Dengan rasa penasaran, Reza segera mendekati Adrian. "Hei, Adrian!" panggilnya dengan nada merendahkan. "Ternyata sekarang kamu kerja di sini jadi OB, ya?" ucap Reza sambil menilai penampilan Adrian dari atas ke bawah, penuh ejekan.Adrian, yang terlihat sedang sibuk mengamati sekeliling kantor, hanya melirik sekilas ke arah Reza tanpa menunjukkan emosi apapun. Alih-alih menjawab, Adrian berjalan pergi begitu saja, seolah Reza tidak ada di sana."Kurang ajar!" Reza langsung tersulut amarah. "Berani-beraninya dia mengacuhkanku. Apa dia nggak tahu siapa aku di sini? Aku manajer! Kalau aku mau, bisa kupecat dia sekarang juga!" gumamnya sambil mengejar Adrian, rasa marah makin membakar.Dengan cepat, Reza mencengkeram lengan Adrian, menghentikan langkahnya. "Hei, Adrian! Aku belum selesai ngomong! Apa kamu mau aku pecat, hah?" Reza berkata dengan nada keras, matanya memandang tajam, penuh kemarahan.Adrian menatap Reza dingin. "Aku nggak perlu m
Dirga, yang juga tampak tak kalah terkejut, membalas tatapannya. "Anisa? Kamu Anisa, kan? Teman SMA-ku dulu?" tanya Dirga dengan mata yang berbinar.Anisa tersenyum tipis. "Iya, Dirga. Ini aku, Anisa. Sudah lama ya kita nggak bertemu," jawabnya, suaranya terdengar lebih lembut sekarang. "Gimana kabarnya kamu, Dirga?"Dirga tersenyum lebar, lega melihat Anisa baik-baik saja. "Aku baik-baik saja, Nisa. Kamu sendiri gimana kabarnya? Aku nggak menyangka bisa ketemu kamu di sini.""Aku juga baik, Dirga. Cuma ya, akhir-akhir ini banyak hal yang terjadi," jawab Anisa, mencoba mengalihkan percakapan dari kesulitan hidupnya belakangan ini.Setelah itu, Dirga duduk di bangku yang sama dengan Anisa. Mereka mulai berbincang lebih lanjut. "Kamu sekarang kerja di mana, Nisa?" tanya Dirga sambil tersenyum hangat, seolah waktu tidak mengubah kenyamanan di antara mereka.Anisa tersenyum tipis, sedikit canggung mengingat posisinya saat ini. "Aku... belum kerja sekarang, Dirga. Lagi ada beberapa urusan
"Jangan tanya sekarang, Dirga. Ini rumit. Lebih baik kita pergi sebelum situasinya makin buruk," jawab Anisa cepat, suaranya mulai serak oleh ketegangan. Namun, sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, pria itu—Daniel—memanggil nama Anisa dengan nada yang tak bisa disembunyikan, penuh keputusasaan dan frustrasi.“Anisa! Tunggu!” Daniel berteriak sambil mendekat dengan langkah panjang yang cepat. "Kenapa kamu selalu menghindariku? Kita perlu bicara!"Anisa menghentikan langkahnya, meskipun dia tidak ingin berbalik. Dengan tegas, tanpa menoleh, dia menjawab, “Tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan, Daniel. Aku sudah muak melihatmu.”Dirga menatap wajah Anisa yang pucat dan tegang. Dia merasa ada banyak hal yang disembunyikan di balik hubungan ini, sesuatu yang mungkin lebih dalam daripada yang bisa dilihat dari luar. Tapi dia tetap diam, menghormati keputusan Anisa.Daniel, yang tidak puas dengan jawaban Anisa, terus m
Namun, rasa penasaran itu tetap mengusiknya. “Kalau boleh tahu, Nisa... Nama lengkap suamimu siapa?” tanya Dirga, mencoba menggali lebih dalam.Anisa tersenyum kecil, sedikit malu. “Anehnya, aku tidak tahu nama lengkapnya, Dirga. Sejak kami menikah, aku hanya memanggilnya Adrian.Mungkin dia memang tidak punya nama panjang.”Dirga tertawa kecil. “Kamu aneh, Nisa. Masa suami sendiri tidak tahu nama lengkapnya?”Anisa ikut tertawa ringan, meskipun hatinya masih diliputi duka. “Iya, aku tahu. Mungkin terdengar aneh, tapi begitulah. Dia hanya selalu jadi ‘Adrian’ bagiku.”“Terus, dia kerja di mana?” tanya Dirga lagi, semakin penasaran.“Dia hanya karyawan biasa di sebuah perusahaan swasta. Tapi karena ulah Daniel, Adrian dituduh menggelapkan uang dan dipecat dari sana. Semua gara-gara fitnah yang dibuat Daniel.”Mendengar itu, Dirga semakin terkejut. “Jadi, bukan cuma rumah tanggamu yang dihancurkan, tapi juga karier suamimu?”Anisa mengangguk dengan tatapan pahit. “Iya, Dirga. Daniel bena
Di sebuah restoran yang terletak di dekat taman, Adrian duduk sambil melihat ke arah pintu, menunggu seseorang yang tak kunjung datang. Ia mengetuk-ngetuk meja dengan jemarinya, matanya sesekali menatap jam tangan dengan raut wajah semakin kesal. "Kemana sih orang itu? Kebiasaan, setiap kali ada janji, selalu saja telat," gumam Adrian dalam hati, seraya menghela napas panjang.Ia mengambil ponselnya, mencoba menelepon orang yang dia tunggu. Tapi, seperti yang dia duga, telepon itu tak diangkat. "Tuhan... Sudah telat, telepon juga nggak diangkat-angkat. Benar-benar bikin emosi," gerutunya lagi. Sambil menyesap minuman di hadapannya, Adrian terus melirik pintu, berharap yang dinanti segera muncul.Tak lama, seseorang menepuk bahunya dari belakang. "Sori, bro! Telat dikit tadi, ada urusan mendadak," suara itu terdengar penuh canda.Adrian memutar tubuhnya dan menatap orang itu dengan tatapan jengkel. "Enak saja bilang ‘telat dikit’, aku sudah menunggu lebih dari 30 menit di sini, Dirga!"
"Iya, Dirga, memang ada sesuatu yang penting yang ingin aku bicarakan denganmu," ucap Adrian dengan nada yang lebih serius, menghentikan semua canda dan tawa yang sebelumnya mengisi obrolan mereka. Tatapannya berubah tegas, membuat Dirga langsung menyadari bahwa ada hal besar yang akan dibahas. Adrian menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Aku ingin kamu menjadi perwakilanku untuk mengurus Hartono Corporation."Dirga yang tadinya santai, langsung terdiam. Dahi berkerut, matanya memandang Adrian dengan kebingungan. "Hartono Corporation? Bukankah perusahaan itu hampir bangkrut? Dan setahuku, perusahaan itu bukan bagian dari Aditya Corporation" tanyanya sambil mengingat-ingat berita terakhir tentang perusahaan tersebut.Adrian tersenyum tipis, seperti sudah menduga reaksi Dirga. "Iya, memang benar. Hartono Corporation memang hampir bangkrut beberapa waktu lalu. Tapi itu dulu, sebelum aku masuk membantu mereka. Sekarang, aku sudah menginvestasikan uang yang cukup besar di sana.
"Adrian?" Pak Hartono yang tadinya duduk tenang, langsung menegakkan tubuhnya. "Apa yang dilakukan Adrian di sana?" tanyanya dengan nada penuh penasaran.Reza mengangkat bahu lagi. "Entahlah, Pa. Tapi dari penampilannya, aku rasa dia kerja sebagai OB di sana. Bajunya biasa banget, jauh dari kesan seorang bos.""OB?" Dimas yang sejak tadi diam, ikut berbicara. "Apa kamu yakin Adrian cuma OB di sana?"Reza mengangguk dengan yakin. "Ya, pasti lah. Masa Adrian jadi CEO di sana? Nggak mungkin banget, Kak. Selama ini dia cuma karyawan biasa. Aku yakin dia kerja jadi OB atau pekerjaan serabutan semacam itu."Pak Hartono tersenyum kecil mendengar keyakinan Reza. "Iya, benar. Pekerjaan Adrian selama ini memang tidak terlalu menonjol. Jadi OB mungkin saja jadi pilihan dia saat ini."Pak Hartono duduk diam, memikirkan ucapan Siska yang penuh emosi. Semua yang dibicarakan di ruang tamu malam itu terasa semakin berat di hatinya. "Kalau memang benar Adrian sekarang bekerja di Aditya Corporation, b
"Ah, nggak usah. Palingan dia mau pinjam uang lagi. Lagian, ini nggak terlalu penting," jawab Reza sambil menekan tombol untuk menolak panggilan dan memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku celananya. Wajahnya masih menyimpan kegelisahan, berharap telepon itu tidak akan berdering lagi.Namun, belum lama setelah ponsel dimasukkan ke saku, dering ponsel itu terdengar kembali. Kali ini lebih membuat Reza panik. Lagi-lagi, nama "Lukas" tertera di layar."Duh, siapa sih lagi, ganggu saja!" keluh Reza sambil mengeluarkan ponselnya lagi. Dia tahu betul bahwa Lina tidak akan berhenti menelepon sampai dia menjawabnya."Sudah, angkat saja, sayang. Mungkin benar-benar penting," kata Siska, sedikit penasaran dengan kenapa suaminya terlihat begitu ragu.Dengan terpaksa, Reza mengambil keputusan cepat. "Baiklah, kalau begitu aku angkat di luar saja ya, sayang," ucapnya sambil beranjak dari kursi, bermaksud menjauh agar bisa berbicara tanpa gangguan.Namun, Siska yang biasanya tidak terlalu peduli