Di sebuah restoran yang terletak di dekat taman, Adrian duduk sambil melihat ke arah pintu, menunggu seseorang yang tak kunjung datang. Ia mengetuk-ngetuk meja dengan jemarinya, matanya sesekali menatap jam tangan dengan raut wajah semakin kesal. "Kemana sih orang itu? Kebiasaan, setiap kali ada janji, selalu saja telat," gumam Adrian dalam hati, seraya menghela napas panjang.Ia mengambil ponselnya, mencoba menelepon orang yang dia tunggu. Tapi, seperti yang dia duga, telepon itu tak diangkat. "Tuhan... Sudah telat, telepon juga nggak diangkat-angkat. Benar-benar bikin emosi," gerutunya lagi. Sambil menyesap minuman di hadapannya, Adrian terus melirik pintu, berharap yang dinanti segera muncul.Tak lama, seseorang menepuk bahunya dari belakang. "Sori, bro! Telat dikit tadi, ada urusan mendadak," suara itu terdengar penuh canda.Adrian memutar tubuhnya dan menatap orang itu dengan tatapan jengkel. "Enak saja bilang ‘telat dikit’, aku sudah menunggu lebih dari 30 menit di sini, Dirga!"
"Iya, Dirga, memang ada sesuatu yang penting yang ingin aku bicarakan denganmu," ucap Adrian dengan nada yang lebih serius, menghentikan semua canda dan tawa yang sebelumnya mengisi obrolan mereka. Tatapannya berubah tegas, membuat Dirga langsung menyadari bahwa ada hal besar yang akan dibahas. Adrian menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Aku ingin kamu menjadi perwakilanku untuk mengurus Hartono Corporation."Dirga yang tadinya santai, langsung terdiam. Dahi berkerut, matanya memandang Adrian dengan kebingungan. "Hartono Corporation? Bukankah perusahaan itu hampir bangkrut? Dan setahuku, perusahaan itu bukan bagian dari Aditya Corporation" tanyanya sambil mengingat-ingat berita terakhir tentang perusahaan tersebut.Adrian tersenyum tipis, seperti sudah menduga reaksi Dirga. "Iya, memang benar. Hartono Corporation memang hampir bangkrut beberapa waktu lalu. Tapi itu dulu, sebelum aku masuk membantu mereka. Sekarang, aku sudah menginvestasikan uang yang cukup besar di sana.
"Adrian?" Pak Hartono yang tadinya duduk tenang, langsung menegakkan tubuhnya. "Apa yang dilakukan Adrian di sana?" tanyanya dengan nada penuh penasaran.Reza mengangkat bahu lagi. "Entahlah, Pa. Tapi dari penampilannya, aku rasa dia kerja sebagai OB di sana. Bajunya biasa banget, jauh dari kesan seorang bos.""OB?" Dimas yang sejak tadi diam, ikut berbicara. "Apa kamu yakin Adrian cuma OB di sana?"Reza mengangguk dengan yakin. "Ya, pasti lah. Masa Adrian jadi CEO di sana? Nggak mungkin banget, Kak. Selama ini dia cuma karyawan biasa. Aku yakin dia kerja jadi OB atau pekerjaan serabutan semacam itu."Pak Hartono tersenyum kecil mendengar keyakinan Reza. "Iya, benar. Pekerjaan Adrian selama ini memang tidak terlalu menonjol. Jadi OB mungkin saja jadi pilihan dia saat ini."Pak Hartono duduk diam, memikirkan ucapan Siska yang penuh emosi. Semua yang dibicarakan di ruang tamu malam itu terasa semakin berat di hatinya. "Kalau memang benar Adrian sekarang bekerja di Aditya Corporation, b
"Ah, nggak usah. Palingan dia mau pinjam uang lagi. Lagian, ini nggak terlalu penting," jawab Reza sambil menekan tombol untuk menolak panggilan dan memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku celananya. Wajahnya masih menyimpan kegelisahan, berharap telepon itu tidak akan berdering lagi.Namun, belum lama setelah ponsel dimasukkan ke saku, dering ponsel itu terdengar kembali. Kali ini lebih membuat Reza panik. Lagi-lagi, nama "Lukas" tertera di layar."Duh, siapa sih lagi, ganggu saja!" keluh Reza sambil mengeluarkan ponselnya lagi. Dia tahu betul bahwa Lina tidak akan berhenti menelepon sampai dia menjawabnya."Sudah, angkat saja, sayang. Mungkin benar-benar penting," kata Siska, sedikit penasaran dengan kenapa suaminya terlihat begitu ragu.Dengan terpaksa, Reza mengambil keputusan cepat. "Baiklah, kalau begitu aku angkat di luar saja ya, sayang," ucapnya sambil beranjak dari kursi, bermaksud menjauh agar bisa berbicara tanpa gangguan.Namun, Siska yang biasanya tidak terlalu peduli
Di depan pintu, Lina berdiri dengan senyum menggoda. Dia mengenakan pakaian yang jauh dari biasa, hanya dibalut pakaian tidur tipis yang tampak sengaja dipilih untuk menarik perhatian Reza. Mata Lina berkilat penuh godaan, dan dia berjalan mendekat.Reza, yang tadinya khawatir, sekarang hanya bisa tersenyum tipis sambil menggelengkan kepala. "Jadi, kamu bohong soal orang yang mondar-mandir di depan apartemen mu? Ini semua hanya akal-akalanmu saja biar aku datang ke sini?" tanyanya dengan suara rendah, sambil mencolek hidung Lina.Lina tersenyum dan mengangguk, sedikit menundukkan kepalanya. "Habisnya, kalau aku nggak pakai alasan begitu, kamu nggak bakal datang kesini, mas. Ini sudah seminggu lo kita nggak ketemu, Mas," jawab Lina manja."Iya, maafkan aku, sayang. Minggu-minggu ini mas benar-benar sibuk di kantor," ucap Reza mencoba membela diri, meskipun dia tahu ada kebenaran dalam ucapan Lina."Ah, itu hanya alasanmu saja. Bilang saja kamu sibuk mengurus istrimu itu," sahut Lina de
Melihat Dinda yang pergi begitu saja, Dimas panik. Tanpa berpikir panjang, ia segera berlari menyusulnya. "Dinda, tunggu!" teriak Dimas, suaranya menggema di lorong-lorong mall. Namun, Dinda tidak menoleh, langkahnya semakin cepat, meninggalkan butik itu tanpa menoleh sedikit pun. Saat Dimas hendak mengejar lebih jauh, tiba-tiba tangan Rita menariknya. "Mas, tunggu! Siapa dia? Kenapa kamu panik begitu?" tanya Rita dengan suara bingung dan khawatir.Dimas terdiam sejenak, memandang Rita dengan tatapan penuh rasa bersalah. "Dia... dia Dinda, sayang. Dia Istriku," ucapnya pelan, nyaris berbisik. Namun, kata-kata itu menghantam keras di hati Rita.Rita tertegun, tak percaya apa yang baru saja didengarnya. Selama ini, ia tahu nama Dinda sebagai istri Dimas, tapi ia tak pernah tahu seperti apa wajah wanita itu. Kini, wanita yang selama ini hanya nama di benaknya, ada di depannya, dan kenyataan itu begitu menyakitkan."Istrimu, Mas?" tanya Rita dengan suara gemetar, seolah memastikan diriny
Dinda berangsur pergi, langkahnya cepat dan penuh amarah. Namun tiba-tiba, suara Rita memanggil dari belakang, menghentikan langkahnya. "Tunggu, Dinda... jangan pergi dulu," suara Rita terdengar lirih namun jelas. Dinda berhenti sejenak, namun tidak menoleh. Hatinya bergejolak antara ingin segera pergi atau mendengar kata-kata yang keluar dari mulut perempuan yang sudah menghancurkan hidupnya.Rita berjalan mendekat, langkahnya pelan, penuh keraguan. "Aku tahu... aku tahu kamu mungkin sulit untuk memaafkan kami. Dan kamu berhak untuk marah, aku paham itu karena kami yang salah," ucapnya dengan suara pelan, wajahnya penuh rasa bersalah. Matanya menatap punggung Dinda yang membeku di tempatnya, tanpa sedikit pun tanda akan membalas.“Apa lagi yang ingin kamu katakan?” Dinda berkata, suaranya bergetar menahan amarah yang terpendam. Ia tidak ingin mendengar lebih banyak kebohongan, namun ada sesuatu dalam suara Rita yang membuatnya berhenti. Sesuatu yang entah bagaimana, membuatnya tetap
“RITA!!” teriak Dimas panik, berlari ke arah tubuh Rita yang tergeletak. Darah mulai mengalir dari antara kaki Rita, menodai aspal. Matanya terpejam, wajahnya pucat pasi, menahan sakit yang luar biasa di perutnya.“Tidak… Rita… bertahanlah!” seru Dimas, suaranya pecah penuh kekhawatiran. Dinda, yang masih syok, tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Dia hanya bisa melihat, dengan napas terengah-engah, ketika darah terus mengalir di bawah tubuh Rita.“Ambulans… kita butuh ambulans!” Dimas memekik, tangannya gemetar saat menelepon dengan panik. Wajahnya penuh ketakutan, dan air mata mulai membasahi pipinya. "Tolong... secepatnya! Ada wanita hamil yang terluka parah!"Rita masih terbaring, napasnya terengah-engah, tangannya memegangi perut yang terasa sangat sakit. Namun, dalam kondisi sekarat, dia tetap berusaha tersenyum lemah ke arah Dinda. “Dinda… maafkan aku…” ucapnya pelan, suaranya hampir tak terdengar.Dinda mendekati Rita, tubuhnya gemetar. Dia tahu seharusnya merasa marah, namun meli