Ibu Anisa menarik napas dalam-dalam, bahunya merosot seolah menanggung beban berat. Matanya menatap Anisa dengan campuran kesedihan dan keputusasaan. "Baik, Anisa," suaranya bergetar, "Ibu akan memberitahumu apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin... mungkin setelah ini kamu akan membenci kakakmu dan ayahmu. Tapi kamu perlu tahu alasan Adrian meninggalkanmu."Anisa mencengkeram selimutnya erat-erat, jantungnya berdegup kencang menanti penjelasan ibunya."Adrian terpaksa meninggalkanmu," ibu Anisa melanjutkan, suaranya nyaris berbisik, "karena ada perjanjian dengan kakakmu, Dimas.""Perjanjian? Perjanjian apa, Bu?" Anisa bertanya, matanya melebar tidak percaya.Ibu Anisa memejamkan mata sejenak, seolah mengumpulkan kekuatan. "Perjanjian di mana Adrian harus meninggalkanmu... kalau mau kakakmu mendonorkan darahnya untukmu." Ruangan itu mendadak terasa dingin. Anisa merasakan darahnya seolah membeku."Saat itu kamu dalam keadaan kritis, Nis," ibu Anisa melanjutkan, air mata mulai mengalir
"Kamu sudah gila, Anisa!" Dinda berteriak, suaranya melengking. "Kenapa kamu menampar kakakmu?"Anisa tertawa getir, suaranya serak dan penuh kepahitan. "Iya... aku sudah gila. Gila karena suamiku harus meninggalkanku karena ulah kakak kandungku sendiri!" Air matanya kembali mengalir. "Kakak yang menggunakan kondisiku untuk memisahkan kami!""Nisa... tunggu... biar kakak jelaskan dulu," Dimas berusaha menjelaskan, suaranya bergetar."Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, Kak," potong Anisa tajam. "Ibu sudah menceritakan semuanya. Dan asalkan kakak tahu, aku tidak akan pernah mau mengikuti keinginan kakak untuk menikah dengan Daniel!"Dimas menghela napas berat. "Nis... please. Hanya kamu yang bisa bantu perusahaan kita. Apa kamu mau melihat keluarga kita jatuh miskin dan menderita?""Aku tidak peduli, Kak!" Anisa berteriak, suaranya pecah oleh emosi. "Apa kakak juga peduli dengan kebahagiaanku sebelum menerima perintah Daniel? Tidak, bukan? Jadi jangan memaksa aku untuk peduli dengan
Melihat reaksi suaminya yang begitu khawatir, tiba-tiba rasa cemburu muncul di hati Siska. “Kenapa kamu sepusing itu, Mas, waktu aku menyebutkan nama Kak Anisa?” ucap Siska dengan nada tajam.Reza yang mengerti perubahan nada istrinya segera mencoba meredam situasi. “Sayang, tentu saja aku khawatir. Kakakmu sedang di rumah sakit, kondisinya kita tidak tahu. Wajar dong aku panik, bagaimanapun juga dia bagian dari keluarga kita,” jawab Reza, mencoba menenangkan istrinya. “Dan, kalau terjadi sesuatu pada Anisa, perusahaan ayahmu juga bisa terancam, bukan?”Siska mengangguk pelan, menyadari betul implikasi dari situasi kakaknya. "Ya, karena itu aku ingin kamu tahu, Reza. Aku baru saja mendapat kabar kalau Adrian dan Anisa sekarang berpisah."Mendengar itu, Reza langsung terperangah. Matanya membelalak penuh keterkejutan. "Apa? Bagaimana bisa Adrian dan Anisa berpisah? Mereka sangat mencintai satu sama lain! Itu... mustahil. Apa yang sebenarnya terjadi?"Siska menarik napas panjang sebelum
Anisa menggelengkan kepalanya, tak percaya dengan ucapan Daniel. "Itu masalahnya, Daniel. Kamu hanya memikirkan dirimu sendiri. Kamu tidak pernah berpikir tentang perasaanku. Aku hanya mencintai Adrian, dan aku nggak akan pernah mencintai kamu."Daniel terdiam sejenak, mencari celah untuk membujuk Anisa lagi. Dia tak bisa menerima penolakan begitu saja. "Anisa, apa kamu lupa kalau perusahaan ayahmu sedang di ambang kebangkrutan? Hanya aku yang bisa membantu keluargamu. Jadi menikahlah denganku, dan aku akan menyelamatkan perusahaan ayahmu."Anisa menatap Daniel dengan mata tajam. "Jangan mimpi, Daniel. Meski perusahaan ayahku menjadi taruhannya, aku tetap tidak akan mau menikah denganmu."Daniel terkejut mendengar jawaban tegas Anisa. Dalam pikirannya, begitu Adrian meninggalkan Anisa, semuanya akan berjalan sesuai rencananya. Tapi, kenyataan berkata lain. Anisa tetap keras kepala. Daniel berusaha memprovokasi. "Kamu tega, Anisa? Itu keluargamu sendiri. Mereka membutuhkanmu. Kamu tida
Namun, Daniel tetap pada pendiriannya. "Itu risiko yang harus kalian terima," ucap Daniel dingin. "Keputusanku sudah bulat. Anisa menikah denganku, dan pada hari itu juga, suntikan dana untuk perusahaan om akan langsung mengalir. Tidak sebelum itu."Setelah berkata demikian, Daniel melihat ke arah Dimas dan Pak Hartono, memastikan bahwa ancamannya diterima dengan jelas. "Oke, kalau begitu aku pergi dulu. Aku tunggu kabar baik dari kalian."Daniel berbalik, meninggalkan Dimas dan Pak Hartono yang saling berpandangan dengan wajah penuh kekhawatiran, sadar bahwa tekanan untuk membujuk Anisa semakin besar."Ayah, kita harus cepat bertindak. Kita harus bisa segera membujuk Anisa agar mau menikah dengan Daniel. Kalau tidak, semuanya akan hancur," ucap Dimas dengan nada mendesak.Pak Hartono menghela napas panjang, beban di pikirannya semakin berat. "Ayah tahu, Dimas. Ayah juga tidak mau perusahaan kita bangkrut. Ayah akan coba meminta bantuan ibumu untuk membujuk Anisa. Siapa tahu dengan bu
Seketika, suara seorang wanita dari belakang antrean terdengar, memotong suasana yang mulai canggung. "Mbak, kalau nggak punya uang, jangan pura-pura beli tas mahal di sini. Lihat antrean, mbak. Kami semua juga mau bayar."Dinda menoleh tajam ke arah wanita itu, matanya berkilat penuh amarah. "Tutup mulutmu! Kamu nggak tahu siapa aku? Aku ini menantu pemilik Hartono Corp! Perusahaan besar! Jadi jangan sembarangan ngomong!" Dinda berusaha menegakkan kepalanya, walau perasaannya mulai tertekan.Wanita yang tadi berbicara malah tertawa kecil. "Oh, Hartono Corp? Perusahaan yang katanya mau bangkrut itu? Pantes aja kartu kamu nggak bisa dipakai. Gimana mau belanja tas mahal kalau perusahaan suami kamu aja di ambang kehancuran?"Hati Dinda terasa seperti dihantam batu besar. Darahnya mendidih mendengar ejekan itu, tapi sekaligus ada ketakutan yang mulai menyelusup ke dalam dirinya. "Itu fitnah! Dari mana kamu tahu? Jangan berani-berani sebar rumor yang nggak benar!"Namun ejekan dari pengun
Kesabaran Dimas akhirnya habis. Dengan nada dingin dan tegas, ia berkata, "Terserah kamu, Dinda. Aku sudah memberitahumu kenyataan tentang kondisi keuangan kita sekarang. Kalau kamu mau terima, ya bagus. Kalau nggak, itu urusanmu."Tanpa menunggu tanggapan dari Dinda, Dimas langsung menutup teleponnya.Dinda terperangah, tak percaya bahwa Dimas benar-benar menutup telepon secara sepihak. Dengan panik, ia mencoba menelepon kembali, namun tak ada jawaban. "Dimas! Halo? Dimas?!" Dinda memandangi layar ponselnya, memastikan panggilan itu benar-benar sudah terputus."Kenapa dia tutup telepon begitu saja?" gerutunya kesal, berbicara sendiri sambil menatap ponselnya seolah itu adalah jawabannya. "Aku kan belum selesai ngomong!"Rasa marah, panik, dan malu semakin membakar dirinya. Dinda berdiri di tengah keramaian mall, namun perasaannya seolah-olah ia berada di tengah kekosongan yang mengancam. Di sekitar, orang-orang berjalan sibuk, tapi baginya dunia seakan b
Wajah Dinda memerah, penuh emosi. “Kamu ingat Dirga, kakak kelas kita sewaktu SMA?” Dinda bertanya dengan suara yang bergetar. “Kamu tahu apa yang terjadi setelah kamu meninggalkan kami di toko buku?”Anisa mengerutkan kening, mengingat kejadian itu. “Tentu aku ingat, aku yang memperkenalkan kalian berdua. Aku cuma membantu menjodohkan kalian. Setelah itu, aku tidak tahu apa yang terjadi di antara kalian. Yang aku ingat, keesokan harinya kamu sudah tidak mau bicara padaku, dan aku tidak tahu alasannya.”Dinda tertawa sinis. “Kamu tidak tahu? Kamu benar-benar tidak tahu apa yang terjadi?” Wajahnya semakin serius. "Dirga menolakku, Anisa. Dia mengatakan kalau dia hanya mencintaimu. Hanya kamu, bukan aku! Kamu tahu betapa hancurnya hatiku saat itu? Itu semua karena kamu!"Anisa terpana. “Tapi itu bukan salahku, Dinda. Aku tidak pernah mencintai Dirga!” ucap Anisa membela diri, mencoba menenangkan Dinda yan