Setelah mengakhiri pembicaraan di telepon, wajah Adrian tampak pucat dan tegang. Ia berpaling ke arah Anisa, matanya menyiratkan kekhawatiran yang dalam."Sayang," Adrian memulai dengan suara berat, "ada masalah di kantor. Aku harus segera ke sana."Anisa, yang masih terkejut dengan teriakan Adrian sebelumnya, menatap suaminya dengan cemas. "Ada apa, Mas? Apa yang terjadi?"Adrian menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Kamu tidak apa-apa kan kalau aku tinggal sendirian bersama Alisha?""Tidak apa-apa, Mas. Aku bisa sendirian," jawab Anisa, berusaha menenangkan suaminya. "Tapi, sebenarnya ada masalah apa?"Adrian terdiam sejenak, seolah ragu untuk membagi beban yang baru saja ia terima. Akhirnya, dengan suara pelan, ia berkata, "Ada dana perusahaan yang hilang. Indikasinya dilakukan oleh karyawan di kantorku."Anisa menunggu, merasa ada sesuatu yang lebih berat yang belum disampaikan suaminya.Adrian menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Dan... semua bukti mengarah pada
Adrian mengetuk pintu ruangan Pak David dengan tangan gemetar. Suara berat menjawab dari dalam, "Masuk."Begitu pintu terbuka, Adrian merasakan atmosfer mencekam menyelimutinya. Tiga pasang mata menatapnya tajam, seolah-olah ingin menerkamnya hidup-hidup. Pak David, sang CEO, duduk di belakang meja besarnya, diapit oleh dua eksekutif senior lainnya."Silakan duduk, Adrian," ujar Pak David dengan nada datar.Adrian menelan ludah dan duduk di kursi yang ditunjuk. Jantungnya berdegup kencang.Pak David memulai tanpa basa-basi, "Adrian, kamu sudah dengar kabar mengenai perusahaan kita kehilangan uang senilai 5 miliar?""Dengar, Pak. Tapi demi Tuhan, bukan saya pelakunya!" Adrian menjawab cepat, suaranya bergetar."Jadi kamu sudah tahu bahwa kamu yang menjadi tersangka utamanya," Pak David melanjutkan. "Kalau begitu, bagus. Kami tidak perlu menjelaskan kronologi kejadiannya."Adrian berusaha menjelaskan, "Tapi Pak, semua itu tidak benar. Saya tidak pernah melakukan hal seperti itu.""Kalau
Adrian tiba di rumah dengan wajah lesu. Anisa menyambutnya di pintu, kekhawatiran terpancar jelas di matanya."Bagaimana, Mas? Apakah masalahnya sudah selesai?" tanya Anisa segera setelah mereka masuk ke dalam rumah.Adrian menggeleng lemah. "Belum, sayang. Semua bukti mengarah padaku. Aku tidak tahu siapa yang sudah memfitnahku.""Jadi mereka tetap menuduhmu, Mas?" Anisa bertanya lagi, suaranya bergetar."Iya, sayang," Adrian menjawab. Ia terdiam sejenak sebelum melanjutkan dengan ragu, "Bahkan...""Bahkan apa, Mas?" Anisa memotong, tidak sabar.Adrian menarik napas dalam. "Bahkan mereka memecatku, sayang.""Apa? Mereka memecatmu, Mas?" Anisa terkesiap, matanya membelalak tidak percaya."Iya, sayang," Adrian mengangguk sedih. "Dan aku juga harus mengembalikan uang perusahaan yang hilang sebanyak 5 miliar. Kalau tidak, mereka akan menjebloskanku ke penjara."Mendengar penjelasan Adrian, Anisa tidak bisa menahan tangisnya. Ia tidak bisa membayangkan suaminya masuk penjara, apalagi deng
Dimas mengerutkan kening, matanya menatap tajam ke arah Daniel. "Apa maksudmu sebenarnya, Daniel? Coba jelaskan padaku lebih detail."Daniel menarik napas dalam, lalu memandang jauh ke luar jendela. Dengan suara rendah dan penuh tekad, dia mulai menjelaskan, "Aku akan memastikan Adrian tidak akan pernah mendapatkan pekerjaan di manapun. Dengan koneksi kuat yang aku punya, aku akan meminta semua perusahaan yang kukenal untuk menutup pintu bagi Adrian. Bayangkan, siapa yang mau mempekerjakan seseorang yang dipecat karena menggelapkan uang perusahaan?"Dimas terdiam sejenak, mencerna informasi itu. Tiba-tiba, raut wajahnya berubah khawatir. "Tapi Daniel," ujarnya ragu-ragu, "kalau sampai Adrian tidak mempunyai pekerjaan, bagaimana dengan Anisa? Walaupun aku benci dengan keputusannya menikah dengan Adrian, bagaimanapun juga Anisa itu adikku. Aku tidak mau sampai dia hidup lebih susah."Seulas senyum licik tersungging di bibir Daniel. "Itulah tujuanku, Dimas," ucapnya penuh arti. Daniel be
Di sebuah butik mewah di mall terbesar kota, Anisa dengan cekatan merapikan tumpukan pakaian. Jemarinya menari di antara lipatan kain, menyusun display dengan presisi seorang profesional. Seorang wanita anggun mendekatinya, senyum ramah tersungging di wajahnya."Hei, Nis! Lihat kamu sibuk sekali. Bagaimana, sudah betah kerja di sini?" tanya wanita itu dengan nada riang.Anisa menoleh, tersenyum hangat. "Oh, Santi! Iya, aku betah banget. Makasih ya, sudah memberiku kesempatan ini. Kamu benar-benar penyelamat."Santi tertawa kecil. "Ah, jangan berlebihan. Aku justru beruntung dapat karyawan sepertimu. Pengalaman fashion-mu itu aset berharga lho, meskipun sempat 'cuti' jadi ibu rumah tangga.""Aduh, kamu bisa aja. Aku nggak sehebat itu kok," ujar Anisa, pipinya merona.Santi terdiam sejenak, raut wajahnya berubah serius. "Nis, boleh aku tanya sesuatu? Mungkin agak pribadi, tapi... aku penasaran."Anisa menaikkan alisnya. "Tentu, San. Ada apa?""Begini..." Santi menarik napas dalam. "Maaf
"Cukup!" teriak Santi. "Nyonya, saya minta Anda segera meninggalkan butik saya ini. Saya tidak akan membiarkan karyawan saya dipermalukan seperti ini. Dan kalian bertiga juga sudah mengganggu kenyamanan pelanggan saya yang lain"Dinda menatap Santi dengan geram. "Anda tidak tahu siapa saya! Saya bisa membuat butik ini bangkrut dalam seminggu!""Silakan saja," tantang Santi. "Tapi ingat, Nyonya. Reputasi Anda juga akan tercoreng jika orang-orang tahu bagaimana Anda memperlakukan karayawan saya yang sekaligus saudara ipar Anda sendiri. Apa anda tidak lihat berapa banyak ada CCTV di tempat ini"Dinda terdiam, sadar bahwa dia telah kalah. Dengan tatapan penuh kebencian ke arah Anisa, dia berbalik dan berkata, "Ini belum selesai. Kau akan menyesal, Anisa."Cukup!" Santi angkat bicara dengan nada final. "Silakan keluar dari butik saya sekarang, atau saya panggil keamanan!"Setelah kepergian Dinda yang dramatis, suasana di butik perlahan kembali tenang. Pelanggan yang sejak tadi menyaksikan
Flashback OnSuasana kelas di salah satu SMA ternama di Jakarta terasa riuh dengan celoteh para siswa yang mengisi waktu sebelum bel berbunyi. Di tengah keramaian itu, Anisa duduk tenang di bangkunya, matanya terfokus pada buku pelajaran di hadapannya. Tiba-tiba, sebuah bayangan jatuh menutupi halaman bukunya."Anisa!" Suara Dinda terdengar setengah berbisik, setengah berteriak. "Kamu kenal Dirga, kan?"Anisa mengangkat wajahnya, alisnya terangkat penuh tanya. "Maksudmu Dirga, kakak kelas kita? Yang jadi ketua tim basket itu?"Mata Dinda langsung berbinar. "Iya, iya! Dia yang kumaksud.""Memangnya ada apa dengan dia?" tanya Anisa, menutup bukunya dan memberikan perhatian penuh pada Dinda yang kini duduk di tepi mejanya.Dinda menggigit bibir bawahnya, pipinya merona merah. Dengan suara yang nyaris tak terdengar, ia berkata, "Kamu... bisa kenalin aku nggak sama dia? Kamu kan kenal sama dia, kan?"Sebuah senyum jahil merekah di wajah Anisa. "Ooooh, jadi kamu naksir dia ya?""Ssssst!" Di
Anisa mengangguk. "Iya, Kak. Dia..." Anisa terdiam sejenak, teringat janjinya pada Dinda. "Dia orangnya baik kok, Kak. Pasti kakak suka.""Oh ya?" Dirga tersenyum, tapi entah mengapa senyumnya terasa berbeda di mata Anisa. "Kita lihat saja nanti."Mereka tiba di mobil Dirga. Saat Anisa hendak masuk, ia merasakan getaran di sakunya. Ada pesan dari Dinda:"Nis, gimana? Jadi nggak sama Kak Dirga? Aku udah nunggu di gerbang nih!"Anisa menatap pesan itu, lalu melirik Dirga yang sudah duduk di kursi pengemudi. Tiba-tiba, firasat aneh yang ia rasakan sejak tadi semakin kuat. Namun, ia mengabaikannya dan membalas pesan Dinda:"Jadi kok, Din. Kita jemput kamu di gerbang ya."Di gerbang sekolah, Dinda berdiri dengan gelisah, matanya terus mencari-cari mobil Dirga. Ketika akhirnya mobil itu muncul, jantungnya berdegup kencang."Kak, bisa berhenti sebentar? Itu Dinda sudah menunggu kita," ujar Anisa.Dirga hanya mengangguk singkat, wajahnya masih tanpa ekspresi saat ia menghentikan mobil di depa
Namun, Mr. Lee mengangkat tangan, menghentikan Daniel. “Cukup. Saya juga akan memberi tahu kepada semua mitra bisnis kami di China tentang apa yang sudah terjadi hari ini. Saya ingin mereka tahu betapa bobroknya integritas Prawira Group.”Daniel tampak seperti dihantam badai. Wajahnya merah padam, tetapi kali ini bukan karena amarah, melainkan karena ketakutan. “Tuan Lee, tolong… tolong jangan lakukan itu. Anda tahu apa artinya bagi perusahaan kami jika reputasi kami hancur di pasar China. Kami tidak akan bisa bertahan. Saya mohon, beri kami kesempatan untuk memperbaiki kesalahan ini.”Mr. Lee menatapnya dengan dingin. “Kesempatan? Kesempatan itu Anda sudah sia-siakan ketika Anda memutuskan untuk bermain kotor. Saya tidak peduli berapa besar perusahaan Anda. Bagi kami, kejujuran adalah segalanya.”Setelah mengucapkan kata-kata terakhirnya, Mr. Lee meraih koper itu dan menyerahkannya kembali kepada Daniel. “Ambil u
Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Ruang konferensi besar di sebuah hotel bintang lima di pusat kota dipenuhi oleh perwakilan dari dua perusahaan besar, Aditya Corporation dan Prawira Group, serta para eksekutif dari Techno Guard, perusahaan teknologi nomor satu di Asia. Atmosfer di ruangan itu tegang, penuh dengan harapan, ambisi, dan strategi tersembunyi.Adrian duduk di barisan depan bersama timnya, mengenakan jas hitam yang rapi, dengan tatapan penuh keyakinan. Di sebelahnya, Satya dengan percaya diri memegang tumpukan dokumen presentasi yang baru saja selesai dipaparkan. Adrian menepuk bahu Satya pelan. "Kerja bagus. Presentasimu tadi sempurna. Semua poin yang aku ingin sampaikan berhasil kau jabarkan dengan jelas," ucapnya.Satya tersenyum lega. "Terima kasih, Pak Adrian. Semoga ini cukup untuk memenangkan kepercayaan mereka."Di sisi lain ruangan, Daniel duduk santai di kursinya dengan senyum sinis. Dia menyandarkan tubuhnya ke kursi, sesekali melirik ke
"Risiko?" Daniel menyambar dengan nada dingin, memotong kalimat pria itu sebelum selesai. "Risiko terbesar buatku adalah jika kalain semua gagal mendapatkan tender itu. Dan aku tidak akan mentolerir kegagalan lagi. Kalian tahu betapa malunya aku ketika Adrian memenangkan tender terakhir?!" Suaranya meninggi di akhir kalimat, membuat manajer itu menunduk dalam-dalam, takut untuk menjawab.Daniel menghela napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya. "Kalian pikir Adrian lebih pintar dariku? Tidak! Dia hanya lebih licik, lebih oportunis dan kebetulan lebih beruntung dari ku. Tapi kali ini, kita akan menunjukkan siapa yang sebenarnya memegang kendali." Dia berhenti sejenak, matanya menatap jauh ke jendela besar di belakang ruangan, mengamati gemerlap lampu kota yang seolah menertawakannya."Adrian pikir dia sudah bisa mengalahkanku dan akan terus berada di atas," gumam Daniel, lebih kepada dirinya sendiri. Kemudian dia berbalik menghadap timnya lagi, menambahkan dengan n
Anisa dan Siska saling berpandangan, ekspresi keduanya sama-sama penuh rasa penasaran. Kedatangan Dirga yang tiba-tiba membuat mereka bertanya-tanya."Kamu memangnya ada janji sama Dirga, Sis?" tanya Anisa, matanya menyipit seolah mencoba membaca pikiran adiknya.Siska menggeleng pelan. "Tidak, aku nggak punya janji apa-apa sama dia."Anisa mengerutkan kening, berpikir keras. "Terus, kenapa ya dia datang ke sini? Ada urusan apa kira-kira?" ucapnya sambil memiringkan kepala, jelas tak puas dengan jawaban Siska.Tiba-tiba, sebuah pemikiran melintas di benak Anisa, membuatnya tersenyum menggoda. "Jangan-jangan dia suka sama kamu, Sis! Makanya dia datang menemuimu kesini" celetuk Anisa dengan nada menggoda.Siska langsung merona, wajahnya memerah. "Apaan sih, Nis? Jangan ngomong yang aneh-aneh deh." Dia mencoba menutupi rasa malunya dengan memalingkan wajah. "Aku lagi nggak mau punya hubungan sama pria dulu. Karena aku masih trauma sama hubuganku dengan Reza."Anisa tersenyum lembut, mele
"Maafkan Mama, Nisa... Mama nggak pernah bermaksud membuat kalian merasa berbeda. Mama selalu berusaha adil, tapi mungkin Mama salah cara. Kalau sampai hubungan kalian jadi seperti ini, Mama ikut merasa bersalah."Anisa tersenyum lemah, mencoba menenangkan ibunya. "Mama, jangan salahkan diri Mama sendiri. Siska hanya perlu waktu untuk menyadari semua itu. Aku yakin nanti dia akan mengerti kalau perhatian Mama dan Papa selama ini bukan untuk membandingkan, tapi karena Mama ingin yang terbaik buat kami berdua."Adrian menimpali, mencoba mengalihkan suasana. "Sebaiknya kita berdoa saja. Semoga kejadian ini menjadi pelajaran buat Siska, supaya dia sadar kalau perlakuannya selama ini terhadap Anisa itu salah." Dia memeluk Anisa lebih erat, lalu mencium puncak kepalanya penuh kasih.Anisa mengangguk pelan. "Semoga saja, Mas. Aku cuma ingin dia sadar, kalau semua orang menyayanginya."Di sudut ruangan, Dirga berdiri diam, memperhatikan dari kejauhan. Tangannya terlipat di depan dada, tapi ma
Tak lama kemudian, suara langkah cepat terdengar. Dirga mendongak, melihat wajah-wajah yang familiar. Anisa tiba bersama keluarganya—Adrian, Dimas, serta kedua orang tua mereka. Wajah mereka dipenuhi kekhawatiran."Dirga! Apa yang sebenarnya terjadi pada Siska?" tanya Anisa panik, langsung mendekati Dirga. Tangannya menggenggam lengan Dirga erat.Dirga menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum menjawab. "Siska mengalami luka tembak. Dia masih berada di dalam, Anisa. Dokter masih berusaha menyelamatkan nyawanya. ""Tertembak?!" Anisa menjerit kecil, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Wajahnya langsung pucat. "Siapa yang melakukannya, Dirga? Bagaimana ini bisa terjadi?!"Adrian yang berdiri di belakangnya memasang wajah tegang. "Ya, Dirga. Tolong jelaskan pada kami. Apa yang sebenarnya terjadi?"Dirga mengangguk, berusaha menjelaskan semuanya sejelas mungkin meski hatinya sendiri masih terguncang. "Tadi, Siska diculik oleh dua orang pria suru
KAU HARUS MATI, SISKA!" Lina berteriak histeris.Sebelum siapa pun sempat bergerak, suara tembakan menggema di ruangan itu. Peluru itu meluncur cepat, dan semua terasa seperti berjalan lambat. "DOR!"Peluru itu menghantam perut Siska, membuat tubuhnya terhempas ke belakang. Siska jatuh ke lantai dengan tangan yang mencengkeram perutnya. Darah segera mengalir membasahi pakaiannya. "Ahh!" Siska mengerang kesakitan, tubuhnya menggeliat saat rasa nyeri yang luar biasa menyerangnya."SISKA!" Dirga berteriak panik, langsung berlari ke arahnya. Sementara polisi lainnya bereaksi cepat, menundukkan Lina dan menjatuhkannya ke lantai. Pistol yang dia genggam terlepas dari tangannya, dan dia menjerit seperti orang kesetanan. "Dia harus mati! Dia pantas mati!" Lina terus meronta meski tangannya sudah diborgol dengan kuat.Dirga berlutut di samping Siska, wajahnya penuh dengan kecemasan. "Siska, bertahanlah! Tolong, jangan tutup matamu! Bantuan medis sedang dalam perjalanan!" Dia menekan luka di pe
Kedua pria suruhan Lina yang sejak tadi diam mulai saling melirik. Pria gondrong itu akhirnya memberanikan diri berbicara, meski suaranya bergetar. "Bos... maaf, ini kayaknya sudah di luar kesepakatan kita. Kita cuma disuruh bawa wanita ini ke sini. Kalau urusan ngebunuh, kita nggak mau ikut campur."Lina langsung berbalik ke arah mereka, matanya penuh dengan api kemarahan. "Diam kalian! Dari awal kalian membawa dia ke sini saja, kalian sudah ikut campur. Dan jangan lupa, kalian sudah kubayar mahal. Jadi sekarang, lakukan perintahku, atau aku akan memastikan kalian tidak akan bisa lari dari ini!"Pria botak mulai berkeringat dingin. "Tapi, Bos... ini bukan pekerjaan kita. Kita nggak pernah ngelakuin hal seperti ini sebelumnya. Kalau ini ketahuan, kita bisa kena masalah besar."Lina mendesah kesal, lalu mengambil amplop lain dari tasnya dan melemparkannya ke meja di depan mereka. "Dengar baik-baik. Kalau kalian membantuku menghabisinya, aku akan bayar kalian dua kali lipat dari yang su
Wanita itu menatap Siska dengan pandangan dingin, matanya menyiratkan sesuatu yang sulit dijelaskan—antara kebencian, kepuasan, dan mungkin dendam yang membara. Dirga mengamati semua itu dengan hati yang semakin dipenuhi kegelisahan."Siapa dia sebenarnya? Apa hubungannya dengan Siska? Kenapa dia sampai tega melakukan ini?" pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui Dirga.Ia mencoba mengatur napasnya yang semakin berat, menanti saat yang tepat untuk bertindak, sementara kepalanya terus memutar berbagai kemungkinan. Di saat itu juga, suara sirene yang samar mulai terdengar di kejauhan, memberikan secercah harapan dalam situasi yang mencekam.Dirga merapat ke sisi rumah kosong itu, bersembunyi di bawah jendela yang retak. Ia menahan napas, berharap mendengar atau melihat apa yang sedang terjadi di dalam. Dari celah kecil di jendela, ia bisa melihat wanita cantik itu berdiri angkuh, sementara kedua pria suruhan membungkuk hormat di hadapannya.Wanita itu menyerahkan amplop cokelat yang