Dokter menatap Anisa dengan tatapan heran, alisnya terangkat sedikit. "Maaf, Bu Anisa. Bisa Anda jelaskan mengapa Anda merasa tidak mungkin hamil? Hasil tes ini sangat jelas menunjukkan kehamilan."Anisa menelan ludah, matanya berkaca-kaca. Ia melirik Adrian yang juga terlihat sama bingungnya. Dengan suara bergetar, Anisa akhirnya berkata, "Dokter, saya... saya menggunakan KB IUD. Bagaimana mungkin saya bisa hamil?"Adrian menggenggam tangan istrinya lebih erat, memberikan dukungan tanpa kata.Dokter mengangguk paham, senyum pengertian terpancar di wajahnya. "Ah, saya mengerti kekhawatiran Anda, Bu Anisa. Memang benar IUD adalah salah satu metode kontrasepsi yang sangat efektif, tapi perlu Anda ketahui, tidak ada metode kontrasepsi yang 100% sempurna."Dokter mengambil sebuah model anatomi dan mulai menjelaskan dengan detail. "IUD bekerja dengan mencegah pembuahan, tapi dalam kasus yang sangat jarang, sekitar 1 dari 1000 pengguna, kehamilan masih bisa terjadi. Ini bisa disebabkan oleh
Setelah mengakhiri pembicaraan di telepon, wajah Adrian tampak pucat dan tegang. Ia berpaling ke arah Anisa, matanya menyiratkan kekhawatiran yang dalam."Sayang," Adrian memulai dengan suara berat, "ada masalah di kantor. Aku harus segera ke sana."Anisa, yang masih terkejut dengan teriakan Adrian sebelumnya, menatap suaminya dengan cemas. "Ada apa, Mas? Apa yang terjadi?"Adrian menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Kamu tidak apa-apa kan kalau aku tinggal sendirian bersama Alisha?""Tidak apa-apa, Mas. Aku bisa sendirian," jawab Anisa, berusaha menenangkan suaminya. "Tapi, sebenarnya ada masalah apa?"Adrian terdiam sejenak, seolah ragu untuk membagi beban yang baru saja ia terima. Akhirnya, dengan suara pelan, ia berkata, "Ada dana perusahaan yang hilang. Indikasinya dilakukan oleh karyawan di kantorku."Anisa menunggu, merasa ada sesuatu yang lebih berat yang belum disampaikan suaminya.Adrian menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Dan... semua bukti mengarah pada
Adrian mengetuk pintu ruangan Pak David dengan tangan gemetar. Suara berat menjawab dari dalam, "Masuk."Begitu pintu terbuka, Adrian merasakan atmosfer mencekam menyelimutinya. Tiga pasang mata menatapnya tajam, seolah-olah ingin menerkamnya hidup-hidup. Pak David, sang CEO, duduk di belakang meja besarnya, diapit oleh dua eksekutif senior lainnya."Silakan duduk, Adrian," ujar Pak David dengan nada datar.Adrian menelan ludah dan duduk di kursi yang ditunjuk. Jantungnya berdegup kencang.Pak David memulai tanpa basa-basi, "Adrian, kamu sudah dengar kabar mengenai perusahaan kita kehilangan uang senilai 5 miliar?""Dengar, Pak. Tapi demi Tuhan, bukan saya pelakunya!" Adrian menjawab cepat, suaranya bergetar."Jadi kamu sudah tahu bahwa kamu yang menjadi tersangka utamanya," Pak David melanjutkan. "Kalau begitu, bagus. Kami tidak perlu menjelaskan kronologi kejadiannya."Adrian berusaha menjelaskan, "Tapi Pak, semua itu tidak benar. Saya tidak pernah melakukan hal seperti itu.""Kalau
Adrian tiba di rumah dengan wajah lesu. Anisa menyambutnya di pintu, kekhawatiran terpancar jelas di matanya."Bagaimana, Mas? Apakah masalahnya sudah selesai?" tanya Anisa segera setelah mereka masuk ke dalam rumah.Adrian menggeleng lemah. "Belum, sayang. Semua bukti mengarah padaku. Aku tidak tahu siapa yang sudah memfitnahku.""Jadi mereka tetap menuduhmu, Mas?" Anisa bertanya lagi, suaranya bergetar."Iya, sayang," Adrian menjawab. Ia terdiam sejenak sebelum melanjutkan dengan ragu, "Bahkan...""Bahkan apa, Mas?" Anisa memotong, tidak sabar.Adrian menarik napas dalam. "Bahkan mereka memecatku, sayang.""Apa? Mereka memecatmu, Mas?" Anisa terkesiap, matanya membelalak tidak percaya."Iya, sayang," Adrian mengangguk sedih. "Dan aku juga harus mengembalikan uang perusahaan yang hilang sebanyak 5 miliar. Kalau tidak, mereka akan menjebloskanku ke penjara."Mendengar penjelasan Adrian, Anisa tidak bisa menahan tangisnya. Ia tidak bisa membayangkan suaminya masuk penjara, apalagi deng
Dimas mengerutkan kening, matanya menatap tajam ke arah Daniel. "Apa maksudmu sebenarnya, Daniel? Coba jelaskan padaku lebih detail."Daniel menarik napas dalam, lalu memandang jauh ke luar jendela. Dengan suara rendah dan penuh tekad, dia mulai menjelaskan, "Aku akan memastikan Adrian tidak akan pernah mendapatkan pekerjaan di manapun. Dengan koneksi kuat yang aku punya, aku akan meminta semua perusahaan yang kukenal untuk menutup pintu bagi Adrian. Bayangkan, siapa yang mau mempekerjakan seseorang yang dipecat karena menggelapkan uang perusahaan?"Dimas terdiam sejenak, mencerna informasi itu. Tiba-tiba, raut wajahnya berubah khawatir. "Tapi Daniel," ujarnya ragu-ragu, "kalau sampai Adrian tidak mempunyai pekerjaan, bagaimana dengan Anisa? Walaupun aku benci dengan keputusannya menikah dengan Adrian, bagaimanapun juga Anisa itu adikku. Aku tidak mau sampai dia hidup lebih susah."Seulas senyum licik tersungging di bibir Daniel. "Itulah tujuanku, Dimas," ucapnya penuh arti. Daniel be
Di sebuah butik mewah di mall terbesar kota, Anisa dengan cekatan merapikan tumpukan pakaian. Jemarinya menari di antara lipatan kain, menyusun display dengan presisi seorang profesional. Seorang wanita anggun mendekatinya, senyum ramah tersungging di wajahnya."Hei, Nis! Lihat kamu sibuk sekali. Bagaimana, sudah betah kerja di sini?" tanya wanita itu dengan nada riang.Anisa menoleh, tersenyum hangat. "Oh, Santi! Iya, aku betah banget. Makasih ya, sudah memberiku kesempatan ini. Kamu benar-benar penyelamat."Santi tertawa kecil. "Ah, jangan berlebihan. Aku justru beruntung dapat karyawan sepertimu. Pengalaman fashion-mu itu aset berharga lho, meskipun sempat 'cuti' jadi ibu rumah tangga.""Aduh, kamu bisa aja. Aku nggak sehebat itu kok," ujar Anisa, pipinya merona.Santi terdiam sejenak, raut wajahnya berubah serius. "Nis, boleh aku tanya sesuatu? Mungkin agak pribadi, tapi... aku penasaran."Anisa menaikkan alisnya. "Tentu, San. Ada apa?""Begini..." Santi menarik napas dalam. "Maaf
"Cukup!" teriak Santi. "Nyonya, saya minta Anda segera meninggalkan butik saya ini. Saya tidak akan membiarkan karyawan saya dipermalukan seperti ini. Dan kalian bertiga juga sudah mengganggu kenyamanan pelanggan saya yang lain"Dinda menatap Santi dengan geram. "Anda tidak tahu siapa saya! Saya bisa membuat butik ini bangkrut dalam seminggu!""Silakan saja," tantang Santi. "Tapi ingat, Nyonya. Reputasi Anda juga akan tercoreng jika orang-orang tahu bagaimana Anda memperlakukan karayawan saya yang sekaligus saudara ipar Anda sendiri. Apa anda tidak lihat berapa banyak ada CCTV di tempat ini"Dinda terdiam, sadar bahwa dia telah kalah. Dengan tatapan penuh kebencian ke arah Anisa, dia berbalik dan berkata, "Ini belum selesai. Kau akan menyesal, Anisa."Cukup!" Santi angkat bicara dengan nada final. "Silakan keluar dari butik saya sekarang, atau saya panggil keamanan!"Setelah kepergian Dinda yang dramatis, suasana di butik perlahan kembali tenang. Pelanggan yang sejak tadi menyaksikan
Flashback OnSuasana kelas di salah satu SMA ternama di Jakarta terasa riuh dengan celoteh para siswa yang mengisi waktu sebelum bel berbunyi. Di tengah keramaian itu, Anisa duduk tenang di bangkunya, matanya terfokus pada buku pelajaran di hadapannya. Tiba-tiba, sebuah bayangan jatuh menutupi halaman bukunya."Anisa!" Suara Dinda terdengar setengah berbisik, setengah berteriak. "Kamu kenal Dirga, kan?"Anisa mengangkat wajahnya, alisnya terangkat penuh tanya. "Maksudmu Dirga, kakak kelas kita? Yang jadi ketua tim basket itu?"Mata Dinda langsung berbinar. "Iya, iya! Dia yang kumaksud.""Memangnya ada apa dengan dia?" tanya Anisa, menutup bukunya dan memberikan perhatian penuh pada Dinda yang kini duduk di tepi mejanya.Dinda menggigit bibir bawahnya, pipinya merona merah. Dengan suara yang nyaris tak terdengar, ia berkata, "Kamu... bisa kenalin aku nggak sama dia? Kamu kan kenal sama dia, kan?"Sebuah senyum jahil merekah di wajah Anisa. "Ooooh, jadi kamu naksir dia ya?""Ssssst!" Di
Ketegangan Memuncak di Aditya CorporationDi aula besar Aditya Corporation, suasana semakin panas. Para karyawan berbisik-bisik, saling bertanya-tanya mengenai keberadaan Adrian yang hingga kini belum juga muncul.Di deretan kursi depan, Satya duduk dengan wajah cemas. Pak Benny, yang duduk di sebelahnya, menoleh mendekat dan berbisik pelan, "Pak Satya, bagaimana? Apakah Bapak sudah bisa menghubungi Pak Adrian?"Satya menggeleng, napasnya terdengar berat. "Belum, Pak. Dari tadi nomornya tidak bisa dihubungi. Saya sudah coba berulang kali."Pak Benny mengerutkan kening, semakin khawatir. "Apa Bapak sudah coba menghubungi Pak Aditya?""Sudah, Pak. Kata beliau, Pak Adrian sudah berangkat dari tadi pagi menuju ke kantor. Tapi anehnya, sampai sekarang belum juga sampai," jawab Satya, suaranya memantulkan kegelisahan.Pak Benny mulai gelisah, melihat ke sekeliling aula yang mulai dipenuhi bisik-bisik khawatir dari para karyawan. "Kalau begitu, kem
Hari yang dinantikan tiba—hari penyerahan jabatan di kantor, dan Adrian tampak penuh percaya diri. Seperti biasa, Anisa, istrinya, menyiapkan segala keperluan suaminya dengan telaten. "Mas, sarapannya sudah siap. Ayo, kita sarapan sama-sama," panggil Anisa dari ruang makan, melihat Adrian masih berdiri di depan cermin, sibuk memasang dasinya."Iya, sayang. Sebentar lagi, tinggal pasang dasi ini saja. Nanti aku ke meja makan," jawab Adrian sambil tersenyum."Baik, Mas. Kalau begitu, aku lihat Alisha dulu ya. Aku mau bangunin dia. Siapa tahu, dia mau sarapan bareng Papa," ujar Anisa sebelum berlalu.Adrian mengangguk ringan. Setelah dasinya rapi, ia turun ke ruang makan, di mana Aditya, ayahnya, sudah menunggu sambil membaca koran pagi."Pagi, Pa," sapa Adrian sembari menarik kursi dan duduk di hadapan ayahnya."Pagi, Nak. Bagaimana? Sudah siap untuk hari ini?" tanya Aditya, menurunkan korannya dan menatap putranya penuh harap."Tentu, Pa. Aku sudah mempersiapkan semuanya dengan matang.
Reza langsung menegang. "Apa? Tidak mau. Aku bukan OB. Kalau kamu mau kopi, suruh saja OB untuk membuatkan," balasnya tegas, mencoba mempertahankan sisa harga dirinya.Namun, Dendi tidak kehabisan akal. Dengan wajah penuh kepura-puraan, ia berkata, "Oh, OB kita sedang sibuk semua. Lagi ada masalah ruangan bocor, jadi mereka semua dikerahkan ke sana.""Tetap saja aku tidak mau. Itu bukan jobdesk-ku!" ucap Reza dengan suara yang mulai meninggi.Dendi tersenyum licik. "Oooh, jadi kamu tidak mau? Baiklah, nanti aku akan buat laporan kalau kamu melawan perintah atasan. Akan ku buat seolah-olah kamu tidak mau bekerja sama. Kau tahu apa akibatnya, kan? Kamu bisa dipecat, Reza. Apalagi sekarang posisimu sudah sangat lemah di perusahaan ini."Reza terdiam. Dalam hati, ia menahan luapan emosinya. "Sialan! Orang-orang di perusahaan ini sekarang semua berani melawanku. Kalau aku tidak mengiku
Reza hanya menoleh sekilas, tanpa berkata apa-apa, dan mengangguk dengan malas. Nindi berjalan di depan, memimpin langkah. Sepanjang perjalanan, beberapa karyawan lain yang mengenal Nindi berusaha bertanya tanpa suara. Dengan hanya menggerakkan bibir, mereka bertanya, "Kenapa Pak Reza?"Nindi, yang sudah terbiasa membaca gerakan mulut rekan-rekannya, hanya menjawab singkat, "Nanti aku ceritakan." Mereka pun mengangguk, sambil memandang Reza dengan penuh tanda tanya.Setelah beberapa menit, mereka tiba di bagian produksi. Nindi berhenti di depan sebuah meja sempit yang diletakkan di pojok ruangan. Di atas meja itu, hanya ada sebuah buku besar yang tampak usang dan tumpukan berkas yang menjulang seperti menara."Ini meja saya? Apa tidak salah?!" ucap Reza terkejut. Ia memandang meja itu seolah-olah melihat sesuatu yang sangat hina. "Dan... di mana laptop saya untuk bekerja?"N
Keesokan Pagi di Aditya CorporationPagi itu, Adrian berdiri di depan jendela ruangan Satya, memandang ke luar dengan tatapan tajam. Sinar matahari yang menerobos kaca tidak mampu mengusir dinginnya suasana di dalam ruangan. Di belakangnya, Pak Beni duduk dengan ekspresi tegas, bersiap menghadapi apa yang sudah direncanakan Adrian."Bagaimana, Pak Beni? Apa Anda sudah siap?" tanya Adrian, suaranya datar namun tegas."Saya sudah siap, Pak Adrian untuk mengemban tugas yang akan bapak berikan, sepertinya sudah waktunya semua ini dibenahi," jawab Pak Beni mantap.Adrian mengangguk perlahan. "Bagus. Kalau begitu, ayo kita sekarang pergi keruangan Reza dan memberi pelajaran yang tak akan pernah bisa dia lupakan."Adrian melangkah keluar, diikuti oleh Pak Beni dan Satya. Sepanjang perjalanan ke ruangan Reza, bisik-bisik mulai terdengar di antara karyawan. Wajah Adrian yang jarang terlihat di kantor, serta kehadiran Pak Beni yang legendaris, membuat suasana penuh teka-teki."Siapa mereka? Ken
Keesokan harinya, Adrian mengajak Satya untuk bertemu dengan Pak Beni, mantan manajer keuangan Aditya Corporation yang sebelumnya dipecat oleh Darco.Sesampainya di depan sebuah rumah sederhana, Adrian bertanya dengan nada ragu, "Satya, kamu yakin ini rumah Pak Beni?""Saya yakin, Pak. Kemarin saya sudah meminta salah satu staf personalia mencarikan alamatnya," jawab Satya tegas."Kalau begitu, ayo kita turun," ucap Adrian sambil membuka pintu mobil.Mereka melangkah ke pintu rumah dan mengetuknya. Ketukan kedua akhirnya membuka pintu, menampilkan wajah Pak Beni yang terlihat terkejut namun dengan senyum ramah seperti biasanya."Pak Adrian?" ucapnya dengan nada tak percaya. Namun ia segera mempersilakan mereka masuk. "Silakan masuk, Pak."Adrian dan Satya mengangguk sopan, mengikuti Pak Beni ke dalam. Mereka duduk di ruang tamu kecil yang nyaman, lalu Pak Beni memanggil istrinya."Darmi, tolong buatkan tiga kopi, ya. Ada tamu yang datang," teriaknya."Siapa yang datang, Pak?" terdenga
Reza menelan ludah, menahan rasa kesalnya. Namun, ia tidak punya pilihan selain menuruti. “Ba… baik, Pak Adrian,” jawabnya dengan suara pelan.“Bagus,” jawab Adrian singkat, sambil tersenyum dingin. “Sekarang, kau bisa pergi. Dan, aku harap kau tidak mencoba menguping.”Reza mengangguk sekali lagi, wajahnya merah padam karena menahan amarah. Ia melangkah keluar sambil mengepalkan tangannya erat-erat.Setelah pintu tertutup, Darco tertawa kecil untuk mencairkan suasana. “Adrian, kamu benar-benar berubah. Aku kagum melihat sikap tegasmu.”Adrian tetap berdiri tegak, tidak ikut tersenyum. Tatapannya langsung menusuk ke arah Darco. “Om, aku ke sini bukan untuk bermain kata-kata. Aku ingin langsung ke inti pembicaraan kita.”Darco kembali ke kursinya, berusaha terlihat tenang meskipun dadanya bergemuruh. “Baiklah, Adrian. Katakan saja, apa tujuanmu datang pagi-pagi seperti ini?”Adrian mendekat, lalu duduk di kursi berhadapan dengan Darco. Ia meletakkan tangan di meja, menatap Darco dengan
Pak Aditya menghela napas panjang, lalu menatap Adrian penuh keyakinan. "Papa serahkan semuanya padamu, Adrian. Apa pun yang kamu lakukan, Papa akan selalu mendukungmu."Adrian tersenyum lega. "Terima kasih, Pa. Kalau begitu, kami pamit ke kamar dulu."Pak Aditya hanya mengangguk, menatap Adrian, Anisa, dan Alisha dengan perasaan bahagia sekaligus harapan besar di hatinya.Keesokan harinya di Aditya Corporation, suasana di ruangan Darco dipenuhi ketegangan.Darco berdiri mondar-mandir sambil terus melirik ke arah pintu, sementara Reza duduk dengan wajah cemas. "Reza, apakah kamu sudah melihat Adrian datang?" tanya Darco dengan nada mendesak."Belum, Pak. Saya belum melihat Adrian," jawab Reza, sama gelisahnya.Darco menghentikan langkahnya sejenak. "Aku yakin pagi ini dia pasti akan datang untuk mengambil alih perusahaan ini. Ini tidak bisa kita biarkan sebelum kita menjalankan rencana kita untuk mengambil alih semuanya!" katanya dengan nada marah."Jadi, apa yang akan Bapak lakukan?"
Di dalam perjalanan menuju tujuan mereka, suasana di dalam mobil mewah itu penuh dengan percakapan yang mengungkap sisi emosional Adrian dan istrinya, Anisa. Adrian mencoba menjelaskan betapa berat beban yang harus ia pikul selama ini."Begitulah, sayang. Maafkan aku yang tidak bisa menemui kamu selama ini. Karena aku harus menjalankan semua rencanaku sampai benar-benar berhasil," ucap Adrian dengan nada lembut namun tegas.Anisa menggenggam tangan suaminya yang masih memegang kemudi. "Tidak apa-apa, Mas. Aku mengerti posisimu," balas Anisa dengan tulus. Kemudian, dia menatap Adrian, penuh harap. "Tapi, kapan kamu akan merebut kembali Aditya Corporation dari pamanmu itu?"Adrian menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Besok, sayang. Semua rencanaku akan berjalan sesuai jadwal. Apalagi sekarang Reza sudah mengetahui bahwa aku adalah anak dari pemilik Aditya Corporation. Dia pasti akan melaporkan hal ini kepada Om Darco, dan aku yakin Om Darco tidak akan ting