Sore itu, di bawah pohon mangga yang rindang, trio "Detektif Kompleks" masih terengah-engah setelah misi pengintaian mereka yang gagal. Bu Retno mengipasi wajahnya yang memerah dengan ujung dasternya, Bu Lastri sibuk merapikan kerudungnya yang berantakan, sementara Bu Widya membersihkan kacamatanya yang berembun."Duh, gagal total," keluh Bu Lastri, menghela napas panjang.Bu Retno baru saja akan menjawab ketika matanya menangkap kilau mobil tua yang familiar. "Eh, lihat! Itu mobilnya Anisa!"Tanpa pikir panjang, Bu Retno melompat berdiri, tangannya melambai-lambai liar ke arah mobil yang mendekat."Bu Retno! Jangan!" Bu Widya berusaha menahan, tapi terlambat.Anisa, dengan wajah bingung, menghentikan mobilnya. Dia menurunkan kaca jendela, alisnya terangkat melihat wajah-wajah tegang para tetangganya."Ada apa, Bu? Kok kayaknya pada panik gitu?" tanya Anisa, senyum sopan tersungging di bibirnya.Bu Retno menelan ludah, matanya melirik Bu Lastri dan Bu Widya sekilas sebelum kembali ke
Adrian mengangkat kedua tangannya, seakan mencoba menenangkan situasi yang sudah jelas di luar kendali. “Dengar, ini tidak seperti yang kau bayangkan,” katanya dengan suara putus asa. “Ini... ini Intan. Dia wanita yang selalu aku ceritakan padamu. Dia sudah kuanggap hanya sebagai teman.”"Teman?!" Anisa menatapnya dengan tatapan tak percaya. "Lalu kenapa dia setengah telanjang di kamar kita? Adrian, jelaskan!"Adrian mengusap wajahnya dengan tangan, gugup dan bingung. "Intan datang untuk mengunjungi kita. Ketika dia akan pulang, tiba-tiba dia pingsan. Aku... aku tidak tahu harus berbuat apa, jadi aku membawanya ke kamar kita. Aku ingin membaringkannya di sofa, tapi sofa kita cuma dua seater, aku khawatir tulang belakangnya bermasalah. Jadi aku pikir lebih baik menaruhnya di tempat tidur. Aku baru saja mau menelepon ambulans saat kamu tiba."Anisa berdiri diam, mencoba mencerna penjelasan Adrian. “Lalu, kenapa selimutnya berantakan? Dan kenapa dia tidak memakai b
Adrian tercengang mendengar kata-kata itu. Wajahnya memerah karena marah bercampur bingung. "Apa maksudmu?" tanyanya, suaranya mulai meninggi, penuh dengan kebingungan dan kecurigaan. Hatinya berdegup kencang, mencoba memahami apa yang sedang terjadi.Intan melangkah pelan mengitari Adrian, seperti predator yang mengelilingi mangsanya, menanti saat yang tepat untuk menyerang. Matanya menyala-nyala, menikmati ketidakpastian dan rasa sakit yang tergambar jelas di wajah Adrian. "Adrian, kau benar-benar naif," katanya pelan, namun setiap kata diucapkannya dengan jelas, seperti pisau yang mengiris kulit. "Aku tidak peduli tentang kau atau Anisa. Tugas ku hanyalah membuat Anisa salah paham. Membuatnya percaya bahwa kau telah menghianatinya. Itu saja."Adrian terdiam. Kata-kata Intan terasa seperti cambukan di telinganya. Tangannya mengepal, kuku-kukunya menancap ke dalam telapak tangan. "Tugas?" ulangnya dengan suara rendah, berusaha keras untuk tetap tenang. "Siapa yang memberimu tugas ini
Kata-kata Bu Lastri menusuk hati Adrian, menyadarkan dia dari kemarahan yang membutakannya. Dia memandang Intan yang kini tergeletak di lantai, napasnya tersengal-sengal. “Tapi dia sudah merusak segalanya! Dia sudah membuat Anisa tidak percaya padaku lagi!”Bu Widia, yang juga mendekat, berusaha menenangkan Adrian. “Adrian, tenanglah. Kami sudah mendengar semuanya. Ini adalah rencana Daniel kan? Walaupun kami tidak tahu siapa itu Daniel. Kami akan menjadi saksi bahwa semua ini adalah bagian dari rencana jahatnya untuk menghancurkan hidupmu.”Adrian mengalihkan pandangannya ke Bu Widia, terkejut mendengar penjelasan itu. “Jadi kalian mendengar semuanya?”Bu Widia mengangguk. “Ya, kami mendengar semuanya. Saat Intan mengungkapkan siapa yang menyuruhnya, kami melihat dan mendengar semuanya dari luar. Kami akan membuktikan bahwa semua ini adalah rencana Daniel untuk menghancurkan rumah tanggamu.”Kemarahan Adrian perlahan-lahan surut, digantikan oleh rasa penyesalan dan kebingungan yang m
Suara langkah kaki Adrian terdengar berat, seakan mencerminkan beban amarah yang ia bawa. Dia berjalan cepat melewati trotoar taman yang sepi, matanya tertuju pada bangku kayu di depan, tempat Anisa dan Daniel duduk. Wajahnya tegang, penuh dendam yang lama terpendam. Tanpa berkata sepatah kata pun, Adrian langsung meraih kerah baju Daniel dan menariknya dengan kasar.Daniel hampir terjatuh dari bangku, tetapi Adrian tetap menggenggam erat kerah bajunya, menahan tubuh Daniel di udara. Wajah Adrian berjarak hanya beberapa inci dari wajah Daniel, dan kemarahan terlihat jelas di matanya.“Dasar kurang ajar!” Adrian memuntahkan kata-kata dengan suara yang penuh amarah dan kebencian. “Setelah memfitnahku dengan menggunakan Intan sebagai alatmu, sekarang kau datang berpura-pura menjadi pahlawan di depan istriku! Apa yang kau pikirkan, hah?”Cengkeraman Adrian pada kerah baju Daniel semakin kuat, membuat Daniel sulit bernapas. Daniel mencoba melepaskan tangan Adrian dari bajunya, namun kekuat
Adrian merasa dadanya sesak melihat Anisa yang kesakitan terbaring di tanah. Suara tangis Anisa dan rasa paniknya membuatnya merasa harus mengambil tindakan cepat. Saat itu, Daniel, yang meskipun masih terasa sebagai musuh, berbicara dengan suara tegas dan mendesak.“Kita harus membawanya ke rumah sakit sekarang,” kata Daniel, suaranya tajam. “Menggunakan mobilku akan lebih cepat. Jika kita menunggu ambulans, mungkin akan terlalu lama, dan kita tidak tahu kondisi Anisa dan bayinya.”Adrian terdiam sesaat, mempertimbangkan kata-kata Daniel. Kemarahan masih mendidih di dalam dirinya, tapi dia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa apa yang dikatakan Daniel masuk akal. Dia tahu mobil tuanya sering mogok. Dalam keadaan darurat seperti ini, tidak ada ruang untuk ego atau rasa tidak percaya.Dengan anggukan singkat, Adrian setuju, “Baiklah. Kita akan gunakan mobilmu. Tapi jika ada sesuatu yang terjadi pada Anisa atau bayiku...” Adrian tidak menyelesaikan kalimatnya, tapi ancamannya terasa jelas
Adrian terpaku di tempat, kata-kata dokter terasa seperti tamparan keras di wajahnya. “Operasi? Tapi... tapi usia kandungannya baru lima bulan, Dok. Apakah... apakah mereka akan selamat?” Suaranya bergetar, rasa takut yang mendalam mencengkeram hatinya.Dokter menatap Adrian dengan penuh empati. “Kami akan melakukan yang terbaik. Saat ini prioritas utama kami adalah menyelamatkan nyawa keduanya. Operasi adalah pilihan terbaik untuk itu.”Adrian mengangguk lemah, hatinya hancur berkeping-keping. Dia menunduk, menatap Anisa yang terlihat begitu rapuh di atas ranjang itu. “Tolong, Dok... Tolong selamatkan mereka,” pintanya, air mata mulai mengalir di pipinya.Dokter mengangguk. “Kami akan berusaha sebaik mungkin. Sekarang, Pak Adrian, Anda bisa menunggu di luar. Kami akan membawa Anisa ke ruang operasi.”Adrian mengecup kening Anisa dengan lembut sebelum mereka membawanya pergi. “Sayang, kau akan baik-baik saja. Aku di sini menunggumu. Kita akan melalui ini bersama,” bisiknya, meskipun A
Ruangan itu mendadak sunyi. Ayah dan Ibu Anisa, dan juga Adrian membeku di tempat. Mereka bertiga saling pandang dengan wajah terkejut dan bingung. Baru saja tiba, Dimas, Dinda, dan Daniel juga tercengang mendengar kata-kata dokter itu. Mereka berdiri terdiam di belakang, tidak tahu harus bereaksi seperti apa.Adrian merasa kakinya hampir tak bisa menahan beban tubuhnya. Pilihan itu, menyelamatkan istri atau anaknya, adalah sesuatu yang tak pernah dia bayangkan akan dihadapinya. Dia mencintai Anisa, wanita yang sudah menjadi bagian dari hidupnya. Tapi dia juga mencintai bayinya, yang bahkan belum sempat dia lihat, belum sempat dia peluk.“Dok, apakah... apakah anak kami bisa hidup normal jika diselamatkan?” tanya Adrian pelan, suaranya hampir tak terdengar. Hatinya berharap ada harapan untuk menyelamatkan keduanya, meski dia tahu pertanyaan itu mungkin sia-sia.Dokter menggelengkan kepala dengan lembut. “Bayi Anda baru berusia lima bulan dalam kandungan. Jika dipaksa lahir sekarang, k
Dimas terduduk di lantai, matanya memandang kosong ke arah pembatas tempat Daniel terjatuh. "Aku hampir menyelamatkannya... Aku hampir mengubah segalanya," gumamnya dengan suara bergetar.Adrian menepuk bahu Dimas dengan lembut. "Kau sudah melakukan yang terbaik. Dia memilih untuk meminta maaf. Setidaknya, dia pergi dengan hati yang tidak lagi dipenuhi kebencian."Mereka berdua terdiam, menatap langit malam yang dingin. Dalam keheningan itu, keduanya berjanji dalam hati bahwa mereka akan menjaga keluarga mereka dan tidak akan membiarkan kebencian seperti ini menghancurkan lagi.Meskipun akhir ini tragis, mereka tahu bahwa cerita ini mengajarkan mereka tentang arti pentingnya memaafkan dan melepaskan dendam..***Beberapa bulan setelah insiden tragis yang mengguncang kehidupan Adrian dan keluarganya, kehidupan akhirnya kembali berjalan normal. Waktu telah menjadi penyembuh yang luar biasa, perlahan tapi pasti mengobati luka-luka hati yang ditinggalkan oleh kejadian itu. Kehidupan baru
Adrian melangkah mendekat, tetap memeluk Alisha dengan hati-hati. "Dia selamat, Dimas. Aku dan polisi sudah berhasil menyelamatkannya. Kami tahu Daniel mungkin akan melakukan sesuatu yang nekat."Dimas menatap Adrian dengan kebingungan. "Tapi bagaimana mungkin...? Aku melihat sendiri, kalau dia... Daniel melemparnya..."Adrian menghela napas, mencoba menjelaskan di tengah emosi yang berkecamuk. "Sebelum aku ke sini, aku dan polisi sudah mempersiapkan segala kemungkinan. Kami memasang jaring pengaman di balkon kamar yang ada tepat di bawah rooftop ini. Saat Daniel melepaskan Alisha..." Adrian berhenti sejenak, menatap Alisha yang masih terisak. "...instingku benar. Jaring itu menyelamatkannya."Dimas tersandar lemas ke lantai, matanya mulai berkaca-kaca lagi, tetapi kali ini karena lega yang luar biasa. "Alisha... dia selamat. Dia benar-benar selamat..."Dimas menatap Adrian dengan penuh harap, suaranya gemetar ketika bertanya, "Bagaimana dengan Anisa dan semua anggota keluarga kita? A
Sementara itu, di rooftop yang penuh ketegangan, Dimas terus mencoba berbicara dengan Daniel. Dengan suara penuh harapan, ia berkata, “Daniel, aku mohon, lepaskan Alisha. Dia hanya seorang anak kecil, dia tidak bersalah. Kau tidak perlu melibatkan dia dalam dendammu ini.”Namun, Daniel tetap tak tergoyahkan. Dengan ekspresi penuh amarah, ia berteriak, “Kau tidak mengerti apa yang aku rasakan, Dimas! Aku sudah kehilangan segalanya. Adrian mengambil semua dariku—hidupku, mimpiku, bahkan wanita yang aku cintai! Dan sekarang, dia harus merasakan penderitaan yang sama.”Alisha terus menangis dalam dekapan Daniel, tangisannya semakin memilukan. Hati Dimas terasa hancur melihat keponakannya yang ketakutan. Ia tahu, jika ia tidak melakukan sesuatu, situasinya bisa menjadi lebih buruk. Dimas mencoba mengalihkan pikiran Daniel dengan berbicara lebih tenang. “Dengar, Daniel. Aku tahu kau terluka, dan aku tidak bisa menghapus rasa sakit itu. Tapi aku percaya kau masih punya hati. Jangan biarkan d
“Dengar kan aku baik-baik. Sebaiknya kalian berhenti berisik sekarang. Karena pertunjukanku yang kedua akan segera dimulai.”Kata-kata itu membuat Dimas dan Adrian saling berpandangan, bingung dan waspada.“Pertunjukan apa, Daniel? Apa yang sudah kau rencanakan?” tanya Adrian dengan suara tegang, mencoba mencari tahu apa maksud pria di depannya.Daniel hanya tertawa pelan, suara tawanya menggema di rooftop yang dingin. Belum sempat Adrian menuntut jawaban, tiba-tiba suara ledakan keras mengguncang udara, diikuti getaran yang terasa hingga ke tempat mereka berdiri.“Boom!” seru Daniel dengan nada puas, senyumnya semakin lebar melihat kepanikan yang mulai merayap di wajah Adrian dan Dimas.“Apa yang sudah kau lakukan, Daniel?!” teriak Dimas, suaranya penuh kepanikan. Adrian segera mengalihkan pandangannya ke arah suara ledakan, wajahnya memucat.Daniel menatap mereka dengan tatapan penuh kemenangan. “Tenang saja, ledakan kecil itu hanya untuk memberimu pilihan, Adrian. Kau mau menyelama
“Jangan mendekat!” balas pria itu, menolehkan wajahnya ke Adrian dengan mata merah dan penuh kebencian. “Kalau kau mendekat, aku tidak akan ragu-ragu untuk... untuk...” Ia tak sanggup menyelesaikan kalimatnya, tapi gesturnya sudah cukup jelas.Angin kencang malam itu membuat suasana semakin mencekam. Alisha menangis keras, tangannya mencoba meraih udara seolah meminta bantuan.“Kau tidak perlu melakukan ini,” kata Adrian, mencoba menenangkan situasi. “Apa pun masalahnya, kita bisa menyelesaikannya secara baik baik. Jangan melibatkan anak kecil yang tidak bersalah.”Pria itu menatap Adrian dengan ekspresi penuh rasa sakit. “Tidak bersalah? Semua kejadian ini adalah salahmu, Adrian! Hidupku hancur karena kau! Sekarang kau harus merasakan penderitaanku!”Adrian melangkah pelan, berhati-hati agar tidak memprovokasi. “Dengar, aku tidak tahu apa yang sudah kau alami, tapi aku bisa membantumu. Asal kau menyerahkan Alisha padaku. Dia tidak seharusnya berada dalam situasi seperti ini.”Pria it
Daniel mengepalkan tangannya, suaranya berbisik dingin, “Nikmati kebahagiaan kalian sekarang, Adrian. Sebentar lagi, aku akan memastikan tawa itu berubah menjadi jeritan kesedihan.”Ia menatap Anisa yang tersenyum cerah sambil memegang tangan Alisha. Pemandangan itu membuat hatinya terbakar. Ia memalingkan wajahnya sebentar, berusaha meredam emosi yang semakin memuncak. Dengan langkah perlahan namun penuh perhitungan, ia bergerak menuju belakang panggung kecil tempat perayaan berlangsung.Di atas panggung, Adrian dan Anisa melanjutkan nyanyian mereka, memimpin para tamu dalam perayaan. Alisha, yang kini genap dua tahun, tertawa riang di tengah sorakan semua orang. Suasana bahagia memenuhi ballroom, penuh dengan senyum dan tawa dari keluarga dan teman dekat.Namun, kegembiraan itu tiba-tiba terhenti. Dalam sekejap, lampu di seluruh ballroom padam, meninggalkan kegelapan yang pekat. Suara bisikan dan gumaman panik mulai terdengar dari para tamu.
Doni menelan ludah, merasa merinding oleh intensitas di mata bosnya. Ia bertanya hati-hati, “Kalau boleh tahu, Pak, apa rencana Bapak?”Daniel terdiam sejenak, memutar gelas minumannya di tangan. Cairan bening di dalamnya berputar lambat, seolah mencerminkan kekacauan yang bergejolak di dalam pikirannya. Setelah beberapa detik, ia menghela napas panjang dan tersenyum kecil, sebuah senyuman yang dingin dan penuh tekad. “Nanti juga kamu akan tahu, Doni. Yang jelas, aku akan membuat Adrian merasakan apa yang kurasakan sekarang. Kehilangan segalanya. Hancur. Dan aku akan pastikan dia tidak pernah bangkit lagi.” Suaranya dipenuhi bara dendam yang membakar setiap kata yang diucapkannya.Doni mengangguk perlahan, mencoba menyembunyikan kegelisahan di hatinya. “Baik, Pak Daniel. Saya percaya, apa pun yang Bapak lakukan pasti yang terbaik. Tapi... saya tetap harus mengingatkan, anda Pak. Pak Adrian itu bukan orang sembarangan. Dia punya uang, kekua
Sementara itu, di kediaman AdrianSenja baru saja turun, mewarnai langit dengan semburat jingga. Di ruang tamu rumah besar milik Adrian, Anisa sedang duduk membaca buku sambil menunggu suaminya pulang. Suara mesin mobil berhenti di halaman, membuatnya segera menutup buku dan bangkit menuju pintu.Ketika pintu terbuka, Adrian muncul dengan senyuman yang lebar. Langkahnya ringan, wajahnya berseri seperti seseorang yang baru saja memenangkan perang besar.Anisa menyipitkan mata, heran. “Mas? Kok kamu kelihatan bahagia sekali? Ada apa?” tanyanya, berjalan mendekat.Adrian hanya tersenyum, melepaskan jasnya dan menyerahkannya pada Anisa sambil berjalan menuju sofa. Anisa mengikutinya dengan rasa penasaran yang semakin membuncah.Setelah duduk, Adrian menepuk sofa di sebelahnya, memberi isyarat agar Anisa duduk di sampingnya. Anisa patuh, duduk dengan mata yang menatap tajam, menunggu jawaban.“Cerita dong, Mas. Jangan membuat aku semakin penasaran,” katanya sambil menyodorkan secangkir kop
Namun, Mr. Lee mengangkat tangan, menghentikan Daniel. “Cukup. Saya juga akan memberi tahu kepada semua mitra bisnis kami di China tentang apa yang sudah terjadi hari ini. Saya ingin mereka tahu betapa bobroknya integritas Prawira Group.”Daniel tampak seperti dihantam badai. Wajahnya merah padam, tetapi kali ini bukan karena amarah, melainkan karena ketakutan. “Tuan Lee, tolong… tolong jangan lakukan itu. Anda tahu apa artinya bagi perusahaan kami jika reputasi kami hancur di pasar China. Kami tidak akan bisa bertahan. Saya mohon, beri kami kesempatan untuk memperbaiki kesalahan ini.”Mr. Lee menatapnya dengan dingin. “Kesempatan? Kesempatan itu Anda sudah sia-siakan ketika Anda memutuskan untuk bermain kotor. Saya tidak peduli berapa besar perusahaan Anda. Bagi kami, kejujuran adalah segalanya.”Setelah mengucapkan kata-kata terakhirnya, Mr. Lee meraih koper itu dan menyerahkannya kembali kepada Daniel. “Ambil u