Anisa berdiri gemetar, napasnya terengah-engah. "Jaga mulutmu, Siska. Aku tidak terima kalau kamu menghina dan merendahkan aku seperti itu, dan perlu kau ingat, jangan pernah membawa-bawa suamiku dalam masalah ini."Suasana kafe menjadi tegang. Beberapa pengunjung mulai berbisik-bisik, sementara yang lain menatap kedua wanita itu dengan campuran rasa ingin tahu dan khawatir.Siska perlahan bangkit, matanya menatap Anisa dengan penuh kebencian. "Kau... berani-beraninya kau menamparku?"Anisa tidak bergeming, balas menatap Siska. "Aku tidak akan diam saja melihat kau menghina keluargaku, Siska. Buka matamu. Suamimu yang berselingkuh, bukan aku yang menggodanya."Ketegangan di antara mereka semakin meningkat, seolah-olah ada listrik yang mengalir di udara. Pengunjung kafe menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.Siska, masih memegang pipinya yang memerah, menatap Anisa dengan tatapan penuh amarah. "Kau pikir dengan menamparku, aku akan percaya padamu? Justru ini membukt
"Ayah?" Adrian tergagap, melihat ayah mertuanya berdiri dengan wajah merah padam menahan amarah."Jangan pernah panggil aku ayah, karena aku bukan ayahmu," ucap Pak Hartono, pria paruh baya dengan aura mengintimidasi, menatap Adrian dari atas ke bawah dengan pandangan jijik. Matanya terpaku pada seragam juru parkir yang dikenakan Adrian."Jadi benar yang dikatakan Dimas," desis Pak Hartono, suaranya penuh kebencian. "Setelah dipecat kau menjadi tukang parkir murahan?"Adrian menelan ludah, berusaha tetap tenang. "Pak, saya—""Diam kau, sampah!" bentak Pak Hartono, mendorong Adrian ke samping dan menerobos masuk. "Di mana Anisa? Anisa!"Anisa yang mendengar keributan, keluar dari kamar dengan wajah pucat. "Ayah? Kenapa ayah ada di sini?"Pak Hartono menatap putrinya dengan murka. "Apa benar yang dikatakan Siska? Kalau kau sudah mengganggu rumah tangganya dengan Reza?"Adrian terkejut. "Pak, Anisa tidak—""Diam kau!" bentak Pak Hartono. "Ini urusan keluargaku!"Anisa menggeleng kuat. "A
Untuk sesaat, Pak Hartono terlihat ragu. Namun melihat wajah pucat putrinya yang terbaring lemah di lantai, rasa kesal yang tadi memenuhi hatinya seketika menguap. Digantikan oleh rasa cemas yang mencekam."Anisa, putriku..." gumam Pak Hartono lirih, tangannya yang tadi mengepal kuat kini bergetar menyentuh wajah Anisa.Adrian melihat perubahan ekspresi mertuanya. Untuk sesaat, topeng kemarahan Pak Hartono runtuh, menampakkan seorang ayah yang khawatir akan keselamatan putrinya."Baik, ayo cepat!" Pak Hartono akhirnya berkata, suaranya kini dipenuhi urgensi. "Mobilku ada di depan."Tanpa membuang waktu, Adrian dengan hati-hati mengangkat tubuh Anisa. Pak Hartono bergegas membukakan pintu dan memimpin jalan ke mobilnya yang terparkir di depan gedung rumahnya.Saat mereka tiba di mobil, Pak Hartono membuka pintu belakang. "Biar aku yang menyetir. Kau jaga Anisa saja di belakang," perintahnya pada Adrian, nada suaranya kini lebih lunak dari sebelumnya.Adrian mengangguk, dengan cepat dia
"Pak, saya tidak akan pernah meninggalkan anak bapak, kecuali Anisa sendiri yang meminta. Sudah beberapa kali kami bilang pada kalian semua, kami itu hidup bahagia. Walaupun kami tidak hidup mewah, tapi kami tidak pernah kekurangan. Tolong Bapak mengerti dan berhenti untuk memisahkan kami, apalagi menjodohkan Anisa dengan pria lain. Bagaimanapun juga, Anisa itu istri saya, Pak."Pak Hartono terkejut mendengar Adrian yang biasanya diam kini berani membantah. Matanya menyipit, menatap Adrian dengan tatapan menilai.Sebelum Pak Hartono sempat membalas, seorang dokter keluar dari ruang pemeriksaan. "Keluarga Ny. Anisa?" panggilnya.Adrian dan Pak Hartono segera menghampiri dokter tersebut, pertengkaran mereka terlupakan sejenak. "Bagaimana keadaan istri saya, dok?" tanya Adrian cemas.Dokter tersebut tersenyum menenangkan. "Ny. Anisa dan bayinya baik-baik saja. Dia pingsan karena kelelahan dan tekanan darah rendah. Kami sudah memberinya infus dan vitamin. Sebentar lagi dia akan dipindahka
"Kamu selalu membela suamimu yang tidak berguna ini," balas Pak Hartono dengan nada tinggi.Adrian mendekat, menggenggam tangan Anisa erat, berusaha menenangkan istrinya."Ayah... sekali lagi aku mohon hentikan," pinta Anisa dengan suara bergetar. "Sudah cukup Ayah menghina suamiku."Dinda, yang dari tadi diam, terlihat tersenyum tipis melihat perdebatan di depannya. 'Rasakan kau Anisa, sekarang semua orang membencimu,' batinnya."Dasar anak tidak tahu diuntung," geram Pak Hartono. "Menyesal aku sudah menolongmu tadi.""Pa... cukup," ibu Anisa mencoba menenangkan suaminya. "Anakmu ini sedang sakit, jangan berkata seperti itu.""Bela saja anakmu ini terus," balas Pak Hartono kesal. "Terserah kamu. Kamu urus anakmu ini, aku akan pergi."Dengan itu, Pak Hartono meninggalkan ruangan dengan amarah yang memuncak. Dimas dan Dinda juga memutuskan untuk pergi."Ibu, ayo ikut pulang. Kami mau balik sekarang, karena sudah tidak ada yang perlu di khawatirkan lagi di sini," ajak Dimas."Kamu pulan
Manajer restoran, seorang pria paruh baya dengan setelan rapi, muncul di tengah kerumunan."Pak Manajer!" Adrian merasa lega. "Ada masalah dengan mobil bapak ini. Saya sudah menyarankan untuk memeriksa CCTV, tapi—""Tidak perlu CCTV!" potong si pria gempal. "Juru parkir ini jelas-jelas telah merusak mobil saya. Pokoknya saya minta ganti rugi pada restoran anda!"Manajer itu mengangguk sopan ke arah pria gempal. "Mohon maaf atas ketidaknyamanan ini, Pak. Bisa tolong jelaskan lebih detail apa yang terjadi?" Kemudian ia berpaling ke Adrian, "Adrian, bisa kau ceritakan versimu?"Adrian mulai menjelaskan kejadian yang ia alami, tapi belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, pria gempal itu langsung menyela."Omong kosong!" serunya. "Dia jelas-jelas ceroboh saat memarkir mobil lain. Pasti mobilnya menyerempet mobilku!""Tapi Pak, saya yakin—" Adrian mencoba membela diri."Cukup!" potong pria gempal itu lagi. "Kau hanya mencari-cari alasan!"Manajer itu mengangkat tangannya, berusaha menenan
Sebuah senyum tipis merekah di wajah Daniel, matanya berkilat berbahaya. "Bagus," bisiknya pelan, seolah menikmati setiap suku kata. "Bagus sekali."Pria gempal itu menelan ludah, merasakan atmosfer yang semakin menegang. "Ini... tadi saya sempat khawatir, Pak," akunya dengan suara bergetar. "Saat dibawa ke ruang CCTV, saya kira saya akan ketahuan kalau saya sendirilah yang membuat mobil itu tergores."Daniel mendengus meremehkan. "Kamu kira aku membuat rencana tanpa pemikiran yang matang?""Ja... jadi Bapak yang membuat CCTV itu rusak?" tanya pria gempal itu, matanya membulat takjub. "Bagaimana caranya, Pak?"Senyum licik Daniel melebar, memperlihatkan deretan gigi putihnya yang sempurna. "Dengan adanya uang, semua masalah akan beres," ucapnya santai, seolah baru saja membicarakan cuaca.Tanpa basa-basi, Daniel merogoh saku jasnya dan mengeluarkan sebuah amplop coklat tebal. "Ini upahmu karena sudah bekerja dengan baik," ujarnya, menyodorkan amplop itu.Tangan pria gempal itu sedikit
Seketika, Adrian tersentak. Tangannya terkepal erat, amarah berkobar di matanya. "Kalau benar ini ulahnya, dia benar-benar keterlaluan! Kalau aku bertemu dengannya sekali lagi, aku akan membuat perhitungan dengannya!" geramnya."Mas, jangan berbuat yang aneh-aneh," Anisa memperingatkan, suaranya penuh kekhawatiran. "Dia itu punya uang dan kekuasaan. Aku tidak mau Mas kenapa-kenapa. Kalau itu terjadi, bagaimana dengan aku dan anak-anak kita?"Mendengar itu, amarah Adrian perlahan surut. Ia menghela napas, berusaha menenangkan diri. "Iya, kamu benar, Nis. Maafkan aku. Aku hanya terbawa emosi."Setelah hening sejenak, Adrian bertanya, "Oh ya, Nis, besok kamu kerja pagi apa siang?""Besok aku kerja siang, Mas. Memang kenapa?" Anisa balik bertanya."Kebetulan kalau begitu," ujar Adrian, secercah harapan muncul di matanya. "Jadi paginya aku punya waktu mencari pekerjaan."Anisa tersenyum lembut, tangannya menggenggam tangan Adrian erat. "Iya, Mas. Kamu semangat ya. Aku dan anak-anak selalu
Ketegangan Memuncak di Aditya CorporationDi aula besar Aditya Corporation, suasana semakin panas. Para karyawan berbisik-bisik, saling bertanya-tanya mengenai keberadaan Adrian yang hingga kini belum juga muncul.Di deretan kursi depan, Satya duduk dengan wajah cemas. Pak Benny, yang duduk di sebelahnya, menoleh mendekat dan berbisik pelan, "Pak Satya, bagaimana? Apakah Bapak sudah bisa menghubungi Pak Adrian?"Satya menggeleng, napasnya terdengar berat. "Belum, Pak. Dari tadi nomornya tidak bisa dihubungi. Saya sudah coba berulang kali."Pak Benny mengerutkan kening, semakin khawatir. "Apa Bapak sudah coba menghubungi Pak Aditya?""Sudah, Pak. Kata beliau, Pak Adrian sudah berangkat dari tadi pagi menuju ke kantor. Tapi anehnya, sampai sekarang belum juga sampai," jawab Satya, suaranya memantulkan kegelisahan.Pak Benny mulai gelisah, melihat ke sekeliling aula yang mulai dipenuhi bisik-bisik khawatir dari para karyawan. "Kalau begitu, kem
Hari yang dinantikan tiba—hari penyerahan jabatan di kantor, dan Adrian tampak penuh percaya diri. Seperti biasa, Anisa, istrinya, menyiapkan segala keperluan suaminya dengan telaten. "Mas, sarapannya sudah siap. Ayo, kita sarapan sama-sama," panggil Anisa dari ruang makan, melihat Adrian masih berdiri di depan cermin, sibuk memasang dasinya."Iya, sayang. Sebentar lagi, tinggal pasang dasi ini saja. Nanti aku ke meja makan," jawab Adrian sambil tersenyum."Baik, Mas. Kalau begitu, aku lihat Alisha dulu ya. Aku mau bangunin dia. Siapa tahu, dia mau sarapan bareng Papa," ujar Anisa sebelum berlalu.Adrian mengangguk ringan. Setelah dasinya rapi, ia turun ke ruang makan, di mana Aditya, ayahnya, sudah menunggu sambil membaca koran pagi."Pagi, Pa," sapa Adrian sembari menarik kursi dan duduk di hadapan ayahnya."Pagi, Nak. Bagaimana? Sudah siap untuk hari ini?" tanya Aditya, menurunkan korannya dan menatap putranya penuh harap."Tentu, Pa. Aku sudah mempersiapkan semuanya dengan matang.
Reza langsung menegang. "Apa? Tidak mau. Aku bukan OB. Kalau kamu mau kopi, suruh saja OB untuk membuatkan," balasnya tegas, mencoba mempertahankan sisa harga dirinya.Namun, Dendi tidak kehabisan akal. Dengan wajah penuh kepura-puraan, ia berkata, "Oh, OB kita sedang sibuk semua. Lagi ada masalah ruangan bocor, jadi mereka semua dikerahkan ke sana.""Tetap saja aku tidak mau. Itu bukan jobdesk-ku!" ucap Reza dengan suara yang mulai meninggi.Dendi tersenyum licik. "Oooh, jadi kamu tidak mau? Baiklah, nanti aku akan buat laporan kalau kamu melawan perintah atasan. Akan ku buat seolah-olah kamu tidak mau bekerja sama. Kau tahu apa akibatnya, kan? Kamu bisa dipecat, Reza. Apalagi sekarang posisimu sudah sangat lemah di perusahaan ini."Reza terdiam. Dalam hati, ia menahan luapan emosinya. "Sialan! Orang-orang di perusahaan ini sekarang semua berani melawanku. Kalau aku tidak mengiku
Reza hanya menoleh sekilas, tanpa berkata apa-apa, dan mengangguk dengan malas. Nindi berjalan di depan, memimpin langkah. Sepanjang perjalanan, beberapa karyawan lain yang mengenal Nindi berusaha bertanya tanpa suara. Dengan hanya menggerakkan bibir, mereka bertanya, "Kenapa Pak Reza?"Nindi, yang sudah terbiasa membaca gerakan mulut rekan-rekannya, hanya menjawab singkat, "Nanti aku ceritakan." Mereka pun mengangguk, sambil memandang Reza dengan penuh tanda tanya.Setelah beberapa menit, mereka tiba di bagian produksi. Nindi berhenti di depan sebuah meja sempit yang diletakkan di pojok ruangan. Di atas meja itu, hanya ada sebuah buku besar yang tampak usang dan tumpukan berkas yang menjulang seperti menara."Ini meja saya? Apa tidak salah?!" ucap Reza terkejut. Ia memandang meja itu seolah-olah melihat sesuatu yang sangat hina. "Dan... di mana laptop saya untuk bekerja?"N
Keesokan Pagi di Aditya CorporationPagi itu, Adrian berdiri di depan jendela ruangan Satya, memandang ke luar dengan tatapan tajam. Sinar matahari yang menerobos kaca tidak mampu mengusir dinginnya suasana di dalam ruangan. Di belakangnya, Pak Beni duduk dengan ekspresi tegas, bersiap menghadapi apa yang sudah direncanakan Adrian."Bagaimana, Pak Beni? Apa Anda sudah siap?" tanya Adrian, suaranya datar namun tegas."Saya sudah siap, Pak Adrian untuk mengemban tugas yang akan bapak berikan, sepertinya sudah waktunya semua ini dibenahi," jawab Pak Beni mantap.Adrian mengangguk perlahan. "Bagus. Kalau begitu, ayo kita sekarang pergi keruangan Reza dan memberi pelajaran yang tak akan pernah bisa dia lupakan."Adrian melangkah keluar, diikuti oleh Pak Beni dan Satya. Sepanjang perjalanan ke ruangan Reza, bisik-bisik mulai terdengar di antara karyawan. Wajah Adrian yang jarang terlihat di kantor, serta kehadiran Pak Beni yang legendaris, membuat suasana penuh teka-teki."Siapa mereka? Ken
Keesokan harinya, Adrian mengajak Satya untuk bertemu dengan Pak Beni, mantan manajer keuangan Aditya Corporation yang sebelumnya dipecat oleh Darco.Sesampainya di depan sebuah rumah sederhana, Adrian bertanya dengan nada ragu, "Satya, kamu yakin ini rumah Pak Beni?""Saya yakin, Pak. Kemarin saya sudah meminta salah satu staf personalia mencarikan alamatnya," jawab Satya tegas."Kalau begitu, ayo kita turun," ucap Adrian sambil membuka pintu mobil.Mereka melangkah ke pintu rumah dan mengetuknya. Ketukan kedua akhirnya membuka pintu, menampilkan wajah Pak Beni yang terlihat terkejut namun dengan senyum ramah seperti biasanya."Pak Adrian?" ucapnya dengan nada tak percaya. Namun ia segera mempersilakan mereka masuk. "Silakan masuk, Pak."Adrian dan Satya mengangguk sopan, mengikuti Pak Beni ke dalam. Mereka duduk di ruang tamu kecil yang nyaman, lalu Pak Beni memanggil istrinya."Darmi, tolong buatkan tiga kopi, ya. Ada tamu yang datang," teriaknya."Siapa yang datang, Pak?" terdenga
Reza menelan ludah, menahan rasa kesalnya. Namun, ia tidak punya pilihan selain menuruti. “Ba… baik, Pak Adrian,” jawabnya dengan suara pelan.“Bagus,” jawab Adrian singkat, sambil tersenyum dingin. “Sekarang, kau bisa pergi. Dan, aku harap kau tidak mencoba menguping.”Reza mengangguk sekali lagi, wajahnya merah padam karena menahan amarah. Ia melangkah keluar sambil mengepalkan tangannya erat-erat.Setelah pintu tertutup, Darco tertawa kecil untuk mencairkan suasana. “Adrian, kamu benar-benar berubah. Aku kagum melihat sikap tegasmu.”Adrian tetap berdiri tegak, tidak ikut tersenyum. Tatapannya langsung menusuk ke arah Darco. “Om, aku ke sini bukan untuk bermain kata-kata. Aku ingin langsung ke inti pembicaraan kita.”Darco kembali ke kursinya, berusaha terlihat tenang meskipun dadanya bergemuruh. “Baiklah, Adrian. Katakan saja, apa tujuanmu datang pagi-pagi seperti ini?”Adrian mendekat, lalu duduk di kursi berhadapan dengan Darco. Ia meletakkan tangan di meja, menatap Darco dengan
Pak Aditya menghela napas panjang, lalu menatap Adrian penuh keyakinan. "Papa serahkan semuanya padamu, Adrian. Apa pun yang kamu lakukan, Papa akan selalu mendukungmu."Adrian tersenyum lega. "Terima kasih, Pa. Kalau begitu, kami pamit ke kamar dulu."Pak Aditya hanya mengangguk, menatap Adrian, Anisa, dan Alisha dengan perasaan bahagia sekaligus harapan besar di hatinya.Keesokan harinya di Aditya Corporation, suasana di ruangan Darco dipenuhi ketegangan.Darco berdiri mondar-mandir sambil terus melirik ke arah pintu, sementara Reza duduk dengan wajah cemas. "Reza, apakah kamu sudah melihat Adrian datang?" tanya Darco dengan nada mendesak."Belum, Pak. Saya belum melihat Adrian," jawab Reza, sama gelisahnya.Darco menghentikan langkahnya sejenak. "Aku yakin pagi ini dia pasti akan datang untuk mengambil alih perusahaan ini. Ini tidak bisa kita biarkan sebelum kita menjalankan rencana kita untuk mengambil alih semuanya!" katanya dengan nada marah."Jadi, apa yang akan Bapak lakukan?"
Di dalam perjalanan menuju tujuan mereka, suasana di dalam mobil mewah itu penuh dengan percakapan yang mengungkap sisi emosional Adrian dan istrinya, Anisa. Adrian mencoba menjelaskan betapa berat beban yang harus ia pikul selama ini."Begitulah, sayang. Maafkan aku yang tidak bisa menemui kamu selama ini. Karena aku harus menjalankan semua rencanaku sampai benar-benar berhasil," ucap Adrian dengan nada lembut namun tegas.Anisa menggenggam tangan suaminya yang masih memegang kemudi. "Tidak apa-apa, Mas. Aku mengerti posisimu," balas Anisa dengan tulus. Kemudian, dia menatap Adrian, penuh harap. "Tapi, kapan kamu akan merebut kembali Aditya Corporation dari pamanmu itu?"Adrian menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Besok, sayang. Semua rencanaku akan berjalan sesuai jadwal. Apalagi sekarang Reza sudah mengetahui bahwa aku adalah anak dari pemilik Aditya Corporation. Dia pasti akan melaporkan hal ini kepada Om Darco, dan aku yakin Om Darco tidak akan ting