Kesabaran Dimas akhirnya habis. Dengan nada dingin dan tegas, ia berkata, "Terserah kamu, Dinda. Aku sudah memberitahumu kenyataan tentang kondisi keuangan kita sekarang. Kalau kamu mau terima, ya bagus. Kalau nggak, itu urusanmu."
Tanpa menunggu tanggapan dari Dinda, Dimas langsung menutup teleponnya.
Dinda terperangah, tak percaya bahwa Dimas benar-benar menutup telepon secara sepihak. Dengan panik, ia mencoba menelepon kembali, namun tak ada jawaban. "Dimas! Halo? Dimas?!" Dinda memandangi layar ponselnya, memastikan panggilan itu benar-benar sudah terputus.
"Kenapa dia tutup telepon begitu saja?" gerutunya kesal, berbicara sendiri sambil menatap ponselnya seolah itu adalah jawabannya. "Aku kan belum selesai ngomong!"
Rasa marah, panik, dan malu semakin membakar dirinya. Dinda berdiri di tengah keramaian mall, namun perasaannya seolah-olah ia berada di tengah kekosongan yang mengancam. Di sekitar, orang-orang berjalan sibuk, tapi baginya dunia seakan b
Wajah Dinda memerah, penuh emosi. “Kamu ingat Dirga, kakak kelas kita sewaktu SMA?” Dinda bertanya dengan suara yang bergetar. “Kamu tahu apa yang terjadi setelah kamu meninggalkan kami di toko buku?”Anisa mengerutkan kening, mengingat kejadian itu. “Tentu aku ingat, aku yang memperkenalkan kalian berdua. Aku cuma membantu menjodohkan kalian. Setelah itu, aku tidak tahu apa yang terjadi di antara kalian. Yang aku ingat, keesokan harinya kamu sudah tidak mau bicara padaku, dan aku tidak tahu alasannya.”Dinda tertawa sinis. “Kamu tidak tahu? Kamu benar-benar tidak tahu apa yang terjadi?” Wajahnya semakin serius. "Dirga menolakku, Anisa. Dia mengatakan kalau dia hanya mencintaimu. Hanya kamu, bukan aku! Kamu tahu betapa hancurnya hatiku saat itu? Itu semua karena kamu!"Anisa terpana. “Tapi itu bukan salahku, Dinda. Aku tidak pernah mencintai Dirga!” ucap Anisa membela diri, mencoba menenangkan Dinda yan
Rita, yang melihat suaminya ragu, bertanya, "Siapa, Mas?""Dinda," jawab Dimas singkat, suaranya terdengar lesu. "Aku malas ngangkat. Paling-paling dia minta uang lagi."Rita tersenyum kecil. "Mas, angkat saja. Siapa tahu kali ini memang ada yang penting," bujuk Rita dengan bijak.Dengan rasa enggan, Dimas akhirnya menggeser layar ponselnya dan mengangkat panggilan itu. "Halo, Dinda. Ada apa?""Dimas, kamu lagi di mana? Jam berapa kamu akan pulang?" tanya Dinda, suaranya terdengar tegang."Aku lagi di kantor. Banyak kerjaan. Mungkin aku nggak bisa pulang malam ini," bohong Dimas, mencoba menghindari konfrontasi."Dimas, aku mohon, kamu pulang. Ada sesuatu yang sangat penting yang harus aku bicarakan langsung. Ini nggak bisa dibicarakan lewat telepon," desak Dinda, suaranya makin mendesak.Dimas menghela napas, merasa berat hati. "Dinda, aku beneran sibuk. Nggak bisa ninggalin kerjaan sekarang," jawabnya, masih berusaha menolak.
Namun, sesuai peraturan bank yang berlaku, kami tidak bisa memberikan nomor telepon ataupun informasi pribadi nasabah kami.”Mata Anisa seketika membesar. Kekecewaan melintas di wajahnya, seolah ia baru saja dipukul oleh kenyataan pahit. “Tapi, Mbak...”*Anisa berusaha menahan gemuruh emosinya, namun suaranya mulai bergetar. “Orang yang kirim uang itu, dia suami saya. Saya butuh nomor teleponnya, karena dia sudah lama menghilang tanpa kabar. Ini satu-satunya petunjuk yang saya punya.”Petugas bank tampak sedikit terkejut dengan pengakuan Anisa, namun wajahnya tetap tenang, seperti sudah terbiasa menghadapi situasi emosional seperti ini. “Maaf, Bu. Kami benar-benar mengerti situasi Ibu, tapi kami harus patuh pada aturan privasi nasabah. Informasi seperti nomor telepon tidak bisa kami berikan, meski dalam situasi seperti ini.”Kata-kata itu terdengar sangat resmi, kaku, dan menghancurkan seluruh harapan Anisa. Napasnya tera
Pak Hartono mengernyitkan dahi, agak terkejut. "Aditya Corporation?" ucapnya pelan, mencoba mencerna. "Bukankah itu perusahaan tempat menantu saya, Reza, bekerja? Ada keperluan apa mereka ke sini?""Katanya mereka ingin menginvestasikan uangnya di perusahaan kita, Pak," jawab Sari sambil menyerahkan beberapa dokumen.Dimas dan Pak Hartono saling berpandangan sejenak, tersenyum lebar. Ini tampaknya adalah kesempatan besar yang bisa menyelamatkan perusahaan mereka dari kehancuran."Segera suruh mereka masuk," ujar Pak Hartono, suaranya mulai terdengar antusias.Sari keluar untuk memanggil utusan dari Aditya Corporation, dan tidak lama kemudian seorang pemuda berpenampilan rapi memasuki ruangan. Ia memperkenalkan dirinya dengan ramah."Selamat siang, Pak Hartono," ucapnya dengan sopan. "Perkenalkan, nama saya Fito, saya perwakilan dari Aditya Corporation. Tujuan saya ke sini adalah untuk membahas rencana kami menginvestasikan dana di perusahaan Bapak. Kami mendengar bahwa perusahaan Bapa
Ibu Anisa semakin penasaran. "Memangnya, apa saja yang ada di dalam truk ini?" tanyanya lagi.Pria itu melihat catatannya sejenak. "Ini ada susu bayi, popok, sembako, dan berbagai keperluan bayi, Bu," jelasnya.Mendengar itu, Ibu Anisa semakin kebingungan. "Bapak tunggu sebentar di sini, ya. Saya tanyakan dulu kepada anak saya apakah dia yang memesan barang-barang ini," katanya sambil berlalu masuk ke rumah, memanggil putrinya."Nis... Anisa, coba kemari sebentar, Nak," panggil Ibu Anisa.Anisa, yang sedang menggendong bayi kecilnya, Alisha, segera datang ke ruang depan. "Ada apa, Bu? Ibu memanggil Nisa?" tanyanya.Ibu Anisa menjelaskan dengan nada heran, "Ini, Nis, ada petugas yang datang membawa barang-barang keperluan bayi dan sembako dalam jumlah banyak. Apa kamu yang pesan semuanya?"Anisa mengerutkan kening, bingung. "Perlengkapan bayi? Tidak, Bu. Nisa tidak pernah pesan barang-barang seperti itu. Apa Ibu sudah tanyakan siapa yang mengirimnya?""Katanya dari perusahaan Aditya Co
Reza yang belum sempat melepaskan dasinya, menghela napas panjang. “Siska, tenang dulu. Suami pulang bukannya disuruh duduk atau diberi air minum, malah langsung ditanyai pertanyaan yang nggak jelas,” balas Reza dengan nada kesal, mencoba menenangkan suasana.Siska memutar bola matanya, tak terpengaruh. “Nggak jelas gimana, Mas? Tadi pagi Ibu nelepon aku, dia bilang ada kiriman barang-barang dari Aditya Corporation untuk Anisa. Kalau bukan kamu yang kirim, siapa lagi? Cuma kamu di keluarga kita yang kerja di sana.”Mendengar itu, Reza langsung terkejut. “Apa? Kamu yakin itu dari perusahaanku?” tanyanya sambil melepas dasi dan duduk di kursi, matanya menatap Siska dengan serius.“Iya, Reza. Tadi Ibu yang bilang begitu. Nama pengirimnya dari Aditya Corporation, tempat kamu kerja. Makanya aku tanya, siapa lagi kalau bukan kamu?” Siska mulai kesal, merasa suaminya menghindar dari pertanyaan yang seharusnya jelas.Reza memijat pelipisnya, mencoba mencerna apa yang baru saja dia dengar. "Si
Dengan rasa penasaran, Reza segera mendekati Adrian. "Hei, Adrian!" panggilnya dengan nada merendahkan. "Ternyata sekarang kamu kerja di sini jadi OB, ya?" ucap Reza sambil menilai penampilan Adrian dari atas ke bawah, penuh ejekan.Adrian, yang terlihat sedang sibuk mengamati sekeliling kantor, hanya melirik sekilas ke arah Reza tanpa menunjukkan emosi apapun. Alih-alih menjawab, Adrian berjalan pergi begitu saja, seolah Reza tidak ada di sana."Kurang ajar!" Reza langsung tersulut amarah. "Berani-beraninya dia mengacuhkanku. Apa dia nggak tahu siapa aku di sini? Aku manajer! Kalau aku mau, bisa kupecat dia sekarang juga!" gumamnya sambil mengejar Adrian, rasa marah makin membakar.Dengan cepat, Reza mencengkeram lengan Adrian, menghentikan langkahnya. "Hei, Adrian! Aku belum selesai ngomong! Apa kamu mau aku pecat, hah?" Reza berkata dengan nada keras, matanya memandang tajam, penuh kemarahan.Adrian menatap Reza dingin. "Aku nggak perlu m
Dirga, yang juga tampak tak kalah terkejut, membalas tatapannya. "Anisa? Kamu Anisa, kan? Teman SMA-ku dulu?" tanya Dirga dengan mata yang berbinar.Anisa tersenyum tipis. "Iya, Dirga. Ini aku, Anisa. Sudah lama ya kita nggak bertemu," jawabnya, suaranya terdengar lebih lembut sekarang. "Gimana kabarnya kamu, Dirga?"Dirga tersenyum lebar, lega melihat Anisa baik-baik saja. "Aku baik-baik saja, Nisa. Kamu sendiri gimana kabarnya? Aku nggak menyangka bisa ketemu kamu di sini.""Aku juga baik, Dirga. Cuma ya, akhir-akhir ini banyak hal yang terjadi," jawab Anisa, mencoba mengalihkan percakapan dari kesulitan hidupnya belakangan ini.Setelah itu, Dirga duduk di bangku yang sama dengan Anisa. Mereka mulai berbincang lebih lanjut. "Kamu sekarang kerja di mana, Nisa?" tanya Dirga sambil tersenyum hangat, seolah waktu tidak mengubah kenyamanan di antara mereka.Anisa tersenyum tipis, sedikit canggung mengingat posisinya saat ini. "Aku... belum kerja sekarang, Dirga. Lagi ada beberapa urusan
Dimas terduduk di lantai, matanya memandang kosong ke arah pembatas tempat Daniel terjatuh. "Aku hampir menyelamatkannya... Aku hampir mengubah segalanya," gumamnya dengan suara bergetar.Adrian menepuk bahu Dimas dengan lembut. "Kau sudah melakukan yang terbaik. Dia memilih untuk meminta maaf. Setidaknya, dia pergi dengan hati yang tidak lagi dipenuhi kebencian."Mereka berdua terdiam, menatap langit malam yang dingin. Dalam keheningan itu, keduanya berjanji dalam hati bahwa mereka akan menjaga keluarga mereka dan tidak akan membiarkan kebencian seperti ini menghancurkan lagi.Meskipun akhir ini tragis, mereka tahu bahwa cerita ini mengajarkan mereka tentang arti pentingnya memaafkan dan melepaskan dendam..***Beberapa bulan setelah insiden tragis yang mengguncang kehidupan Adrian dan keluarganya, kehidupan akhirnya kembali berjalan normal. Waktu telah menjadi penyembuh yang luar biasa, perlahan tapi pasti mengobati luka-luka hati yang ditinggalkan oleh kejadian itu. Kehidupan baru
Adrian melangkah mendekat, tetap memeluk Alisha dengan hati-hati. "Dia selamat, Dimas. Aku dan polisi sudah berhasil menyelamatkannya. Kami tahu Daniel mungkin akan melakukan sesuatu yang nekat."Dimas menatap Adrian dengan kebingungan. "Tapi bagaimana mungkin...? Aku melihat sendiri, kalau dia... Daniel melemparnya..."Adrian menghela napas, mencoba menjelaskan di tengah emosi yang berkecamuk. "Sebelum aku ke sini, aku dan polisi sudah mempersiapkan segala kemungkinan. Kami memasang jaring pengaman di balkon kamar yang ada tepat di bawah rooftop ini. Saat Daniel melepaskan Alisha..." Adrian berhenti sejenak, menatap Alisha yang masih terisak. "...instingku benar. Jaring itu menyelamatkannya."Dimas tersandar lemas ke lantai, matanya mulai berkaca-kaca lagi, tetapi kali ini karena lega yang luar biasa. "Alisha... dia selamat. Dia benar-benar selamat..."Dimas menatap Adrian dengan penuh harap, suaranya gemetar ketika bertanya, "Bagaimana dengan Anisa dan semua anggota keluarga kita? A
Sementara itu, di rooftop yang penuh ketegangan, Dimas terus mencoba berbicara dengan Daniel. Dengan suara penuh harapan, ia berkata, “Daniel, aku mohon, lepaskan Alisha. Dia hanya seorang anak kecil, dia tidak bersalah. Kau tidak perlu melibatkan dia dalam dendammu ini.”Namun, Daniel tetap tak tergoyahkan. Dengan ekspresi penuh amarah, ia berteriak, “Kau tidak mengerti apa yang aku rasakan, Dimas! Aku sudah kehilangan segalanya. Adrian mengambil semua dariku—hidupku, mimpiku, bahkan wanita yang aku cintai! Dan sekarang, dia harus merasakan penderitaan yang sama.”Alisha terus menangis dalam dekapan Daniel, tangisannya semakin memilukan. Hati Dimas terasa hancur melihat keponakannya yang ketakutan. Ia tahu, jika ia tidak melakukan sesuatu, situasinya bisa menjadi lebih buruk. Dimas mencoba mengalihkan pikiran Daniel dengan berbicara lebih tenang. “Dengar, Daniel. Aku tahu kau terluka, dan aku tidak bisa menghapus rasa sakit itu. Tapi aku percaya kau masih punya hati. Jangan biarkan d
“Dengar kan aku baik-baik. Sebaiknya kalian berhenti berisik sekarang. Karena pertunjukanku yang kedua akan segera dimulai.”Kata-kata itu membuat Dimas dan Adrian saling berpandangan, bingung dan waspada.“Pertunjukan apa, Daniel? Apa yang sudah kau rencanakan?” tanya Adrian dengan suara tegang, mencoba mencari tahu apa maksud pria di depannya.Daniel hanya tertawa pelan, suara tawanya menggema di rooftop yang dingin. Belum sempat Adrian menuntut jawaban, tiba-tiba suara ledakan keras mengguncang udara, diikuti getaran yang terasa hingga ke tempat mereka berdiri.“Boom!” seru Daniel dengan nada puas, senyumnya semakin lebar melihat kepanikan yang mulai merayap di wajah Adrian dan Dimas.“Apa yang sudah kau lakukan, Daniel?!” teriak Dimas, suaranya penuh kepanikan. Adrian segera mengalihkan pandangannya ke arah suara ledakan, wajahnya memucat.Daniel menatap mereka dengan tatapan penuh kemenangan. “Tenang saja, ledakan kecil itu hanya untuk memberimu pilihan, Adrian. Kau mau menyelama
“Jangan mendekat!” balas pria itu, menolehkan wajahnya ke Adrian dengan mata merah dan penuh kebencian. “Kalau kau mendekat, aku tidak akan ragu-ragu untuk... untuk...” Ia tak sanggup menyelesaikan kalimatnya, tapi gesturnya sudah cukup jelas.Angin kencang malam itu membuat suasana semakin mencekam. Alisha menangis keras, tangannya mencoba meraih udara seolah meminta bantuan.“Kau tidak perlu melakukan ini,” kata Adrian, mencoba menenangkan situasi. “Apa pun masalahnya, kita bisa menyelesaikannya secara baik baik. Jangan melibatkan anak kecil yang tidak bersalah.”Pria itu menatap Adrian dengan ekspresi penuh rasa sakit. “Tidak bersalah? Semua kejadian ini adalah salahmu, Adrian! Hidupku hancur karena kau! Sekarang kau harus merasakan penderitaanku!”Adrian melangkah pelan, berhati-hati agar tidak memprovokasi. “Dengar, aku tidak tahu apa yang sudah kau alami, tapi aku bisa membantumu. Asal kau menyerahkan Alisha padaku. Dia tidak seharusnya berada dalam situasi seperti ini.”Pria it
Daniel mengepalkan tangannya, suaranya berbisik dingin, “Nikmati kebahagiaan kalian sekarang, Adrian. Sebentar lagi, aku akan memastikan tawa itu berubah menjadi jeritan kesedihan.”Ia menatap Anisa yang tersenyum cerah sambil memegang tangan Alisha. Pemandangan itu membuat hatinya terbakar. Ia memalingkan wajahnya sebentar, berusaha meredam emosi yang semakin memuncak. Dengan langkah perlahan namun penuh perhitungan, ia bergerak menuju belakang panggung kecil tempat perayaan berlangsung.Di atas panggung, Adrian dan Anisa melanjutkan nyanyian mereka, memimpin para tamu dalam perayaan. Alisha, yang kini genap dua tahun, tertawa riang di tengah sorakan semua orang. Suasana bahagia memenuhi ballroom, penuh dengan senyum dan tawa dari keluarga dan teman dekat.Namun, kegembiraan itu tiba-tiba terhenti. Dalam sekejap, lampu di seluruh ballroom padam, meninggalkan kegelapan yang pekat. Suara bisikan dan gumaman panik mulai terdengar dari para tamu.
Doni menelan ludah, merasa merinding oleh intensitas di mata bosnya. Ia bertanya hati-hati, “Kalau boleh tahu, Pak, apa rencana Bapak?”Daniel terdiam sejenak, memutar gelas minumannya di tangan. Cairan bening di dalamnya berputar lambat, seolah mencerminkan kekacauan yang bergejolak di dalam pikirannya. Setelah beberapa detik, ia menghela napas panjang dan tersenyum kecil, sebuah senyuman yang dingin dan penuh tekad. “Nanti juga kamu akan tahu, Doni. Yang jelas, aku akan membuat Adrian merasakan apa yang kurasakan sekarang. Kehilangan segalanya. Hancur. Dan aku akan pastikan dia tidak pernah bangkit lagi.” Suaranya dipenuhi bara dendam yang membakar setiap kata yang diucapkannya.Doni mengangguk perlahan, mencoba menyembunyikan kegelisahan di hatinya. “Baik, Pak Daniel. Saya percaya, apa pun yang Bapak lakukan pasti yang terbaik. Tapi... saya tetap harus mengingatkan, anda Pak. Pak Adrian itu bukan orang sembarangan. Dia punya uang, kekua
Sementara itu, di kediaman AdrianSenja baru saja turun, mewarnai langit dengan semburat jingga. Di ruang tamu rumah besar milik Adrian, Anisa sedang duduk membaca buku sambil menunggu suaminya pulang. Suara mesin mobil berhenti di halaman, membuatnya segera menutup buku dan bangkit menuju pintu.Ketika pintu terbuka, Adrian muncul dengan senyuman yang lebar. Langkahnya ringan, wajahnya berseri seperti seseorang yang baru saja memenangkan perang besar.Anisa menyipitkan mata, heran. “Mas? Kok kamu kelihatan bahagia sekali? Ada apa?” tanyanya, berjalan mendekat.Adrian hanya tersenyum, melepaskan jasnya dan menyerahkannya pada Anisa sambil berjalan menuju sofa. Anisa mengikutinya dengan rasa penasaran yang semakin membuncah.Setelah duduk, Adrian menepuk sofa di sebelahnya, memberi isyarat agar Anisa duduk di sampingnya. Anisa patuh, duduk dengan mata yang menatap tajam, menunggu jawaban.“Cerita dong, Mas. Jangan membuat aku semakin penasaran,” katanya sambil menyodorkan secangkir kop
Namun, Mr. Lee mengangkat tangan, menghentikan Daniel. “Cukup. Saya juga akan memberi tahu kepada semua mitra bisnis kami di China tentang apa yang sudah terjadi hari ini. Saya ingin mereka tahu betapa bobroknya integritas Prawira Group.”Daniel tampak seperti dihantam badai. Wajahnya merah padam, tetapi kali ini bukan karena amarah, melainkan karena ketakutan. “Tuan Lee, tolong… tolong jangan lakukan itu. Anda tahu apa artinya bagi perusahaan kami jika reputasi kami hancur di pasar China. Kami tidak akan bisa bertahan. Saya mohon, beri kami kesempatan untuk memperbaiki kesalahan ini.”Mr. Lee menatapnya dengan dingin. “Kesempatan? Kesempatan itu Anda sudah sia-siakan ketika Anda memutuskan untuk bermain kotor. Saya tidak peduli berapa besar perusahaan Anda. Bagi kami, kejujuran adalah segalanya.”Setelah mengucapkan kata-kata terakhirnya, Mr. Lee meraih koper itu dan menyerahkannya kembali kepada Daniel. “Ambil u