Daniel, yang sedari tadi diam mendengarkan, ikut menimpali. “Dinda benar, Dimas. Ide ini bagus. Jika kita bisa memaksa Adrian membuat janji untuk meninggalkan Anisa, kita semua bisa bebas dari masalah ini. Percayalah, Adrian pasti mau melakukannya. Dia tak akan tahan melihat wanita yang dicintainya menderita.”Dimas masih tampak ragu. “Tapi ini... ini kejam. Ini seolah aku memanfaatkan adikku sendiri untuk mencapai tujuan kita.”Daniel menatap Dimas dengan tajam. “Ingat perjanjian kita, Dimas. Aku bersedia membantu menyelamatkan perusahaan keluargamu dari kebangkrutan, tapi kau harus memastikan Anisa menikah denganku. Apakah kau ingin perusahaan itu bangkrut? Apakah kau ingin melihat orang tuamu kehilangan segalanya? "Aku pokoknya tidak mau hidup miskin , Dimas. Apa kata teman temanku nanti kalau mereka tahu perusahaan kita bangkrut." Ucap Dinda.Dimas terdiam. Ucapan Daniel benar-benar menyudutkannya. Dia tahu bahwa masa depan keluarganya dan perusahaannya sedang berada di ujung tan
“Bu, kenapa Ibu menampar aku?” tanya Dimas dengan suara yang masih bergetar, tidak percaya bahwa ibunya sendiri yang melakukan itu.Ibunya menatap Dimas dengan mata yang penuh air mata, tetapi juga penuh dengan kemarahan yang terpendam. “Ini sebagai balasan, Dimas,” katanya dengan suara gemetar, “karena kau sudah membuat hidup seseorang menderita. Kau tidak hanya menyakiti Adrian, tapi juga Anisa, adikmu sendiri. Bagaimana bisa kau bersikap begitu kejam? Ibu tidak pernah mengajarimu menjadi seseorang seperti ini”Dimas tergagap, tidak tahu harus menjawab apa. Ini adalah pertama kalinya dalam hidupnya ia melihat ibunya begitu marah, begitu terluka. Sebelum ia sempat menjawab, Pak Hartono, ayahnya, menarik tangan Bu Sinta menjauh dari Dimas. “Ma, sudah cukup!” katanya dengan nada keras. “Kau tidak perlu menampar Dimas seperti itu. Dia sudah melakukan hal yang benar.”Namun, mendengar kata-kata itu keluar dari mulut suaminya, Ibu Anisa justru merasa amarahnya semakin membara. Ia menoleh
Dunia seakan berhenti berputar bagi Adrian. Kata-kata dokter itu terasa seperti palu yang menghantam keras hatinya. Ia merasa bingung, campur aduk antara rasa syukur karena Anisa selamat, dan kepedihan mendalam karena kehilangan anak yang belum sempat ia peluk atau lihat."Anakku... tidak bisa diselamatkan?" bisik Adrian, matanya memandang ke arah dokter, berharap ada kesalahpahaman.Dokter mengangguk pelan, tatapan simpati itu tetap melekat di wajahnya. "Kami sudah berusaha yang terbaik. Tapi dengan kondisi prematur, bayi itu terlalu lemah untuk bertahan. Maafkan kami."Air mata Adrian mulai menggenang di pelupuk matanya. Dia terdiam, tidak tahu bagaimana harus merespons. Di satu sisi, ia sangat bersyukur Anisa selamat dari maut. Namun di sisi lain, perasaan sedih dan duka yang mendalam karena kehilangan bayinya mengoyak hatinya. Sejenak, dia tidak tahu apakah harus merasa bahagia atau justru hancur.Ibu Anisa yang mendengar berita itu langsung menutup wajahnya dengan kedua tangan, t
Namun sebelum ia bisa melanjutkan, Ibu Anisa yang menyadari arah pembicaraan Adrian segera menyentuh lengannya. Ia menggenggam tangan Adrian dengan erat dan menggelengkan kepala pelan. Matanya menatap Adrian dengan peringatan halus, seolah berkata bahwa ini bukanlah waktu yang tepat untuk membicarakan hal tersebut.Adrian terdiam sejenak, pandangannya bertemu dengan mata ibu mertuanya yang penuh kekhawatiran. Dia mengerti maksud isyarat itu. Saat ini, Anisa masih terlalu lemah, baik fisik maupun emosional. Mengatakan hal ini sekarang hanya akan memperparah kondisinya."Mas... ada apa?" tanya Anisa, suaranya penuh kecurigaan dan rasa ingin tahu. "Apa yang ingin kamu katakan?"Adrian menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan ketegangan di dalam dirinya. “Nanti saja, Anisa. Setelah kamu pulih. Ini tidak sepenting kesehatanmu sekarang,” jawab Adrian, berusaha sebaik mungkin terdengar tenang meskipun hatinya bergejolak.Anisa mengerutkan kening, merasa curiga. Dia bisa merasakan bahwa a
Ibu Anisa menarik napas dalam-dalam, bahunya merosot seolah menanggung beban berat. Matanya menatap Anisa dengan campuran kesedihan dan keputusasaan. "Baik, Anisa," suaranya bergetar, "Ibu akan memberitahumu apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin... mungkin setelah ini kamu akan membenci kakakmu dan ayahmu. Tapi kamu perlu tahu alasan Adrian meninggalkanmu."Anisa mencengkeram selimutnya erat-erat, jantungnya berdegup kencang menanti penjelasan ibunya."Adrian terpaksa meninggalkanmu," ibu Anisa melanjutkan, suaranya nyaris berbisik, "karena ada perjanjian dengan kakakmu, Dimas.""Perjanjian? Perjanjian apa, Bu?" Anisa bertanya, matanya melebar tidak percaya.Ibu Anisa memejamkan mata sejenak, seolah mengumpulkan kekuatan. "Perjanjian di mana Adrian harus meninggalkanmu... kalau mau kakakmu mendonorkan darahnya untukmu." Ruangan itu mendadak terasa dingin. Anisa merasakan darahnya seolah membeku."Saat itu kamu dalam keadaan kritis, Nis," ibu Anisa melanjutkan, air mata mulai mengalir
"Kamu sudah gila, Anisa!" Dinda berteriak, suaranya melengking. "Kenapa kamu menampar kakakmu?"Anisa tertawa getir, suaranya serak dan penuh kepahitan. "Iya... aku sudah gila. Gila karena suamiku harus meninggalkanku karena ulah kakak kandungku sendiri!" Air matanya kembali mengalir. "Kakak yang menggunakan kondisiku untuk memisahkan kami!""Nisa... tunggu... biar kakak jelaskan dulu," Dimas berusaha menjelaskan, suaranya bergetar."Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, Kak," potong Anisa tajam. "Ibu sudah menceritakan semuanya. Dan asalkan kakak tahu, aku tidak akan pernah mau mengikuti keinginan kakak untuk menikah dengan Daniel!"Dimas menghela napas berat. "Nis... please. Hanya kamu yang bisa bantu perusahaan kita. Apa kamu mau melihat keluarga kita jatuh miskin dan menderita?""Aku tidak peduli, Kak!" Anisa berteriak, suaranya pecah oleh emosi. "Apa kakak juga peduli dengan kebahagiaanku sebelum menerima perintah Daniel? Tidak, bukan? Jadi jangan memaksa aku untuk peduli dengan
Melihat reaksi suaminya yang begitu khawatir, tiba-tiba rasa cemburu muncul di hati Siska. “Kenapa kamu sepusing itu, Mas, waktu aku menyebutkan nama Kak Anisa?” ucap Siska dengan nada tajam.Reza yang mengerti perubahan nada istrinya segera mencoba meredam situasi. “Sayang, tentu saja aku khawatir. Kakakmu sedang di rumah sakit, kondisinya kita tidak tahu. Wajar dong aku panik, bagaimanapun juga dia bagian dari keluarga kita,” jawab Reza, mencoba menenangkan istrinya. “Dan, kalau terjadi sesuatu pada Anisa, perusahaan ayahmu juga bisa terancam, bukan?”Siska mengangguk pelan, menyadari betul implikasi dari situasi kakaknya. "Ya, karena itu aku ingin kamu tahu, Reza. Aku baru saja mendapat kabar kalau Adrian dan Anisa sekarang berpisah."Mendengar itu, Reza langsung terperangah. Matanya membelalak penuh keterkejutan. "Apa? Bagaimana bisa Adrian dan Anisa berpisah? Mereka sangat mencintai satu sama lain! Itu... mustahil. Apa yang sebenarnya terjadi?"Siska menarik napas panjang sebelum
Anisa menggelengkan kepalanya, tak percaya dengan ucapan Daniel. "Itu masalahnya, Daniel. Kamu hanya memikirkan dirimu sendiri. Kamu tidak pernah berpikir tentang perasaanku. Aku hanya mencintai Adrian, dan aku nggak akan pernah mencintai kamu."Daniel terdiam sejenak, mencari celah untuk membujuk Anisa lagi. Dia tak bisa menerima penolakan begitu saja. "Anisa, apa kamu lupa kalau perusahaan ayahmu sedang di ambang kebangkrutan? Hanya aku yang bisa membantu keluargamu. Jadi menikahlah denganku, dan aku akan menyelamatkan perusahaan ayahmu."Anisa menatap Daniel dengan mata tajam. "Jangan mimpi, Daniel. Meski perusahaan ayahku menjadi taruhannya, aku tetap tidak akan mau menikah denganmu."Daniel terkejut mendengar jawaban tegas Anisa. Dalam pikirannya, begitu Adrian meninggalkan Anisa, semuanya akan berjalan sesuai rencananya. Tapi, kenyataan berkata lain. Anisa tetap keras kepala. Daniel berusaha memprovokasi. "Kamu tega, Anisa? Itu keluargamu sendiri. Mereka membutuhkanmu. Kamu tida