Bella dan Cici saling melempar pandang cemas, tapi tak ada yang berani memotong. Dinda meletakkan gelasnya, senyum misterius tersungging di bibirnya."Lihat saja nanti," ia berkata, matanya berkilat penuh tekad dan sesuatu yang lebih gelap. "Anisa akan menyadari, bahwa ia telah membuat kesalahan terbesar dalam hidupnya ketika ia meremehkanku. Dan aku? Aku akan ada di sana, menyaksikan semuanya terjadi."Dengan kalimat itu, Dinda mengakhiri pembicaraan mereka, meninggalkan Bella dan Cici dalam keheningan yang dipenuhi antisipasi dan sedikit rasa takut akan apa yang akan terjadi selanjutnya.Di sebuah kafe yang nyaman di pusat kota Jakarta, Siska duduk sendirian, jemarinya mengetuk-ngetuk cangkir kopi yang sudah setengah kosong. Matanya menatap jauh ke luar jendela, tapi pikirannya berada di tempat lain. Hiruk pikuk kota besar yang biasanya memenuhi pikirannya kini tak lebih dari sekadar latar belakang buram.Tiba-tiba, ponselnya berdering, memecah lamunannya. Nama "Ibu" muncul di layar
Sekolah mengadakan kompetisi bakat tahunan, dan baik Siska maupun Anisa memutuskan untuk ikut serta. Anisa, dengan suara emasnya, akan menyanyi. Siska, yang sudah berlatih karate selama bertahun-tahun, memutuskan untuk menampilkan demo bela diri.Selama berminggu-minggu sebelum kompetisi, rumah dipenuhi dengan suara Anisa yang berlatih. Ibu sering duduk di samping piano, memberikan komentar dan saran, kadang bahkan memanggil guru vokal untuk membantu Anisa.Sementara itu, Siska berlatih sendiri di halaman belakang. Setiap sore, ia menghabiskan berjam-jam menyempurnakan gerakannya, berkeringat di bawah terik matahari.Suatu hari, saat Siska sedang berlatih, Ibu keluar ke halaman."Siska, bisa tolong kecilkan suara hitunganmu? Anisa sedang berlatih di dalam, suaramu mengganggu konsentrasinya," pinta Ibu.Siska mengangguk, menelan kekecewaan. Ia bahkan tidak yakin ibunya tahu apa yang sedang ia latih.Malam sebelum kompetisi, keluarga berkumpul untuk makan malam. Ayah mengangkat gelasnya
Di ambang pintu, berdiri kakaknya, Dimas. Tapi bukan itu yang membuat Siska terkejut. Di samping Dimas, bergelayut mesra seorang wanita muda yang tidak dikenalnya. Tangan Dimas melingkar di pinggang wanita itu, gesture yang terlalu intim untuk sekadar teman.Siska cepat-cepat menunduk, bersembunyi di balik bukunya. Otaknya berpacu, mencoba memahami apa yang dilihatnya. 'Siapa wanita itu? Kenapa mereka begitu mesra?' batinnya bertanya-tanya.Dimas dan wanita itu memilih meja di sudut lain cafe, cukup jauh dari Siska namun masih dalam jarak pandangnya. Mereka tampak begitu bahagia, tertawa dan berbisik-bisik, seolah dunia hanya milik berdua.Siska merasakan dadanya sesak. Dia tahu Dimas sudah menikah dengan Dinda, selama empat tahun. Mereka adalah pasangan yang sempurna di mata semua orang. Siska mengerutkan kening, bertanya-tanya dalam hati."Siapa wanita itu? Kenapa mereka begitu mesra?" gumam Siska pada dirinya sendiri. Rasa penasaran mengalahkan akal sehatnya. "Aku harus ke sana, me
Dimas memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi melalui jalan-jalan kota yang padat. Jantungnya berdegup kencang, pikirannya dipenuhi kekhawatiran, takut semua kebohongannya terbongkar. Setibanya di rumah, ia membanting pintu mobil dan berlari masuk."Dinda! Dinda! Dimana kamu?" teriak Dimas, suaranya menggema di seluruh rumah.Ibunya yang sedang di dapur, terkejut mendengar teriakan putranya. Dengan cemas, ia bergegas ke ruang tamu."Ada apa, Dimas? Kenapa teriak-teriak begitu?" tanya ibunya dengan nada khawatir.Dimas terengah-engah, "Ibu tahu dimana Dinda?""Dia ada di kamar," jawab ibunya, lalu mengernyitkan dahi. "Memangnya ada apa, sih? Kamu kelihatan panik sekali."Dimas mengusap keningnya yang berkeringat. "Nggak ada apa-apa, Bu. Tadi Dinda nelpon, nyuruh aku cepat pulang.""Loh, terus kenapa kamu panik begitu? Apa terjadi sesuatu?" desak ibunya, rasa penasaran semakin menjadi."Aku... aku nggak tahu, Bu," Dimas tergagap. "Suaranya di telepon terdengar aneh. Aku khawatir..."Ibu
Dinda membuka pintu, wajahnya menunjukkan kebingungan. "Siska? Ada apa? Ada apa kamu mencariku?"Siska, dengan napas terengah-engah, mulai berbicara, "Ada sesuatu yang ingin kuceritakan, ini tentang-" Kalimatnya terputus ketika ia melihat Dimas berjalan menuju pintu. Mata mereka bertemu, dan Siska bisa melihat jelas isyarat di mata Dimas, memohon agar ia tidak memberitahukan rahasia apapun."Ada apa, Sis? Kenapa kamu diam? Apa yang mau kamu katakan?" tanya Dinda dengan penasaran.Dimas, yang berdiri di belakang Dinda, kembali memberi isyarat kepada Siska melalui gerakan bibirnya tanpa suara, "Aku mohon, jangan katakan apapun," sambil menggelengkan kepalanya pelan.Siska menelan ludah, pikirannya berpacu mencari alasan. "Mmm... itu... aku mau tanya," ia terbata-bata, berusaha mengalihkan pembicaraan. "Kata ibu, kamu melihat Anisa sekarang bekerja di butik sebagai pelayan toko. Apa itu benar?"Dinda menghela napas, terlihat sedikit kecewa. "Oh, kukira ada hal yang sangat penting yang i
"Dulu, Dinda pernah meminta tolong padaku untuk mengenalkannya dengan kakak kelas kita, namany Dirga."Adrian mendengarkan dengan saksama, tampak tertarik dengan cerita istrinya."Waktu itu aku berhasil mengajak Dirga untuk menemani kami ke toko buku. Tapi sebenarnya itu cuma akal-akalan kami agar Dinda bisa dekat dengan Dirga," jelas Anisa."Lalu apa yang terjadi selanjutnya?" tanya Adrian, tidak sabar mendengar kelanjutannya."Saat di toko buku, aku pura-pura dapat telepon dari ibu dan meninggalkan mereka berdua," lanjut Anisa. "Tapi keesokan harinya, Dinda langsung menjauhi dan mengacuhkanku.""Aneh sekali sayang." Ucap Adrian.Anisa mengangguk lesu. "Ya, aneh sekali memang, Mas. Mungkin terjadi sesuatu di antara mereka berdua saat di toko buku."Adrian mengelus lembut punggung istrinya. "Ya sudah, sayang. Jangan terlalu dipikirkan lagi, ya? Sekarang kamu istirahat saja dulu. Kamu kelihatan capek sekali."Anisa tersenyum lemah. "Iya, Mas. Makasih." Ia mengecup pipi Adrian sekilas.
"Daniel... Jadi dia dalang di balik semua ini," gumam Adrian, suaranya bergetar menahan amarah. "Tapi bagaimana mungkin? Dia bahkan tidak bekerja di kantorku."Adrian menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Tenang, Adrian. Berpikirlah jernih," bisiknya pada diri sendiri. "Jika bukan Daniel langsung, pasti ada orang dalam yang membantunya. Tapi siapa?"Adrian menghela napas berat, matanya menyapu area parkir yang dipenuhi kendaraan. Ia mengencangkan topi seragam juru parkirnya, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang mendera."Aku harus selidiki ini semua," gumam Adrian dalam hati, tangannya gemetar saat ia mengarahkan sebuah mobil ke tempat kosong."Siapa?" bisiknya pada diri sendiri. "Siapa orang yang sudah menghianatiku di kantor? Yang menjebakku hingga aku menderita seperti ini?"Di sebuah restaoran, Reza sedang menikmati makan siang bersama Lina di sebuah restoran mewah di dalam mall. Mereka duduk berdampingan, terlihat sangat mesra. Orang-orang yang melihat mungki
Lina segera melepaskan tangannya dari tubuh Reza. Dia terkejut dan menunduk malu, wajahnya memerah seperti kepiting rebus.Reza, dengan panik, segera berusaha menjelaskan, "Anisa, ini bukan seperti yang kamu pikirkan! Lina ini hanya teman kerjaku saja, tidak lebih. Sungguh!"Anisa tersenyum sinis, matanya menyiratkan kekecewaan yang mendalam. "Oh, begitu? Teman kerja atau teman tidur?" sindirnya tajam."Apa maksudmu, Nis?" Reza mulai kehilangan kesabaran. "Sumpah, dia ini hanya teman kerjaku. Kebetulan kami tadi habis meeting dengan klien di restoran sebelah. Kamu harus percaya padaku!"Anisa menggelengkan kepalanya, "Reza, aku tidak peduli dengan penjelasanmu. Yang pasti, aku bersyukur menolak perjodohan kita. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana nasibku kalau sampai menikah denganmu."Reza mulai emosi, "Jangan kurang ajar kamu, Nisa! Sudah beberapa kali aku bilang kalau dengan dia itu tidak ada hubungan apa-apa. Kalau tidak percaya, kamu tanya saja dia!" Dia menoleh ke arah Lina, m