Tanpa peringatan, Hartono menyambar ponsel dari tangan istrinya, Widia, dan membantingnya ke lantai marmer dengan penuh amarah. Pecahan kaca dan komponen elektronik berserakan di lantai."Apa yang sudah kamu lakukan?!" jerit Widia, matanya terbelalak menyaksikan ponselnya hancur berkeping-keping. "Kenapa kau membanting ponselku, Pa?!"Hartono berdiri tegak, dadanya naik turun menahan emosi yang meluap-luap. Matanya menyala-nyala, menatap tajam ke arah istrinya. "Itu pantas untukmu," desisnya dengan geram. "Kau pikir aku tidak tahu? Kau mencoba membocorkan rencana kita pada Anisa, kan?"Widia mundur selangkah, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Itu karena... karena kamu sudah keterlaluan," isaknya. "Kalian menggunakan cara-cara licik untuk memisahkan mereka berdua. Apa kau tidak pernah memikirkan perasaan anak kita sendiri?""DIAM!" Hartono berteriak lantang, suaranya bergema di dinding-dinding rumah mereka yang luas. "Kamu tidak perlu ikut campur! Aku lakukan ini semua unt
Anisa tersentak kaget mendengar teriakan Daniel. "Please Anisa, tolong bukakan pintu! Aku sudah tidak tahan, aku hanya ingin meminjam toilet di rumahmu!"Kebingungan Anisa semakin menjadi-jadi. Di satu sisi, ia paham betul betapa menyiksanya menahan buang air. Namun di sisi lain, membiarkan Daniel masuk ke rumah saat ia sendirian tetap terasa tidak pantas.Setelah beberapa saat menimbang, Anisa memutuskan untuk menghubungi Adrian terlebih dahulu. Ia tidak ingin ada kesalahpahaman lagi seperti kejadian kemarin."Halo, Mas?" suara Anisa bergetar saat Adrian mengangkat telepon."Ada apa, sayang? Kamu terdengar cemas," jawab Adrian.Anisa menjelaskan situasinya dengan cepat. Adrian terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Baiklah, sayang. Aku mengerti situasinya. Kamu boleh membiarkan Daniel masuk, tapi tolong jaga jarak dan segera suruh dia keluar setelah selesai, ya?"Dengan izin dari Adrian, Anisa bergegas ke pintu depan. Saat ia membuka pagar, pemandangan di hadapannya membuatnya t
Tawa Daniel memecah keheningan siang, mengejutkan Anisa dan Adrian. Tawanya begitu keras dan tidak wajar, membuat mereka berdua mundur selangkah, waspada."Ha... hahahaha!" Daniel terus tertawa, tubuhnya terguncang-guncang seolah kerasukan.Anisa, wajahnya pucat pasi, bertanya dengan suara bergetar, "Da-Daniel? Ada apa denganmu? Kenapa kau tertawa seperti ini?"Adrian segera menarik Anisa ke belakangnya, sikap protektifnya muncul. "Hei, apa-apaan ini? Kau sudah gila atau bagaimana, Daniel?"Daniel akhirnya berhenti tertawa, tapi senyum aneh masih tersungging di bibirnya. Ia mengusap pipinya yang memerah bekas tamparan Anisa, matanya berkilat berbahaya."Oh, Anisa... Anisa," Daniel berkata dengan nada mengejek. "Apa kau benar-benar tidak menyadari semua sikap dan perlakuanku selama ini? Setiap kali kita bertemu, setiap tatapan, setiap sentuhan... Apa kau tidak merasakannya?"Anisa, semakin kebingungan dan takut, bertanya, "A-apa maksudmu, Daniel? Aku tidak mengerti..."Dengan senyum li
"Apa? Bagaimana bisa?" Dimas terdengar terkejut. "Bukannya seharusnya semua berjalan lancar?""Seharusnya, ya," Daniel mendengus kesal. "Tapi si brengsek itu... entah bagaimana dia tiba-tiba muncul di rumahnya. Padahal seharusnya dia masih berada di kantor."Dimas terdiam sejenak. "Tunggu, jadi Adrian melihat semuanya? Saat kau pura-pura jatuh dan memeluk Anisa?""Tepat sekali," jawab Daniel, frustasi jelas terdengar dalam suaranya. "Dan kau tahu apa yang lebih parah? Orang suruhanmu itu tidak becus mencari tempat yang aman untuk mengambil foto kita berdua. Adrian melihat dia sedang bersembunyi di belakang pohon!""Sialan," Dimas mengumpat pelan. "Lalu apa yang terjadi?"Daniel tertawa getir. "Yah, singkat cerita, kami berkelahi. Dan... akhirnya aku mengaku pada Adrian kalau aku mencintai Anisa.""Kau apa?!" Dimas setengah berteriak. "Daniel, apa kau sudah gila?""Mungkin," Daniel menjawab ringan. "Tapi aku sudah muak berpura-pura, Dimas. Sudah waktunya Adrian tahu siapa lawannya.""D
Dokter menatap Anisa dengan tatapan heran, alisnya terangkat sedikit. "Maaf, Bu Anisa. Bisa Anda jelaskan mengapa Anda merasa tidak mungkin hamil? Hasil tes ini sangat jelas menunjukkan kehamilan."Anisa menelan ludah, matanya berkaca-kaca. Ia melirik Adrian yang juga terlihat sama bingungnya. Dengan suara bergetar, Anisa akhirnya berkata, "Dokter, saya... saya menggunakan KB IUD. Bagaimana mungkin saya bisa hamil?"Adrian menggenggam tangan istrinya lebih erat, memberikan dukungan tanpa kata.Dokter mengangguk paham, senyum pengertian terpancar di wajahnya. "Ah, saya mengerti kekhawatiran Anda, Bu Anisa. Memang benar IUD adalah salah satu metode kontrasepsi yang sangat efektif, tapi perlu Anda ketahui, tidak ada metode kontrasepsi yang 100% sempurna."Dokter mengambil sebuah model anatomi dan mulai menjelaskan dengan detail. "IUD bekerja dengan mencegah pembuahan, tapi dalam kasus yang sangat jarang, sekitar 1 dari 1000 pengguna, kehamilan masih bisa terjadi. Ini bisa disebabkan oleh
Setelah mengakhiri pembicaraan di telepon, wajah Adrian tampak pucat dan tegang. Ia berpaling ke arah Anisa, matanya menyiratkan kekhawatiran yang dalam."Sayang," Adrian memulai dengan suara berat, "ada masalah di kantor. Aku harus segera ke sana."Anisa, yang masih terkejut dengan teriakan Adrian sebelumnya, menatap suaminya dengan cemas. "Ada apa, Mas? Apa yang terjadi?"Adrian menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Kamu tidak apa-apa kan kalau aku tinggal sendirian bersama Alisha?""Tidak apa-apa, Mas. Aku bisa sendirian," jawab Anisa, berusaha menenangkan suaminya. "Tapi, sebenarnya ada masalah apa?"Adrian terdiam sejenak, seolah ragu untuk membagi beban yang baru saja ia terima. Akhirnya, dengan suara pelan, ia berkata, "Ada dana perusahaan yang hilang. Indikasinya dilakukan oleh karyawan di kantorku."Anisa menunggu, merasa ada sesuatu yang lebih berat yang belum disampaikan suaminya.Adrian menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Dan... semua bukti mengarah pada
Adrian mengetuk pintu ruangan Pak David dengan tangan gemetar. Suara berat menjawab dari dalam, "Masuk."Begitu pintu terbuka, Adrian merasakan atmosfer mencekam menyelimutinya. Tiga pasang mata menatapnya tajam, seolah-olah ingin menerkamnya hidup-hidup. Pak David, sang CEO, duduk di belakang meja besarnya, diapit oleh dua eksekutif senior lainnya."Silakan duduk, Adrian," ujar Pak David dengan nada datar.Adrian menelan ludah dan duduk di kursi yang ditunjuk. Jantungnya berdegup kencang.Pak David memulai tanpa basa-basi, "Adrian, kamu sudah dengar kabar mengenai perusahaan kita kehilangan uang senilai 5 miliar?""Dengar, Pak. Tapi demi Tuhan, bukan saya pelakunya!" Adrian menjawab cepat, suaranya bergetar."Jadi kamu sudah tahu bahwa kamu yang menjadi tersangka utamanya," Pak David melanjutkan. "Kalau begitu, bagus. Kami tidak perlu menjelaskan kronologi kejadiannya."Adrian berusaha menjelaskan, "Tapi Pak, semua itu tidak benar. Saya tidak pernah melakukan hal seperti itu.""Kalau
Adrian tiba di rumah dengan wajah lesu. Anisa menyambutnya di pintu, kekhawatiran terpancar jelas di matanya."Bagaimana, Mas? Apakah masalahnya sudah selesai?" tanya Anisa segera setelah mereka masuk ke dalam rumah.Adrian menggeleng lemah. "Belum, sayang. Semua bukti mengarah padaku. Aku tidak tahu siapa yang sudah memfitnahku.""Jadi mereka tetap menuduhmu, Mas?" Anisa bertanya lagi, suaranya bergetar."Iya, sayang," Adrian menjawab. Ia terdiam sejenak sebelum melanjutkan dengan ragu, "Bahkan...""Bahkan apa, Mas?" Anisa memotong, tidak sabar.Adrian menarik napas dalam. "Bahkan mereka memecatku, sayang.""Apa? Mereka memecatmu, Mas?" Anisa terkesiap, matanya membelalak tidak percaya."Iya, sayang," Adrian mengangguk sedih. "Dan aku juga harus mengembalikan uang perusahaan yang hilang sebanyak 5 miliar. Kalau tidak, mereka akan menjebloskanku ke penjara."Mendengar penjelasan Adrian, Anisa tidak bisa menahan tangisnya. Ia tidak bisa membayangkan suaminya masuk penjara, apalagi deng