Sebuah senyum tipis merekah di wajah Daniel, matanya berkilat berbahaya. "Bagus," bisiknya pelan, seolah menikmati setiap suku kata. "Bagus sekali."Pria gempal itu menelan ludah, merasakan atmosfer yang semakin menegang. "Ini... tadi saya sempat khawatir, Pak," akunya dengan suara bergetar. "Saat dibawa ke ruang CCTV, saya kira saya akan ketahuan kalau saya sendirilah yang membuat mobil itu tergores."Daniel mendengus meremehkan. "Kamu kira aku membuat rencana tanpa pemikiran yang matang?""Ja... jadi Bapak yang membuat CCTV itu rusak?" tanya pria gempal itu, matanya membulat takjub. "Bagaimana caranya, Pak?"Senyum licik Daniel melebar, memperlihatkan deretan gigi putihnya yang sempurna. "Dengan adanya uang, semua masalah akan beres," ucapnya santai, seolah baru saja membicarakan cuaca.Tanpa basa-basi, Daniel merogoh saku jasnya dan mengeluarkan sebuah amplop coklat tebal. "Ini upahmu karena sudah bekerja dengan baik," ujarnya, menyodorkan amplop itu.Tangan pria gempal itu sedikit
Seketika, Adrian tersentak. Tangannya terkepal erat, amarah berkobar di matanya. "Kalau benar ini ulahnya, dia benar-benar keterlaluan! Kalau aku bertemu dengannya sekali lagi, aku akan membuat perhitungan dengannya!" geramnya."Mas, jangan berbuat yang aneh-aneh," Anisa memperingatkan, suaranya penuh kekhawatiran. "Dia itu punya uang dan kekuasaan. Aku tidak mau Mas kenapa-kenapa. Kalau itu terjadi, bagaimana dengan aku dan anak-anak kita?"Mendengar itu, amarah Adrian perlahan surut. Ia menghela napas, berusaha menenangkan diri. "Iya, kamu benar, Nis. Maafkan aku. Aku hanya terbawa emosi."Setelah hening sejenak, Adrian bertanya, "Oh ya, Nis, besok kamu kerja pagi apa siang?""Besok aku kerja siang, Mas. Memang kenapa?" Anisa balik bertanya."Kebetulan kalau begitu," ujar Adrian, secercah harapan muncul di matanya. "Jadi paginya aku punya waktu mencari pekerjaan."Anisa tersenyum lembut, tangannya menggenggam tangan Adrian erat. "Iya, Mas. Kamu semangat ya. Aku dan anak-anak selalu
Budi turun dari motornya, senyum penuh penyesalan terlihat di wajahnya. "Apa kabar, Adrian? Sudah lama kita tidak bertemu," ucapnya, suaranya terdengar canggung."Aku baik-baik saja, Bud," jawab Adrian, berusaha terdengar tegar. "Kamu kabarnya gimana?""Aku juga baik, bro," balas Budi. Matanya menyapu penampilan Adrian yang terlihat lelah. "Oya, kamu ngapain duduk di sini?"Adrian menghela napas panjang sebelum menjawab, "Aku lagi cari pekerjaan, Bud. Dari tadi tidak ada yang mau menerima lamaranku."Mendengar ini, raut wajah Budi berubah. Ada campuran rasa iba dan penyesalan yang terpancar dari matanya. "Jadi... sampai sekarang kamu masih nganggur?" tanyanya hati-hati.Adrian mengangguk lemah. "Setelah aku dipecat dari perusahaan dulu, aku coba melamar ke banyak perusahaan lain. Tapi tidak ada satu pun perusahaan yang mau nerima aku," jelasnya. "Akhirnya, karena tidak ada pilihan, aku jadi juru parkir di sebuah restoran. Namun..." ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. "Baru
Budi melangkah ragu-ragu ke meja tempat pria misterius itu duduk. Suasana restoran yang remang-remang menambah kesan mencekam. Tanpa basa-basi, pria itu menyodorkan amplop coklat tebal."Silakan duduk. Ini ada uang 50 juta," ujarnya datar. "Sisanya akan kuberikan setelah kamu berhasil melakukan apa yang kusuruh."Tangan Budi gemetar saat menyentuh amplop itu. Keringat dingin mengucur di dahinya."Jangan takut, itu uang asli. Aku tidak akan menjebakmu," pria itu meyakinkan.Budi menelan ludah. "Bukan... bukan begitu. Saya percaya kalau itu uang asli. Tapi saya masih belum tahu tugas apa yang akan Anda berikan kepada saya," ujarnya terbata-bata. "Saya tidak mau kalau Anda nanti menyuruh saya untuk membunuh seseorang."Pria itu tertawa kecil, suaranya membuat bulu kuduk Budi meremang. "Kamu jangan takut. Aku tidak akan menyuruhmu untuk membunuh seseorang. Tapi aku ingin kamu membuat temanmu, Adrian, dipecat dengan tidak hormat di kantormu."Mata Budi melebar, jantungnya seolah berhenti b
"Namun... aku tahu ciri-cirinya. Mungkin kamu kenal dengannya. Aku juga masih menyimpan nomor teleponnya."Adrian menaikkan alisnya, ada kilatan ketertarikan di matanya. "Ceritakan ciri cirinya padaku," pintanya, kali ini dengan nada yang lebih lembut."Dia... pria tinggi, mungkin sekitar 180 cm. Rambut hitam pendek, mata cokelat tajam. Ada bekas luka kecil di alis kanannya," Budi memulai, matanya menerawang seolah berusaha mengingat setiap detail. "Dia selalu mengenakan jam tangan mewah di tangan kirinya, Rolex kurasa."Adrian mengernyitkan dahi, otaknya berputar mencoba mencocokkan deskripsi itu dengan orang-orang yang ia kenal. "Lanjutkan," ujarnya singkat."Dia cukup tampan, untuk seukuran pria.Oh, dan dia punya tato di pergelangan tangan kanannya, bentuknya seperti... ular melilit pedang, kurasa."Mendadak, mata Adrian melebar. Ia mengenali deskripsi itu. Dia mengingat pernah melihat tato itu di seorang laki laki yang pernah berkelahi dengannya. Tangannya mencengkeram botol minum
Sejenak, Daniel terdiam. Ia tampak sedang memikirkan sesuatu. Kemudian, ia kembali menatapDaniel menyeringai lebar, matanya berkilat penuh ambisi saat ia mulai menjelaskan rencananya pada Dimas. Suaranya rendah dan penuh percaya diri."Tentu saja aku yakin, Dimas. Kali ini, rencanaku pasti akan berhasil," ujar Daniel, jemarinya mengetuk-ngetuk meja dengan ritme yang menunjukkan kegelisahannya.Dimas mengangguk perlahan, terlihat sedikit ragu. "Baiklah, Daniel. Aku percayakan semuanya padamu. Aku ingin kau cepat memisahkan mereka. Aku tidak tahan melihat adikku menderita lebih lama lagi."Daniel menepuk bahu Dimas, berusaha meyakinkannya. "Tenang saja, kawan. Serahkan saja semuanya padaku."Sejenak, Daniel terdiam. Matanya menerawang, seolah sedang memikirkan sesuatu. Kemudian, ia kembali menatap Dimas dengan serius."Tapi... aku butuh bantuanmu, Dimas," ujarnya pelan. "Aku perlu seseorang yang bisa membantuku menjalankan rencana ini."Dimas menegakkan tubuhnya, terlihat tertarik. "Te
Setelah beberapa saat hening, Dimas tiba-tiba bangkit dari kursinya, matanya berbinar penuh harapan. Suara kursi yang berderit memecah kesunyian ruangan, membuat semua kepala menoleh ke arahnya."Ayah," ujarnya dengan nada yang bergetar karena antusiasme, "aku tahu siapa yang bisa membantu kita!"Pak Hartono yang tadinya tertunduk lesu, kini mengangkat kepalanya. Seberkas harapan mulai muncul di matanya yang lelah. "Siapa, Dimas? Siapa yang bisa menyelamatkan perusahaan kita?"Dimas menarik napas dalam sebelum menjawab, "Daniel, yah. Daniel bisa membantu kita."Ruangan itu seketika dipenuhi bisik-bisik. Pak Hartono mengerutkan keningnya, "Daniel? Maksudmu Daniel Prawira, sepupu Reza pemilik Prawira Group itu?"Dimas mengangguk mantap. "Ya, ayah. Daniel adalah teman baikku juga. Perusahaannya sedang dalam masa ekspansi. Aku yakin dia akan tertarik untuk berinvestasi di proyek kita."Pak Joko, salah satu direksi, angkat bicara dengan nada ragu, "Tapi pak Dimas, bukankah Prawira Group be
Sebenarnya Dinda sudah ada di kafe itu sejak dari tadi, karena dia ada janji dengan temannya. Niatnya semula untuk menemui Dimas di mejanya sirna begitu melihat raut wajah suaminya yang tegang. Rasa penasaran mengalahkan keinginannya untuk bergabung. Ia memilih untuk menguping, berusaha menangkap setiap kata yang terucap dari bibir dua pria itu.Setiap kalimat yang tertangkap telinganya membuat jantung Dinda berdegup kencang. Proyek gagal, kerugian besar, ancaman kebangkrutan - semua ini bagaikan pukulan telak baginya."Aku tidak mau jatuh miskin," gumamnya, matanya berkaca-kaca membayangkan kehidupan mewahnya yang terancam. "Apa kata teman-teman sosialitaku nanti kalau tahu suamiku bangkrut?"Ketika nama Anisa disebut-sebut dalam percakapan tadi, Dinda menajamkan pendengarannya. Rencana Daniel untuk membantu dengan syarat tertentu membuat otaknya berputar cepat, mencari celah untuk menyelamatkan gaya hidupnya.Setelah Dimas dan Daniel pergi, Dinda masih duduk terpaku di tempatnya. Pik