Dinda membuka pintu, wajahnya menunjukkan kebingungan. "Siska? Ada apa? Ada apa kamu mencariku?"Siska, dengan napas terengah-engah, mulai berbicara, "Ada sesuatu yang ingin kuceritakan, ini tentang-" Kalimatnya terputus ketika ia melihat Dimas berjalan menuju pintu. Mata mereka bertemu, dan Siska bisa melihat jelas isyarat di mata Dimas, memohon agar ia tidak memberitahukan rahasia apapun."Ada apa, Sis? Kenapa kamu diam? Apa yang mau kamu katakan?" tanya Dinda dengan penasaran.Dimas, yang berdiri di belakang Dinda, kembali memberi isyarat kepada Siska melalui gerakan bibirnya tanpa suara, "Aku mohon, jangan katakan apapun," sambil menggelengkan kepalanya pelan.Siska menelan ludah, pikirannya berpacu mencari alasan. "Mmm... itu... aku mau tanya," ia terbata-bata, berusaha mengalihkan pembicaraan. "Kata ibu, kamu melihat Anisa sekarang bekerja di butik sebagai pelayan toko. Apa itu benar?"Dinda menghela napas, terlihat sedikit kecewa. "Oh, kukira ada hal yang sangat penting yang i
"Dulu, Dinda pernah meminta tolong padaku untuk mengenalkannya dengan kakak kelas kita, namany Dirga."Adrian mendengarkan dengan saksama, tampak tertarik dengan cerita istrinya."Waktu itu aku berhasil mengajak Dirga untuk menemani kami ke toko buku. Tapi sebenarnya itu cuma akal-akalan kami agar Dinda bisa dekat dengan Dirga," jelas Anisa."Lalu apa yang terjadi selanjutnya?" tanya Adrian, tidak sabar mendengar kelanjutannya."Saat di toko buku, aku pura-pura dapat telepon dari ibu dan meninggalkan mereka berdua," lanjut Anisa. "Tapi keesokan harinya, Dinda langsung menjauhi dan mengacuhkanku.""Aneh sekali sayang." Ucap Adrian.Anisa mengangguk lesu. "Ya, aneh sekali memang, Mas. Mungkin terjadi sesuatu di antara mereka berdua saat di toko buku."Adrian mengelus lembut punggung istrinya. "Ya sudah, sayang. Jangan terlalu dipikirkan lagi, ya? Sekarang kamu istirahat saja dulu. Kamu kelihatan capek sekali."Anisa tersenyum lemah. "Iya, Mas. Makasih." Ia mengecup pipi Adrian sekilas.
"Daniel... Jadi dia dalang di balik semua ini," gumam Adrian, suaranya bergetar menahan amarah. "Tapi bagaimana mungkin? Dia bahkan tidak bekerja di kantorku."Adrian menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Tenang, Adrian. Berpikirlah jernih," bisiknya pada diri sendiri. "Jika bukan Daniel langsung, pasti ada orang dalam yang membantunya. Tapi siapa?"Adrian menghela napas berat, matanya menyapu area parkir yang dipenuhi kendaraan. Ia mengencangkan topi seragam juru parkirnya, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang mendera."Aku harus selidiki ini semua," gumam Adrian dalam hati, tangannya gemetar saat ia mengarahkan sebuah mobil ke tempat kosong."Siapa?" bisiknya pada diri sendiri. "Siapa orang yang sudah menghianatiku di kantor? Yang menjebakku hingga aku menderita seperti ini?"Di sebuah restaoran, Reza sedang menikmati makan siang bersama Lina di sebuah restoran mewah di dalam mall. Mereka duduk berdampingan, terlihat sangat mesra. Orang-orang yang melihat mungki
Lina segera melepaskan tangannya dari tubuh Reza. Dia terkejut dan menunduk malu, wajahnya memerah seperti kepiting rebus.Reza, dengan panik, segera berusaha menjelaskan, "Anisa, ini bukan seperti yang kamu pikirkan! Lina ini hanya teman kerjaku saja, tidak lebih. Sungguh!"Anisa tersenyum sinis, matanya menyiratkan kekecewaan yang mendalam. "Oh, begitu? Teman kerja atau teman tidur?" sindirnya tajam."Apa maksudmu, Nis?" Reza mulai kehilangan kesabaran. "Sumpah, dia ini hanya teman kerjaku. Kebetulan kami tadi habis meeting dengan klien di restoran sebelah. Kamu harus percaya padaku!"Anisa menggelengkan kepalanya, "Reza, aku tidak peduli dengan penjelasanmu. Yang pasti, aku bersyukur menolak perjodohan kita. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana nasibku kalau sampai menikah denganmu."Reza mulai emosi, "Jangan kurang ajar kamu, Nisa! Sudah beberapa kali aku bilang kalau dengan dia itu tidak ada hubungan apa-apa. Kalau tidak percaya, kamu tanya saja dia!" Dia menoleh ke arah Lina, m
Reza mengeratkan pegangannya pada setir mobil. "Aku akan menghubungi Siska duluan. Memutar balikkan fakta. Akan kubilang Anisa salah paham dan cemburu karena dulu kami pernah dijodohkan.""Tapi bagaimana dengan aku, Mas? Posisiku bagaimana?" tanya Lina, ada nada cemas dalam suaranya.Reza terdiam sejenak sebelum menjawab, "Kamu tetap jadi rahasia kita, Lin. Setidaknya sampai aku berhasil menguasai saham perusahaan Hartono. Setelah itu, kita bebas."Lina mengangguk, meski ada kilat kekecewaan di matanya. "Baiklah, Mas. Aku akan bersabar. Tapi janji ya, setelah semuanya beres, kamu akan menceraikan Siska dan menikahiku?"Reza tersenyum tipis, "Tentu, sayang. Aku janji."Mobil mereka akhirnya tiba di apartemen Lina. Sebelum turun, Reza menatap Lina dalam-dalam. "Lin, apapun yang terjadi, kamu harus percaya padaku, karena kamu adalah wanita satu satunya yang aku cintai?"Lina mengangguk mantap, "Iya, mas. Aku selalu percaya padamu."Mereka turun dari mobil dan berjalan menuju lift aparteme
Siska yang mendengar itu langsung merasakan darahnya mendidih. Kecurigaannya semakin menjadi-jadi."Reza, kamu sekarang di mana?" tanyanya dengan nada menuntut. "Kenapa suaramu seperti orang bangun tidur? Kamu lagi sama selingkuhanmu, ya?"Hening sejenak di seberang telepon. Siska bisa mendengar suara gemerisik, seolah Reza sedang bergerak."Apa maksudmu, sayang?" Reza akhirnya menjawab, suaranya terdengar lebih jernih sekarang. "Aku di kantor. Tadi ketiduran sebentar karena kecapekan kerja."Siska mendengus tidak percaya. "Jangan bohong, Reza! Kakakku melihatmu di mall tadi, bersama seorang wanita. Katakan yang sebenarnya!"Reza terdiam lagi. Siska bisa merasakan jantungnya berdebar kencang menunggu jawaban suaminya."Siska, dengarkan aku," Reza akhirnya berkata dengan nada serius. "Aku tidak tahu apa yang sudah dilihat kakakmu, tapi aku bisa jelaskan. Kamu tahu kan hubungan mu dengan anisa tidak pernah baik, aku rasa dia ingin mengadu domba kita. Bisa kita bicarakan ini di rumah nan
Reza terkejut, tapi kemudian mengangguk setuju. "Tentu saja sayang. Lina merupakan orang penting di Samanta Corp dan dia cukup sibuk, nanti aku akan mengatur pertemuan dengannya. Kamu bisa tanya apa saja padanya. Aku tidak punya apa-apa untuk disembunyikan."Siska berbalik, menatap Reza dengan pandangan yang sulit diartikan. "Aku harap kamu benar, Reza. Karena jika aku menemukan satu kebohongan saja... aku tidak yakin bisa memaafkanmu. Walaupun aku sangat mencintaimu."Reza menelan ludah, menyadari betapa seriusnya situasi ini. "Aku mengerti, Siska. Aku berjanji, tidak ada kebohongan. Aku akan membuktikannya padamu.""Baiklah kalau begitu, hari ini aku mau tidur sendiri, tolong jangan ganggu aku. Untuk malam ini kamu tidur di kamar tamu saja." Ucap Siska masih dengan nada dingin.Reza hanya mengangguk pasrah menuruti keinginan istrinya. Menurut dia, yang terpenting sekarang Siska sudah tidak marah lagi dan mempercayai semua kebohongan yang sudah dia katakan. " Dasar perempuan bodoh, g
Dia menarik napas dalam sebelum melanjutkan, "Daniel sayang... ternyata Daniel yang menjadi dalang aku difitnah mengelapkan uang di kantor dan membuat aku sulit mendapatkan pekerjaan di tempat lain." Nada suaranya terdengar kesal."Apa??" Anisa terkejut. "Apa kamu yakin, Mas, kalau ini semua ulah Daniel? Bagaimana kamu tahu?"Adrian menjelaskan, "Kemarin aku bertemu dengan dia di restoran tempatku bekerja. Terjadi perdebatan di antara kami berdua. Sebelum pergi, dia bertanya padaku, 'Bagaimana rasanya difitnah menggelapkan uang perusahaan dan bagaimana rasanya di-blacklist dari banyak perusahaan?'"Anisa terkesiap mendengar penjelasan suaminya.Adrian melanjutkan, "Kalau bukan dia pelakunya, darimana dia tahu semua itu? "Tapi Mas," Anisa bertanya dengan nada bingung, "kalau dia pelakunya, bagaimana cara dia melakukannya? Sedangkan dia tidak bekerja di tempatmu."Adrian mengerutkan dahi, "Aku juga tidak tahu pasti sayang. Aku rasa dia telah menyuruh seseorang untuk memfitnahku. Ini ya