Reza terkejut, tapi kemudian mengangguk setuju. "Tentu saja sayang. Lina merupakan orang penting di Samanta Corp dan dia cukup sibuk, nanti aku akan mengatur pertemuan dengannya. Kamu bisa tanya apa saja padanya. Aku tidak punya apa-apa untuk disembunyikan."Siska berbalik, menatap Reza dengan pandangan yang sulit diartikan. "Aku harap kamu benar, Reza. Karena jika aku menemukan satu kebohongan saja... aku tidak yakin bisa memaafkanmu. Walaupun aku sangat mencintaimu."Reza menelan ludah, menyadari betapa seriusnya situasi ini. "Aku mengerti, Siska. Aku berjanji, tidak ada kebohongan. Aku akan membuktikannya padamu.""Baiklah kalau begitu, hari ini aku mau tidur sendiri, tolong jangan ganggu aku. Untuk malam ini kamu tidur di kamar tamu saja." Ucap Siska masih dengan nada dingin.Reza hanya mengangguk pasrah menuruti keinginan istrinya. Menurut dia, yang terpenting sekarang Siska sudah tidak marah lagi dan mempercayai semua kebohongan yang sudah dia katakan. " Dasar perempuan bodoh, g
Dia menarik napas dalam sebelum melanjutkan, "Daniel sayang... ternyata Daniel yang menjadi dalang aku difitnah mengelapkan uang di kantor dan membuat aku sulit mendapatkan pekerjaan di tempat lain." Nada suaranya terdengar kesal."Apa??" Anisa terkejut. "Apa kamu yakin, Mas, kalau ini semua ulah Daniel? Bagaimana kamu tahu?"Adrian menjelaskan, "Kemarin aku bertemu dengan dia di restoran tempatku bekerja. Terjadi perdebatan di antara kami berdua. Sebelum pergi, dia bertanya padaku, 'Bagaimana rasanya difitnah menggelapkan uang perusahaan dan bagaimana rasanya di-blacklist dari banyak perusahaan?'"Anisa terkesiap mendengar penjelasan suaminya.Adrian melanjutkan, "Kalau bukan dia pelakunya, darimana dia tahu semua itu? "Tapi Mas," Anisa bertanya dengan nada bingung, "kalau dia pelakunya, bagaimana cara dia melakukannya? Sedangkan dia tidak bekerja di tempatmu."Adrian mengerutkan dahi, "Aku juga tidak tahu pasti sayang. Aku rasa dia telah menyuruh seseorang untuk memfitnahku. Ini ya
Anisa berdiri gemetar, napasnya terengah-engah. "Jaga mulutmu, Siska. Aku tidak terima kalau kamu menghina dan merendahkan aku seperti itu, dan perlu kau ingat, jangan pernah membawa-bawa suamiku dalam masalah ini."Suasana kafe menjadi tegang. Beberapa pengunjung mulai berbisik-bisik, sementara yang lain menatap kedua wanita itu dengan campuran rasa ingin tahu dan khawatir.Siska perlahan bangkit, matanya menatap Anisa dengan penuh kebencian. "Kau... berani-beraninya kau menamparku?"Anisa tidak bergeming, balas menatap Siska. "Aku tidak akan diam saja melihat kau menghina keluargaku, Siska. Buka matamu. Suamimu yang berselingkuh, bukan aku yang menggodanya."Ketegangan di antara mereka semakin meningkat, seolah-olah ada listrik yang mengalir di udara. Pengunjung kafe menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.Siska, masih memegang pipinya yang memerah, menatap Anisa dengan tatapan penuh amarah. "Kau pikir dengan menamparku, aku akan percaya padamu? Justru ini membukt
"Ayah?" Adrian tergagap, melihat ayah mertuanya berdiri dengan wajah merah padam menahan amarah."Jangan pernah panggil aku ayah, karena aku bukan ayahmu," ucap Pak Hartono, pria paruh baya dengan aura mengintimidasi, menatap Adrian dari atas ke bawah dengan pandangan jijik. Matanya terpaku pada seragam juru parkir yang dikenakan Adrian."Jadi benar yang dikatakan Dimas," desis Pak Hartono, suaranya penuh kebencian. "Setelah dipecat kau menjadi tukang parkir murahan?"Adrian menelan ludah, berusaha tetap tenang. "Pak, saya—""Diam kau, sampah!" bentak Pak Hartono, mendorong Adrian ke samping dan menerobos masuk. "Di mana Anisa? Anisa!"Anisa yang mendengar keributan, keluar dari kamar dengan wajah pucat. "Ayah? Kenapa ayah ada di sini?"Pak Hartono menatap putrinya dengan murka. "Apa benar yang dikatakan Siska? Kalau kau sudah mengganggu rumah tangganya dengan Reza?"Adrian terkejut. "Pak, Anisa tidak—""Diam kau!" bentak Pak Hartono. "Ini urusan keluargaku!"Anisa menggeleng kuat. "A
Untuk sesaat, Pak Hartono terlihat ragu. Namun melihat wajah pucat putrinya yang terbaring lemah di lantai, rasa kesal yang tadi memenuhi hatinya seketika menguap. Digantikan oleh rasa cemas yang mencekam."Anisa, putriku..." gumam Pak Hartono lirih, tangannya yang tadi mengepal kuat kini bergetar menyentuh wajah Anisa.Adrian melihat perubahan ekspresi mertuanya. Untuk sesaat, topeng kemarahan Pak Hartono runtuh, menampakkan seorang ayah yang khawatir akan keselamatan putrinya."Baik, ayo cepat!" Pak Hartono akhirnya berkata, suaranya kini dipenuhi urgensi. "Mobilku ada di depan."Tanpa membuang waktu, Adrian dengan hati-hati mengangkat tubuh Anisa. Pak Hartono bergegas membukakan pintu dan memimpin jalan ke mobilnya yang terparkir di depan gedung rumahnya.Saat mereka tiba di mobil, Pak Hartono membuka pintu belakang. "Biar aku yang menyetir. Kau jaga Anisa saja di belakang," perintahnya pada Adrian, nada suaranya kini lebih lunak dari sebelumnya.Adrian mengangguk, dengan cepat dia
"Pak, saya tidak akan pernah meninggalkan anak bapak, kecuali Anisa sendiri yang meminta. Sudah beberapa kali kami bilang pada kalian semua, kami itu hidup bahagia. Walaupun kami tidak hidup mewah, tapi kami tidak pernah kekurangan. Tolong Bapak mengerti dan berhenti untuk memisahkan kami, apalagi menjodohkan Anisa dengan pria lain. Bagaimanapun juga, Anisa itu istri saya, Pak."Pak Hartono terkejut mendengar Adrian yang biasanya diam kini berani membantah. Matanya menyipit, menatap Adrian dengan tatapan menilai.Sebelum Pak Hartono sempat membalas, seorang dokter keluar dari ruang pemeriksaan. "Keluarga Ny. Anisa?" panggilnya.Adrian dan Pak Hartono segera menghampiri dokter tersebut, pertengkaran mereka terlupakan sejenak. "Bagaimana keadaan istri saya, dok?" tanya Adrian cemas.Dokter tersebut tersenyum menenangkan. "Ny. Anisa dan bayinya baik-baik saja. Dia pingsan karena kelelahan dan tekanan darah rendah. Kami sudah memberinya infus dan vitamin. Sebentar lagi dia akan dipindahka
"Kamu selalu membela suamimu yang tidak berguna ini," balas Pak Hartono dengan nada tinggi.Adrian mendekat, menggenggam tangan Anisa erat, berusaha menenangkan istrinya."Ayah... sekali lagi aku mohon hentikan," pinta Anisa dengan suara bergetar. "Sudah cukup Ayah menghina suamiku."Dinda, yang dari tadi diam, terlihat tersenyum tipis melihat perdebatan di depannya. 'Rasakan kau Anisa, sekarang semua orang membencimu,' batinnya."Dasar anak tidak tahu diuntung," geram Pak Hartono. "Menyesal aku sudah menolongmu tadi.""Pa... cukup," ibu Anisa mencoba menenangkan suaminya. "Anakmu ini sedang sakit, jangan berkata seperti itu.""Bela saja anakmu ini terus," balas Pak Hartono kesal. "Terserah kamu. Kamu urus anakmu ini, aku akan pergi."Dengan itu, Pak Hartono meninggalkan ruangan dengan amarah yang memuncak. Dimas dan Dinda juga memutuskan untuk pergi."Ibu, ayo ikut pulang. Kami mau balik sekarang, karena sudah tidak ada yang perlu di khawatirkan lagi di sini," ajak Dimas."Kamu pulan
Manajer restoran, seorang pria paruh baya dengan setelan rapi, muncul di tengah kerumunan."Pak Manajer!" Adrian merasa lega. "Ada masalah dengan mobil bapak ini. Saya sudah menyarankan untuk memeriksa CCTV, tapi—""Tidak perlu CCTV!" potong si pria gempal. "Juru parkir ini jelas-jelas telah merusak mobil saya. Pokoknya saya minta ganti rugi pada restoran anda!"Manajer itu mengangguk sopan ke arah pria gempal. "Mohon maaf atas ketidaknyamanan ini, Pak. Bisa tolong jelaskan lebih detail apa yang terjadi?" Kemudian ia berpaling ke Adrian, "Adrian, bisa kau ceritakan versimu?"Adrian mulai menjelaskan kejadian yang ia alami, tapi belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, pria gempal itu langsung menyela."Omong kosong!" serunya. "Dia jelas-jelas ceroboh saat memarkir mobil lain. Pasti mobilnya menyerempet mobilku!""Tapi Pak, saya yakin—" Adrian mencoba membela diri."Cukup!" potong pria gempal itu lagi. "Kau hanya mencari-cari alasan!"Manajer itu mengangkat tangannya, berusaha menenan