap, matanya berkilat dingin."Kalau begitu," Lina mendekatkan bibirnya ke telinga Reza, "kenapa tidak kau ceraikan saja dia dan nikahi aku?"Reza menangkup wajah Lina, menciumnya dalam-dalam sebelum menjawab, "Tidak semudah itu, sayang. Tujua