Sebenarnya Dinda sudah ada di kafe itu sejak dari tadi, karena dia ada janji dengan temannya. Niatnya semula untuk menemui Dimas di mejanya sirna begitu melihat raut wajah suaminya yang tegang. Rasa penasaran mengalahkan keinginannya untuk bergabung. Ia memilih untuk menguping, berusaha menangkap setiap kata yang terucap dari bibir dua pria itu.Setiap kalimat yang tertangkap telinganya membuat jantung Dinda berdegup kencang. Proyek gagal, kerugian besar, ancaman kebangkrutan - semua ini bagaikan pukulan telak baginya."Aku tidak mau jatuh miskin," gumamnya, matanya berkaca-kaca membayangkan kehidupan mewahnya yang terancam. "Apa kata teman-teman sosialitaku nanti kalau tahu suamiku bangkrut?"Ketika nama Anisa disebut-sebut dalam percakapan tadi, Dinda menajamkan pendengarannya. Rencana Daniel untuk membantu dengan syarat tertentu membuat otaknya berputar cepat, mencari celah untuk menyelamatkan gaya hidupnya.Setelah Dimas dan Daniel pergi, Dinda masih duduk terpaku di tempatnya. Pik
Pintu mobil terbuka, dan Anisha turun dengan hati-hati. Satu tangannya memegang tas kerja, tangan lainnya mengelus perutnya yang mulai membuncit lima bulan."Sayang, kau sudah pulang," Adrian menyambut, bergegas membantu istrinya.Mereka duduk di sofa, dan Adrian mulai menceritakan kejadian malam itu dengan detail. Mata Anisha melebar, ekspresinya berganti-ganti antara kaget, cemas, dan iba."Ya Allah, kasihan sekali wanita itu," Anisha bergumam, tangannya menggenggam erat tangan Adrian. "Kau melakukan hal yang benar, sayang."Adrian menatap istrinya ragu, ada kekhawatiran di matanya. "Kau... benar-benar tidak marah? Aku membiarkan wanita asing masuk saat kau tidak ada. Bahkan dia... dia memelukku tadi."Anisha terdiam sejenak, matanya menatap dalam ke mata suaminya. Kemudian, sebuah senyum lembut tersungging di bibirnya. "Mas, dengarkan aku," ujarnya sambil membelai pipi suaminya. "Kau menolong seseorang yang benar-benar membutuhkan. Itu salah satu alasan aku jatuh cinta padamu. Soal
Secepat kilat, Bu Widya membekap mulut Bu Retno dengan tangannya yang kurus. "Ah, nggak kok Nis. Kita cuma lagi bahas... err..." matanya bergerak liar mencari alasan."Resep bolu!... ya resep bolu" Bu Lastri menimpali gugup, tangannya memainkan ujung kerudung semakin cepat. "Bu Retno baru dapet resep baru. Iya kan, Bu?" dia menyikut lengan Bu Retno yang masih dibekap.Anisa mengangkat alis, jelas bingung dengan tingkah aneh para tetangganya ini. Matanya bergulir dari satu ibu ke ibu lainnya. "Oh begitu... Ya sudah, kalau begitu saya masuk dulu ya Bu. Capek nih abis kerja. Tapi nanti kabarin ya kalo resep bolunya ternyata enak!"Setelah Anisa menghilang di balik pagar rumahnya, ketiga ibu-ibu itu menghela napas lega bersamaan.
Siska melangkah maju, matanya menatap tajam ke dalam mata Reza. "Kau... kau masih menyimpan rasa untuk Anisa, kan?""Apa?" Reza tersedak. "Tidak! Tentu saja tidak, Siska! Bagaimana bisa kau berpikir seperti itu?""Lalu kenapa?" Siska menuntut. "Kenapa kau begitu peduli pada perasaan Anisa? Kenapa kau bilang ini tidak adil untuknya?"Reza panik. Otaknya berpacu mencari alasan. "Dengar, Siska. Aku tidak punya perasaan apa-apa pada Anisa. Sungguh!"Siska menggeleng, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Bohong! Aku selalu merasa... selalu curiga... Ternyata benar."Reza, menyadari situasi yang semakin genting, melangkah maju dan meraih tangan Siska. "Sayang, dengarkan aku. Aku mengatakan itu karena... karena aku mengkhawatirkan reputasi keluarga Hartono."Siska mengerjap, kebingungan tergambar di wajahnya. "Reputasi keluarga?"Reza mengangguk cepat, memanfaatkan celah ini. "Ya. Coba pikir. Bagaimana pandangan publik jika tahu putri Hartono Corp dipaksa menikah demi menyelamatkan
Sore itu, di bawah pohon mangga yang rindang, trio "Detektif Kompleks" masih terengah-engah setelah misi pengintaian mereka yang gagal. Bu Retno mengipasi wajahnya yang memerah dengan ujung dasternya, Bu Lastri sibuk merapikan kerudungnya yang berantakan, sementara Bu Widya membersihkan kacamatanya yang berembun."Duh, gagal total," keluh Bu Lastri, menghela napas panjang.Bu Retno baru saja akan menjawab ketika matanya menangkap kilau mobil tua yang familiar. "Eh, lihat! Itu mobilnya Anisa!"Tanpa pikir panjang, Bu Retno melompat berdiri, tangannya melambai-lambai liar ke arah mobil yang mendekat."Bu Retno! Jangan!" Bu Widya berusaha menahan, tapi terlambat.Anisa, dengan wajah bingung, menghentikan mobilnya. Dia menurunkan kaca jendela, alisnya terangkat melihat wajah-wajah tegang para tetangganya."Ada apa, Bu? Kok kayaknya pada panik gitu?" tanya Anisa, senyum sopan tersungging di bibirnya.Bu Retno menelan ludah, matanya melirik Bu Lastri dan Bu Widya sekilas sebelum kembali ke
Adrian mengangkat kedua tangannya, seakan mencoba menenangkan situasi yang sudah jelas di luar kendali. “Dengar, ini tidak seperti yang kau bayangkan,” katanya dengan suara putus asa. “Ini... ini Intan. Dia wanita yang selalu aku ceritakan padamu. Dia sudah kuanggap hanya sebagai teman.”"Teman?!" Anisa menatapnya dengan tatapan tak percaya. "Lalu kenapa dia setengah telanjang di kamar kita? Adrian, jelaskan!"Adrian mengusap wajahnya dengan tangan, gugup dan bingung. "Intan datang untuk mengunjungi kita. Ketika dia akan pulang, tiba-tiba dia pingsan. Aku... aku tidak tahu harus berbuat apa, jadi aku membawanya ke kamar kita. Aku ingin membaringkannya di sofa, tapi sofa kita cuma dua seater, aku khawatir tulang belakangnya bermasalah. Jadi aku pikir lebih baik menaruhnya di tempat tidur. Aku baru saja mau menelepon ambulans saat kamu tiba."Anisa berdiri diam, mencoba mencerna penjelasan Adrian. “Lalu, kenapa selimutnya berantakan? Dan kenapa dia tidak memakai b
Adrian tercengang mendengar kata-kata itu. Wajahnya memerah karena marah bercampur bingung. "Apa maksudmu?" tanyanya, suaranya mulai meninggi, penuh dengan kebingungan dan kecurigaan. Hatinya berdegup kencang, mencoba memahami apa yang sedang terjadi.Intan melangkah pelan mengitari Adrian, seperti predator yang mengelilingi mangsanya, menanti saat yang tepat untuk menyerang. Matanya menyala-nyala, menikmati ketidakpastian dan rasa sakit yang tergambar jelas di wajah Adrian. "Adrian, kau benar-benar naif," katanya pelan, namun setiap kata diucapkannya dengan jelas, seperti pisau yang mengiris kulit. "Aku tidak peduli tentang kau atau Anisa. Tugas ku hanyalah membuat Anisa salah paham. Membuatnya percaya bahwa kau telah menghianatinya. Itu saja."Adrian terdiam. Kata-kata Intan terasa seperti cambukan di telinganya. Tangannya mengepal, kuku-kukunya menancap ke dalam telapak tangan. "Tugas?" ulangnya dengan suara rendah, berusaha keras untuk tetap tenang. "Siapa yang memberimu tugas ini
Kata-kata Bu Lastri menusuk hati Adrian, menyadarkan dia dari kemarahan yang membutakannya. Dia memandang Intan yang kini tergeletak di lantai, napasnya tersengal-sengal. “Tapi dia sudah merusak segalanya! Dia sudah membuat Anisa tidak percaya padaku lagi!”Bu Widia, yang juga mendekat, berusaha menenangkan Adrian. “Adrian, tenanglah. Kami sudah mendengar semuanya. Ini adalah rencana Daniel kan? Walaupun kami tidak tahu siapa itu Daniel. Kami akan menjadi saksi bahwa semua ini adalah bagian dari rencana jahatnya untuk menghancurkan hidupmu.”Adrian mengalihkan pandangannya ke Bu Widia, terkejut mendengar penjelasan itu. “Jadi kalian mendengar semuanya?”Bu Widia mengangguk. “Ya, kami mendengar semuanya. Saat Intan mengungkapkan siapa yang menyuruhnya, kami melihat dan mendengar semuanya dari luar. Kami akan membuktikan bahwa semua ini adalah rencana Daniel untuk menghancurkan rumah tanggamu.”Kemarahan Adrian perlahan-lahan surut, digantikan oleh rasa penyesalan dan kebingungan yang m