Setelah beberapa lama mencari, Dinda akhirnya menemukan buku yang diinginkannya. Setelah membayar, dengan jantung berdebar, ia memberanikan diri mengajak Dirga."Kak, sebagai rasa terima kasih saya, gimana kalau kakak saya traktir makan di restoran itu?" Dinda menunjuk ke arah restoran di ujung mall, matanya penuh harap.Dirga menatap Dinda sejenak, lalu menggeleng. "Nggak usah, aku tidak lapar. Kita langsung aja pulang. Habis ini aku ada janji sama temanku untuk main basket," jawabnya dingin.Dinda merasa seperti ada yang meremas jantungnya. "Baiklah kalau begitu, kita langsung pulang saja," ujarnya, berusaha menyembunyikan kekecewaannya.Di dalam mobil, keheningan kembali menyelimuti mereka. Dinda sibuk dengan pikirannya, membayangkan skenario makan siang romantis yang kini hanya tinggal angan-angan.Tiba-tiba, Dirga menepikan mobilnya di jalan yang sepi. Dinda tersentak dari lamunannya."Kenapa berhenti, Kak?" tanyanya bingung.Dirga menatap lurus ke depan. "Aku mau ngomong sesuatu
Bella dan Cici saling melempar pandang cemas, tapi tak ada yang berani memotong. Dinda meletakkan gelasnya, senyum misterius tersungging di bibirnya."Lihat saja nanti," ia berkata, matanya berkilat penuh tekad dan sesuatu yang lebih gelap. "Anisa akan menyadari, bahwa ia telah membuat kesalahan terbesar dalam hidupnya ketika ia meremehkanku. Dan aku? Aku akan ada di sana, menyaksikan semuanya terjadi."Dengan kalimat itu, Dinda mengakhiri pembicaraan mereka, meninggalkan Bella dan Cici dalam keheningan yang dipenuhi antisipasi dan sedikit rasa takut akan apa yang akan terjadi selanjutnya.Di sebuah kafe yang nyaman di pusat kota Jakarta, Siska duduk sendirian, jemarinya mengetuk-ngetuk cangkir kopi yang sudah setengah kosong. Matanya menatap jauh ke luar jendela, tapi pikirannya berada di tempat lain. Hiruk pikuk kota besar yang biasanya memenuhi pikirannya kini tak lebih dari sekadar latar belakang buram.Tiba-tiba, ponselnya berdering, memecah lamunannya. Nama "Ibu" muncul di layar
Sekolah mengadakan kompetisi bakat tahunan, dan baik Siska maupun Anisa memutuskan untuk ikut serta. Anisa, dengan suara emasnya, akan menyanyi. Siska, yang sudah berlatih karate selama bertahun-tahun, memutuskan untuk menampilkan demo bela diri.Selama berminggu-minggu sebelum kompetisi, rumah dipenuhi dengan suara Anisa yang berlatih. Ibu sering duduk di samping piano, memberikan komentar dan saran, kadang bahkan memanggil guru vokal untuk membantu Anisa.Sementara itu, Siska berlatih sendiri di halaman belakang. Setiap sore, ia menghabiskan berjam-jam menyempurnakan gerakannya, berkeringat di bawah terik matahari.Suatu hari, saat Siska sedang berlatih, Ibu keluar ke halaman."Siska, bisa tolong kecilkan suara hitunganmu? Anisa sedang berlatih di dalam, suaramu mengganggu konsentrasinya," pinta Ibu.Siska mengangguk, menelan kekecewaan. Ia bahkan tidak yakin ibunya tahu apa yang sedang ia latih.Malam sebelum kompetisi, keluarga berkumpul untuk makan malam. Ayah mengangkat gelasnya
Di ambang pintu, berdiri kakaknya, Dimas. Tapi bukan itu yang membuat Siska terkejut. Di samping Dimas, bergelayut mesra seorang wanita muda yang tidak dikenalnya. Tangan Dimas melingkar di pinggang wanita itu, gesture yang terlalu intim untuk sekadar teman.Siska cepat-cepat menunduk, bersembunyi di balik bukunya. Otaknya berpacu, mencoba memahami apa yang dilihatnya. 'Siapa wanita itu? Kenapa mereka begitu mesra?' batinnya bertanya-tanya.Dimas dan wanita itu memilih meja di sudut lain cafe, cukup jauh dari Siska namun masih dalam jarak pandangnya. Mereka tampak begitu bahagia, tertawa dan berbisik-bisik, seolah dunia hanya milik berdua.Siska merasakan dadanya sesak. Dia tahu Dimas sudah menikah dengan Dinda, selama empat tahun. Mereka adalah pasangan yang sempurna di mata semua orang. Siska mengerutkan kening, bertanya-tanya dalam hati."Siapa wanita itu? Kenapa mereka begitu mesra?" gumam Siska pada dirinya sendiri. Rasa penasaran mengalahkan akal sehatnya. "Aku harus ke sana, me
Dimas memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi melalui jalan-jalan kota yang padat. Jantungnya berdegup kencang, pikirannya dipenuhi kekhawatiran, takut semua kebohongannya terbongkar. Setibanya di rumah, ia membanting pintu mobil dan berlari masuk."Dinda! Dinda! Dimana kamu?" teriak Dimas, suaranya menggema di seluruh rumah.Ibunya yang sedang di dapur, terkejut mendengar teriakan putranya. Dengan cemas, ia bergegas ke ruang tamu."Ada apa, Dimas? Kenapa teriak-teriak begitu?" tanya ibunya dengan nada khawatir.Dimas terengah-engah, "Ibu tahu dimana Dinda?""Dia ada di kamar," jawab ibunya, lalu mengernyitkan dahi. "Memangnya ada apa, sih? Kamu kelihatan panik sekali."Dimas mengusap keningnya yang berkeringat. "Nggak ada apa-apa, Bu. Tadi Dinda nelpon, nyuruh aku cepat pulang.""Loh, terus kenapa kamu panik begitu? Apa terjadi sesuatu?" desak ibunya, rasa penasaran semakin menjadi."Aku... aku nggak tahu, Bu," Dimas tergagap. "Suaranya di telepon terdengar aneh. Aku khawatir..."Ibu
Dinda membuka pintu, wajahnya menunjukkan kebingungan. "Siska? Ada apa? Ada apa kamu mencariku?"Siska, dengan napas terengah-engah, mulai berbicara, "Ada sesuatu yang ingin kuceritakan, ini tentang-" Kalimatnya terputus ketika ia melihat Dimas berjalan menuju pintu. Mata mereka bertemu, dan Siska bisa melihat jelas isyarat di mata Dimas, memohon agar ia tidak memberitahukan rahasia apapun."Ada apa, Sis? Kenapa kamu diam? Apa yang mau kamu katakan?" tanya Dinda dengan penasaran.Dimas, yang berdiri di belakang Dinda, kembali memberi isyarat kepada Siska melalui gerakan bibirnya tanpa suara, "Aku mohon, jangan katakan apapun," sambil menggelengkan kepalanya pelan.Siska menelan ludah, pikirannya berpacu mencari alasan. "Mmm... itu... aku mau tanya," ia terbata-bata, berusaha mengalihkan pembicaraan. "Kata ibu, kamu melihat Anisa sekarang bekerja di butik sebagai pelayan toko. Apa itu benar?"Dinda menghela napas, terlihat sedikit kecewa. "Oh, kukira ada hal yang sangat penting yang i
"Dulu, Dinda pernah meminta tolong padaku untuk mengenalkannya dengan kakak kelas kita, namany Dirga."Adrian mendengarkan dengan saksama, tampak tertarik dengan cerita istrinya."Waktu itu aku berhasil mengajak Dirga untuk menemani kami ke toko buku. Tapi sebenarnya itu cuma akal-akalan kami agar Dinda bisa dekat dengan Dirga," jelas Anisa."Lalu apa yang terjadi selanjutnya?" tanya Adrian, tidak sabar mendengar kelanjutannya."Saat di toko buku, aku pura-pura dapat telepon dari ibu dan meninggalkan mereka berdua," lanjut Anisa. "Tapi keesokan harinya, Dinda langsung menjauhi dan mengacuhkanku.""Aneh sekali sayang." Ucap Adrian.Anisa mengangguk lesu. "Ya, aneh sekali memang, Mas. Mungkin terjadi sesuatu di antara mereka berdua saat di toko buku."Adrian mengelus lembut punggung istrinya. "Ya sudah, sayang. Jangan terlalu dipikirkan lagi, ya? Sekarang kamu istirahat saja dulu. Kamu kelihatan capek sekali."Anisa tersenyum lemah. "Iya, Mas. Makasih." Ia mengecup pipi Adrian sekilas.
"Daniel... Jadi dia dalang di balik semua ini," gumam Adrian, suaranya bergetar menahan amarah. "Tapi bagaimana mungkin? Dia bahkan tidak bekerja di kantorku."Adrian menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Tenang, Adrian. Berpikirlah jernih," bisiknya pada diri sendiri. "Jika bukan Daniel langsung, pasti ada orang dalam yang membantunya. Tapi siapa?"Adrian menghela napas berat, matanya menyapu area parkir yang dipenuhi kendaraan. Ia mengencangkan topi seragam juru parkirnya, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang mendera."Aku harus selidiki ini semua," gumam Adrian dalam hati, tangannya gemetar saat ia mengarahkan sebuah mobil ke tempat kosong."Siapa?" bisiknya pada diri sendiri. "Siapa orang yang sudah menghianatiku di kantor? Yang menjebakku hingga aku menderita seperti ini?"Di sebuah restaoran, Reza sedang menikmati makan siang bersama Lina di sebuah restoran mewah di dalam mall. Mereka duduk berdampingan, terlihat sangat mesra. Orang-orang yang melihat mungki
Namun, Mr. Lee mengangkat tangan, menghentikan Daniel. “Cukup. Saya juga akan memberi tahu kepada semua mitra bisnis kami di China tentang apa yang sudah terjadi hari ini. Saya ingin mereka tahu betapa bobroknya integritas Prawira Group.”Daniel tampak seperti dihantam badai. Wajahnya merah padam, tetapi kali ini bukan karena amarah, melainkan karena ketakutan. “Tuan Lee, tolong… tolong jangan lakukan itu. Anda tahu apa artinya bagi perusahaan kami jika reputasi kami hancur di pasar China. Kami tidak akan bisa bertahan. Saya mohon, beri kami kesempatan untuk memperbaiki kesalahan ini.”Mr. Lee menatapnya dengan dingin. “Kesempatan? Kesempatan itu Anda sudah sia-siakan ketika Anda memutuskan untuk bermain kotor. Saya tidak peduli berapa besar perusahaan Anda. Bagi kami, kejujuran adalah segalanya.”Setelah mengucapkan kata-kata terakhirnya, Mr. Lee meraih koper itu dan menyerahkannya kembali kepada Daniel. “Ambil u
Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Ruang konferensi besar di sebuah hotel bintang lima di pusat kota dipenuhi oleh perwakilan dari dua perusahaan besar, Aditya Corporation dan Prawira Group, serta para eksekutif dari Techno Guard, perusahaan teknologi nomor satu di Asia. Atmosfer di ruangan itu tegang, penuh dengan harapan, ambisi, dan strategi tersembunyi.Adrian duduk di barisan depan bersama timnya, mengenakan jas hitam yang rapi, dengan tatapan penuh keyakinan. Di sebelahnya, Satya dengan percaya diri memegang tumpukan dokumen presentasi yang baru saja selesai dipaparkan. Adrian menepuk bahu Satya pelan. "Kerja bagus. Presentasimu tadi sempurna. Semua poin yang aku ingin sampaikan berhasil kau jabarkan dengan jelas," ucapnya.Satya tersenyum lega. "Terima kasih, Pak Adrian. Semoga ini cukup untuk memenangkan kepercayaan mereka."Di sisi lain ruangan, Daniel duduk santai di kursinya dengan senyum sinis. Dia menyandarkan tubuhnya ke kursi, sesekali melirik ke
"Risiko?" Daniel menyambar dengan nada dingin, memotong kalimat pria itu sebelum selesai. "Risiko terbesar buatku adalah jika kalain semua gagal mendapatkan tender itu. Dan aku tidak akan mentolerir kegagalan lagi. Kalian tahu betapa malunya aku ketika Adrian memenangkan tender terakhir?!" Suaranya meninggi di akhir kalimat, membuat manajer itu menunduk dalam-dalam, takut untuk menjawab.Daniel menghela napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya. "Kalian pikir Adrian lebih pintar dariku? Tidak! Dia hanya lebih licik, lebih oportunis dan kebetulan lebih beruntung dari ku. Tapi kali ini, kita akan menunjukkan siapa yang sebenarnya memegang kendali." Dia berhenti sejenak, matanya menatap jauh ke jendela besar di belakang ruangan, mengamati gemerlap lampu kota yang seolah menertawakannya."Adrian pikir dia sudah bisa mengalahkanku dan akan terus berada di atas," gumam Daniel, lebih kepada dirinya sendiri. Kemudian dia berbalik menghadap timnya lagi, menambahkan dengan n
Anisa dan Siska saling berpandangan, ekspresi keduanya sama-sama penuh rasa penasaran. Kedatangan Dirga yang tiba-tiba membuat mereka bertanya-tanya."Kamu memangnya ada janji sama Dirga, Sis?" tanya Anisa, matanya menyipit seolah mencoba membaca pikiran adiknya.Siska menggeleng pelan. "Tidak, aku nggak punya janji apa-apa sama dia."Anisa mengerutkan kening, berpikir keras. "Terus, kenapa ya dia datang ke sini? Ada urusan apa kira-kira?" ucapnya sambil memiringkan kepala, jelas tak puas dengan jawaban Siska.Tiba-tiba, sebuah pemikiran melintas di benak Anisa, membuatnya tersenyum menggoda. "Jangan-jangan dia suka sama kamu, Sis! Makanya dia datang menemuimu kesini" celetuk Anisa dengan nada menggoda.Siska langsung merona, wajahnya memerah. "Apaan sih, Nis? Jangan ngomong yang aneh-aneh deh." Dia mencoba menutupi rasa malunya dengan memalingkan wajah. "Aku lagi nggak mau punya hubungan sama pria dulu. Karena aku masih trauma sama hubuganku dengan Reza."Anisa tersenyum lembut, mele
"Maafkan Mama, Nisa... Mama nggak pernah bermaksud membuat kalian merasa berbeda. Mama selalu berusaha adil, tapi mungkin Mama salah cara. Kalau sampai hubungan kalian jadi seperti ini, Mama ikut merasa bersalah."Anisa tersenyum lemah, mencoba menenangkan ibunya. "Mama, jangan salahkan diri Mama sendiri. Siska hanya perlu waktu untuk menyadari semua itu. Aku yakin nanti dia akan mengerti kalau perhatian Mama dan Papa selama ini bukan untuk membandingkan, tapi karena Mama ingin yang terbaik buat kami berdua."Adrian menimpali, mencoba mengalihkan suasana. "Sebaiknya kita berdoa saja. Semoga kejadian ini menjadi pelajaran buat Siska, supaya dia sadar kalau perlakuannya selama ini terhadap Anisa itu salah." Dia memeluk Anisa lebih erat, lalu mencium puncak kepalanya penuh kasih.Anisa mengangguk pelan. "Semoga saja, Mas. Aku cuma ingin dia sadar, kalau semua orang menyayanginya."Di sudut ruangan, Dirga berdiri diam, memperhatikan dari kejauhan. Tangannya terlipat di depan dada, tapi ma
Tak lama kemudian, suara langkah cepat terdengar. Dirga mendongak, melihat wajah-wajah yang familiar. Anisa tiba bersama keluarganya—Adrian, Dimas, serta kedua orang tua mereka. Wajah mereka dipenuhi kekhawatiran."Dirga! Apa yang sebenarnya terjadi pada Siska?" tanya Anisa panik, langsung mendekati Dirga. Tangannya menggenggam lengan Dirga erat.Dirga menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum menjawab. "Siska mengalami luka tembak. Dia masih berada di dalam, Anisa. Dokter masih berusaha menyelamatkan nyawanya. ""Tertembak?!" Anisa menjerit kecil, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Wajahnya langsung pucat. "Siapa yang melakukannya, Dirga? Bagaimana ini bisa terjadi?!"Adrian yang berdiri di belakangnya memasang wajah tegang. "Ya, Dirga. Tolong jelaskan pada kami. Apa yang sebenarnya terjadi?"Dirga mengangguk, berusaha menjelaskan semuanya sejelas mungkin meski hatinya sendiri masih terguncang. "Tadi, Siska diculik oleh dua orang pria suru
KAU HARUS MATI, SISKA!" Lina berteriak histeris.Sebelum siapa pun sempat bergerak, suara tembakan menggema di ruangan itu. Peluru itu meluncur cepat, dan semua terasa seperti berjalan lambat. "DOR!"Peluru itu menghantam perut Siska, membuat tubuhnya terhempas ke belakang. Siska jatuh ke lantai dengan tangan yang mencengkeram perutnya. Darah segera mengalir membasahi pakaiannya. "Ahh!" Siska mengerang kesakitan, tubuhnya menggeliat saat rasa nyeri yang luar biasa menyerangnya."SISKA!" Dirga berteriak panik, langsung berlari ke arahnya. Sementara polisi lainnya bereaksi cepat, menundukkan Lina dan menjatuhkannya ke lantai. Pistol yang dia genggam terlepas dari tangannya, dan dia menjerit seperti orang kesetanan. "Dia harus mati! Dia pantas mati!" Lina terus meronta meski tangannya sudah diborgol dengan kuat.Dirga berlutut di samping Siska, wajahnya penuh dengan kecemasan. "Siska, bertahanlah! Tolong, jangan tutup matamu! Bantuan medis sedang dalam perjalanan!" Dia menekan luka di pe
Kedua pria suruhan Lina yang sejak tadi diam mulai saling melirik. Pria gondrong itu akhirnya memberanikan diri berbicara, meski suaranya bergetar. "Bos... maaf, ini kayaknya sudah di luar kesepakatan kita. Kita cuma disuruh bawa wanita ini ke sini. Kalau urusan ngebunuh, kita nggak mau ikut campur."Lina langsung berbalik ke arah mereka, matanya penuh dengan api kemarahan. "Diam kalian! Dari awal kalian membawa dia ke sini saja, kalian sudah ikut campur. Dan jangan lupa, kalian sudah kubayar mahal. Jadi sekarang, lakukan perintahku, atau aku akan memastikan kalian tidak akan bisa lari dari ini!"Pria botak mulai berkeringat dingin. "Tapi, Bos... ini bukan pekerjaan kita. Kita nggak pernah ngelakuin hal seperti ini sebelumnya. Kalau ini ketahuan, kita bisa kena masalah besar."Lina mendesah kesal, lalu mengambil amplop lain dari tasnya dan melemparkannya ke meja di depan mereka. "Dengar baik-baik. Kalau kalian membantuku menghabisinya, aku akan bayar kalian dua kali lipat dari yang su
Wanita itu menatap Siska dengan pandangan dingin, matanya menyiratkan sesuatu yang sulit dijelaskan—antara kebencian, kepuasan, dan mungkin dendam yang membara. Dirga mengamati semua itu dengan hati yang semakin dipenuhi kegelisahan."Siapa dia sebenarnya? Apa hubungannya dengan Siska? Kenapa dia sampai tega melakukan ini?" pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui Dirga.Ia mencoba mengatur napasnya yang semakin berat, menanti saat yang tepat untuk bertindak, sementara kepalanya terus memutar berbagai kemungkinan. Di saat itu juga, suara sirene yang samar mulai terdengar di kejauhan, memberikan secercah harapan dalam situasi yang mencekam.Dirga merapat ke sisi rumah kosong itu, bersembunyi di bawah jendela yang retak. Ia menahan napas, berharap mendengar atau melihat apa yang sedang terjadi di dalam. Dari celah kecil di jendela, ia bisa melihat wanita cantik itu berdiri angkuh, sementara kedua pria suruhan membungkuk hormat di hadapannya.Wanita itu menyerahkan amplop cokelat yang