Jantung Anisa berdegup kencang saat Adrian memperlihatkan layar ponselnya. Di sana terpampang foto-foto Anisa berjalan berdua dengan Daniel di mall. Anisa terkesiap, tangannya refleks menutup mulutnya yang terbuka karena terkejut."Adrian, dari mana kamu mendapatkan foto foto ini ?....Aku bisa jelaskan —" Anisa mulai berbicara, namun kata-katanya terputus saat Adrian menggeser ke foto berikutnya.Foto terakhir membuat dunia Anisa seolah berhenti berputar. Di sana, terlihat jelas Daniel sedang menyentuh bibir Anisa dengan jemarinya.Adrian menatap Anisa, matanya menyiratkan kesedihan dan kebingungan. "Darimana aku mendapat foto-foto ini... itu tidak penting. Yang aku inginkan sekarang adalah kejujuranmu, Anisa. Apa yang sebenarnya terjadi?"Anisa menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri. "Baiklah, aku akan menceritakan semuanya dari awal," ujarnya lembut. "Aku tidak sengaja bertemu Daniel di supermarket. Dia mengajakku makan sebagai kompensasi karena aku menolak tawaran kerjanya.
Daniel terdiam sejenak, mendengarkan respons dari seberang telepon. Senyum liciknya semakin lebar."Ya, kau benar. Mereka pasti sedang bertengkar hebat sekarang. Foto-foto itu pasti sudah memancing kecemburuan Adrian."Ia menyandarkan tubuhnya ke jok mobil, terlihat sangat puas dengan dirinya sendiri."Langkah selanjutnya? Tentu, kita akan lanjutkan sesuai rencana. Tapi untuk saat ini, biarkan mereka 'menikmati' pertengkaran ini dulu."Daniel tertawa pelan, suaranya terdengar dingin"Baiklah, kita akan bicara lagi besok. Selamat malam, Dimas."Panggilan berakhir. Daniel menatap ke arah rumah Adrian dan Anisa sekali lagi, sebelum menyalakan mesin mobilnya."Selamat bermimpi buruk, Anisa sayang," gumamnya pelan sebelum menjalankan mobilnya, menghilang ke dalam kegelapan malam, menuju ke tempat peristirahatannya.Daniel memasuki apartemen mewahnya, pikirannya masih dipenuhi oleh Anisa. Dia langsung menuju kamar mandi, memutar keran bathtub dan membiarkan air hangat memenuhinya. Alunan mu
"Halo, Dimas," sapa Daniel."Daniel, apa ada perkembangan terbaru? Apa kau sudah memastikan kalau mereka benar benar bertengkar" tanya Dimas tanpa basa-basi.Daniel terkekeh. "Ya, sebelum aku meninggalkan rumah mereka, tadi aku sempat mengintip, untuk memastikan saja. Dan benar, mereka bertengkar hebat.""Sempurna," Dimas terdengar puas. "Tapi jangan senang dulu. Ini baru permulaan.""Maksudmu?" Daniel mengerutkan kening."Kita perlu memastikan retakan ini semakin besar," jelas Dimas. "Bagaimana kalau besok kau 'tidak sengaja' bertemu Anisa lagi?"Daniel terdiam sejenak. "Apa tidak terlalu mencolok?""Justru itu pointnya," Dimas tertaw
Siska terus mencoba menghubungi Reza, jari-jarinya dengan cepat menekan nomor yang sudah sangat ia hafal. Namun, hanya nada sibuk yang menyambutnya. Kegelisahan mulai menggerogoti pikirannya, membayangkan berbagai skenario buruk yang mungkin terjadi.Dua jam berlalu bagaikan keabadian. Siska mondar-mandir di kamarnya, sesekali melirik ponselnya dengan harapan ada panggilan atau pesan dari Reza. Akhirnya, tepat pukul 23:45, ponselnya berdering."Reza!" serunya begitu mengangkat telepon. "Kemana saja kamu? Siapa wanita tadi? Kenapa teleponmu tidak bisa dihubungi? Pesta apa yang dia maksud?"Terdengar jeda sejenak sebelum Reza menjawab semua rentetan pertanyaan Siska, suaranya sedikit terengah. "Sayang, tenang dulu. Biar kujelaskan semuanya.satu satu""Jelaskan apa lagi, Reza? Aku dengar jelas ada suara wanita lain saat kita berbicara di telepon tadi!" Siska berseru, suaranya bergetar menahan emosi.Reza menarik napas dalam. "Dengar, wanita yang kamu dengar itu Lina, klien dari Samanta G
Reza membuka pintu kamar mandi hotel perlahan, matanya waspada menyapu sekeliling ruangan. Ia berbisik lembut, "Kamu sudah aman, sayang. Sekarang kamu bisa keluar."Seorang wanita cantik bergaun pesta keluar dari kamar mandi. Tubuhnya yang ramping berbalut gaun merah menyala yang memamerkan lekuk tubuhnya. Senyum menggoda tersungging di bibirnya yang merah."Istrimu memang benar-benar bodoh ya, sayang," ujar wanita itu sambil terkekeh. "Gampang sekali untuk dibodohi."Reza menyeringai, tangannya dengan cepat melingkari pinggang si wanita. "Kau benar, Lina. Siska memang terlalu naif."Lina menatap Reza lekat-lekat, jemarinya menelusuri dagu pria itu. "Mmm... tapi aku penasaran. Apa kau mencintai istrimu, sayang?""Tentu saja tidak," jawab Reza mantap, matanya berkilat dingin."Kalau begitu," Lina mendekatkan bibirnya ke telinga Reza, "kenapa tidak kau ceraikan saja dia dan nikahi aku?"Reza menangkup wajah Lina, menciumnya dalam-dalam sebelum menjawab, "Tidak semudah itu, sayang. Tujua
Reza terdiam sejenak, seolah mengumpulkan kekuatan untuk membuka luka lama. "Baiklah. Dulu, keluarga ayahku merupakan keluarga miskin. Ayahku dan Om Indrawan hidup serba kekurangan. Tapi ayahku... dia orang yang luar biasa.""Luar biasa bagaimana maksudmu?" Lina semakin tertarik."Dia rela mengorbankan pendidikannya agar Om Indrawan bisa sekolah. Kakek hanya mampu menyekolahkan satu anak, dan ayahku memilih untuk mengalah."Lina tertegun. "Wow... itu pengorbanan yang besar."Reza mengangguk, matanya mulai berkaca-kaca. "Ya, ayahku memang hebat. Dan Om Indrawan tidak pernah melupakan pengorbanan itu. Dia berhasil jadi pengusaha sukses dan sebagai balas budi, dia membiayai pendidikanku sampai ke luar negeri.""Lalu di mana masalahnya?" Lina bertanya hati-hati.Reza mendadak geram. "Daniel! Anak Om Indrawan itu! Dia tidak pernah menghargai perjuangan keluarga kami. Dia selalu membanggakan kesuksesan ayahnya, seolah-olah itu murni hasil kerja keras mereka sendiri!"Lina mengerti sekarang.
Suasana tegang semakin memuncak di ruang keluarga Hartono. Hartono, dengan wajah merah padam, menatap tajam istrinya."Kau berani mengancamku, Widia?" geramnya. "Aku akan tetap pada pendirianku!"Ibu Widia, meski gemetar, tetap berdiri tegak. "Ini bukan ancaman, pa. Ini pilihan. Pilihan antara kebahagiaan anak kita atau ambisimu! Dan kau tidak bisa terus-menerus mengatur hidup anak kita!" teriak Widia, suaranya tertdengar bergetar.Hartono mendengus. "Mengatur? Aku tidak mengatur kehidupannya, tapi aku sedang menyelamatkan masa depannya!""Menyelamatkan? Atau menghancurkan?" Widia menatap tajam suaminya. "Anisa bahagia dengan Adrian. Apa itu tidak cukup bagimu?"Hartono tertawa sinis, “cukup?” Aku akan merasa cukup , kalau Anisa sudah bercerai dengan suaminya dan menikah dengan pria pilihanku.” “Kau memang egois dan keras kepala, pa. Dari dulu kau tidak pernah mau berubah.” Teriak Widia.Tepat saat itu, Dimas dan Dinda masuk ke ruangan, mereka berdua terkejut melihat situasi yang t
Tanpa peringatan, Hartono menyambar ponsel dari tangan istrinya, Widia, dan membantingnya ke lantai marmer dengan penuh amarah. Pecahan kaca dan komponen elektronik berserakan di lantai."Apa yang sudah kamu lakukan?!" jerit Widia, matanya terbelalak menyaksikan ponselnya hancur berkeping-keping. "Kenapa kau membanting ponselku, Pa?!"Hartono berdiri tegak, dadanya naik turun menahan emosi yang meluap-luap. Matanya menyala-nyala, menatap tajam ke arah istrinya. "Itu pantas untukmu," desisnya dengan geram. "Kau pikir aku tidak tahu? Kau mencoba membocorkan rencana kita pada Anisa, kan?"Widia mundur selangkah, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Itu karena... karena kamu sudah keterlaluan," isaknya. "Kalian menggunakan cara-cara licik untuk memisahkan mereka berdua. Apa kau tidak pernah memikirkan perasaan anak kita sendiri?""DIAM!" Hartono berteriak lantang, suaranya bergema di dinding-dinding rumah mereka yang luas. "Kamu tidak perlu ikut campur! Aku lakukan ini semua unt
Ketegangan Memuncak di Aditya CorporationDi aula besar Aditya Corporation, suasana semakin panas. Para karyawan berbisik-bisik, saling bertanya-tanya mengenai keberadaan Adrian yang hingga kini belum juga muncul.Di deretan kursi depan, Satya duduk dengan wajah cemas. Pak Benny, yang duduk di sebelahnya, menoleh mendekat dan berbisik pelan, "Pak Satya, bagaimana? Apakah Bapak sudah bisa menghubungi Pak Adrian?"Satya menggeleng, napasnya terdengar berat. "Belum, Pak. Dari tadi nomornya tidak bisa dihubungi. Saya sudah coba berulang kali."Pak Benny mengerutkan kening, semakin khawatir. "Apa Bapak sudah coba menghubungi Pak Aditya?""Sudah, Pak. Kata beliau, Pak Adrian sudah berangkat dari tadi pagi menuju ke kantor. Tapi anehnya, sampai sekarang belum juga sampai," jawab Satya, suaranya memantulkan kegelisahan.Pak Benny mulai gelisah, melihat ke sekeliling aula yang mulai dipenuhi bisik-bisik khawatir dari para karyawan. "Kalau begitu, kem
Hari yang dinantikan tiba—hari penyerahan jabatan di kantor, dan Adrian tampak penuh percaya diri. Seperti biasa, Anisa, istrinya, menyiapkan segala keperluan suaminya dengan telaten. "Mas, sarapannya sudah siap. Ayo, kita sarapan sama-sama," panggil Anisa dari ruang makan, melihat Adrian masih berdiri di depan cermin, sibuk memasang dasinya."Iya, sayang. Sebentar lagi, tinggal pasang dasi ini saja. Nanti aku ke meja makan," jawab Adrian sambil tersenyum."Baik, Mas. Kalau begitu, aku lihat Alisha dulu ya. Aku mau bangunin dia. Siapa tahu, dia mau sarapan bareng Papa," ujar Anisa sebelum berlalu.Adrian mengangguk ringan. Setelah dasinya rapi, ia turun ke ruang makan, di mana Aditya, ayahnya, sudah menunggu sambil membaca koran pagi."Pagi, Pa," sapa Adrian sembari menarik kursi dan duduk di hadapan ayahnya."Pagi, Nak. Bagaimana? Sudah siap untuk hari ini?" tanya Aditya, menurunkan korannya dan menatap putranya penuh harap."Tentu, Pa. Aku sudah mempersiapkan semuanya dengan matang.
Reza langsung menegang. "Apa? Tidak mau. Aku bukan OB. Kalau kamu mau kopi, suruh saja OB untuk membuatkan," balasnya tegas, mencoba mempertahankan sisa harga dirinya.Namun, Dendi tidak kehabisan akal. Dengan wajah penuh kepura-puraan, ia berkata, "Oh, OB kita sedang sibuk semua. Lagi ada masalah ruangan bocor, jadi mereka semua dikerahkan ke sana.""Tetap saja aku tidak mau. Itu bukan jobdesk-ku!" ucap Reza dengan suara yang mulai meninggi.Dendi tersenyum licik. "Oooh, jadi kamu tidak mau? Baiklah, nanti aku akan buat laporan kalau kamu melawan perintah atasan. Akan ku buat seolah-olah kamu tidak mau bekerja sama. Kau tahu apa akibatnya, kan? Kamu bisa dipecat, Reza. Apalagi sekarang posisimu sudah sangat lemah di perusahaan ini."Reza terdiam. Dalam hati, ia menahan luapan emosinya. "Sialan! Orang-orang di perusahaan ini sekarang semua berani melawanku. Kalau aku tidak mengiku
Reza hanya menoleh sekilas, tanpa berkata apa-apa, dan mengangguk dengan malas. Nindi berjalan di depan, memimpin langkah. Sepanjang perjalanan, beberapa karyawan lain yang mengenal Nindi berusaha bertanya tanpa suara. Dengan hanya menggerakkan bibir, mereka bertanya, "Kenapa Pak Reza?"Nindi, yang sudah terbiasa membaca gerakan mulut rekan-rekannya, hanya menjawab singkat, "Nanti aku ceritakan." Mereka pun mengangguk, sambil memandang Reza dengan penuh tanda tanya.Setelah beberapa menit, mereka tiba di bagian produksi. Nindi berhenti di depan sebuah meja sempit yang diletakkan di pojok ruangan. Di atas meja itu, hanya ada sebuah buku besar yang tampak usang dan tumpukan berkas yang menjulang seperti menara."Ini meja saya? Apa tidak salah?!" ucap Reza terkejut. Ia memandang meja itu seolah-olah melihat sesuatu yang sangat hina. "Dan... di mana laptop saya untuk bekerja?"N
Keesokan Pagi di Aditya CorporationPagi itu, Adrian berdiri di depan jendela ruangan Satya, memandang ke luar dengan tatapan tajam. Sinar matahari yang menerobos kaca tidak mampu mengusir dinginnya suasana di dalam ruangan. Di belakangnya, Pak Beni duduk dengan ekspresi tegas, bersiap menghadapi apa yang sudah direncanakan Adrian."Bagaimana, Pak Beni? Apa Anda sudah siap?" tanya Adrian, suaranya datar namun tegas."Saya sudah siap, Pak Adrian untuk mengemban tugas yang akan bapak berikan, sepertinya sudah waktunya semua ini dibenahi," jawab Pak Beni mantap.Adrian mengangguk perlahan. "Bagus. Kalau begitu, ayo kita sekarang pergi keruangan Reza dan memberi pelajaran yang tak akan pernah bisa dia lupakan."Adrian melangkah keluar, diikuti oleh Pak Beni dan Satya. Sepanjang perjalanan ke ruangan Reza, bisik-bisik mulai terdengar di antara karyawan. Wajah Adrian yang jarang terlihat di kantor, serta kehadiran Pak Beni yang legendaris, membuat suasana penuh teka-teki."Siapa mereka? Ken
Keesokan harinya, Adrian mengajak Satya untuk bertemu dengan Pak Beni, mantan manajer keuangan Aditya Corporation yang sebelumnya dipecat oleh Darco.Sesampainya di depan sebuah rumah sederhana, Adrian bertanya dengan nada ragu, "Satya, kamu yakin ini rumah Pak Beni?""Saya yakin, Pak. Kemarin saya sudah meminta salah satu staf personalia mencarikan alamatnya," jawab Satya tegas."Kalau begitu, ayo kita turun," ucap Adrian sambil membuka pintu mobil.Mereka melangkah ke pintu rumah dan mengetuknya. Ketukan kedua akhirnya membuka pintu, menampilkan wajah Pak Beni yang terlihat terkejut namun dengan senyum ramah seperti biasanya."Pak Adrian?" ucapnya dengan nada tak percaya. Namun ia segera mempersilakan mereka masuk. "Silakan masuk, Pak."Adrian dan Satya mengangguk sopan, mengikuti Pak Beni ke dalam. Mereka duduk di ruang tamu kecil yang nyaman, lalu Pak Beni memanggil istrinya."Darmi, tolong buatkan tiga kopi, ya. Ada tamu yang datang," teriaknya."Siapa yang datang, Pak?" terdenga
Reza menelan ludah, menahan rasa kesalnya. Namun, ia tidak punya pilihan selain menuruti. “Ba… baik, Pak Adrian,” jawabnya dengan suara pelan.“Bagus,” jawab Adrian singkat, sambil tersenyum dingin. “Sekarang, kau bisa pergi. Dan, aku harap kau tidak mencoba menguping.”Reza mengangguk sekali lagi, wajahnya merah padam karena menahan amarah. Ia melangkah keluar sambil mengepalkan tangannya erat-erat.Setelah pintu tertutup, Darco tertawa kecil untuk mencairkan suasana. “Adrian, kamu benar-benar berubah. Aku kagum melihat sikap tegasmu.”Adrian tetap berdiri tegak, tidak ikut tersenyum. Tatapannya langsung menusuk ke arah Darco. “Om, aku ke sini bukan untuk bermain kata-kata. Aku ingin langsung ke inti pembicaraan kita.”Darco kembali ke kursinya, berusaha terlihat tenang meskipun dadanya bergemuruh. “Baiklah, Adrian. Katakan saja, apa tujuanmu datang pagi-pagi seperti ini?”Adrian mendekat, lalu duduk di kursi berhadapan dengan Darco. Ia meletakkan tangan di meja, menatap Darco dengan
Pak Aditya menghela napas panjang, lalu menatap Adrian penuh keyakinan. "Papa serahkan semuanya padamu, Adrian. Apa pun yang kamu lakukan, Papa akan selalu mendukungmu."Adrian tersenyum lega. "Terima kasih, Pa. Kalau begitu, kami pamit ke kamar dulu."Pak Aditya hanya mengangguk, menatap Adrian, Anisa, dan Alisha dengan perasaan bahagia sekaligus harapan besar di hatinya.Keesokan harinya di Aditya Corporation, suasana di ruangan Darco dipenuhi ketegangan.Darco berdiri mondar-mandir sambil terus melirik ke arah pintu, sementara Reza duduk dengan wajah cemas. "Reza, apakah kamu sudah melihat Adrian datang?" tanya Darco dengan nada mendesak."Belum, Pak. Saya belum melihat Adrian," jawab Reza, sama gelisahnya.Darco menghentikan langkahnya sejenak. "Aku yakin pagi ini dia pasti akan datang untuk mengambil alih perusahaan ini. Ini tidak bisa kita biarkan sebelum kita menjalankan rencana kita untuk mengambil alih semuanya!" katanya dengan nada marah."Jadi, apa yang akan Bapak lakukan?"
Di dalam perjalanan menuju tujuan mereka, suasana di dalam mobil mewah itu penuh dengan percakapan yang mengungkap sisi emosional Adrian dan istrinya, Anisa. Adrian mencoba menjelaskan betapa berat beban yang harus ia pikul selama ini."Begitulah, sayang. Maafkan aku yang tidak bisa menemui kamu selama ini. Karena aku harus menjalankan semua rencanaku sampai benar-benar berhasil," ucap Adrian dengan nada lembut namun tegas.Anisa menggenggam tangan suaminya yang masih memegang kemudi. "Tidak apa-apa, Mas. Aku mengerti posisimu," balas Anisa dengan tulus. Kemudian, dia menatap Adrian, penuh harap. "Tapi, kapan kamu akan merebut kembali Aditya Corporation dari pamanmu itu?"Adrian menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Besok, sayang. Semua rencanaku akan berjalan sesuai jadwal. Apalagi sekarang Reza sudah mengetahui bahwa aku adalah anak dari pemilik Aditya Corporation. Dia pasti akan melaporkan hal ini kepada Om Darco, dan aku yakin Om Darco tidak akan ting